Aromaterapi yang bersumber dari diffuser menyeruak ke udara ketika Joandra membuka pintu rumah. Bukan dirinya, tetapi sang kekasih cantiknyalah yang menyediakan. Joandra hanya tinggal menggunakan apa pun yang Utami sediakan.
Utami geleng-geleng kepala ketika masuk ke kamar dan menemukan tempat tidur dalam keadaan berantakan. Utami mendekat lalu mulai membersihkannya.
“Sorry, Ta, tadi pagi aku nggak sempat beresin,” ucap Joandra sembari membuka jaket lalu menggantungnya di belakang pintu. Setelahnya laki-laki itu mendekat. Dipeluknya sang kekasih dari belakang. “Percuma kamu beresin, kan mau diberantakin lagi,” bisiknya seduktif di telinga Utami.
Gadis itu menggerakkan kepalanya, mencoba memandang Joandra yang saat ini memeluknya dari belakang. Lelaki itu menyambut dengan satu kecupan lembut di bibir Utami.
Utami membalikkan badan lalu membalasnya. Berciuman dengan Joandra tidak akan pernah membuatnya bosan.
“Dingin nih, Sayang …,” bisik Joandra di sela-sela ciuman mereka.
“Aku juga,” balas Utami lirih.
Tanpa melepas bibir mereka yang bertaut, Joandra menyanggah punggung Utami dengan tangannya lalu merebahkan gadis itu ke tempat tidur. Dia ikut berbaring di sebelah kekasihnya. Mereka berciuman dengan posisi berbaring miring berhadapan.
Kejadian tadi sore membuat pikiran Joandra terganggu. Jujur, dia hampir merasa stress. Namun bagi Joandra, Utami adalah pereda stressnya. Gadis itu obat dari segala penyakitnya.
Selagi bibirnya memagut, tangan Joandra menelusup masuk ke dalam baju Utami lalu meraba jengkal demi jengkal di atas permukaan kulit gadis itu. Ketika menemukan apa yang dicarinya Joandra meremasnya lembut.
Utami mengerang di dalam mulut Joandra. Remasan kekasihnya itu di payudaranya menimbulkan sensasi nikmat yang membuatnya menginginkan lebih. Joandra memang sangat pandai mencumbuinya.
Tiba-tiba saja Joandra menghentikan remasannya sembari memisahkan bibir mereka yang membuat Utami seketika merasa kehilangan.
Gadis itu menatap dengan sorot ‘kok berhenti?’.
Joandra sangat mengerti makna tatapan itu. Joandra lalu mengulum senyumnya. “Mau lanjut atau udahan?” godanya.
“Tuh kan becandain aku lagi.”
“Aku kan cuma nanya.”
“Ya lanjutlah, masa udahan,” jawab Utami tersipu. Pipi mulusnya merona. Kulitnya yang putih dengan mudah menampilkannya. Ekspresi yang sangat disukai Joandra.
Joandra tertawa pelan lalu bangun dari posisinya. Lelaki itu membalikkan badan Utami agar berbaring telentang. Tangannya meraih ujung baju Utami lalu menaikkannya ke atas. Utami membantu dengan mengangkat tubuhnya agar Joandra jadi lebih mudah untuk melepaskan bajunya hingga hanya menyisakan bra berwarna hitam sebagai penutup dada.
Joandra tidak membuang waktu sedetik pun. Lelaki itu segera membenamkan muka di belahan payudara kekasihnya. Dia menghirup dalam-dalam aroma parfum serta bau tubuh alami Utami yang sangat disukainya.
“Your scent is my favorite perfume, Ta …”
Telinga Utami menangkap dengan jelas saat Joandra menyanjungnya dengan penuh damba di sela-sela cumbuan lelaki itu di payudaranya.
Joandra yang tadinya hanya mencium belahan gadis itu, kini merangsek masuk setelah menyingkap cup bra yang masih menutupi bongkahan kenyal Utami.
Desahan tanpa kendali berloncatan keluar dari bibir Utami saat Joandra memainkan payudaranya dengan bibir dan lidah lelaki itu. Joandra tidak butuh lama untuk membuat Utami basah. Tidak hanya di dadanya namun juga di bawah sana.
Merasa tidak leluasa karena bra yang masih melekat, Joandra menelusupkan tangannya ke punggung Utami lalu melepaskan kaitnya. Joandra dengan mudah menariknya. Kini dia bebas. Tubuh indah kekasihnya bagai hidangan terbuka yang disajikan untuknya. Joandra tinggal menikmati.
