LOGIN“Aku mau kita akhiri hubungan ini!” tegas Clay yang berusaha menahan diri agar tidak menangis. Menghadapi kenyataan pahit jika kekasihnya justru menjalin hubungan gelap dengan wanita lain, membuat hatinya hancur. Sangat hancur!
“Ok, gak masalah! Sebenarnya sudah lama juga aku ingin putus!” jawab Rafael tanpa rasa bersalah sedikitpun. Matanya menatap pada wanita yang sudah dua tahun ini menjadi kekasihnya, lalu beralih pada pemuda jangkung yang berdiri di belakang Clay. Mendengar jawaban Rafael, semakin membuat jantung Clay terkoyak, dadanya terasa sesak. Bahkan pria itu tak merasa bersalah sedikitpun telah menjalin hubungan dengan adik tirinya sendiri. Tatapan Clay beralih pada wanita berusia dua puluh tahun yang duduk di depannya. “Pevi, apa kau tidak ingin mengatakan sesuatu? Apa salahku sama kamu, hingga kamu tega mengambil pacar kakakmu ini, hah?!” Amarah Clay semakin memuncak ketika melihat adiknya itu justru bersikap santai. Bahkan sengaja menggulung rambut panjangnya agar Clay bisa melihat jejak cinta yang diukir oleh Rafael beberapa menit lalu. “Jangan salahin aku, Clay! Kau yang tak pintar menjaga pacarmu! Sebenarnya hubunganku dengan mas Rafael sudah terjalin satu tahun,” ucap Pevita dengan santainya, lalu beralih menatap pria yang duduk di sisinya. “Iya kan, mas?” Apa? Satu tahun? Sungguh Clay tak menyangka jika alasan Rafael berubah, tak lain adalah karena hubungannya dengan Pevita. “Jangan salahkan adikmu! Dia tak salah sama sekali! Yang salah itu dirimu sendiri, Clay! Selama ini kau selalu menolak jika aku memintamu untuk melayaniku. Pevita berbeda, dia tahu apa kebutuhanku!” Lagi-lagi kenyataan yang membuat hati Clay serasa diremas. Sakit! Rafael berselingkuh hanya karena dirinya tak ingin melakukan hubungan badan karena status mereka yang belum menikah? Sungguh di luar dari dugaan Clay selama ini. Tak ingin berada lebih lama dalam suasana menyakitkan itu, Clay pun beranjak berdiri. “Kalian tidak perlu khawatir. Aku tetap pada pendirianku, Mas. Jika tak akan ada hubungan badan sebelum pernikahan itu terjadi. Namun kini kau sudah merusak kepercayaan ku.” Clay menghirup nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa sakit di dadanya, sebelum melanjutkan ucapannya. “Jika kau bisa memiliki kekasih lain, maka aku juga bisa. Aku akan menikah dengan kekasih baruku!” Clay berucap tanpa memikirkan resiko dari ucapannya itu. “Kekasih baru?” tanya Rafael dengan senyum menghina. “Mana tunjukan kekasih barumu! Aku hanya ingin melihat pria kurang beruntung itu!” Kazuya yang sedari tadi berdiri diam, kini mulai melangkah maju. Mungkin saja kekasih baru yang dimaksud Clay saat ini adalah dirinya. Dengan penuh percaya diri, Kazuya meraih bahu Clay. “Sayang, ayo lekas kemasi barang-barangmu! Aku sudah tidak betah berada di tengah-tengah dua orang tak tahu malu ini!” ucap Kazuya seraya menatap lembut wajah cantik Clay yang tampak terkejut dengan tindakannya itu. “A-apa maksudnya, Kaz?” Clay sengaja mengecilkan suara agar kedua orang tak tahu malu itu, tak mendengar ucapannya. Bukannya menjawab pertanyaan Clay, Kazuya justru tersenyum penuh arti. “Apa kamu lupa kalau kita akan menikah, sayang?” “Apa?? Apa aku gak salah dengar? Kau ingin menikahi si kunyuk ini?” Rafael tampak terkejut dengan kabar mendadak yang didengar barusan. Hingga beranjak dari kursi dengan mata mendelik. Berada dalam situasi