Share

Angin Malam

Runa terduduk di bangku yang terletak di halaman belakang rumah keluarga Chandra. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat, tetapi dia dengan santai masih duduk menatap langit malam. Hawa dingin dan bintang yang mulai bersembunyi menjadi saksi atas setiap air mata yang Runa teteskan. Keputusannya setahun lalu akankah berakhir secepat ini?

Apa mama beneran bakal nikahin Chandra lagi?

"Lo kenapa malah diluar? Udah dingin, mending masuk sekarang."

Suara bariton milik Chandra terdengar jelas di telinganya. Seharusnya ia takut, bisa saja bahwa 'seseorang' menyamar menjadi suaminya, tapi dia malah tetap tenang menikmati malam yang mulai sunyi.

"Gue masih pengen diluar, Chan."

Chandra terlebih dahulu memberikan selimut pada Runa, sebelum ikut mendudukkan diri disamping wanita itu. "Lo mikirin perkataan Mama tadi?"

Ketika Runa hanya diam tak menjawab, maka Chandra dapat menyimpulkan jawaban itu sendiri. "Jangan diambil hati. Lagian bukan salah lo. Kita memang belum pernah mutusin buat punya keturunan 'kan? Ntar gue ngomong sama Mama soal ini."

"Gak perlu, Chan. Lo liat sendiri tadi semarah apa mama sama kita berdua. Baru kali ini gue ngeliat mama semarah itu. Wajar aja kalau mereka mikir gue bermasalah." Runa semakin tertunduk. Ia malu jika harus memperlihatkan air matanya pada Chandra.

"Lihat gue." Chandra menangkup wajah Runa yang telah sembab, dia mengusap air mata yang belum jatuh. "Lo gak bermasalah. Kita belum pernah berbuat lebih jauh dari pegangan tangan dan berpelukan. Jadi gak mungkin lo bisa hamil tanpa ada pembuahan. Apa yang lo katakan sama teman mama itu benar. Gue ngedukung lo, jadi jangan merasa bersalah," sambung Chandra menyakinkan Runa bahwa ia bersamanya.

"Jujur aja gue takut kalau ancaman mama itu bukan sekedar ucapan semata."

"Takut kenapa? Lo takut kalau gue beneran nikah lagi? Jangan bilang kalau ... lo mulai jatuh cinta sama gue?" ujar Chandra menggoda sang istri. Berharap dengan hal ini ia dapat membuat Runa melupakan sejenak kegelisahan dihatinya.

Jujur aja gue beneran takut kalau harus ngeliat lo nikah lagi.

Runa berdehem dan bersikap setenang mungkin, meskipun akibat tatapan Chandra barusan membuat debaran di hatinya. "Jangan kepedean deh, Chan. Siapa juga yang jatuh cinta sama lo. Palingan mantan-mantan lo tuh yang masih cinta sampai sekarang, mana pakai ngedm gue lagi."

"Jangan ngebantah terus, apalagi ngalihin pembiacaraan, sikap jutek lo aja sejujurnya udah nunjukin itu. Keliatan dengan jelas."

Runa membelalakkan matanya tak percaya. Benarkah apa yang Chandra katakan? Terlihat jelas katanya?

"Pembohongan publik. Itu namanya lo mencemarkan nama baik gue," ujar Runa mencari pembelaan. Dia tidak bisa membenarkan ucapan Chandra, tapi tak dapat juga untuk menyangkalnya.

"Mencemarkan nama baik gimana?"

"Ya itu dengan lo berkata bahwa gue cinta sama lo, padahal mah aslinya--" iya.

Runa memalingkan wajahnya dan menggantung kalimatnya, membuat Chandra begitu penasaran. "Aslinya iya, kan? Ayo ngaku aja deh."

"Dih, ya enggaklah. Hello yakali seorang Runa wijaya--"

"Ketahuan, lo beneran jatuh cinta sama gue. Buktinya aja lo make nama gue dibelakang nama lo. Katanya ogah," cibir Chandra begitu teringat bahwa dulu awal-awal menikah Runa paling anti jika harus dipanggil nyonya Wijaya.

"Maksud gue itu, seorang Runa Bahar gak akan jatuh cinta sama pria arogan kaya lo," ucapan Runa terdengar penuh percaya diri. Namun, siapa yang menyangka jika hal itu ia tunjukkan hanya untuk menutupi kegugupannya.

Chandra merasa sedikit kesal ketika kata 'arogan' masih terselip untuknya, dengan sedikit paksaan pria dengan kumis tipis itu membuat Runa menatap dalam ke arahnya. Membuat manik mata mereka bertemu.

"Tatap gue, memangnya gue sekarang masih arogan?"

Please, lo kenapa gini, Chan? Ini tuh gak sehat buat jantung gue.

"Bagi gue sih iya, buktinya tadi lo marahin teman sosialitanya mama," ujar Runa sembari berharap bahwa degupan jantungnya mereda.

