“M-mas Rafael?” Clay segera menepis tangan itu dari tubuhnya. Seketika rasa jijik menyelimuti hati Clay.
Rafael Jester, dulu menjadi sosok pria sempurna yang begitu dicintai dan sangat Clay kagumi, namun kini justru sosok pemuda itu terlihat sangat mengganggu. Tangan yang dulunya menjadi tempat ternyaman untuk Clay genggam, kini terlihat sangat menjijikkan. “Apa kabar, Clay? Sendirian?” Rafael mengedarkan pandangan ke seluruh sudut bus. Mencari keberadaan pemuda yang telah dinikahi oleh mantan kekasihnya ini. Meskipun Rafael hanya mengingat samar wajah dari pemuda itu, namun dia hanya ingin memastikan keberadaannya. Clay sengaja tak menjawab, melangkah maju untuk memberi jarak. “Apa setelah menikah, suamimu itu tak bisa memberikan kehidupan yang layak?” sindir Rafael yang masih merasa ingin tahu dengan kehidupan mantan kekasihnya itu. “Dia tidak seperti apa yang kamu pikirkan!” jawab Clay dengan nada ketus. “Oh, ya? Lalu apa yang sebenarnya, katakan! Aku hanya ingin membantu, jika kamu membutuhkan pekerjaan untuk suamimu, aku bisa menjadikannya supir pribadiku!” Clay berusaha menahan diri untuk tidak menjawab. Apa jadinya jika dia mengatakan yang sebenarnya? Suaminya adalah berondong tajir, anak dari seorang pengusaha kaya yang mungkin saja kekayaannya melebihi kekayaan Rafael Jester. Justru Clay takut jika berkata jujur, nantinya mantan kekasihnya itu semakin dibuat penasaran dan tentu akan mencari tahu tentang Kazuya. Clay tak ingin itu terjadi. Ada hal yang tak ingin Clay ungkapkan pada orang lain termasuk Rafael, yakni tentang perbedaan usia antara dirinya dan Kazuya. Baginya, itu merupakan aib karena tak semua orang bisa menerima dan berpikiran positif. “Tidak perlu, mas! Suamiku sudah ada pekerjaan dan gajinya sudah cukup untuk menafkahi aku!” Clay melangkah maju menuju sisi supir bus, hendak memberitahu jika dia akan berhenti di halte bus depan. Meskipun jarak menuju kampus masih sangat jauh, namun Clay sudah tidak nyaman berada di sana. Kehadiran Rafael sudah sangat mengganggu. “Jangan sungkan jika kau ingin meminta bantuan. Aku hanya menawarkan pekerjaan untuk suami dadakanmu itu,” ujar Rafael sinis, sebelum bus berhenti. “Lalu bagaimana denganmu? Bagaimana orang kaya dan terhormat sepertimu justru menggunakan transportasi umum? Mana mobilmu? Apa kau menjualnya untuk memenuhi gaya hidup adik tiriku?” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Clay bergegas menuruni bus. Duduk di bangku memanjang seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Tatapannya fokus pada layar ponsel, hendak membuka aplikasi ojek online. Namun tak lama terdengar bunyi klakson motor tak jauh dari posisinya. Sontak Clay mengalihkan pandangannya ke sumber suara. “Kazuya?” Kazuya segera memarkirkan motornya di bahu jalan. Lalu bergegas turun tanpa melepaskan helm arainya, berjalan menghampiri sang istri. “Kok berhenti di sini? Bukannya tadi kamu bilang mau pergi ke kampus?” Clay mendadak bingung menjawab. Haruskah dia berkata jujur tentang pertemuan tanpa sengaja dengan Rafael? “Aroma bus membuatku mual. Aku ingin memesan ojek saja!” jawab Clay yang akhirnya memutuskan untuk berbohong. Kemudian kembali fokus pada layar ponsel. “Ngapain sih pakai ojek segala. Kamu bisa kok manfaatin suamimu ini jadi tukang antar.” Tanpa menunggu jawaban, Kazuya segera meraih