‘Plaaakkk!!’
Tangan kanan Clay mendarat di pipi Kazuya. Membuat pipi kiri pemuda itu memerah. Rasa perih akibat tamparan yang cukup keras, tak membuat Kazuya terpancing amarah. Justru mengulas senyum tipis dan mengabaikan rasa sakit itu. “Kita memang sudah menikah. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya melakukan hal di luar dari keinginanku!” elak Clay seraya mengusap permukaan bibir dengan punggung tangannya lalu membuang pandangannya ke samping. Suasana mendadak hening. Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Kazuya. Bahkan pemuda itu tak juga berpindah posisi. Mengungkung sang istri dengan meletakkan kedua tangan di sisi tubuh Clay. Dalam posisi sedekat ini, Clay bisa merasakan hembusan nafas Kazuya dengan aroma alkohol yang begitu kental. Sontak kembali mengalihkan tatapannya ke arah pemuda itu. “Apa kau minum alkohol?” Pertanyaan yang tak memerlukan jawaban, namun Clay hanya ingin memastikan. Kazuya tak menjawab, justru semakin intens memandang wajah cantik sang istri dengan tatapan kagum. “Cantik..” gumamnya seraya mengusap lembut pipi Clay. Namun lagi-lagi hanya mendapatkan penolakan. Dengan sekuat tenaga Clay mendorong dada pemuda itu hingga terjungkal di sisi ranjang. Clay bergegas melangkah ke arah pintu yang masih dalam kondisi setengah terbuka. “Keluar dari kamar ini, sekarang!” tegas Clay dengan intonasi tinggi sembari melebarkan daun pintu. Bukannya menuruti keinginan sang istri, Kazuya justru memposisikan dirinya tidur terlentang. “Kita sudah resmi menikah, gak ada salahnya kita tidur satu kamar, kan?” ucap Kazuya sekilas menatap ke arah pintu, sebelum akhirnya memejamkan mata. Clay menghela nafas panjang. Rasa lelah membuatnya tak ingin larut dalam perdebatan. Wanita itu tahu bagaimana sifat Kazuya yang sulit untuk diatur. Tak ingin menuruti permintaan Kazuya, akhirnya Clay memutuskan untuk keluar kamar seraya menenteng tas hitam berisi laptop miliknya. “Mau kemana, sayang?” Mendengar pertanyaan Kazuya membuat langkah Clay terhenti. “Jika kamu ingin tidur di sini, aku akan tidur di luar,” jawab Clay tanpa menoleh ke belakang, sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkahnya keluar kamar. “Sial! Gimana nasib Joni gue?” gerutu Kazuya kesal seraya membuang bantal ke sembarang arah. *** “Sebelum sarapan, kamu harus tanda tangani ini!” Clay menyodorkan beberapa lembar kertas ke hadapan sang suami. Mulut Kazuya yang sudah terbuka lebar siap untuk menikmati nasi goreng buatan istri tercinta, sontak kembali terkatup. Kedua alisnya bertaut, memandang kertas juga wajah Clay secara bergantian. “Apa ini?” “Surat perjanjian nikah. Aku beri kamu waktu sepuluh menit untuk membacanya.” Clay meletakkan lembaran kertas di hadapan Kazuya setelah menggeser piring di hadapannya. “Maksudnya? Aku gak ngerti! Bukankah kita sudah saling mengikat janji pernikahan kemarin, lalu ini?” Raut wajah Kazuya tampak bingung. Kepalanya mendadak pening, ketika matanya melihat tulisan-tulisan yang begitu banyak. Clay menghela nafas singkat sebelum menjawab, “makanya baca dulu, biar kamu paham! Setelah itu tanda tangani!” “Bagaimana kalau aku gak setuju?” Kazuya mengalihkan pandangannya pada sang istri. Sekilas dia telah membaca poin pertama yang berisi tentang merahasiakan status pernikahan mereka dari rekan-rekan di kampus juga orang-orang di luaran sana. “Kamu harus setuju, ini demi kebaikan kita berdua,” ucap Clay seraya melangkah menuju kitchen set. Mengambil dua gelas dan mengisinya dengan air putih. “Kebaikan kita? Apa kamu malu memiliki