terhimpit, membuat Clay harus menjalankan sandiwara yang telah dibuat. Selama ini, dia sengaja menjaga hatinya hanya untuk Rafael. Berharap hubungan mereka akan berakhir ke jenjang pernikahan. Namun di tengah jalan, justru dirinya mendapatkan pengkhianatan ini. “Ya, aku dan kekasihku akan menikah, Mas! Aku harap kamu bisa mengerti,” ucap Clay seraya meraih tangan Kazuya dan membawanya pergi menjauh. “Siapa sih pemuda itu, Pev? Apa kamu tahu siapa dia? Maksudku sejak kapan kakakmu itu memiliki kekasih lain?” Sayup-sayup suara Rafael masih terdengar di telinga Clay. Namun dia tak ingin menoleh ke belakang. Niatnya sekarang adalah pergi menjauh. Menghapus rasa cintanya untuk Rafael yang jelas-jelas sudah berkhianat. Clay sengaja menggunakan alasan itu, agar Rafael bisa merasakan kesakitan yang sama ketika mendapati kekasihnya berkhianat. *** Kazuya kini berada di dalam sebuah kamar yang dipenuhi dengan aksesoris wanita. Ini kali pertamanya dia berada di kamar seorang wanita. Kamar berukuran sempit, dengan ranjang berukuran kecil. Tak banyak fasilitas yang tersedia di kamar sempit itu. Hanya sebuah lemari kayu satu pintu yang ukurannya sangat kecil, juga meja kecil berisi tumpukan buku. Sungguh kamar ini bahkan lebih buruk dari kamar pembantu di rumah Kazuya. “Clay, apa kamu serius akan pergi dari sini?” tanya Kazuya melihat Clay tengah memindahkan baju-bajunya dalam sebuah koper. Tak ada sahutan dari bibir wanita itu, selain hanya isakan tangis tertahan dengan bahu terguncang. Kazuya melangkah mendekati wanita yang dia tahu sedang mengalami patah hati. Entah apa yang ada dalam hatinya saat ini, begitu campur aduk. Haruskah dia bersedih melihat wanita pujaannya menangis? Namun mengapa justru ada setitik rasa lega di hatinya. Apa itu karena langkahnya untuk mendapatkan Clay akan terbuka lebar, setelah apa yang terjadi? “Clay, kamu..” “Pergi! Pergi jauh-jauh!” pungkas Clay seraya mengibas tangan Kazuya yang menyentuh pundaknya. Kazuya terhenyak untuk sesaat. Tak menyangka wanita itu akan mengusirnya dari sini. Namun entah mengapa ada keinginan dalam hatinya untuk tetap bertahan di sisi wanita ini. Meskipun Kazuya hanyalah orang luar, dan tak seharusnya terlibat dalam masalah ini. Kembali terngiang olehnya akan kata-kata Clay tadi. Menikahi kekasih baruku? Apakah itu artinya Clay mau menikah dengannya? Kazuya yang masih tenggelam dalam pikirannya sendiri, tiba-tiba terkesiap saat wanita pujaannya itu memutar tubuh dan memeluknya. “Huuu…huuu…hiks…hiks..” Tangis Clay pecah seketika dalam dekapan pemuda itu. “Apa salahku hingga dia memperlakukanku seperti ini, Kaz?” Pertanyaan yang Kazuya sendiri tak tahu jawabannya. Namun mengingat alasan yang sempat dia dengar dari mulut Rafael, kini Kazuya tahu mengapa Clay dikhianati. Bukankah karena Clay menolak berhubungan badan sebelum adanya ikatan pernikahan? Akan tetapi, haruskah Kazuya menjawab pertanyaan Clay? Bukankah itu justru menambah luka mendalam di hati sang wanita pujaan? “Kamu orang baik, gak seharusnya diperlakukan seperti ini. Justru dialah yang gak layak untuk menjadi bagian hidupmu!” ujar Kazuya sembari membalas pelukan sang wanita. Dia bisa merasakan tubuh Clay yang bergetar, juga air mata berurai yang mulai membasahi kaos depannya. Clay kembali menangis sesenggukan. Menumpahkan rasa sakit yang sedari tadi dia tahan. Ya, kedua orang pengkhianat itu akan