Pagi sekali,
Gita sudah berdiri di depan apartemen Raka sambil menghela napas panjang, menyembunyikan rasa nelangsa. “Sumpah ... hidup gue berubah drastis dalam 24 jam,” gumamnya. “Dari calon seniman ekspat Seoul ... jadi istri ‘resmi’ cowok yang bahkan gue belum tau golongan darahnya.” Raka membuka pintu dalam kaos oblong dan celana training, wajahnya penuh keraguan. “Kok kamu bawa koper?” Sambil cemberut, Gita menyeret koper kecilnya masuk. “Nggak usah tanya! Auraku harus tetap elegan walau dalam kehancuran!” Apartemen Raka yang biasanya sepi dan berbau kopi sachet, mendadak seperti lokasi syuting sitkom TV. Gita menata ulang apartemen minimalis itu dengan sentuhan tangannya, hingga terlihat seperti rumah sungguhan. Raka sibuk menyetrika kemeja, sementara Gita dengan rambut awut-awutan sehabis berbenah, duduk di meja makan sambil makan roti isi abon dari minimarket. “Lo serius mau pura-pura nikah di depan HRD Singapura?” Gita mengulangi pertanyaan yang sama dengan tadi malam. Itu pula yang membuatnya datang ke sini pagi-pagi untuk menyulap apartemen pria itu agar terlihat layak ditempati oleh pasangan suami istri muda. “Serius. Gue udah kerja keras 5 tahun, dan promosi ini cuma tinggal ... wawancara pasangan. HRD-nya idealis banget. Katanya, kalau mau ditempatkan di luar negeri, harus stabil di kehidupan pribadi juga.” “Wah ... jadi sekarang lo kayak ... prajurit yang wajib punya pendamping hidup sebelum dikirim ke medan perang?” “Yup. Dan lo pasangan latihan gue.” Gita mengangguk dramatis. “Baiklah, Letnan Raka. Gue siap berjuang demi nusa, bangsa, dan ... masa depan gaji lo.” Pukul 09.00 pagi. Layar laptop terbuka. Video call HRD Singapura dimulai. Seorang perempuan berwajah serius muncul di layar. “Mr. Raka Dirgantara and ... Mrs. Tara Gita Sanjana?” Keduanya saling lirik. “Iya. Kami hadir,” jawab mereka serempak, dengan senyum canggung yang lebih mirip dua orang yang ketahuan habis nyolong tahu isi di kantin. “Bagus. Kami hanya akan tanya beberapa hal ringan. Anda berdua sudah menikah sejak ... tiga hari lalu, ya?” Gita spontan menjawab, “Iya, tiga hari lalu. Tapi rasanya kayak tiga tahun.” Raka mencubit pahanya sendiri. “Maksudnya ... karena kita intensif belajar saling mengenal. Hehe.” “Bagus. Kami hanya ingin pastikan bahwa hubungan ini ... genuine.” “Genuine sekali, Bu. Saya bahkan sudah tahu kalau suami saya ini ...” Gita melirik isi kulkas, “... punya enam botol saus sambal dari tiga merek berbeda.” Raka menimpali, “Dan saya baru tahu istri saya bisa pakai sheet mask sambil makan kerupuk. Multi-tasking luar biasa.” HRD mengangguk. “Baiklah. Nanti sore kami akan hubungi kembali untuk wawancara tahap dua. Kali ini, kami akan meminta Anda menunjukkan rumah Anda sebagai tempat tinggal pasangan sah. Kami ingin lihat ... chemistry-nya.” Setelah panggilan berakhir, keduanya saling menatap, lalu jatuh ke sofa dengan napas tertahan. Lega? Belum! “Gawat. Mereka bakal datang virtual sore ini.” kata Gita putus asa. Dia yang semula mengira wawancara HRD itu hanya akan berlangsung sekali dan dalam waktu singkat saja sebagai formalitas., kini harus menelan kecewa. “Dan kita harus kelihatan ... seperti pasangan bahagia.” “Jika terus terjebak di apartemenmu, kapan akan mengurus pembatalan pernikahan ini?” tanya Gita sewot. “Besok pagi kita datang ke sana, bersama,” janji Raka. “Ada jadwal validasi data pernikahan. Kita harus datang bersama.” Gita mengingatkan. “Aku akan menjemput ke apartemenmu.” Raka memutuskan dengan segera. “Jika gagal?” Gita memandang ragu dan skeptis. “Kita langsung ke Kantor Pengadilan dan mengajukan gugatan pembatalan Nikah!” Gita merasa sedikit tenang karena Raka dapat mengatur jadwal dengan cepat dan efisien. *** Lima menit sebelum wawancara kedua HRD Singapura. Apartemen Raka sudah berubah seperti set sinetron keluarga. Di atas meja: dua gelas teh manis, sepiring pisang goreng hangat (hasil beli di depan gang), dan bingkai foto dadakan berisi selfie mereka berdua yang di-print pagi tadi. Pose: tersenyum kikuk, latar belakang wastafel bocor. “Kenapa selfie kita kayak iklan pasta gigi yang gagal audisi?” keluh Gita. Raka menyesap