suami seperti aku?” Clay terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang bisa membuat suaminya itu paham akan maksudnya. Setelah mengisi gelas dengan air minum, Clay melangkah kembali menuju meja makan. Menaruh satu gelas di samping piring milik Kazuya, lalu kembali duduk. “Bukan seperti itu. Aku hanya tak ingin..” “Punya suami lebih muda?” pungkas Kazuya sebelum Clay menyelesaikan ucapannya. “Ayolah, sayang! Jangan seperti itu. Usia hanyalah angka, tidak ada yang salah dengan pernikahan ini.” “Apa kau tidak merasa malu memiliki istri yang usianya lebih tua?” “Buat apa malu? Banyak kok artis-artis yang menjalani pernikahan dengan perbedaan usia seperti kita, tapi tetap langgeng,” bantah Kazuya seraya mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap serius. “Tujuanku sudah aku dapat, kini hanya tinggal membuatmu jatuh cinta padaku!” Clay terdiam untuk beberapa saat. Memikirkan cara agar Kazuya mau menandatangi surat perjanjian yang telah dia ketik selama semalaman. “Jika kamu ingin aku belajar mencintaimu, maka buat aku bahagia dengan bersedia menandatangi surat perjanjian ini!” tegas Clay lalu segera memutuskan kontak mata. Mengambil sendok dan mulai menikmati sarapannya. “Baiklah, beri aku waktu untuk berpikir.” Kazuya mengambil lembaran kertas, lalu menggantinya dengan piring miliknya. Menikmati menu sarapan sederhana yang dibuat oleh tangan istri tercinta, tentu menjadi awal yang baik dalam perjalanan cinta mereka. Sesuai dengan dugaannya, masakan sang istri sangatlah enak. Kazuya menghabiskannya dalam waktu singkat. “Udah cantik, jago masak lagi! Memang bener, gue gak salah pilih istri,” gumam Kazuya dengan suara kecil, namun masih bisa tertangkap di pendengaran Clay. Sebuah pujian yang jarang dia dapatkan dari Rafael dulu. Meski tak jarang Clay membuatkan sarapan untuk Rafael dulu ketika hubungan mereka terjalin hangat. Mencintai sendirian itu melelahkan. Kenapa Clay terlambat menyadarinya? Rafael yang selalu dia banggakan di depan teman-temannya, namun tak pernah dia mendapatkan perlakuan serupa dari mantan kekasihnya itu. Saat tenggelam dalam pikirannya sendiri, Clay tak menyadari jika Kazuya telah berdiri di belakangnya. “Sayang, kok melamun? Gak dihabisin makannya?” Clay terkesiap, segera menoleh ke sumber suara. Namun saat hendak memutar wajahnya, justru Kazuya mendaratkan sebuah ciuman singkat di pipinya. Bola mata Clay melebar sempurna. Bersiap untuk memaki, namun mendadak lidahnya kelu. “Gak perlu mikirin dia lagi. Cukup pikirkan aku saja!” Astaga, mengapa suaminya itu bisa menebak apa yang ada di pikiran Clay saat ini? Apa raut wajahnya sangat terlihat? “Jangan sok tahu! Aku cuma mikirin materi diskusi untuk kelas hari ini,” elak Clay seraya menggeser posisinya sedikit menjauh. “Percayalah, aku gak bakal ngelakuin hal yang sama dengan apa yang mantanmu itu lakuin.” “Sudahlah, Kaz. Gak perlu dibahas!” Clay beranjak dari posisinya. Mengumpulkan peralatan makan, hendak membawanya ke dapur. Namun sebelum meninggalkan meja makan, Clay kembali berucap, “segera tandatangani surat perjanjian itu!” Seperti kerbau dicocok hidungnya, Kazuya segera menandatangani surat perjanjian itu tanpa terlebih dulu membaca isi di dalamnya. Kini mereka telah berada di lantai bawah, hendak berangkat ke kampus. Kazuya meminta sang istri untuk pergi bersamaan, namun dengan tegas Clay menolak. “Ingat poin ke tujuh, jangan terlihat bersama ketika berada di luar.” “Hah? Memangnya ada poin itu?” tanya Kazuya dengan raut wajah tak terima. Hubungan apa