Joandra melumat payudara Utami dengan rakus. Seakan dia harus menghabiskannya saat ini juga.
“Jo … pelan-pelan …” Utami tidak tahan. Tubuhnya menggelinjang di ranjang. Cumbuan Joandra kali ini terasa lebih buas.
Bertahun-tahun menjalin kekasih dengan Joandra, Utami sudah sangat hapal. Jika kekasihnya itu bermain dengan sedikit keras artinya dia sedang ada masalah. Utami memahami jika Joandra sedang stress akan menjadikan dirinnya sebagai pelampiasan. Joandra jujur mengatakan itu. Joandra juga bilang stressnya hilang setelah mereka bercinta.
Joandra memang lebih pelan setelah Utami meminta. Namun bukan berarti lelaki itu berhenti. Meninggalkan dada gadis itu, Joandra menurunkan kecupannya menuju perut Utami. Jejaknya yang sensual tinggal di mana-mana. Salivanya membuat kulit Utami berkilat basah.
Joandra menjeda cumbuan saat bibirnya sampai di pangkal paha Utami. Dia mengangkat kepalanya lalu menurunkan G-string kekasihnya. Tidak butuh waktu lama untuk membuat Utami kembali mendesah. Begitu Joandra membenamkan muka di sela-sela pahanya, gadis itu kembali tidak karuan. Desahan penuh kenikmatan berlontaran tak beraturan dari mulutnya. Sedangkan tangannya mencengkeram rambut lelaki itu.
Semakin kuat cengkeraman Utami di rambutnya, belaian lidah Joandra di kewanitaan Utami juga semakin intens. Ini adalah bagian yang sangat disukai Utami. Ketika Joandra mencumbui, menyesap, dan menjilatinya di bawah sana.
Mereka tidak banyak bicara saat bercinta. Joandra lebih suka memberikan aksi ketimbang narasi.
Utami tidak menghitung entah berapa lama Joandra mencumbuinya. Dia hanya tahu tubuhnya melambung ke surga seiring dengan semakin kencangnya gelitikan lidah Joandra. Lalu tak lama setelahnya, Joandra sudah berada di atasnya. Bergerak lembut dalam irama penuh cinta hingga mereka sama-sama mencapai titik itu. Satu untuk Joandra. Dua untuk Utami.
“Please, Jo, kali ini jangan baca buku lagi. Aku nggak mau ngeliat kamu lebih manjain buku itu ketimbang aku,” ucap Utami memberi peringatan ketika Joandra merengkuhnya lalu menaikkan selimut menutupi tubuh mereka.
Joandra tertawa pelan lalu dibelainya pipi gadis di sebelahnya dengan buku jarinya. “Nggak akan. Malam ini khusus buat kesayangan aku.”
Segaris senyum tipis membingkai bibir Utami. Diliriknya Catatan Sang Demonstran yang tergeletak di nakas dengan tatapan miring, seakan baru saja mengalahkan seorang lawan.
Joandra memejamkan mata, namun adegan demi adegan itu melintas begitu saja tanpa dia kehendaki. Membuat hatinya gundah gulana. Padahal di saat-saat seperti ini Joandra ingin afterplay dengan Utami lalu tidur dengan tenang.
Tadi setelah aksi demo, Joandra kembali ke kantor. Setelah berunding dengan rekan-rekannnya mereka memutuskan untuk menempuh langkah hukum karena mereka gagal menggunakan pendekatan personal.
Sekarang Joandra galau sejadinya. Apa yang akan dia katakan pada Utami?
Bagaimana reaksi gadis itu jika tahu Joandra menentang ayahnya dengan menuntut perusahaannya?
“Jo …”Mata Joandra kembali terbuka mendengar suara lembut Utami.
“Ya, Sayang? Mau lagi? Nanti ya, aku masih capek,” gurau Joandra,
“Ih, bukan itu.” Utami megerling malu.
“Jadi apa?”
“Kamu lagi ada masalah apa?”
Utami mengenal Joandra dengan baik. Buktinya gadis itu mengetahui jika saat ini Joandra sedang resah.
Joandra menghela napas dalam-dalam lalu melepasnya dengan perlahan. Kemudian lelaki itu mulai menceritakan ganjalan di hatinya.