tertawa jika dirinya terlihat lemah. Kazuya dengan sabar memberi waktu untuk Clay mencurahkan perasaan sedihnya. Menemani hingga tangis Clay reda setelah beberapa menit berlalu. “Maafkan aku, Kaz! Gak seharusnya kamu melihat hal ini.” Clay melepaskan diri dari dekapan Kazuya. Mengusap jejak air mata di pipinya lalu kembali melanjutkan untuk mengemasi baju dan barang-barangnya. Clay tahu, di rumah ini sudah tak ada satu orang pun yang peduli akan perasaannya. Tak mungkin mendapatkan simpati dari ibu tirinya. Justru wanita itu akan menertawakan akan nasib buruknya. Setelah menimbang-nimbang beberapa kali, Kazuya akhirnya memutuskan untuk menjadi bagian dari hidup wanita pujaannya. Dengan langkah pasti, Kazuya kembali melangkah mendekati Clay. “Ayo kita menikah!” ***“Kau bicara apa tadi?” tanya Martin memastikan. Meski suara Kazuya terdengar lirih, namun telinganya mampu menangkap.Kazuya kembali menoleh ke belakang.“Apa papa ingat Helena, atasanku?”Martin langsung mengangguk, “apa yang dia lakukan? Kenapa kau menduga dialah orangnya, Kazuya?”Kazuya menghela nafas panjang. Sebenarnya dia enggan membicarakan hal ini pada Martin, namun tak memungkinkan lagi dirinya untuk menyembunyikan permasalahan itu. Kazuya harus mengungkap alasan yang kuat di balik dugaannya.Dari semua kemungkinan, hanya Helena yang paling masuk akal. Dialah satu-satunya orang yang memiliki alasan juga keberanian melakukan hal sekeji itu. “Aku bermasalah dengannya. Dari awal bekerja di pabrik itu, aku melihat sikapnya berbeda,” ucap Kazuya mengawali penjelasan.Salah satu alis Martin terangkat, “apa maksudmu atasanmu itu menyukaimu?” tebak Martin.“Aku tidak tahu, Pa. Hanya saja dia menunjukkan perhatian lebih.”“Apa dia sakit hati karena ternyata kau sudah memiliki istri?
“Ikut aku! Aku butuh bantuanmu untuk mencarinya!” perintah Kazuya seraya memacu langkahnya.Bastian mengambil kembali ponselnya dari tangan Felicia. Tanpa berucap, segera melangkah membuntuti Kazuya.“Hei, tunggu!” panggil Felicia, namun Bastian tak menoleh sedikitpun.Hingga langkah Kazuya tiba di depan pintu gerbang, matanya menangkap keberadaan mobil mewah milik Martin yang terparkir tak jauh dari sana.Kondisi langit sudah gelap. Minimnya penerangan jalan, tak menghalangi Kazuya untuk tidak mengenali mobil itu. Apalagi wajah seorang pria paruh baya yang terlihat dari sisi jendela setengah terbuka.“Tuan Kazuya, tunggu sebentar. Aku akan menghubungi orang yang saya tugaskan menjaga. Kemungkinan dia tahu tentang keberadaan Nona..”Ucapan Bastian terhenti kala tangan Kazuya terulur ke depan, sebagai isyarat untuk diam.Perlahan kakinya melangkah mendekat ke sisi mobil. Martin tadinya sibuk dengan ponselnya, ketika mendengar langkah kaki mendekat sontak mengalihkan tatapannya keluar j
Langkah Kazuya terhenti di ambang pintu kamar. Kondisi pintu yang tak sepenuhnya tertutup, memantik rasa curiga di hatinya. Jantungnya berdegup lebih cepat, ada firasat yang tak bisa dijelaskan. “Sayang..” panggil Kazuya seraya mendorong daun pintu perlahan. Pandangannya langsung menyapu ke dalam kamar. Kasur dalam kondisi kosong, selimut terlipat rapi dan kipas angin pun masih menyala. “Clay, sayang..” Kazuya masih terus memanggil, memacu langkahnya menuju kamar mandi. “Sayang, kamu di dalam?” ucapnya, berharap Clay berada di dalam. Namun tak ada jawaban. Tanpa mengulur waktu lagi, Kazuya meraih gagang kamar mandi lalu mendorongnya hingga terbuka. Menyalakan lampu penerangan. Tak ada Clay di sana. Hening menyelimuti keadaan sekitar. Kazuya bergerak mundur, meraih ponsel dari saku celana. Mencari kontak sang istri dan berusaha menghubunginya. Dering telepon terdengar dari dalam laci meja. Kazuya tersentak, pandangannya langsung tertuju ke arah meja di sisi ranjang. Perlahan t