teh. “Karena gigi lo cuma keliatan setengah, dan gue terlalu tegang kayak orang ditodong debt collector.” *** Video call dimulai. Wajah tegas Bu Meilin dari HRD Singapura muncul di layar. "Selamat sore, Mr. Raka dan Mrs. Gita. Kami akan melakukan sesi observasi ringan. Anggap saja seperti ... home visit virtual." Gita langsung berdiri dengan ekspresi ala presenter kuliner. "Selamat datang di rumah kami! Ini ruang tamu ... tempat kami berdiskusi, berdebat soal menu makan malam, dan nonton drama Korea bareng, meskipun suami saya sering ketiduran." Raka nyengir. "Soalnya dramanya 16 episode, dan 15 episodenya isinya orang saling mandang doang." HRD Meilin tertawa kecil. "Terdengar natural. Lanjutkan." Mereka mengarahkan kamera ke dapur. Di kulkas, tempel-tempelan magnet dengan tulisan: "I Love My Spouse (Even When They Steal My Fries)" Gita mendesis, “Serius, Raka? Magnet ini lo beli tadi pagi, ya?” “Investasi masa depan,” bisik Raka. “Biar kita bisa dapat cuti pasangan ke Bali.” Pukul 16.08 - Sesi pertanyaan dimulai. "Mrs. Gita, apa kebiasaan paling aneh suami Anda?" Gita tersenyum manis. “Hmm … Dia suka nyanyi di kamar mandi, tapi lagunya selalu … jingle iklan toko elektronik.” Raka mendongak. “Hah?! Itu lagu ‘Diskon Heboh Hari Rabu’? Itu catchy, tahu!” Gita melengos mendengar jawaban spontan Raka. "Mr. Raka, apa makanan favorit istri Anda?" Raka menatap Gita lalu menjawab cepat, “Cokelat. Tapi bukan yang murah. Yang Belgia. Harus pahit sedikit, manisnya elegan. Kayak dia.” Gita tercekat sebentar. Sial. Jawaban itu terdengar tulus banget. Padahal dia tahu Raka bukan aktor. Atau jangan-jangan ...? *** Sesi wawancara selesai. Bu Meilin mengangguk puas. “Saya akan laporkan ke atasan saya bahwa Anda berdua terlihat ... cocok. Kami akan lanjutkan prosesnya. Terima kasih untuk waktu Anda.” Begitu layar laptop mati, keduanya saling menatap, kelelahan, tapi juga ... entah. Ada rasa canggung menggantung di udara. “Wah, kita hebat juga ya. Gagal dalam administrasi, sukses dalam akting,” kata Gita. Raka mengangguk. “Kita beneran ... lumayan bagus jadi pasangan bohongan.” Mereka tertawa sebentar .... lalu hening. Canggung.Gita terbangun dengan rasa asing yang tidak bisa dijelaskan. Bukan karena suara alarm, tapi karena … ada suara panci jatuh dari dapur.Dapur?Refleks dia duduk di ranjang dan melirik sekeliling keheranan. Oh iya. Bukan kamarnya sendiri. Ini … apartemennya Raka. Lebih tepatnya, apartemen mereka berdua sekarang.“Astaga,” desahnya sambil memegangi dahi. “Kenapa rasanya seperti tinggal di reality show murahan?”Ia bangkit dan menyeret kaki ke luar kamar. Begitu melongok ke dapur, ia langsung ingin balik lagi ke kasur dan pura-pura tak melihat.Raka, yang entah kenapa sudah lengkap dengan celemek bergambar ayam pakai dasi, sedang bergulat dengan wajan teflon dan telur.“Apa yang kau lakukan?” tanya Gita sinis, menyipitkan mata sambil menguap lebar.“Jangan begitu dong. Aku berbaik hati untuk membuatkan sarapan perdana kita sebagai ... yah, pasangan eksperimen,” jawab Raka, tanpa menoleh. Dia sedang sangat serius. “Kau mau omelet atau telur setengah matang?”“Aku mau kamu jauh dari dapur!”
“Sebuah pesan masuk ke ponsel Gita petang itu saat dia asik mengelus daun monstera dengan selembar tissue basah.“Kita harus bicarakan urusan tinggal Bersama ini secara serius!” Begitu pesan pesan Raka, disertai tanda seru besar dan tebal.“Enak aja. Ogah!” Sebuah balasan terkirim, disusul emotikon bibir manyun yang menurut Gita sangat menggemaskan.“Kalau gitu, selamanya kau jadi istriku … dan tidak bisa menikahi orang yang kaucintai nanti!”Sebuah pesan susulan masuk juga dengan cepat. “Pikirkan baik-baik!”“Kau kira aku seharian ini ndlosor di lantai, uring-uringan gini karena hobby? Kepalaku mau pecah mikirin keruwetan ini!” Gita berteriak kasar sambil melempar lembaran tissue yang kini sudah penuh noda debu. Gadis itu jatuh lunglai karena Lelah berpikir sehariaan. Kanvas yang tadi dia pasang di tiang, tak tersentuh sama sekali. Tube-tube cat menunggu sentuhan halus jemari Gita. Diraihnya ponsel dan menulis pesan dengan ketukan jari yang lincah. “Bagiku, semua ini tak sederhana.