ini? Jika berada di luar tidak diperbolehkan bersamaan? Bahkan setelah kejadian semalam, Kazuya sudah bisa menerima. Dia akan menunggu hingga Clay siap. “Makanya sebelum tanda tangan, baca dulu!” Clay kembali melangkah, bahkan mengabaikan panggilan dari sang suami yang sudah bersiap di atas motor sportnya. Tepat ketika langkahnya tiba di sisi jalan besar, sebuah busway berhenti. Clay bergegas memasuki bus. Keadaan bus yang sarat akan penumpang, membuat Clay harus berdiri. Menopang tubuhnya dengan satu tangan yang memegang gantungan berwarna kuning. Baru beberapa meter berjalan, tiba-tiba bus berhenti mendadak. Membuat Clay hampir jatuh. Sebuah lengan mencengkeram pinggangnya begitu erat. Clay terkesiap, dan siap memaki orang kurang ajar yang berani memegang tubuhnya sembarangan. Namun saat matanya menangkap sosok pemilik tangan itu, matanya membeliak. Tak menyangka akan bertemu dengan lelaki yang ingin dia hindari, di waktu yang tidak tepat. ***Selamat malam 🤍 Terima kasih yang sudah mampir ke karya ini. Jika kalian suka, bisa tulis komentar kalian serta dukung karya ini 🫶
Tubuh ringkih terasa lebih kurus dari terakhir kali Kazuya lihat, membuat hatinya semakin teriris nyeri. Ini membuktikan bagaimana beratnya perjuangan Clay untuk bertahan hidup di sini.Kazuya memejamkan mata, mengeratkan pelukannya. Nafasnya berat tersendat, seolah mencoba menarik kembali waktu. Kerinduan yang sudah menabrak logika dan kesadarannya akan siapa wanita yang ada dalam pelukannya ini.“Aku.. Aku kangen..” bisik Kazuya lirih, nyaris tak terdengar. Ia tahu ini salah. Rasa cinta terlarang yang dia miliki tak seharusnya ada. Namun kerinduan yang sudah ditahan selama berbulan-bulan, membuat akal sehatnya hilang.Clay terkejut, tubuhnya menegang sesaat. Tapi ia tak bergerak, tak menolak. Rasa cinta yang dulunya sempat dia tepis, kini terasa semakin nyata. Mengapa rasa cinta itu muncul semakin kuat, justru ketika dia menyadari jika lelaki yang tengah memeluknya adalah adik kandungnya sendiri?Clay menggigit bibir bawah, menahan rasa haru yang hendak membobol benteng pertahananny
“Elodie?” ucap Bertha dan Kazuya bersamaan. Hal itu semakin membuat Amira bingung. Apa ada yang salah dengan nama Elodie? “Dimana kamu melihatnya? Apa Clay ada di sini?” tanya Bertha seraya meraih tangan Amira, seakan menuntut jawaban secepatnya. “Clay?” Amira terdiam sejenak, berusaha mengingat sesuatu. Hingga dia pun paham akan ucapan wanita paruh baya di hadapannya ini. Bukankah Clay adalah nama panjang Elodie, wanita yang kini sudah menjadi temannya di desa ini? Amira mengangguk, “Elodie, hum maksudku Clay memang pendatang baru di sini..” “Katakan dimana aku bisa menemui cucuku, Mira!” pungkas Bertha dengan rasa tak sabar. Berbulan-bulan mencari keberadaan cucu perempuannya hampir ke seluruh sudut kota dan sungguh tak menyangka jika Clay justru memilih desa ini untuk bersembunyi. “Di-dia tinggal di kontrakan depan Bu, di pagi hari dia berjualan nasi kuning di pasar,” jelas Amira masih dengan ekspresi bingungnya. Amira sempat mendengar Bertha menyebut cucu, apakah itu artin
