"Happy wedding, Aurora. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah," Ervin membalas pesan Aurora dengan tangan gemetar sambil sesekali menghela nafas panjang.
Ia masih tak menyangka, perempuan lugu yang dikenal cerdas, cantik, dan berwibawa itu bisa ingkar janji. Ternyata, tak ada seorang pun yang bisa kuat menahan komitmen kecuali ibunya. Mata Ervin terlihat sayup dan termenung sendiri tanpa ekspresi. Sebenarnya, Ervin sempat berpikir untuk mendua di perantauan. Tapi niatnya ia urungkan karena hanya membuang waktu dan uang. Sebagai gantinya, ia bisa duduk di kursi bersama jajaran mereka yang lulusan sarjana. Ah, memorinya terus saja berlalu-lalang kesana kemari. Teman-temannya yang heran dengan ekspresi Ervin terus diam tanpa ocehan, langsung menepuk pundaknya saat itu juga. Beberapa tepukan masih ia hiraukan. Namun, ketika Tio yang merupakan salah satu teman baiknya, membisikkan kata sayang di telinga kanannya dengan nada usil dan menggelikan, ia baru bisa sadar."Idiih..", ujar Ervin sambil menggaruk telinga kanannya."Haha, kenapa? Vin. Bengong mulu dari tadi. Galau ya?""Galau apaan, gak ah. Pacar juga gak punya!""Lah, katanya tadi punya?""Hmm.. maksudnya itu, aduh. Ketauan, deh!""Udah, kalem broh. Perempuan itu banyak. Nikmati masa kejayaanmu dan jangan lupa nabung. Kalau udah jodoh, nanti juga ketemu sendiri." Setelah mendapat wejangan dari sahabat kocaknya, Ervin bangkit. Berusaha melupakan kekasih lama yang mungkin tak dianggap. Ajakan menjalin hubungan secara sehat, ternyata tak membuahkan hasil. Kini, ia simpan kembali ponsel di sakunya tanpa tatapan kosong. Ervin kembali berbaur dengan beberapa teman dekatnya. Kalau mau tahu, teman-temannya itu adalah Tio, Nugroh, Naka, dan Neira yang merupakan perempuan satu-satunya. Namun, sebelum riuh tawa hadir diantara mereka, Neira bertanya kepada Ervin tentang kegalauannya. Dan diceritakanlah secara detail oleh Evin bahwa ia ditinggal menikah oleh pacarnya yang juga dekat ketika SMA."Oh, gitu ya. Sabar, Vin. Semoga dapat gantinya.""Siapa yang jadi pengganti?" tanya Nugroh."Ya, kamulah.. Nei," saut Tio."Ekhem.. janganlah. Ingat, jangan pernah pacaran sama sahabat sendiri. Itu kalau kata anak muda zaman sekarang.", saut Naka sambil meneguk lemon tea yang kecut."Cemburu ya?" Ervin menggoda."Ah, apaan cemburu. Ini fakta.""Itu kenapa bibir menyong dan muka merah gitu? Tumben banget kuat minum lemon tea yang kecut. Mana malah minum punya gue lagi""Oh, ya? So-sorry, Vin..""Hahaha" Riuh tawa kembali membuka obrolan. Persahabatan Ervin dan beberapa rekan kerjanya itu cukup erat. Keterlibatan Neira pun tak luput dari ajakan Naka. Desas desus dari kabar yang beredar di kantor, Neira sengaja mendekati Naka demi bisa dekat dengan Ervin. Tapi, entahlah. Tak ada kejelasan cerita cinta diantara mereka. Diotak Ervin dan teman-temannya hanya ada uang dan ikatan persahabatan. Berbeda dengan Ervin yang sedang asyik bersenang-senang bersama sahabatnya, Aurora justru sedang termenung di taman komplek. Tapi tak sendiri juga, ia ditemani anak laki-lakinya. Beberapa pertanyaan muncul dibenak isi kepala Aurora."Kukira menikahi pria kaya raya itu menguntungkan. Ternyata, tidak sama sekali. Aku harus memakan ego mertua dan suami pengangguran setiap hari," gumamnya. Lalu, ia memutuskan untuk membuka f******k sambil menarik ayunan yang dinaiki anaknya. Saat itu juga, ia dibuat kaget oleh pesan yang masuk. Ervin baru saja membalas pesan dari undangan yang terkirim 3 tahun lalu. Seketika ayunannya berhenti karena tangan kirinya dipakai untuk menutup mulut kagetnya. Kemudian, barulah ia tarikan jari-jarinya untuk membalas