“Ada perusahaan yang nggak mau bayar uang pesangon, jadi mantan karyawannya menuntut hak mereka. Tapi sialnya perusahaan itu sudah dibeli. Pemiliknya yang baru nggak mau bertanggung jawab dan melimpahkan pada yang lama. Padahal dengan membeli perusahaan tersebut artinya mereka mengambil alih segala tanggung jawab dari pemilik yang lama termasuk hak yang belum dibayarkan.”
“Setuju, seharusnya memang begitu,” jawab Utami sependapat. “Kok tega ya mereka?” sambungnya lagi.
Joandra tidak memberi jawaban. Ditatapnya kekasihnya dengan sendu. Andai saja Utami tahu kalau Joandra sedang menceritakan perangai orang tua gadis itu.
“Terus selanjutnya gimana?” Utami merasa penasaran. Meski tidak tertarik pada dunia yang digeluti Joandra, namun kali ini rasa ingin tahunya tergelitik.
“Karena nggak bisa pake pendekatan personal, aku terpaksa menuntut perusahaan itu melalui jalur hukum, Ta.”
“Good luck ya, Sayang. Semoga menang.” Utami membelai lembut rahang Joandra. Dia memang selalu mendoakan untuk kesuksesan kekasihnya. Utami mendukung dari belakang apa pun yang Joandra lakukan.
Joandra hanya bisa tersenyum miris.
Apa kalau Utami tahu dengan orang tuanyalah saat ini Joandra berlawanan, maka gadis itu akan tetap mendoakannya agar menang?
Bersambung~
Utami tidak tahu kesalahan sebesar apa yang telah dilakukannya sehingga hidup benar-benar kejam padanya. Berita mengenai suami dan papinya ada di mana-mana. Di televisi, di media online, di saluran streaming dan entah apa lagi. Ke manapun Utami pergi dia hanya mendengar orang-orang berbisik-bisik membicarakan kemalangannya.Utami ingin menangis, namun air matanya sudah kering sejak Joandra meninggalkannya. Di kantor para pegawai membicarakan di belakangnya. Saat Utami muncul mendadak bisik-bisik itu tidak terdengar. Mereka semua diam.Setiap kali Utami melintas dia akan menerima tatapan kasihan dari orang-orang itu. Padahal Utami tidak ingin dikasihani.Sedangkan di rumah, Utami juga harus menyaksikan maminya yang menangis setiap hari meratapi nasib mereka.Begitu pula dengan mertuanya yang tidak sanggup menerima kenyataan pahit itu.Saat ini Utamilah yang mengambil alih kepemimpinan Mahawira Group. Hari-harinya diisi dengan mengurus perusahaan. Utami berniat menjual beberapa anak p
Utami menatap dirinya di cermin selagi makeup artist meriasnya.Bukan hanya mereka berdua di sana. Tapi ada juga Inka dan Tiwi yang merupakan sahabat Utami."Tami, lo kenapa sih? Dari kemarin wajah lo gitu-gitu aja. Apa lagi memangnya yang lo pikirin?" ujar Inka menyaksikan muka tidak bersemangat Utami."Nggak mikirin apa-apa. Nih gue senyum." Utami melengkungkan bibirnya membentuk seulas senyum sembari menatap kedua sahabatnya melalui kaca."Senyum lo nggak tulus," komentar Tiwi.Utami melengkungkan bibirnya lebih lebar. Namun tetap saja tidak terlihat bahagia."Mbak Tami-nya mungkin lagi nervous, Mbak. Biasalah, namanya juga mau nikah," sela penata rias ikut berkomentar.Utami tersenyum sekali lagi. Syukurlah ada yang membantunya menggiring opini sehingga kecurigaan para teman-temannya tidak berlanjut lebih jauh.Tidak ada yang mengerti perasaan Utami selain dirinya sendiri bahwa pernikahan ini adalah hal paling berat yang harus dia jalani. Utami ingin berbagi. Tapi dia tahu semua i