“Silakan baca sendiri aturan barunya di lampiran Undang-Undang Pernikahan Negara Pasal 45A. Atau, kalau mau repot, datang saja langsung ke pengadilan untuk tahu syarat-syarat perceraian bagi pasangan baru.”Petugas itu mengucapkannya sambil menghela napas panjang, lalu menutup berkas di depannya seperti baru saja menyampaikan ramalan buruk. Ia tak peduli pada dua orang yang tengah berdebat dengan volume yang bisa membangunkan nenek moyang kantor itu.“Ayo ke pengadilan sekarang!” seru Gita, berdiri dengan semangat seperti baru mendapat misi penyelamatan dunia.“Aku harus masuk kantor! Ini hari pertamaku balik kerja!” sanggah Raka, memegangi jidatnya yang mulai cenut-cenut.“Tidak!” Petugas itu menepuk meja. “Kalian berdua harus menghadiri Pertemuan Verifikasi Pasangan Baru di lantai 3. Dua menit lagi acara dimulai. Lewat dari itu, harus daftar ulang minggu depan!”“Kami nggak butuh omong kosong seperti itu!” jawab Raka dan Gita serempak. Keduanya tampak kaget karena terlalu sering sep
Pagi sekali, Raka sudah menjemput Gita di apartemennya. Mereka harus ke kantor Catatan Sipil untuk membatalkan pernikahan itu. Berharap segalanya masih bisa diperbaiki.Raka buka suara. “Kurasa lebih baik gak usah dibatalkan lagi. Bukankah tidak lucu jika status pernikahanku tiba-tiba harus diubah lagi? Apa yang akan dikatakan Bu Meilin?” “Apakah sekarang itu urusanku? Bukankah aku juga punya hak untuk mencapai impianku ke Seoul!” Gita berkata dengan nada ketus. “Aku harus segera mengkonfirmasi status lajangku jika ingin mendapatkan posisi yang kuincar di Seoul!”Raka menyadari emosi Gita yang sedang naik pagi ini, jadi dia berhenti mendesakkan keinginannya sendiri. Apa pun yang akan terjadi, maka biarkan saja. Mengingat totalitas Gita kemarin saat mendampinginya melewati wawancara dengan HRD Kantor Pusat, rasanya sekarang adalah gilirannya mendukung Gita.“Baiklah … mari kita coba.” Raka menganggguk lalu membuang muka ke luar jendela mobil, mengamati jalanan macet, menyembunyikan ke
Pagi sekali, Gita sudah berdiri di depan apartemen Raka sambil menghela napas panjang, menyembunyikan rasa nelangsa.“Sumpah ... hidup gue berubah drastis dalam 24 jam,” gumamnya. “Dari calon seniman ekspat Seoul ... jadi istri ‘resmi’ cowok yang bahkan gue belum tau golongan darahnya.”Raka membuka pintu dalam kaos oblong dan celana training, wajahnya penuh keraguan. “Kok kamu bawa koper?”Sambil cemberut, Gita menyeret koper kecilnya masuk. “Nggak usah tanya! Auraku harus tetap elegan walau dalam kehancuran!”Apartemen Raka yang biasanya sepi dan berbau kopi sachet, mendadak seperti lokasi syuting sitkom TV. Gita menata ulang apartemen minimalis itu dengan sentuhan tangannya, hingga terlihat seperti rumah sungguhan.Raka sibuk menyetrika kemeja, sementara Gita dengan rambut awut-awutan sehabis berbenah, duduk di meja makan sambil makan roti isi abon dari minimarket.“Lo serius mau pura-pura nikah di depan HRD Singapura?” Gita mengulangi pertanyaan yang sama dengan tadi malam. Itu p
Di sisi lain JakartaApartemen sewaan di Cipete.Gita sedang menyusun katalog karya seni untuk portofolionya. Dia membuka email dari Visa Center Korea dan langsung menyipitkan mata karena satu kalimat yang melompat seperti jin keluar dari botol:Permohonan visa Anda ditolak.Alasan: Status sipil Anda tidak sesuai dengan dokumen pernyataan lajang.Dia membaca ulang. Sekali. Dua kali. Lalu tiga kali.“Ha?!”Matanya melebar seperti orang baru sadar lensa kontak dipakai terbalik.Ia membuka dokumen terlampir.Status: Menikah.Nama Suami: Raka Dirgantara.“Apa ini ... prank?!”Ia menengok ke kiri dan kanan mencari kamera tersembunyi di balik tanaman monstera di sudut ruangan.“Gak lucu! Siapa itu Raka?! Kapan gue nikah?!”***Kembali ke Raka.Dia membuka berkas. Memeriksa Akta, KTP, dan ... SK terbaru dari kantor catatan sipil. Semua resmi. Ada stempel hologram dan tanda tangan petugas."Pernikahan Sah Dinyatakan di Jakarta Selatan, antara Raka Dirgantara dan Tara Gita Sanjana ...."Raka m