pergelangan tangan sang istri. Memaksa Clay untuk ikut dengannya. Bukankah tujuan mereka sama? “Ta-tapi Kaz, aku gak ingin..” “Pihak kampus tahu tentang kita? Sudahlah sayang, bilang saja kalau kita bertemu di jalan. Beres!” Clay tak lagi menolak. Duduk di belakang sang suami dengan masih menjaga jarak. Kazuya memacu kendaraan roda duanya dengan kecepatan tinggi. Membuat Clay memekik ketakutan, hingga mencengkeram erat pinggang Kazuya dengan mata terpejam. Dengan gesit Kazuya menyalip beberapa kendaraan roda empat yang menghalangi jalannya, termasuk busway dimana Rafael berada. *** “Elodie Clay Margaux, usianya kini dua puluh empat tahun. Ibunya meninggal saat nona Clay masih berusia delapan tahun. Lalu mendiang ayahnya menikahi wanita bernama Meghan, janda anak satu,” jelas Bastian ketika diminta Sang Bos untuk mencaritahu tentang riwayat hidup wanita yang sudah dinikahi putranya. “Elodie? Apa nama wanita itu Elodie?” tanya Martin seraya memandang asisten kepercayaannya dengan dahi mengerut. Bastian kembali melihat pada berkas berisi data diri Clay. “Benar, Bos! Namanya Elodie Clay Margaux. Nama belakangnya mewarisi nama dari mendiang ayahnya.” Kerutan di dahi Martin semakin dalam. “Elodie.. seperti tak asing nama itu,” gumam Martin seraya mencoba untuk mengingat. Nama yang tak asing di pendengaran lelaki berusia hampir setengah abad itu. “Apa tuan ingin saya mencari tahu lebih dalam lagi tentang kehidupan nona Clay sebelum menikah dengan tuan Kazuya?” Martin terdiam sesaat. Batinnya terbagi dua, antara melanjutkan penyelidikan atau berhenti mencari tahu tentang menantunya itu. Elodie nama yang selalu dia ingat sampai saat ini. Nama dari seorang wanita di masa lalu Martin, yang sampai saat ini selalu mengisi pikirannya. “Apa kau tahu siapa nama orang tuanya?” tanya Martin fokus menatap asisten pribadinya dengan kedua alis bertaut. Bastian kembali membuka lembar berkas. Dia sangat ingat telah menulis nama dari kedua orang tua dari menantu bosnya ini. Namun sepertinya ada satu lembar berkas yang lupa terbawa. “Saya sudah mendapatkan semua data diri orang tua nona Clay, termasuk nama dan identitas pribadi mereka. Namun sepertinya ada satu lembar yang hilang, tuan Martin. Bolehkah saya meminta ijin kembali ke ruangan saya untuk memeriksanya?” “Lakukan dengan cepat! Kau tahu kan aku tidak suka orang lamban?!” Bastian segera pamit undur diri kembali ke ruangannya. Tak ingin membuat Martin hilang kepercayaan padanya, Bastian pun segera melaksanakan perintah Sang Atasan. Martin kembali menatap pada layar laptop di hadapannya. Namun fokusnya kini terbagi. Tak ingin berlama-lama menunggu, akhirnya Martin memutuskan untuk menghubungi Bastian. Tak sampai menunggu lama, panggilan pun terhubung. “Bagaimana? Apa kau sudah mendapatkannya?” tanya Martin tak sabar. Menunggu hingga asistennya itu kembali ke ruangannya, tentu akan membutuhkan waktu lebih lama. “Sudah, tuan Martin. Nama ayah dari nona Clay adalah Willy Smith Margaux. Beliau keturunan Jerman dan..” “Aku tidak butuh penjelasan tentang pria itu. Katakan saja, siapa nama istrinya?” pungkas Martin memotong ucapan Bastian. “Rebecca Elodie.” Deg! Mendengar nama itu kembali disebut, membuat Martin terdiam dengan bola mata melebar. Setelah memutuskan telepon, Martin bergegas mengambil sesuatu dari laci mejanya. Sebuah kotak