"Masa iya gue harus diem aja gitu? Gue suami lo, Run. Gue gak akan ngebiarin istri gue dihina."

Kalimat itu kembali membuat Runa berdebar, Chandra kini benar-benar berubah menjadi pria yang penuh kasih. Begitu berbeda dengan apa yang ia dapati setahun lalu.

Sekarang, ruang keluarga hanya diisi oleh Papa Chandra dan Rehan yang baru saja pulang. "Pa, ada masalah apa? Kenapa tadi Rehan liat Mama keliatan emosi?" tanya Rehan, adik Chandra yang tengah duduk di bangku kelas 2 SMK.

"Biasa ... Mama kamu nuntut cucu dari Kakak Iparmu, terus tadi Masmu ngebela istrinya. Makanya Mama makin emosi," jelas Papa Seto padanya. Entah kenapa sang istri bertindak seperti anak kecil yang mengamuk dan merajuk, bila keinginannya tak terpenuhi.

Bukannya undur diri memasuki kamar, Rehan justru semakin penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi. "Rehan heran deh, bukannya temen Mama juga ada yang belum punya cucu? Lagian mas Chandra dan mba Runa masih dibilang masa pendekatan karena pernikahan mereka waktu itu bukan hal yang direncanakan."

"Kamu kaya gak tahu Mamamu aja, Han. Dia tuh harus punya apa yang temen sosialitanya punya. Kalau udah begini, bukan cuman mas sama mbamu aja yang pusing. Papa juga ikutan pusing." 

Kerutan didahi sang papa membuat ia mengerti jika masalah ini cukup serius. Dia tak tahu menahu dan tak ingin ikut campur pada permasalahan orang dewasa. "Papa jangan kebanyakan mikir, lihat tuh rambut di kepala depannya udah mulai tipis. Rehan izin ke kamar duluan. Ada tugas dari sekolah soalnya. Semoga berhasil ngebujuk mama!"

Setelah kepergian Rehan, Papa Seto kembali berkutat pada pikirannya, dia harus membuat sang istri memberi kedua anaknya waktu sedikit lebih lama.

Papa Seto mendudukkan dirinya disamping sang istri yang masih tampak emosi. Tangannya terulur mengusap lembut pundak wanita itu. "Mama gak bisa sabar dikit lagi? Kasih mereka berdua waktu untuk saling percaya satu sama lain."

Bukannya luluh, ucapan papa Seto justru dibalas amarah oleh mama Resti. Ia menyingkirkan tangan sang suami dengan kasar. "Mama udah kasih waktu setahun, Pa! Apa itu masih kurang juga?! Sampai kapan Mama harus nunggu! Pokoknya Mama mau mencarikan Chandra jodoh lagi!"

"Maksud Mama apa? Chandra sudah menikah! Jangan bertindak aneh-aneh!"

Papa Seto tak bisa mengerti, bagaimana pola pikir sang istri sekarang. Apa yang dia inginkan, harus didapatkan dan itu berimbas tak baik pada pernikahan anak mereka.

"Untuk apa mereka mempertahankan pernikahan itu? Mama yakin bahwa Runa benar-benar bermasalah, Pa. Tidak mungkin dalam setahun ini mereka belum menghasilkan keturunan."

"Apa yang tidak mungkin? Mama ingat berapa lama kita menantikan kehadiran Rehan? 7 tahun lamanya kita berusaha hingga akhirnya Rehan hadir di tengah-tengah kita!"

"Itu beda, Pa. Sebelumnya Mama sudah pernah melahirkan Chandra, tapi kalau Runa bahkan belum menunjukkan tanda-tanda akan hamil."

Bebal. Keras kepala. Istrinya itu benar-benar sulit diberitahu, padahal mereka sama-sama wanita lalu kenapa pikiran buruk seperti itu bisa singgah dibenaknya?

"Ma, sejak kapan Mama dibutakan begini? Papa sudah larang kamu untuk tidak terlalu sering ikut-ikutan teman sosialitamu itu. Mereka hanya memberikan dampak buruk saja, teman kamu gak lebih dari ingin memamerkan kekayaan mereka."

"Apa salahnya? Toh kita juga kaya. Bahkan diantara mereka, Mama yang paling kaya. Harusnya dulu Mama jodohin Chandra sama anaknya jeng Arum. Udah cantik, baik dan pasti subur."

"Papa gak akan kasih Mama izin untuk melangkah lebih jauh! Sekarang kita tidur, Papa sudah menemukan jalan lain selain menikahkan Chandra kembali."

Mama Resti yang sudah kepalang kesal dibuat anak dan menantunya, kini semakin kesal karena sang suami yang lebih memihak kepada mereka. Dia memilih untuk memunggungi sang suami dan tidur tanpa memeluk suaminya itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Supriatno
sekedar saran yaaaa jangan pake lo gue, karena kurang pas bahasanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status