Share

Bab 4 MNK : Napas Terakhirku

Jose mengangguk, meski dia tidak mengerti tempat yang disebutkan oleh Diego. Tak penting baginya, sekarang bisa berteman dengan orang kaya seperti Diego, itu bagus untuk kedepannya.

Joana, istri dari Jose mengajak Diego untuk bergabung menikmati santapan hasil dari kebun. Joana mengolah sayuran yang dia petik di kebunnya sendiri.

Diego mengangguk kecil saat mencicipi hidangan, dia memuji dalam hati masakan orang desa yang sangat kental akan rempah-rempah.

"Apa pekerjaanmu?" tanya Diego di tengah acara makan mereka. Tatapannya tertuju pada Joana.

Joana menoleh pada sang suami, kemudian menatap Diego dan menjawab, "Hanya membantu Jose di kebun."

Diego mengangguk kecil. Dia menyudahi makannya dan menatap serius pada dua orang yang ada di hadapannya. 

"Apa kau mau bekerja untukku? Aku akan membuat restoran di daerah sini, kau bisa jadi koki?"

Mata Joana berbinar, dia menatap senang dan memeluk Jose. "Aku bersedia," jawabnya sambil tersenyum menatap pemuda tampan itu. Tamu yang membawa rezeki kepada keluarga kecil Jose.

"Itu bagus," kata Diego.

Jose mengikuti Diego berkeliling dan mencari tempat untuk usaha baru yang akan dia rintis di desa itu. Diego sudah memikirkan untuk menghindar dari Abelin dan satu-satunya cara dia meninggalkan rumah itu, meski nantinya akan ada perdebatan di keluarga besar Gerardo.

"Diego, sebenarnya kenapa kau berada di desa ini?"

"Aku hanya ingin berbisnis," sahut Diego cuek.

Jose mengangguk, dia menduga pemuda tampan itu pasti kabur dari rumahnya. Dia terus menelisik penampilan Diego yang memang seperti Tuan-tuan kaya.

"Coba di Parada Store itu," tunjuk Jose pada bangunan berjajar. "Ini sudah perbatasan, akan ramai pengunjung karena dekat kota," timpal Jose kembali dengan sangat antusias.

Diego mengangguk setuju. Dia tidak menyangka Jose paham cara berbisnis.

"Aku pikir kau hanya tau berkebun," kata Diego.

Sontak membuat Jose tertawa getir. "Dulu, aku seorang Tuan kaya. Memiliki banyak outlet pakaian dan raja parfum, pada akhirnya perebutan harta. Aku tersisih karena keluargaku yang begitu kejam merebut segalanya."

Diego menatap Jose sekejap. Mereka kini berada di parkiran luas. Diego belum turun, dia menjadi penasaran tentang hidup Jose.

"Apa kau bahagia hidup seperti ini?"

Jose menatap Diego. "Ya, asal bersama orang-orang yang aku cintai," sahutnya.

"Kau sudah menikah?" Jose mendadak ingin tahu status pemuda itu.

"Belum," sahut Diego. Dia keluar dari mobil dan berjalan menuju pada kantor Parada Store.

Jose mengikuti langkah Diego. Mereka meminta tempat dan menyepakati pembayaran. Meski hanya bisa disewa, Diego tak mengurungkan niat bisnisnya. Biasanya dia selalu membeli, baginya itu lebih tepat daripada harus menyewa.

Diego dan Jose menerima kunci sebuah bangunan yang berada di tengah-tengah Parada Store. Mereka membuka dengan segera dan mengamati tata letak bangunan tersebut.

Diego menatap Jose. Segera Jose berucap, "Aku akan membagi tempat ini dengan baik. Biarkan kasir berada di depan, dengan meja yang memanjang sertakan sofa untuk bersantai."

Diego mengangguk. Mereka kemudian pergi ke toko furniture membeli beberapa meja dan kursi. Diego juga membeli lukisan mahal untuk menunjang penampilan restoran barunya. Meski terbilang kecil dibandingkan dengan restoran pada umumnya yang berada di kota. Tapi ini cukup untuk bermain dalam takdir bagi Diego.