Jam tiga pagi. Dunia masih terlelap dalam gelap yang pekat. Langit di luar jendela tampak kelam, belum ada semburat jingga, ayam pun belum berkokok.Di sudut ruangan sempit, sebuah kasur tipis bersandar langsung ke lantai yang dingin. Clay menggeliat pelan, tangan kirinya refleks mengusap perutnya yang mulai membuncit. Kadang masih sulit dipercaya bahwa ada kehidupan kecil di dalam dirinya, apalagi di saat hidupnya terasa begitu kosong.“Sayang.. Kita harus bangun! Ibu harus berjualan,” bisiknya pelan, seolah janin itu bisa mengerti dan menjawab.Dengan gerakan perlahan, ia duduk. Menarik nafas panjang lalu menapakkan kakinya ke lantai. Menahan rasa pegal di punggungnya juga perutnya yang terasa berat. Udara di dalam kamar terasa dingin menusuk kulit. Clay merapatkan jaket tipisnya yang dipakainya semalaman lalu segera beranjak menuju sisi jendela. Menyingkap tirai, membuka jendela membiarkan udara pagi yang dingin masuk ke dalam ruangan, sebelum akhirnya bergegas ke dapur mungil di
Bertha masih menunggu jawaban Kazuya, akan tetapi cucunya itu hanya diam. Namun hanya dengan melihat raut wajah Kazuya, Bertha sudah paham akan jawaban yang sebenarnya. “Tak perlu dijawab kalau kamu tak ingin menjawabnya, Kaz. Oma paham!” ucap Bertha ketika melihat cucunya justru memutuskan kontak mata. Suasana dalam mobil mendadak sunyi. Bertha mencari posisi nyaman, lalu mulai memejamkan mata. “Apa Oma marah jika aku menjawab jujur?” Mendengar suara Kazuya yang sedari tadi diam, membuat mata Bertha kembali terbuka lantas menoleh ke samping dimana cucunya tengah menatapnya dengan sorot mata menyimpan kesedihan. “Apa itu artinya kalian sudah melakukannya?” tanya Bertha sembari menarik nafas dalam-dalam. Kazuya mengangguk samar, menatap pada Bertha dengan raut wajah penuh penyesalan. “Ada satu rahasia yang selama ini belum pernah kamu dengar. Mungkin ini akan menjadi kabar bahagia atau bahkan bisa menjadi kabar buruk untukmu.” Dahi Kazuya semakin mengerut dalam. Satu rahasia? Ha
Ucapan Amira masih terngiang-ngiang di telinga Clay. Jika wanita yang diceritakan Amira memiliki kemiripan dengannya, apa mungkin jika Bu Bertha yang dimaksud tak lain adalah nenek Kazuya? Bukankah nenek Kazuya juga merupakan nenek kandungnya?Clay terbukti memiliki darah yang sama dengan Martin, itu artinya Oma Bertha adalah nenek kandungnya.Malam itu mata Clay tak kunjung terpejam. Padahal esok hari dia harus berjualan demi memenuhi kebutuhan hidup juga menabung untuk biaya persalinannya.Tangan Clay bergerak menyingkap selimut bagian atas tubuhnya. Dalam kondisi terlentang, perutnya sudah terlihat membesar. Clay menatap perutnya yang sudah mulai membulat, jemarinya membelai lembut permukaan hangat yang tertutup kaos tipis. Dia bisa merasakan pergerakan kecil dari janin yang tumbuh di rahimnya. Kedutan ringan yang menciptakan sensasi geli, menjadi satu hal baru yang mampu menitikkan satu kebahagian.“Sayang, apa kamu bisa mendengar suara ibu?” ucap Clay seraya tersenyum samar, seo
Hidup dalam pelarian dengan status masih terikat dalam pernikahan, membuat Clay menjadi bahan omongan warga desa.Kepala dusun setempat memang meminta data diri Clay, termasuk Kartu Identitas miliknya sebagai syarat tinggal. Di sana tertulis status Clay yang sudah menikah. Hal itu memancing pertanyaan akan apa alasan di balik kepindahannya ke desa itu seorang diri, tanpa didampingi sang suami. Tentu Clay sudah menyiapkan satu alasan.“Kami sedang proses perpisahan.” Ya, itulah alasan yang masuk akal untuk saat ini. Apalagi dia tahu, jika dalam perutnya kini benih Kazuya tumbuh.Usia kandungan Clay saat ini sudah memasuki bulan kelima. Memiliki tubuh yang kurus, tentu mempermudah untuknya menutupi keadaannya sekarang. Kondisi perutnya memang belum menonjol, Clay sengaja mengenakan kaos dengan ukuran besar untuk menutupi. Namun meski seperti itu, tak jarang beberapa warga desa curiga akan bentuk tubuh Clay yang tampak seperti wanita hamil.Kehamilan anak pertama tentu menjadi sebuah h