Share

Emosi Hati

Chandra membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit untuk tiba di rumah kedua orang tuanya. Lelaki itu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menikmati perjalanan dan juga kebersamaannya dengan Runa.

Terlebih dahulu Chandra memastikan bahwa istrinya itu menuruti permintaan dokter Kavin, mata pria itu menelisik mencari keberadaan benda kecil yang cukup penting. Ia merasa lega begitu tahu bahwa notes itu ternyata berada digenggaman sang istri. Benda kecil yang berkemungkinan untuk mengurangi sifat pelupa Runa.

Setibanya dirumah orang tua Chandra, keduanya langsung bersiap mempersiapkan pesta. Seluruh orang menjadi manusia super sibuk dalam sehari. Runa sendiri bahkan tidak memiliki waktu untuk sekedar mengecek notes. Padahal, seharusnya ia mencatat beberapa hal penting untuk diingat.

Tepat ketika jam menunjukkan pukul delapan malam, para tamu undangan mulai berdatangan. Runa merasa tubuhnya lelah bukan main. Seharian dia tidak dapat merebahkan tubuhnya walau hanya semenit saja.

Selesai membersihkan diri, dia langsung mengenakan gaun selutut dengan lengan tiga suku yang kemarin malam dicobanya. Polesan make-up yang Runa berikan menambah kesan elegan.

Chandra yang memang sedari tadi memperhatikan dapat menangkap wajah lelah dari istrinya. Dalam hati, ia tak tega harus melihat Runa kelelahan, tapi mau bagaimana lagi, toh dia juga tak dapat berbuat apapun. "Lo keliatan cape banget. Kenapa gak istirahat aja?"

"Mau istirahat gimana kalau tamu undangannya aja sebanyak ini? Ntar belum lagi ngeberesin semua kekacauan setelah pesta. Lagipula kalau gue istirahat, pasti teman arisan mama pada tanya gue dimana? Kenapa gak muncul?" ucap Runa yang mencoba menahan emosinya pada Chandra.

"Nanti gue yang bilang kalau lo lagi sakit. Ngomong-ngomong, ternyata gaun ini cocok juga buat lo. Ibarat lagu Ed Sheeran 'You look perfect tonight'."

Oh Tuhan! Tolong tenggelamkan saja jantungnya! Runa tak akan bisa bersikap tenang jika Chandra terus-terusan memujinya. "Modus terus lo. Untung udah jadi suami."

Chandra terkekeh melihat sikap Runa yang masih saja tak berubah, dia meraih lengan sang istri dan menggandengnya untuk turun. Membuat jantung gadis itu seperti selesai maraton ribuan kilometer. 

Semoga Chandra gak denger suara jantung gue.

"Run, lo denger sesuatu gak?"

Mampus gue! Runa berpura-pura batuk untuk menutupi kegugupan yang tercetak jelas itu. "Mungkin ... itu tadi suara batuk gue."

"Perasaan lo baru batuk ini."

"Berarti telinga lo salah denger. Udah deh, kenapa dibahas!"

Runa yang kesal dan tersipu disaat yang bersamaan memilih melepaskan gandengan Chandra, lalu segera turun untuk menyambut tamu yang berdatangan.

"Wah ... Runa makin cantik aja ya," puji salah satu teman sosialita sang mertua.

Runa tahu, bahwa pujian itu tak benar-benar tulus dari dalam hati. Sebab wajah iri tampak jelas diraut wanita paruh baya itu.

"Terima kasih, Tante."

"Kapan berencana untuk punya anak? Kalian udah setahun menikah, lho. Masa kamu belum hamil juga, apa jangan-jangan kamu gak subur?" sambung wanita paruh baya yang Runa tahu bernama Siska.

"Saya dan Mas Chandra belum memutuskan untuk memiliki momongan," ucap Runa berusaha selembut mungkin. Andai saja diperbolehkan, ia akan mengusir mereka keluar dari sini.

"Belum memutuskan atau memang gak subur, Iya kan, Jeng," sambung Tante desy, adik ipar dari mama Resti.

"Paling juga dia gak subur. Mending dulu tuh Chandra nikahnya sama anak saya aja. Lulusan s2 lagi, udah gitu cantik."

Runa masih terus tersenyum menanggapi ucapan yang semakin menjadi dari teman-teman sang mertua. Mereka bahkan mengatakan itu tepat dihadapannya.

"Bukan anak jeng Siska aja yang mau, anak saya begitu denger kabar kalau calon mempelai kabur sebenarnya ingin mengajukan diri untuk menggantikan, tapi keburu Runa dateng."

"Kamu itu beruntung, Runa. Punya suami kaya raya, gak perlu mikirin kerja lagi."