pesan Ervin. Sesekali ia mencubit pipinya khawatir ini semua hanya mimpi, mendapat balasan pesan dari pria yang sempat menghargainya dengan penuh cinta. Saat itu juga, ia berusaha merangkai kata dengan penuh hati-hati. Tak ingin mengulang rasa dengan kondisi yang sudah bersuami dan dikaruniai anak yang lucu. Masa lalu, biarlah berlalu. Terima saja takdir terbaik ini." Kamu kemana aja? Beberapa tahun hilang kontak. Terima kasih untuk doanya, Ervin. Semoga kamu juga segera ditemukan dengan jodoh terbaik." Cukup lega rasanya, kini Aurora kembali mendorong ayunan. Tak lama setelah membalas pesan, ponselnya berdering karena ada panggilan dari Antony. Tanpa perlu menunggu lama, ia langsung angkat panggilan. Seperti biasanya, Antony meminta izin kepada Aurora untuk pergi memancing ke salah satu sungai yang cukup jauh dari komplek. Berharap dapat restu. Aurora justru menolak karena lokasi terlalu jauh dan cuaca pun sudah mulai mendung. Terjadilah perselisihan diantara mereka. Bualan kata tak mengenakan kembali diterima Aurora. Mungkin, maksud larangan Aurora itu karena keselamatan suaminya."Dasar binatang, kau! Perempuan aneh memang, masa gak dukung hobi suami?""Hmm.. mas, coba buka internet cuaca sekarang gimana? Langit di sini saja mendung, pasti bakalan hujan deras. Ngapain pergi mancing jauh-jauh?""Tapi kan aku gak sendiri, perginya bareng komunitas.""Udah, ah terserah mas aja. Kalau masih ingin melihat tawa aku dan anakmu, lebih baik gak usah kesana. Aku bakalan kasih izin mas mancing ke tempat biasa aja yang deket rumah." Jeda setelah ucapan itu, panggilan langsung dimatikan tanpa salam penutup sama sekali. Aurora sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini. Ungkapan manis hanya ia dapatkan ketika awal menikah. Selebihnya, hinaan dan cacian kasar ia dapatkan. Aurora berusaha menyimpan rasa pilunya. Lalu, ikut bermain mobil-mobilan bersama sang anak. Hanya dari anaknyalah, tawa dan manja ia dapatkan melalui bermain peran menjadi anak kecil. Dunia anak-anak memang berbeda dengan dunia orang dewasa. Sampai pukul 2 siang, tak terasa ia sudah melewati hampir setengah hari di taman. Ia bergegas pergi ke rumah agar jadwal tidur siang sikecil tak terlewat. Sisanya, ia habiskan waktu scrolling internet di kamar."Aurora.. Aurora.." Bu Firah terus saja memanggil sambil mengetuk pintu kamar. Karena takut anaknya bangun, ia langsung bangkit dari tempat rebahannya. Lalu, membuka pintu kamar dan menemui sang mertua. Ternyata, ia dimintai bantuan untuk mencuci baju yang baru saja dipakai dari kondangan. Aurora pun menerima tugas itu dengan senyum terpaksa tanpa penolakan. Ia tak ingin ribut panjang lebar atau anaknya akan bangun. Pada saat itu juga, ia langsung mencuci dress panjang berwarna hijau menyala menggunakan tangan. Padahal, ada mesin cuci. Tapi, risih jika harus mencuci satu lembar pakaian. Sambil menatap ruang jemur, ia termenung dan ingin sekali meluapkan segala emosinya. Ya, bingung juga kepada siapa harus ia luapkan? Suami saja tak bisa menerima masukannya."Hmm.. semenjak menikah, aku seperti kehilangan arah. Sahabatku berkurang perlahan, kecuali Nakula si balita aktif." Setelah itu, ia keringkan pakaian di jemuran yang sudah tersedia. Lalu, menarik nafas secara perlahan. Memastikan takdir ini memang yang terbaik. Baru setelah baju itu dijemur, ia kembali ke kamar untuk menemani Nakula tidur. Tadinya Aurora akan ikut tidur siang, tapi ia terkecoh oleh 1 panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal di ponselnya. Untuk melawan rasa penasarannya, Aurora mengecek nomor di salah satu aplikasi pelacak nomor. Diluar dugaan, nomor