Senin pagi yang basah.
Hujan rintik-rintik turun membasahi trotoar Jalan Sudirman ketika Gita menarik koper kecilnya ke dalam lobi Kantor Catatan Sipil Jakarta Selatan. Payung lipat berwarna kuning yang ia bawa dari Jogja tidak banyak membantu. Ujung jaketnya basah dan anak rambut yang biasanya rapi kini menempel di pelipis. Tapi tidak ada waktu untuk merutuki cuaca. Hari ini, ia harus menyelesaikan urusan yang sudah tertunda terlalu lama: pembaruan dokumen status sipil untuk visa kerja luar negeri. Gita menatap layar ponselnya sambil menggigit bibir. “Nomor A-119,” gumamnya, lalu melirik papan digital yang baru menampilkan: A-98. Ia menyesap kopi dinginnya yang kini lebih cocok disebut es ampas kafein. Sudah satu jam menunggu. Tas selempangnya berisi dokumen penting: SKCK, surat keterangan belum menikah, akta kelahiran, paspor lama. Semua untuk satu tujuan: Visa kerja ke Seoul. Tawaran langka dari galeri seni kontemporer—hidup impiannya hampir di depan mata. Seorang pria muda berpakaian rapi dan formal masuk dengan map di tangan, menuju ke arahnya. “Masih banyak?” tanyanya setelah duduk di bangku tunggu sebelahnya. Gita menoleh cepat. Pria itu mengenakan kemeja biru muda, celana hitam rapi, wajah agak lelah tapi tetap duduk dengan tegap. “Sekitar dua puluhan nomor lagi,” jawabnya singkat. Ia kembali ke ponselnya dan tak ingin berbasa-basi. Pria itu memperhatikan nomor yang terpampang di layar besar tengah ruangan, lalu mencocokkan dengan kertas antriannya sendiri dan berguman dengan lega, “Syukurlah, belum terlewat.” Pria itu kembali menoleh pada gadis di sebelahnya. “Saya Raka. Urus domisili. Tapi kayaknya tadi petugas ngelihatin saya aneh.” Gita tersenyum kecil, “Selama mereka nggak nyanyi lagu dangdut, itu masih normal.” Keduanya tertawa tipis. Lalu kembali tenggelam dalam keasikan masing-masing. Atau begitulah yang mereka pikirkan. *** Sementara itu, di loket bagian belakang Seorang petugas muda memasukkan formulir dengan terburu-buru. “Yang ini? Berkas A-117?” tanya rekannya. “Eh... iya, kayaknya. Yang surat domisili ... eh, atau yang pengantar visa? Mirip semua, sumpah!” Klik. Kirim. *** Kembali ke ruang tunggu. Papan digital berganti angka dan suara mekanis terdengar. “A-119, silakan ke loket 3.” Gita melirik tiket kertas kecil di tangannya. A-119. Wajahnya menegang sebentar, sebelum bergumam lega, “Akhirnya.” Lalu ia melangkah cepat ke loket 3. Koper kecil bergemerisik di lantai keramik. Ia mengenakan jeans biru tua, sneakers putih, dan hoodie abu-abu bertuliskan I Make My Own Luck. “Selamat pagi,” sapanya sopan kepada petugas wanita di balik meja. “Pagi. Nama lengkap?” “Tara Gita Sanjana .” Petugas mengetik cepat, lalu mengangguk sambil menatap layar monitor. “Anda ke sini untuk pembaruan status sipil ya? Dokumen lengkap?” “Semua sudah saya siapkan,” jawab Gita, menyerahkan map merah yang di dalamnya tertata rapi fotokopi KTP, kartu keluarga, surat domisili, dan surat pernyataan belum menikah. Petugas mengambil berkas-berkas itu dengan cekatan. Sambil menunggu, Gita melirik jam di ponselnya. 09:42. Jika semuanya lancar, ia bisa naik kereta siang kembali ke apartemen temannya di Kuningan. “Kamu kerja di mana, Mbak Gita?” tanya petugas, sekadar basa-basi. “Saya dapat offer dari galeri seni di Seoul. Tapi mereka minta surat keterangan belum menikah. Katanya biar gampang proses visanya.” Petugas mengangguk. “Semua makin rumit kalau status pernikahan nggak jelas, ya…” Gita tersenyum tipis. “Makanya saya ke sini.” Tak lama berselang panggilan mekanis lain kembali terdengar. “A-120, silakan ke loket 3.” Raka mendongak menyadari nomornya dipanggil. “Hah? Gak salah? Dua nomor dipanggil barengan?” Tapi dia tetap berdiri dan menuju loket yang sama. Loket 3 “Saya juga dipanggil ke loket ini,” kata Raka. Petugas tampak bingung. “Aduh ... mungkin sistemnya ganda. Tapi karena data sudah masuk, kita proses bersama ya. Silakan duduk.” Raka duduk di kursi samping Gita dan melirik gadis itu dengan senyum canggung karena kedatangannya menjeda pelayanan Gita. Petugas itu mulai mengetik. “Nama lengkap?” Keduanya menoleh bersamaan. “Saya?” tanya Gita memastikan pertanyaan itu ditujukan pada dirinya