Share

Akhirnya Sah!

Runa menatap tak percaya pantulan dirinya disebuah cermin besar. Kebaya modern berwarna putih melekat di tubuhnya, tampak anggun dan menawan. Bahkan, sang perias pengantin berkali-kali memberinya pujian.

"Kalau gitu saya keluar dulu, nanti jika menurut mba suhu ruangannya terlalu panas bisa diturunin aja. Jangan dilap pakai tisu, takutnya malah nempel semua." Tepat ketika sang perias pengantin hendak keluar, suara deritan pintu terdengar, pertanda bahwa ada yang membukanya.

Runa mendapati sang mama yang menatapnya penuh keseriusan. Manik mata itu seakan tak ingin lepas memperhatikannya dari atas hingga bawah.

"Anak mama udah semakin dewasa sekarang, jadi istri yang baik untuk suamimu, ya, Nak."  Terlihat sudut mata Mama Hesti basah oleh genangan air mata. 

"Jangan bangun siang terus, mesti diinget kalau kamu udah punya suami yang harus diurus." Berbagai nasihat terus terlontar dari bibir sang ibu. Ternyata benar, bahwa kasih ibu sepanjang masa.

"Mama jangan nangis, nanti Runa ikutan nangis." Runa meraih kotak tisu berwarna hijau, mengambilnya beberapa helai lalu membersihkan buliran mutiara disudut mata sang mama.

Runa menggenggam erat tangan mamanya, berharap bahwa ia dapat membagi keresahan hatinya saat ini. Seakan mengerti apa yang tengah dialami putrinya, mama Hesti mengusap penuh kasih sayang punggung tangan putrinya.

Canggung dan khawatir adalah 2 diantara perasaan yang kini melanda Runa. Langit tanpa awan diminggu malam yang cerah menjadi saksi bisu atas pernikahan yang baginya tak masuk akal ini. Setelah Ijab Kabul yang dilakukan Chandra dalam sekali tarikan nafas dan penuh kepercayadirian, Runa tak tahu ingin berekspresi seperti apa. Dia ingin menangis sedih, tapi apa yang harus ia sesali? Jika pilihannya menangis bahagia, hal apa yang membuatnya merasa bahagia?

Banyak orang yang menghadiri pernikahan mereka, tetapi tujuan pertama Ruma adalah sang ibu. Gadis itu langsung memeluk erat ibunya, seakan tak ada lagi hari esok untuk bertemu dan melepas rindu. Setelah hari ini semua akan berubah dan ia takut untuk menghadapi kemungkinan terburuknya.

Setelah puas berbincang dengan sang mama, Runa izin undur diri untuk menghampiri satu-satunya teman dekatnya, Karin. Tepukan di pundak gadis berusia 22 tahun itu membuatnya terkejut. "Runa! Gue kaget banget saat mama Eka cerita kalau hari ini lo bakal nikah. Mana gue gak bisa jadi bridesmaid lo."

"Gue juga masih gak nyangka, Rin. Semua terjadi tiba-tiba. Kalau lo gak bisa, gue masih bisa jadi bridesmaid lo, walau gak tau kapan." Runa tampak tertawa sumbang, apakah benar ia bisa menjadi bridesmaid Karin nantinya?

"Keburu lo ngebawa anak kali, Run," ujar Karin diiringi tawa yang tampak begitu tulus.

"Bisa aja lo, Rin. Sering main kesini, ya. Gue bakalan bosen pasti di rumah terus."

"Lo kan bisa have fun waktu kuliah, ntar balik baru jadi istri."

Andai saja itu bisa terjadi. Runa menghela napas bermaksud membuang semua beban dipundaknya. "Masalahnya Chandra ngelarang gue buat kuliah, katanya tuh istri tugasnya dirumah."

"Are u kidding me?! Kolot banget--" Ucapan Karin terputus ketika Chandra hadir dan berdehem tepat dibelakang Runa. "Kolot banget ya pemikirannya," ujarnya di akhiri kekehan yang dipaksakan.

Chandra memperkenalkan dirinya diantara kumpulan keluarga Runa, beruntungnya tidak ada satu pun anggota keluarga yang tampak tak menyukainya. Dua anggota  keluarga itu menghabiskan waktu berkumpul dan bercanda bersama.

Akhirnya Runa dapat beristirahat saat jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Runa  mengikuti Chandra ke sebuah ruangan, dimana terdapat beberapa bingkai foto yang berjajar disetiap meja disana.

Matanya menatap serius pada sebuah bingkai foto yang terletak diatas nakas tepat disamping lampu tidur. Kebahagiaan terlihat jelas diantara keduanya, apalagi ketika sedang tertawa seperti itu. Perasaan bersalah merasuki hatinya, membuatnya dihantui rasa bersalah.