Mereka kembali, di tengah perjalanan Diego berhenti pada outlet minuman. Cuaca yang panas membuatnya harus menenggak minuman agar kerongkongan dingin. Dia duduk dan mengamati desa tersebut, matanya memicing kala melihat ada seorang gadis yang berlari tanpa menggunakan alas kaki. Di belakangnya tak jauh, ada seorang lelaki tua yang mengejarnya dengan membawa parang serta cambuk.

"Tambah satu minuman," kata Diego. Dia meraih kacamata sensor, mengidentifikasi dari jarak jauh. Hembusan napasnya begitu berat, dia segera membayar minuman dan memasuki mobilnya yang terbuka.

Jose nampak kebingungan karena arah mobil Diego seperti ke arah pegunungan yang jalannya sedikit terjal. Dia berpegang kuat pada sisi mobil.

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Jose gugup.

"Kau tunggu di sini," perintah Diego. Dia melompat keluar mobil dan segera berlari, menghilang ke sisi hutan.

"Mau apa dia?" gumam Jose begitu khawatir.

Jose menggeledah mobil besar Diego. Entah kenapa hatinya risau. Dia menemukan dua pistol di balik jok. Tangannya bergetar, dia bergumam kecil, "Apa dia mafia?"

Lelaki tua itu memberikan sumpah serapahnya kepada gadis yang dia kejar. Meski kaki gadis itu terluka parah, dia tidak berhenti melarikan diri.

"Berhenti kau anak sialan! Turuti mauku atau kau mati!" Teriakan dari lelaki tua itu mengalihkan atensi Diego.

Diego melewati beberapa pohon yang menjulang, menghambat langkahnya. Dia sedikit heran kenapa orang berlari ke arah hutan ini. Meski begitu dia penasaran dan hendak segera menemukan perempuan tadi.

Napasnya memburu, dia memegang kepalanya dan bersembunyi di bawah semak belukar di ujung tebing. Meski berisiko, gadis itu tetap mengapit kedua kakinya dengan tangan yang gemetar ketakutan. Bahkan tangannya terasa perih dengan beberapa luka. Dia menahan napasnya, menoleh ke kanan.

"Alexa … keluar kau gadis sialan!"

Lelaki tua itu menebas ranting-ranting yang menghalangi jalannya. Bunyi ranting patah yang diinjak dan ditendang, membuat Alexa semakin mengeratkan pelukan pada kakinya. Makian demi makian membuatnya semakin ketakutan, apalagi ancaman akan dibunuh.

"Kau mencoba bermain denganku! Hah, benar-benar sialan! Kau mau mati rupanya," hardik Lukas. Wajahnya memerah karena amarah yang kian menyiksa. Dia ingin melampiaskan kekesalannya pada anak kandungnya itu.

Air mata Alexa jatuh, dia menangis dalam diam dengan kepedihan yang menyayat hati. Di desa, dia tak memiliki siapapun untuk berlindung dari keberingasan sang ayah. Hatinya hancur, dia wanita lemah dan tak mampu melawan. Tak mungkin juga baginya untuk bunuh diri, dia selalu berharap akan memiliki nasib baik kedepannya.

"Tuhan, kirim aku malaikatmu," ucapnya dalam hati.

Lukas semakin mendekat, dia menatap daun yang terdapat darah. Dia yakin itu darah Alexa, dengan seringaian Lukas berjalan mendekat. Dia menebas apa saja yang ada di hadapannya.

"Keluar atau kau mati, Alexa," desis Lukas dengan mengeratkan parang serta tali cambuk yang kuat dan kokoh.

Tali itu berulang kali dipukulkan pada tubuh Alexa. Dia sering dicambuk saat ayahnya pulang dalam keadaan mabuk. Apalagi saat kalah judi, maka Alexa lah yang akan menerima kemarahannya. Berulang kali Alexa mencoba melarikan diri, namun selalu ditangkap oleh anak buah Lukas. 

Alexa tak ingin mati, dia ingin tetap hidup dan pergi dari desa itu. Dia sudah berlari sejauh mungkin hingga memasuki desa lain. Kini harapan untuk tetap hidup hanya seujung kuku baginya. Dia tak bisa lagi lari menuju kota, kakinya terluka parah karena berlari melewati dua desa.

"Ini napas terakhirku," lirihnya menangis sambil memejamkan matanya. Dia tahu Lukas sudah dekat dengan persembunyiannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status