Langkah-langkah mereka bergema di lorong pabrik yang panjang. Suara mesin berdengung, bercampur dengan aroma logam yang panas dan serat kain yang khas, memenuhi udara sekitar.Kazuya melangkah paling depan, suaranya terdengar tenang saat menjelaskan setiap area yang mereka lalui.“Ini tempat produksi utama,” ucapnya singkat tanpa ada niat untuk menjelaskan secara detail.Martin hanya diam, tak menjawab. Bukannya memperhatikan proses produksi yang berlangsung, Martin justru menatap punggung tegap Kazuya. Rasa sesal itu kembali menyeruak, menusuk dadanya. Dalam hitungan hari, hubungan yang dulunya begitu erat kini seolah terputus. Putra yang dulu begitu dia jaga, kini terlihat seperti orang asing. Sementara itu, Bastian yang berjalan paling belakang turut merasakan kecanggungan itu, namun memilih untuk diam.Hingga langkah mereka berakhir di bagian gudang pengepakan barang.“Ini tempat terakhir. Semua hasil produksi akan di simpan di sini, sebelum nantinya didistribusikan,” ucap Kazuy
“Papa..” panggil Kazuya lirih hampir tak terdengar. Melihat kembali wajah pria yang selama ini dianggap ayahnya, cukup membuat hatinya mencelos.Di sisi lain, Martin tampak mematung untuk sesaat. Namun dalam hitungan detik raut wajahnya kembali dingin, segera mengalihkan pandangannya ke depan.“Maaf nyonya Helena, Tuan Martin,” sapa sang kepala gudang seraya menunduk hormat. “Maaf kami mengganggu waktu anda, saya hanya..”“Gery, duduklah! Ajak Kazuya masuk dan.. tutup pintunya!” perintah Helena yang langsung dituruti oleh kepala gudang.Kini Kazuya terjebak dalam situasi yang tak diinginkan. Dari awal ingin menghindar, namun justru orang yang dihindari telah muncul di hadapannya.Kazuya duduk di sofa memanjang di sudut ruangan, sementara Martin duduk di kursi depan meja kerja Helena, dengan Bastian yang berdiri di belakangnya.“Maaf obrolan kita terjeda Tuan Martin,” ucap Helena kembali duduk di kursi. Tangannya mulai bergerak di atas papan keyboard. “Sejak tiga bulan terakhir, produk
“Maaf Nyonya Helena, saya rasa itu tidak mungkin. Saya tahu betul seperti apa suami saya. Dia tidak mungkin..” “Kau pikir suamimu itu lurus-lurus aja?” Helena memotong ucapan Clay, tersenyum remeh. “Sudahlah, kita itu harus hidup sesuai realita. Tak ada lelaki jujur di dunia ini, kita harus terima itu.” Clay mengulas senyum tipis, berusaha menunjukkan sikap setenang mungkin meski dadanya berdebar tak menentu. Meski hatinya berusaha menyangkal ucapan Helena tidaklah benar, namun tetap saja pikiran negatif kembali meracuni. “Saya tetap percaya sama suami saya. Kebetulan anda datang kemari, saya bermaksud ingin mengembalikan paket yang anda kirim tadi pagi,” ucap Clay seraya melangkah menuju pintu kamarnya. Namun saat hendak meraih gagang pintu, Helena kembali memanggilnya. “Hei tunggu!” Helena melangkah menghampiri. “Maksud kedatanganku kali ini ingin memberi tawaran kerja untuk suamimu. Tentunya dengan gaji yang lebih besar.” Clay terdiam untuk sesaat, sebelum akhirnya memut