atau pria di sebelahnya. “Bukan. Anda Bu Tara Gita Sanjana, kan?” petugas itu memastikan. “Ya, sahut Gita membenarkan. “Sekarang saya bicara pada Bapak di sebelah Anda,” ujarnya melirik pada pria muda di sebelah Gita. “Saya bacakan data Anda.” “Raka Dirgantara. Tanggal lahir 10 November. Alamat ....” “Benar,” jawab Raka mengangguk cepat. Petugas mengetik dengan cepat dan mengangguk puas lalu kembali memastikan. “Dan ... Tara Gita Sanjana . Tanggal lahir 27 Juni. Status: lajang. Jenis permohonan: pengajuan pengesahan administratif berdasarkan pernyataan bersama.” Mereka saling pandang bingung. “Pernyataan apa?” Petugas tersenyum manis. “Surat kesepakatan bersama untuk validasi status sipil. Anda sudah tandatangani di formulir online, kan?” Mereka pun serempak bertanya lagi, “Formulir apa?!” Petugas mengetuk meja tak sabar. “Sistem terbaru, Pak, Bu. Cepat dan praktis. Tapi tenang, Anda tinggal konfirmasi sidik jari dan tandatangan digital di sini.” Mesin sidik jari menyala. Kursor tanda tangan menunggu di layar tablet. Gita dan Raka, yang tak tahu jika mereka berada dalam antrian yang salah, berpikir ini adalah formalitas untuk dokumen masing-masing. Maka, mereka menempelkan jari, menandatangani berkas secara bergantian. Lima menit kemudian. Mereka keluar dari ruangan dengan perasaan lega. Raka melangkah ringan menuju taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Sementara Gita menunduk memandang ponsel mencari taksi online. Dua orang asing yang seharusnya tetap asing. Keesokan hari Langit Jakarta masih mendung. Di apartemen studio yang tidak terlalu besar tapi cukup nyaman di bilangan Tebet, Raka baru saja membuka laptop sambil meneguk kopi instan dari cangkir yang bertuliskan "Work Hard, Nap Harder." Matanya menyipit. Ada satu email baru dari HRD Kantor Pusat Singapura. Subject: CONFIRMATION OF MARITAL STATUS – URGENT Please confirm your latest marital record as registered in the local authority. This will be relevant for your promotion package and overseas assignment. Attached: Crosscheck Form, Marriage Verification Sheet “Ha?” Raka mengerutkan alis. Dia klik lampiran P*F. Dan di situlah ... hidupnya berhenti selama lima detik. Nama Pasangan: Tara Gita Sanjana Tanggal Pernikahan: Kemarin. Ia terpaku. Tangannya gemetar seperti melihat tagihan listrik yang melonjak, padahal baru tanggal 2. “Siapa itu Gita?!”Pagi sekali setelah sarapan, semua pasangan diarahkan ke tempat pertemuan di tengah taman indah yang dikelilingi pepohonan. Suasana sangat mendukung bagi pasangan-pasangan baru untuk menemukan chemistry di antara mereka. Gita dan Raka duduk di baris kedua dan memperhatikan panitia yang masih sibuk menyiapkaan perlengkapan di depan sana. “Lo yakin ini tempat retreat pasangan? Bukan ... sekte?” bisik Gita.“Lo pikir gue ngerti? Mereka ngasih kita jadwal padat banget. ‘Sesi keintiman pagi’? ‘Menanam harapan bersama’? Kayak ikut pelatihan MLM,” sahut Raka sambil menunjukkan brosur yang dibagikan panitia.Di sisi lain, pasangan-pasangan muda lainnya duduk rapi. Seperti juga Gita dan Raka, mereka mengenakan seragam kaus putih bertuliskan: Cinta Butuh Bukti. Beberapa terlihat semangat, yang lain tampak mengantuk dan lesu karena olah raga malam.Gita berbisik, “Mereka ... kayak ... benar-benar ikhlas ikut ini.”“Dan kita? Total bohong,” gumam Raka.Seorang wanita muda berpakaian kasual sewar
“Raka, Retreat kebangsaan dijadwal minggu depan.”“Trus kenapa?” tanya Raka yang heran dengan ekspresi bingung Gita.“Aku pikir ... itu masih dua minggu lagi. Bukan ... barengan dengan rencana ke Bali!”Raka terkejut. Suasana pagi yang awalnya tenang dan santai berubah jadi arena debat kecil.“Git, kita gak bisa batalkan retreat itu. Itu salah satu persyaratan wajib. Kalau gak ikut, nanti proses pencatatan pernikahan kita bisa macet.”Gita mendesis frustrasi. “Dan kalau gak ke Bali, Mama Papamu bisa ngambek tujuh turunan! Mereka udah pesan hotel di Seminyak, tiket pesawat juga! Masa cuma dianggurin begitu aja?”“Pilihannya cuma dua,” Raka mendudukkan diri di sebelahnya. “Batalin Bali atau batalin ... legalitas pernikahan.”Gita mengerang. “Bisa gak sih negara ini bikin aturan yang lebih manusiawi? Orang baru nikah disuruh ikut Retreat Wawasan Kebangsaan! Itu acara pasangan apa pelatihan bela negara sih?”Keduanya terdiam bingung. Mereka memang tak punya pilihan lain. Bali, surga yang