kayu berukuran dua puluh centimeter yang telah lama tersimpan disana. Dengan detak jantung bertalu, perlahan tangannya membuka penutup kotak. Mengambil salah satu lembar foto yang tampak usang, lalu memandang lamat-lamat foto itu dengan raut sendu. Ibu jarinya mengusap foto seorang wanita berparas ayu tengah tersenyum manis. Wajah yang selalu Martin rindukan. “Selama ini aku mencarimu kemana-mana, Elodie.” Wajah pria itu mendadak sedih. Setitik air mata jatuh dari sudut matanya. Pria yang dikenal arogan itu kini menangis. ***Ada yang bisa tebak apa kira-kira yang membuat papa Kazuya menangis? Jangan lupa komentar kalian dan dukungan untuk karya ini. Aku tunggu ya 🤍
Tubuh ringkih terasa lebih kurus dari terakhir kali Kazuya lihat, membuat hatinya semakin teriris nyeri. Ini membuktikan bagaimana beratnya perjuangan Clay untuk bertahan hidup di sini.Kazuya memejamkan mata, mengeratkan pelukannya. Nafasnya berat tersendat, seolah mencoba menarik kembali waktu. Kerinduan yang sudah menabrak logika dan kesadarannya akan siapa wanita yang ada dalam pelukannya ini.“Aku.. Aku kangen..” bisik Kazuya lirih, nyaris tak terdengar. Ia tahu ini salah. Rasa cinta terlarang yang dia miliki tak seharusnya ada. Namun kerinduan yang sudah ditahan selama berbulan-bulan, membuat akal sehatnya hilang.Clay terkejut, tubuhnya menegang sesaat. Tapi ia tak bergerak, tak menolak. Rasa cinta yang dulunya sempat dia tepis, kini terasa semakin nyata. Mengapa rasa cinta itu muncul semakin kuat, justru ketika dia menyadari jika lelaki yang tengah memeluknya adalah adik kandungnya sendiri?Clay menggigit bibir bawah, menahan rasa haru yang hendak membobol benteng pertahananny
“Elodie?” ucap Bertha dan Kazuya bersamaan. Hal itu semakin membuat Amira bingung. Apa ada yang salah dengan nama Elodie? “Dimana kamu melihatnya? Apa Clay ada di sini?” tanya Bertha seraya meraih tangan Amira, seakan menuntut jawaban secepatnya. “Clay?” Amira terdiam sejenak, berusaha mengingat sesuatu. Hingga dia pun paham akan ucapan wanita paruh baya di hadapannya ini. Bukankah Clay adalah nama panjang Elodie, wanita yang kini sudah menjadi temannya di desa ini? Amira mengangguk, “Elodie, hum maksudku Clay memang pendatang baru di sini..” “Katakan dimana aku bisa menemui cucuku, Mira!” pungkas Bertha dengan rasa tak sabar. Berbulan-bulan mencari keberadaan cucu perempuannya hampir ke seluruh sudut kota dan sungguh tak menyangka jika Clay justru memilih desa ini untuk bersembunyi. “Di-dia tinggal di kontrakan depan Bu, di pagi hari dia berjualan nasi kuning di pasar,” jelas Amira masih dengan ekspresi bingungnya. Amira sempat mendengar Bertha menyebut cucu, apakah itu artin
Jam tiga pagi. Dunia masih terlelap dalam gelap yang pekat. Langit di luar jendela tampak kelam, belum ada semburat jingga, ayam pun belum berkokok.Di sudut ruangan sempit, sebuah kasur tipis bersandar langsung ke lantai yang dingin. Clay menggeliat pelan, tangan kirinya refleks mengusap perutnya yang mulai membuncit. Kadang masih sulit dipercaya bahwa ada kehidupan kecil di dalam dirinya, apalagi di saat hidupnya terasa begitu kosong.“Sayang.. Kita harus bangun! Ibu harus berjualan,” bisiknya pelan, seolah janin itu bisa mengerti dan menjawab.Dengan gerakan perlahan, ia duduk. Menarik nafas panjang lalu menapakkan kakinya ke lantai. Menahan rasa pegal di punggungnya juga perutnya yang terasa berat. Udara di dalam kamar terasa dingin menusuk kulit. Clay merapatkan jaket tipisnya yang dipakainya semalaman lalu segera beranjak menuju sisi jendela. Menyingkap tirai, membuka jendela membiarkan udara pagi yang dingin masuk ke dalam ruangan, sebelum akhirnya bergegas ke dapur mungil di
