Clay Kazuya saudara seayah? bagaimana menurut kalian? komen ya 🥲🫰
Seketika tubuh Clay menegang. Dia bahkan tak berani menatap balik Kazuya. Hal yang dia takuti kini terjadi. Apa yang harus Clay lakukan sekarang? Terdengar hembusan nafas berat dari bibir Kazuya. “Haruskah aku melanggar batasan yang ada agar bisa hidup bersamamu?” ucapnya lirih sarat akan rasa sedih dan luka yang mendalam. Kabar kehamilan begitu membuatnya terkejut sekaligus bahagia. Namun mengingat kembali kenyataan akan status mereka yang berbeda meski masih terikat pernikahan, tak urung membuatnya sedih. “Kamu tak perlu melakukan itu. Cukup aku yang pergi! Aku tak ingin membuat Oma Bertha dan Tuan Martin ikut menanggung aib atas dosa yang kulakukan.” Suara Clay terdengar sangat lirih, selanjutnya dia kembali menangis sesenggukan. Kazuya terenyuh mendengar jawaban itu. Tak tahan melihat wanitanya menangis, segera dia merengkuh tubuh lemah itu dalam pelukannya. “Please, aku ingin menanggungnya bersama. Kita bisa hidup bersama di satu tempat, tanpa orang lain tahu. Dan aku yakin,
“Apa anda suaminya?” tanya seorang petugas puskesmas.Hasan yang masih setia mengikuti cucu majikannya, sontak terkesiap. Bola matanya melebar sempurna.“Ya, dimana sekarang dia, sus?” ucap Kazuya tanpa sadar telah membuat Hasan terperangah. Dia sudah tak peduli dengan status yang ada, bahkan sampai saat ini Clay masih sah menjadi istrinya. Mereka belum bercerai bukan?“Istrinya sedang dirawat, Mas. Mari saya antar!”Kazuya mengikuti langkah suster dengan rasa tak sabar. Dalam kondisi seperti ini, dia sudah tak memperdulikan keberadaan Hasan yang masih tertegun di tempat. Entah apa yang ada dalam pikiran pria tua itu. Fokusnya tertuju pada Clay. Hanya Clay seorang.“Silahkan, istri anda ada di dalam. Kondisinya sudah mulai membaik.”Tanpa menjawab, Kazuya bergegas masuk dalam ruangan terdiri dari empat bilik sederhana yang dipisahkan oleh tirai putih.Suara rintihan pelan, bisik-bisik dari beberapa keluarga yang menunggu pasien mengisi penjuru ruang sempit itu. Kazuya melangkah dengan
“Aku berniat akan melanjutkan study di luar negeri. Dengan begitu aku bisa menjaga batasanku. Jika aku masih berada disini, justru aku takut akan menyakitimu.”Clay terkesiap, matanya melebar tak berkedip.“Jangan pergi, Kaz! Aku tak ingin kamu pergi!” Tentu jawaban itu hanya terucap di benak Clay. Kenyataan yang terjadi kata-kata itu tertahan di ujung lidah.Clay menjawab dengan mengangguk samar, seakan menyetujui niatan Kazuya. Sebelum akhirnya kembali menunduk. Tak ada satu katapun keluar dari bibirnya.“Sampai kapanpun aku tak bisa mengubah cintaku, Clay. Bagiku, kau tetaplah wanitaku meski kenyataannya kau kakakku,” tutur Kazuya lirih diakhiri tawa sumbang.Clay merasa netranya memanas. Namun dia tetap berusaha menahan diri agar tidak menangis.Ucapan Kazuya masih terngiang-ngiang di pikiran Clay. Walau kini dia sudah berada di dalam kamar. Air mata yang sedari tadi ditahan, kini tumpah seketika. Clay menangis sesenggukan menumpahkan rasa sesak yang menghimpit rongga dadanya.Kep
Tangan Clay refleks menggenggam ujung tirai. Hujan seakan memanggilnya, seperti suara keras yang tak bisa diabaikan. Clay menoleh ke daun pintu, lalu kembali memandang ke jendela. Kakinya mulai bergerak sendiri. Satu langkah. Dua langkah, mengikuti kata hati yang menuntunnya hingga ke depan pintu utama. Waktu sudah lewat tengah malam. Suasana di rumah megah itu tampak sepi. Sepertinya penghuni rumah sudah tertidur, termasuk Hasan yang biasanya bertugas menjaga rumah, tak terlihat di manapun. Jemari Clay sudah menyentuh gagang pintu, namun seketika dia tersadar akan tindakannya yang berlebihan. Akhirnya mengurungkan niatnya untuk menghampiri Kazuya. Dia tak ingin pria itu salah mengartikan sikapnya yang terkesan peduli. Namun ketika kakinya hendak menaiki anak tangga, lagi-lagi suara petir menggelegar memecah kesunyian malam. Langkah Clay terhenti. Rasa bimbang kembali merasuki pikirannya. Setelah berbulan-bulan tak bertemu dengan Kazuya, pertemuan itu menitikkan rasa rind
Tubuh ringkih terasa lebih kurus dari terakhir kali Kazuya lihat, membuat hatinya semakin teriris nyeri. Ini membuktikan bagaimana beratnya perjuangan Clay untuk bertahan hidup di sini.Kazuya memejamkan mata, mengeratkan pelukannya. Nafasnya berat tersendat, seolah mencoba menarik kembali waktu. Kerinduan yang sudah menabrak logika dan kesadarannya akan siapa wanita yang ada dalam pelukannya ini.“Aku.. Aku kangen..” bisik Kazuya lirih, nyaris tak terdengar. Ia tahu ini salah. Rasa cinta terlarang yang dia miliki tak seharusnya ada. Namun kerinduan yang sudah ditahan selama berbulan-bulan, membuat akal sehatnya hilang.Clay terkejut, tubuhnya menegang sesaat. Tapi ia tak bergerak, tak menolak. Rasa cinta yang dulunya sempat dia tepis, kini terasa semakin nyata. Mengapa rasa cinta itu muncul semakin kuat, justru ketika dia menyadari jika lelaki yang tengah memeluknya adalah adik kandungnya sendiri?Clay menggigit bibir bawah, menahan rasa haru yang hendak membobol benteng pertahananny
“Elodie?” ucap Bertha dan Kazuya bersamaan. Hal itu semakin membuat Amira bingung. Apa ada yang salah dengan nama Elodie? “Dimana kamu melihatnya? Apa Clay ada di sini?” tanya Bertha seraya meraih tangan Amira, seakan menuntut jawaban secepatnya. “Clay?” Amira terdiam sejenak, berusaha mengingat sesuatu. Hingga dia pun paham akan ucapan wanita paruh baya di hadapannya ini. Bukankah Clay adalah nama panjang Elodie, wanita yang kini sudah menjadi temannya di desa ini? Amira mengangguk, “Elodie, hum maksudku Clay memang pendatang baru di sini..” “Katakan dimana aku bisa menemui cucuku, Mira!” pungkas Bertha dengan rasa tak sabar. Berbulan-bulan mencari keberadaan cucu perempuannya hampir ke seluruh sudut kota dan sungguh tak menyangka jika Clay justru memilih desa ini untuk bersembunyi. “Di-dia tinggal di kontrakan depan Bu, di pagi hari dia berjualan nasi kuning di pasar,” jelas Amira masih dengan ekspresi bingungnya. Amira sempat mendengar Bertha menyebut cucu, apakah itu artin