itu adalah nomor Ervin. Ia juga dibuat heran, bagaimana ia tahu nomor Aurora? Padahal, ini adalah nomor telepon baru pemberian suami. Tak berhenti sampai di sana, Aurora mencoba memanggil nomor Ervin agar lebih yakin. Hampir lama menunggu panggilan diangkat, akhirnya suara pria yang bernama Ervin kembali masuk ke telinga Aurora. Ini bukan mimpi kan?"Halo, ini siapa ya?" tanya Aurora."Ha-halo, ini aku Ervin. Maaf ya, ganggu kamu. Tadi gak sengaja kepencet.""Ouh, tahu dari mana nomorku? Vin.""Ya, aku tahu nomor ini dari akun f******k suamimu. Nomor yang ditautkan ternyata nomor kamu. Sekali lagi, aku ucapkan selamat atas pernikahan kamu.""Iya, makasih Vin. Hmm.. sebelumnya aku juga mau minta maaf atas kesalahanku dulu karena meninggalkan kamu." Tak sadar dengan asyiknya panggilan telepon, Antony ternyata sudah cukup lama duduk di kursi luar kamar. Ia mendengar percakapan Aurora dan Ervin sambil menikmati teh hangat. Ternyata, panggilan telepon diantara mereka tak lama. Lalu, ia masuk dan menepuk pundak Aurora dari belakang. Aurora pun kaget dan segera menyembunyikan ponsel di saku daster."Kamu curhat sama siapa? Ngomong kata maaf dengan nada manis seperti anak gadis. Kamu gak bahagia menikah denganku karena suami nganggur? Pulang aja sana, kamu kembali ke mantan pancarmu itu."Bersambung.."Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif"Ervin mencoba menghubungi Aurora saat itu juga. Sayangnya, hanya terdengar notifkasi bahwa nomor Aurora tidak aktif. Kesal campur khawatir, ia berusaha mengirimkan pesan kepada Aurora. Meskipun hanya terbaca ceklis satu, setidaknya ia bisa memberi kabar kepadanya bahwa ia ada di rumah yang sama. Saat itu, Ervin kembali mengubah posisi duduknya. Lalu, tiba-tiba perutnya berbunyi. Hal semacam itu memberi sinyal ia sedang lapar. "Aduh, perut kerconcangan gini. Mana nyamuk berisik. Tangaku udah gatel, nih!" ujarnya dengan nada pelan tapi kesal sendiri. Kemudian, tangannya menyentuh saku baju. Ia mendapati 1 bungkus kecil kue untuk ibu hamil. Tak lain, camilan itu adalah sisa dari camilan milik Neira. Sedikit melegakan, Ervin kini bisa mengisi perutnya. Sambil tertawa kecil, ia mengingat wajah lucu Neira saat itu juga. "Yah, aku tahu kamu memang baik Nei. Makasih, ya. Aku gak ingat kamu nyimpen cemilan ini di saku baju. Entah harus
"Ibu duluan aja." Reva meminta Bu Firah untuk masuk ke kamar lebih dulu. Sambil menatap area luar, ia juga ikut masuk ke kamar. Lalu, ia lanjutkan dengan duduk di salah satu kursi. Wanita itu juga menata area kamar Bu Firah yang cukup bersih. Namun, aroma minyak kayu putih cukup menyekat kuat baginya. Pada saat itu juga, Reva meminta izin untuk buka jendela sebentar saja. Dirinya ingin menghirup udara segar terlebih dulu sebelum tidur. "Jangan ditutup, rev. Ibu ga kuat sama angin Jakarta!" "Oh, hehe iya maaf bu. Kalau saya tidurnya di bawah boleh?" "Nanti kamu kedinginan lho, cantik. Yaudah, kamu boleh buka jendela kalau saya sudah tidur. Kamu disini dulu temenin saya." Keduany merebahkan badan dan berlawanan arah tanpa tatap. Memori Reve bergejolak sedangkan Bu Firah terlelap tidur lebih cepat. Beberapa pertanyaan pun muncul di benak akal bulusnya. Sambil menatap foto pernikahan Antony yang masih dipajang, ia pun mengeluarkan sumpah serapah untuk keluarga kecil in