Bertha masih menunggu jawaban Kazuya, akan tetapi cucunya itu hanya diam. Namun hanya dengan melihat raut wajah Kazuya, Bertha sudah paham akan jawaban yang sebenarnya. “Tak perlu dijawab kalau kamu tak ingin menjawabnya, Kaz. Oma paham!” ucap Bertha ketika melihat cucunya justru memutuskan kontak mata. Suasana dalam mobil mendadak sunyi. Bertha mencari posisi nyaman, lalu mulai memejamkan mata. “Apa Oma marah jika aku menjawab jujur?” Mendengar suara Kazuya yang sedari tadi diam, membuat mata Bertha kembali terbuka lantas menoleh ke samping dimana cucunya tengah menatapnya dengan sorot mata menyimpan kesedihan. “Apa itu artinya kalian sudah melakukannya?” tanya Bertha sembari menarik nafas dalam-dalam. Kazuya mengangguk samar, menatap pada Bertha dengan raut wajah penuh penyesalan. “Ada satu rahasia yang selama ini belum pernah kamu dengar. Mungkin ini akan menjadi kabar bahagia atau bahkan bisa menjadi kabar buruk untukmu.” Dahi Kazuya semakin mengerut dalam. Satu rahasia? Ha
Ucapan Amira masih terngiang-ngiang di telinga Clay. Jika wanita yang diceritakan Amira memiliki kemiripan dengannya, apa mungkin jika Bu Bertha yang dimaksud tak lain adalah nenek Kazuya? Bukankah nenek Kazuya juga merupakan nenek kandungnya?Clay terbukti memiliki darah yang sama dengan Martin, itu artinya Oma Bertha adalah nenek kandungnya.Malam itu mata Clay tak kunjung terpejam. Padahal esok hari dia harus berjualan demi memenuhi kebutuhan hidup juga menabung untuk biaya persalinannya.Tangan Clay bergerak menyingkap selimut bagian atas tubuhnya. Dalam kondisi terlentang, perutnya sudah terlihat membesar. Clay menatap perutnya yang sudah mulai membulat, jemarinya membelai lembut permukaan hangat yang tertutup kaos tipis. Dia bisa merasakan pergerakan kecil dari janin yang tumbuh di rahimnya. Kedutan ringan yang menciptakan sensasi geli, menjadi satu hal baru yang mampu menitikkan satu kebahagian.“Sayang, apa kamu bisa mendengar suara ibu?” ucap Clay seraya tersenyum samar, seo
Hidup dalam pelarian dengan status masih terikat dalam pernikahan, membuat Clay menjadi bahan omongan warga desa.Kepala dusun setempat memang meminta data diri Clay, termasuk Kartu Identitas miliknya sebagai syarat tinggal. Di sana tertulis status Clay yang sudah menikah. Hal itu memancing pertanyaan akan apa alasan di balik kepindahannya ke desa itu seorang diri, tanpa didampingi sang suami. Tentu Clay sudah menyiapkan satu alasan.“Kami sedang proses perpisahan.” Ya, itulah alasan yang masuk akal untuk saat ini. Apalagi dia tahu, jika dalam perutnya kini benih Kazuya tumbuh.Usia kandungan Clay saat ini sudah memasuki bulan kelima. Memiliki tubuh yang kurus, tentu mempermudah untuknya menutupi keadaannya sekarang. Kondisi perutnya memang belum menonjol, Clay sengaja mengenakan kaos dengan ukuran besar untuk menutupi. Namun meski seperti itu, tak jarang beberapa warga desa curiga akan bentuk tubuh Clay yang tampak seperti wanita hamil.Kehamilan anak pertama tentu menjadi sebuah h