Lamunannya tersadar ketika Chandra merebut bingkai itu darinya secara kasar. Seakan foto gadis itu akan kotor jika berada dalam genggamannya. "Jangan pernah sentuh foto ini dengan tangan lo."

Runa mengerti jika apa yang dia lakukan membuat pria itu terpukul, tapi apakah harus Chandra bersikap sangat kelewatan padanya?

"Gue minta maaf, harusnya ini gak terjadi. Harusnya--"

"Sekarang permintaan maaf lo itu juga gak berguna bagi gue, perempuan yang lo tatap fotonya itu adalah perempuan yang lo bantu pelariannya." Suara Chandra memang terdengar pelan, tetapi intonasinya begitu dalam. Bahkan Runa dibuat tak berkutik karena hal itu.

Chandra menunjuk-nunjuk Runa dengan tatapan kebencian. "Akibat ulah lo, gue harus nikah sama lo!"

Mendengar bentakan Chandra membuat Runa meradang, bukankah ia sudah mengikuti apa yang pria itu minta? "Gue juga gak mau terikat dengan pernikahan ini. Gue ngelakuin ini sebagai tanggung jawab atas perbuatan yang gak gue sengaja."

"Gue gak akan ngebiarin lo hidup tenang! Gue bakal selalu ngusik kedamaian dalam hidup lo." 

Runa berharap itu adalah ancaman semata, bagaimana bisa dia hidup seperti ini selamanya? Ia buru-buru menghapus air matanya, demi apapun ini bukan saat yang tepat untuk menangis. Diraihnya koper yang terletak disudut kamar, membuka isinya dan mencari micellar water untuk membersihkan make-up diwajahnya. Letak cermin Chandra yang mengharuskannya berdiri sungguh menambah penderitaannya hari ini.

Runa melirik ke arah Chandra begitu pria itu keluar dari kamar mandi. Handuk yang melilit pinggangnya, serta rambut basahnya mampu membuat jantung Runa berdegup. Untuk pertama kali dalam hidup, dia sekamar dan melihat langsung seorang pria yang masih terbalut dengan handuk.

"Gue minta maaf udah ngebentak lo kaya tadi." 

Kalimat itu terdengar tulus terucap, tetapi Runa mengabaikannya, ia beranjak mengambil sepasang piyama lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Setelah membersihkan diri, dia mendapati Chandra sudah merebahkan tubuhnya diatas kasur. Membuat Runa mau tak mau meneguk ludah, pasokan oksigen di ruangan ini terasa kian menipis.

Runa mengambil langkah dengan begitu hati-hati, tak ingin membangunkan Chandra dari tidur nyenyaknya. Ia berkali-kali berpikir dimana dia harus tidur? Apakah ia akan tidur di sofa atau lantai barangkali?

"Santai aja kali, gue bukan penjahat. Lo gak perlu setakut itu sama gue."

"Astaghfirullah!" Runa terkejut bukan main, pasalnya dia yakin betul bahwa Chandra benar-benar sudah tidur. Hanya kata itu yang secara spontanitas terucap. Setelahnya dia tak bergeming, berdiri layaknya patung.

Manik mata Chandra kini sepenuhnya menatap dirinya, tidak ada lagi kebencian yang terlihat dari mata itu. "Kenapa lo diem disitu? Gak mau tidur memangnya?"

"A-anu ...  itu ...."  

"Gagu lo?"

Perkataan Chandra terdengar cukup kasar ditelinganya, bagaimana dia bisa hidup dengan pria arogan seperti itu?

"Disini ada kasur lipat, kan? Atau barangkali selimut lain gitu?" tanyanya yang tengah berusaha setenang mungkin.

Dia tak mengerti apa yang Runa pikirkan saat ini. Padahal sudah ada kasur dan selimut, kenapa masih mencarinya lagi? "Gue ngerti sekarang. Lo nyari kasur lipat karena mau tidur di lantai?" Melihat Runa yang terdiam, Chandra dapat menyimpulkan bahwa pertanyaannya itu benar.

"Yang nyuruh dan ngizinin lo tidur di lantai siapa? Gue minta lo tuh tidur disini, disamping gue." Chandra menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Runa sedikit ragu untuk bergerak ke arah yang pria itu inginkan, apalagi setelah bentakan yang ia terima tadi.

"Gak usah kebanyakan mikir, gue gak suka drama."

Runa menghela napas panjang, ia menurut dan langsung naik ke atas kasur untuk mengistirahatkan tubuhnya yang cukup lelah. Dia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi hari-hari yang menakjubkan ke depannya.

FLASHBACK OFF 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status