"Tapi, apa? Udah yah, aku berangkat dulu sayang. Jaga diri baik-baik dan jaga dede di perut sehat juga." ucap Ervin yang langsung mengecup kedua pipi Neira. Lalu, ia tancap gas berlari menuju mobil. Tak tertinggal, ponsel dalam sakunya pun ia bawa sebagai pentunjuk jalan. Ia berlari cukup kencang sampai Neira kewalahan menahan perutnya. Dari sana, Neira bergegas duduk di kursi teras dan mengelus perutnya sendiri. Sambil menatap Ervin dari jauh, terlihat ia sudah mulai masuk mobil. Sembari duduk, Neira juga berteriak memberikan seruan untuk sang suami. "Jangan lupa lapor polisi, ya!""Aduh, dasar Mas Ervin ada-ada aja. Sekarang aku panggil dia mas, deh. Barangkali bisa luluh. Sabar ya, kakak. Itu ayahmu lagi bantu orang. Semoga cinta tetap buat kita, ya!" Neira bergumam dan mengelus-ngelus perut yang mulai terlihat sedikit buncit. Sementara itu, Ervin yang sudah duduk manis di dalam mobil kembali membuka kaca. Ia menatap ke arag spion untuk memastikan istrinya masih ada di
"Biasa, Nei.." "Iya, iya.. aku gak bakalan angkat, kok!" ujar Ervin sambil mengubah nada ponsel ke hening. Lalu, ia membuka pintu untuk mempersilahkan istriny duduk dan menutupnya. Ia memutar arah untuk membuka pintu sendiri. Sekarang, mereka hanya fokus memandang area jalanan. Tapi meski begitu, Ervin curi-curi waktu mengecek ponsel meski istrinya cemberut. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Saat ia mengecek ponsel, ada panggilan masuk dari salah satu orang penting di kantor. Siapa lagi kalau bukan Pak Adam. Orang yang juga ia anggap sebagai orang tua angkat sekaligus berjasa atas perjodohan dirinya dan Neira. "Ini ada telpon dari Pak Adam." "Oh, i-iya. Aduh, jangan-jangan dari tadi beliau nelpon. Angkat saja, Vin!" Neira gigit jari seolah merasa bersalah. Ia takut bosnya itu sudah lama menghubungi Ervin. Tapi, sebenarnya tidak sama sekali. Beliua baru menghubungi Ervin tepat saat suaminya itu mengecek ponsel. Sisanya adalah Aurora yang mengirimkan banyak pesan dan
"Aurora?!" "Aurora?!" "Buka pintunya!" Beliau terus saja mengetuk pintu sampai Aurora membukanya. Dan saat pintu itu terbuka, sempat ada jeda beberapa detik dimana mereka berdua saling tatap. Aurora menahan tangisnya dan berusaha menguatkan diri. ia pikir dirinya bakal diusir saat itu juga oleh Bu Firah. Sayangnya, pikiran itu hanyalah bayangan semu semata. "Ibu mau ngomong sesuatu di ruang tamu bisa? Kebetulan ibu gak enak juga diam sendirian dari kemarin." "Hmm.. i-iya, bu. Sebentar. Ibu duluan duduk nanti aku nyusul. Kebetulan lagi beres-beres berkas." "Berkas buat apa?" "Aku lagi ikut pelatihan, bu." Dengan wajah ketus seolah tak percaya dengan yang Aurora nyatakan, beliau masuk ke kamar sebentar dan menatap sekeliling kamar. Lalu, membalilkkan bada untuk bergegas duduk kembali di sofa ruang tamu. Aurora sebenarnya risih. Hanya saja ia masih menghormati sosok Bu Firah sebagai orang tua sekaligus mertua. Dan sambil menatap matanya di cermin, Aurora meyakinkan
"Tenang, Nei. Biar aku jelasin.""Jelasin apa? Bukannya prioritasin istri malah teman. Bisa gak si gak usah layanin dia""Aku juga gak layanin, Nei. Aku hanya bantu dia lewat teman. Lagian kita gak ada hubunan spesial. Teman biasa!""Teman biasa? Perselingkuhan juga berawal dari biasa saja.""Lagian aku gak nyembunyiin itu dari kamu kan?! Semuanya terbuka." Percakapan itu terdengar cukup keras. Ervin yang awal mulanya bernada lembut mengikuti nada Neira yang emosi. Seolah-olah dipaksa untuk selingkuh tanpa bukti. Entah, apa yang merasuki Neira. Mungkin karena hormon hamil, ia tak bisa kendalikan emosi dan hanya ingin dimengerti. Di sisi lain, Ervin juga belum paham apa yang harus dilakukan oleh seorang calon ayah."Terus kamu maunya apa? Hah?!" tanya Ervin mendekat. Ekhem..Terdengar seseorang menyelinap di balik pintu kamar. Ternyata dari tadi ada adik Neira yang diam dan menyimak. Ia pura-pura bertanya pada kakaknya. Bukan sekadar basa-basi, ia bernniat untuk melerai k