“Jadi, kau yang melakukan hal kotor seperti ini?” Maya menatap Rangga tajam, menahan kemarahan yang siap meledak.Rangga menjatuhkan rokoknya ke paving block dan menginjaknya sekalian dengan ujung sepatu. “Kurasa ini cara yang paling cepat mendapatkan perhatianmu!”“Apa kau gila? Urusan kita berdua, tak ada hubungannya dengan Raka!” Suara Maya memekik karena emosi. Dia sudah tak tahan dengan sikap Rangga yang sama sekali tak peduli jika harus menyakiti orang lain, asal tujuannya tercapai.“Aku tak suka diabaikan!” Rangga menatap Maya tajam.“Baik!” Maya berusaha meredakan emosi dengan menghela napas panjang. Beberapa orang di sana memperhatikan mereka berdua. Dia tak ingin muncul lagi berita skandal tentang dirinya, yang mungkin berimbas pada Tessa Nadira.“Kita sudah bertemu. Jadi, apa maumu sekarang?” Suaranya yang kembali tegas karena pengendalian diri, membuat Rangga menyipitkan mata tak suka. Tangannya mencengkeran siku Maya dan berbisik mengancam, “Kalau kau mau berita viral it
Maya menatap kosong ke cermin besar di ruang ganti. Bayangan dirinya dalam balutan blazer mahal dan wajah sempurna hasil sapuan kuas make-up tak bisa menutupi kehampaan yang menyelinap di balik matanya. Cermin itu memantulkan sosok yang tampak tenang, padahal dalam dirinya, sesuatu tengah berantakan.Pikiran Maya belum bisa lepas dari kejadian di mall semalam. Dari cara Gita meledak di depan mantan kekasihnya, hingga bagaimana Raka dengan sabar menenangkan gadis itu seperti suami yang benar-benar peduli. Bukan sandiwara. Bukan pura-pura. Bukan seperti masa lalu mereka.Tiba-tiba ponselnya bergetar di meja rias. Nama “Rangga” muncul di layar. Napas Maya tertahan sejenak, tapi ia tetap mengangkatnya.“Aku sibuk,” katanya dingin.Suara dari seberang terdengar berat, penuh dominasi. “Kamu ke mana semalam? Kenapa nggak balas pesan?”“Karena aku memang nggak mau membalas,” sahut Maya tegas.“Jangan main-main, Maya. Aku bisa datang sekarang juga ke kantormu.”“Kau pikir itu akan menakutiku?”
“Aku beneran harus ikut?” tanya Gita dengan tatapan sayu dari balik bantal. Rambut acak-acakan dan piyama lusuh, membuatnya tampak seperti anak kost yang malas bangun di akhir pekan.“Ya,” jawab Raka mantap, sambil menggoyangkan remote tv di tangan sebagai ancaman. “Apartemen kita kekeringan logistik. Kulkas cuma isi es batu yang menggumpal dan saus sambal yang expired dua minggu lalu.”Gita mengerang. “Tapi hari ini tuh, hari rebahan nasional!”“Peringkat kedua setelah ‘Hari Pencucian Baju Global’. Tapi sayangnya, hari ini kita masuk agenda: belanja bulanan dan ngisi lemari es. Jadi tolong, bangun dan ganti baju. Jangan sampai ada yang ngira gue nyulik anak sekolahan.” Raka mematikan televisi untuk menunjukkan keseriusannya.Gita mendengus, tapi tetap bangun. Dua puluh menit kemudian, dia muncul dengan hoodie biru dan celana jeans, lengkap dengan tote bag besar yang tampak seperti siap menyelundupkan 20 liter minyak goreng ilegal.“Siap.” Gita menyeringai.Sesampainya di supermarket
“Kamu yakin semua dokumen sudah lengkap?” tanya Gita sambil melipat selembar kertas foto keluarga yang sudah dicetak tadi malam. Tiga lembar foto: satu Gita bersama ayah dan ibunya, satu Gita bersama Raka dan kedua orang tuanya, dan satu lagi yang sedikit diedit agar terlihat formal dan bahagia.Raka merapikan kemejanya di depan cermin. “Sudah. Aku cek dua kali semalam. Yang belum lengkap cuma kesabaran kita.”Mereka berdua tertawa pelan, seolah ingin menyemangati diri. Meski begitu, Gita belum bisa menyingkirkan perasaan tidak enak yang mengganjal sejak pagi. Kantor Pencatatan Pernikahan bukan tempat menyenangkan, apalagi jika kamu harus bolak-balik melengkapi berkas pasangan baru agar mereka bisa mendaftarkan perceraian secepat mungkin. Sesuatu yang terasa tragis, jika dipikirkan oleh kacamata awam.Di kantor itu, mereka kembali duduk di ruang tunggu dengan wajah pasrah. Petugas yang sempat mereka temui sbelumnya, menyapa, “Selamat pagi. Kalian pasangan yang … kemarin, ya?”“Ya,” s