Runa mengambil oksigen dengan segenap hati, mengontrol emosi yang kian melambung. "Wah ... kalau saya tau begitu ... saya rela mundur demi anak-anak Tante. Sayangnya Chandra lebih memilih saya sebagai istrinya. Kalau anak tante mengajukan diri pun ... saya belum yakin bahwa Chandra ingin melanjutkan pernikahan itu bersamanya." Runa masih mencoba tersenyum meskipun tangannya ingin mencabik-cabik pemilik mulut yang sudah melampaui batas itu.

"Jaga mulut kamu, ya, Runa!" bentak tante Siska yang merasa dipermalukan karena ucapan Runa.

"Mbak Resti, bilangin menantumu, supaya jaga ucapannya pada orang yang lebih tua," adu tante Desy.

Bukannya mama Resti yang menghampiri mereka, justru Chandra yang datang membela sang istri. "Maaf, Tante, sekali pun saya tidak memilih Runa sebagai istri, maka saya tidak akan menerima wanita lain. Tentu saja apa yang diucapkan istri saya itu benar adanya, bahwa saya akan memilih untuk tidak menikah daripada harus dijodohkan. Kalau begitu, kami permisi. Semoga menikmati pestanya."

Chandra membawa Runa menjauh dari sana, dia tak ingin istrinya diolok-olok lebih lama. Ini adalah kehidupan mereka dan orang lain tak berhak menghinanya.

Ternyata hal itu membuat mama Resti merasa dipermalukan dihadapan teman-temannya, terbukti begitu pesta usai mama meminta keluarga Wijaya berkumpul.

"Mama mau membicarakan hal penting dengan kalian berdua."

Sejujurnya, Runa merasa sedikit takut setelah menerka-nerka apa yang akan mama bicarakan kepada keduanya. Akan tetapi, melihat ayah mertua dan suaminya terlihat tenang sedikit mengobati kecemasannya.

"Begini ... kalian menikah sudah satu tahun lamanya. Kenapa belum juga memberikan Mama cucu? Mama juga mau menimang cucu seperti teman-teman seumuran Mama. Kamu Runa, jangan ulangi perbuatanmu pada teman-teman Mama, itu memalukan."

Runa dan Chandra saling memandang satu sama lain. Tatapan keduanya mengisyaratkan suatu hal yang selama ini hanya mereka berdua yang tau.

Mama Chandra yang melihat keduanya hanya diam, justru semakin tersulut emosi. "Mama gak mau tau, kalau tahun ini kamu belum bisa kasih Mama cucu, mending ceraikan saja istrimu itu! Untuk apa menikah dengan wanita yang bermasalah!"

Semua orang tak percaya akan apa yang mama Resti ucapkan. Dulu merekalah yang meminta Runa menjadi menantu, kini mama Resti pula yang meminta Chandra untuk meninggalkan sang istri.

"Ma! Mama sadar gak sih ucapan itu Mama lontarkan ke siapa? Runa itu istri Chandra. Menantu Mama. Bukan karena Runa yang bermasalah. Chandra yang belum siap menjadi seorang Ayah! Harusnya teman-teman Mama lebih pintar lagi dalam berbicara, wajar jika setelah dihina begitu Runa melakukan pembelaan."

"Berhenti ngebela istri kamu, Chan. Mama tau dia pasti bermasalah, itulah penyebab kalian belum punya keturunan sampai saat ini! Apa yang teman-teman Mama bicarakan tentang istrimu itu benar, Chandra. Kamu jangan jadi anak durhaka dengan melawan Mama!"

"Ma, istighfar! Runa itu menantumu! Kita yang meminta dia untuk menjadi menantu, bukan dia yang menawarkan diri!"

"Kalau Mama tau Runa bermasalah, lebih baik Mama mencari Rossa daripada harus membiarkan Chandra menikah dengan wanita sepertinya!"

Sakit? Tentu. Ucapan mertuanya benar-benar menyakiti perasaannya. Bagaimana bisa sang mertua masih mengharapkan mantan suaminya?

"Ma ... maafin Runa kalau belum bisa kasih Mama cucu. Soal ucapan Runa pada teman-teman Mama, gak akan Runa ulangin lagi, Ma."

"Mama gak butuh kata maaf dari kamu, yang Mama butuhin itu cucu! Cucu Runa!"

"Ma, kita bisa adopsi dulu kalau memang Mama mau cucu." Chandra benar-benar berusaha agar mamanya tak berpikir buruk seperti itu lagi.

"Adopsi?! Mama mau cucu dari darah daging kamu sendiri! Bukan anak hasil adopsi yang gak tau asal usulnya!" 

Runa benar-benar tidak berani mengangkat kepala saat ini. Buliran air mata sudah siap untuk meluncur dari pelupuk matanya. Ia memilih untuk pergi dari sana, daripada harus menangis dan terlihat menyedihkan. Masih terdengar olehnya cemooh yang terus dilontarkan sang ibu mertua. Telinganya tak lagi sanggup mendengar itu semua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status