Utami tidak mengira jika reaksi yang akan dia terima dari Joandra adalah pelukan hangat seperti ini. Pelukan yang sudah bertahun-tahun Utami rindukan.Utami balas dengan melingkarkan tangannya ke tubuh Joandra. Dia menahan agar air matanya tidak menetes."Maaf untuk apa, Jo?" lirihnya dalam pelukan Joandra.Banyak yang ingin Joandra sampaikan. Tak sedikit hal yang ingin dia ungkapkan. Bahwa kata maaf tadi adalah mewakili seluruh kesalahannya yang tidak terhitung dan mungkin tidak akan pernah termaafkan.Kemudian yang terucap dari mulutnya adalah, "Maaf karena aku membuat semua ini terjadi.""Kamu nggak salah, Jo. Kamu sudah melakukan apa yang semestinya kamu lakukan," balas Utami dengan pelukan yang lebih erat.Utami tidak ingin semua ini berakhir. Dia masih ingin berada lebih lama lagi di pelukan Joandra. Namun harapannya tak terkabul.Bagai disadarkan oleh kenyataan, Joandra melepaskan Utami dari dekapannya. Mereka sedang berada di ruang publik. Joandra tidak ingin menambah masalah
Hampir dua minggu lamanya Joandra berada di Medan. Begitu kondisinya pulih lelaki itu kembali ke Jakarta dan memulai aktivitasnya seperti sediakala. Berhubung pemilu sudah selesai maka Joandra lebih banyak menghabiskan hari-harinya di LBH Justicia. Tempatnya mengabdi selama ini."Bang, ada surat buat lo." Angga memberi amlop pada Joandra.Lelaki itu menerimanya, melihat nama pengirim dengan seksama kemudian membaca isi surat tersebut."Astaga." Itu kata pertama yang berhasil keluar dari mulut Joandra setelah membaca surat tersebut."Kenapa, Bang?" Angga bertanya ingin tahu."Gue dipanggil Peradi," beritahu Joandra. Peradi adalah organisasi yang menaungi para advokat di Indonesia."Masalahnya?""Kayaknya ada yang ngelaporin gue, katanya gue ngelanggar kode etik sebagai advokat.""Adaaa aja masalahnya." Angga ikut geram mengetahuinya. Seakan tidak cukup dengan mencelakai Joandra, orang-orang masih ingin menjatuhkannya dengan cara yang lain.Joandra hanya bisa tersenyum kecut. Dia tahu.
Sidang hari ini berlangsung panas. Pihak penggugat dan tergugat keduanya sama-sama tidak mau mengalah. Masing-masing dari mereka merasa berada di jalan yang paling benar dan bersikukuh mempertahankan pendirian masing-masing. Beberapa kali sidang terinterupsi karena Daniel yang tidak bisa mengendalikan emosinya. Sedangkan Joandra tetap terlihat tenang meski adu argumen seperti ini tidak hanya membutuhkan pikiran namun juga menguras energinya. Terlalu banyak berbicara memicu perasaan perih bekas operasi di perutnya. Namun, Joandra menyimpan dari orang-orang. Dia tidak boleh cengeng karena akan membuatnya lemah. Itu hanyalah bekas operasi. Semua orang yang pernah mengalami operasi pasti pernah merasakannya.Dari tempat duduknya Utami memerhatikan Joandra. Khawatir laki-laki itu akan tumbang saat sidang sedang berlangsung. Tapi syukurlah. Yang ditakutkannya tidak terjadi. Joandra baik-baik saja sampai sidang berakhir.Satu demi satu orang-orang yang menghadirinya keluar dari ruangan. Sid
Joandra memejamkan matanya. Tidak sanggup membalas Utami yang saat ini sedang menatapnya. Bukan hanya itu saja. Selain tangannya yang menggenggam jemari Joandra, tangannya yang lain menelusup ke setiap helai rambut laki-laki itu lalu membelainya dengan lembut.Perasaan malu dan bersalah menghimpit dada Joandra. Malu karena Utami sudah memberi pertolongan sampai sebegininya sedangkan besok dia harus menghadapi orang tua gadis itu. Juga merasa bersalah lantaran terlalu sering menyakiti Utami.“Sakit, Jo?” tanya Utami saat melihat Joandra meringis sembari menyentuh perutnya.“Sedikit,” jawab laki-laki itu. Seharusnya saat ini dia berada di tempat yang nyaman dan melalui masa-masa perawatan di bawah pengawasan tenaga medis.“Sabar ya, Jo. Ini nggak akan lama kok. Sebentar lagi kita nyampe.” Utami ikut meringis melihat ringisan di wajah Joandra. Meskipun waktu tempuh dengan menggunakan pesawat pribadi lebih singkat dibandingkan pesawat komersial, namun detik demi detik waktu terasa begitu