Hening masih menyelimuti ruang tamu. Jonathan duduk di lantai membiarkan punggungnya bersandar pada sisi sofa tempat Amel menggulung tubuh. Ia baru saja menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Tangannya yang besar membenahi helaian rambut Amel yang kusut, jemarinya sesekali menyeka sisa air mata di pipi pucat itu. Amel tak melawan. Ia membiarkan Jonathan memeluknya erat. Ada rasa lelah yang terlalu dalam untuk diperdebatkan malam ini. Lalu beberapa detik berlalu dalam diam. Suara Jonathan menghentikan tarikan ingusnya. “Amel.” Gadis itu mendongak. “Aku sungguh minta maaf,” ujarnya. Amel kembali menunduk. Kalimat itu sedikit membosankan.Ia ingin mendengus, tapi hidungnya penuh cairan. Ia kembali mengangkat wajah. Mata bengkaknya menatap pria itu lama sebelum akhirnya bibirnya bergerak.“Kak…” suaranya pelan. “Aku lapar.”Jonathan mengerjap. “Lapar?” pelukannya perlahan terlepas. Amel mengangguk. Air mata masih menetes di pipi, tapi suaranya terdengar lebih jelas. “Aku… mau ikan rebu
Sudah jauh lewat tengah malam. Rumah keluarga Sailendra yang megah tampak lebih sunyi. Seisi rumah sudah terlelap di ranjang yang hangat, tersisa Amel yang duduk di ujung sofa di bawah lampu ruang tamu yang masih menyalah. Bahunya turun, jemari saling menggenggam erat di pangkuan, menahan gemetar yang tak juga reda. Jam di dinding berdetak lambat, seolah sengaja memperpanjang waktu penantiannya. Setiap suara mobil yang melintas di depan pagar membuat jantungnya terlonjak dan merosot lagi ketika bukan Jonathan yang muncul. Hingga akhirnya, suara pintu utama terbuka pelan. Jonathan berdiri di ambang, setelan gelapnya kusut, dasinya sudah dilepas sembarangan. Wajahnya kelelahan, matanya sayu. Amel bergeming, tak berniat menyambutnya. Ia menatap pria itu, menunggu apapun yang akan keluar dari bibirnya lebih dulu. Jonathan memejamkan mata sesaat, otak lelahnya berputar mencari kata. “Amel.” Suara itu terdengar serak. “Aku, minta maaf.” Amel membuang napas lelah, menahan perih yang mend
Marcell mengangkat bahu seakan tak peduli. "Dan sekarang, aku tidak butuh kau lagi. Karena gadis itu sudah menyerahkan seluruh kendali hidupnya padaku." Marcell mendekat. “Tapi kalau kau mau, aku bisa membantumu untuk mendapatkan Jonathan seutuhnya.”Fidya mundur setengah langkah, rahangnya bergetar. “Dengan cara yang busuk?” Sarkas Fidya. “Aku masih punya akal sehat, Marcell. Kau itu monster kecil dalam keluarga terhormat. Dan aku tidak mau menaruh hidupku padamu!” Marcell tertawa pelan. "Baiklah.” Ia menoleh ke arah kerumunan. Tatapannya jatuh pada Amel yang tampak anggun berdiri di sisi Jonathan. “Tapi kalau kau berubah pikiran,” Ia kembali menoleh pada Fidya, senyum liciknya terbit, “kau tahu kemana harus mencariku.” “Tidak, terima kasih.” Fidya menegakkan dagu. “Aku lebih suka dengan caraku sendiri.” Ia meletakkan gelas kristal itu ke meja dengan sedikit kasar, lalu berbalik meninggalkan Marcell tanpa menoleh. Sementara itu, di tengah Ballroom, Jonathan menggenggam tangan Amel
Lampu kristal menggantung megah di langit-langit Ballroom yang luas. Suara langkah para sosialita memantul di lantai marmer, menciptakan atmosfer formal yang dingin. Di antara kerumunan tamu undangan, langkah seorang wanita muda dan pria dewasa di sisinya mencuri perhatian. Amel tampak tenang dengan gaun hitam elegan berpotongan sederhana, rambutnya disanggul rapi, dan riasan tipis tampak pada wajah lembutnya. Hari ini ia berdiri di tempat yang tidak pernah ia bayangkan, sebagai istri pewaris keluarga Sailendra. Jonathan di sampingnya mengenakan setelan tiga potong gelap. Sikap tegak, sorot matanya dingin, dan tangannya melingkar di pinggang Amel. Di tengah ruangan, Ratna berdiri mengangkat gelas kristal tinggi-tinggi. “Selamat malam, izinkan saya mengenalkan menantu keluarga Sailendra, Amelia Putri Sailendra, istri cucu saya, Jonathan Sailendra.” Tepuk tangan bergemuruh menyambut perkenalan singkat itu. Amel yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian mendadak menegang. Jonathan
Jonathan menoleh cepat menatap Marcell. Rahangnya mengeras, tangan kirinya mengepal di sisi paha. Ia menarik napas dalam, berusaha meredam amarah yang nyaris meluap.“Aku rasa kau lupa satu hal,” ucap Jonathan dingin. “Amel itu istriku.”Marcell menautkan jari-jarinya di depan dada, bersandar santai di sandaran kursi.“Aku tahu. Lagipula aku tidak mengklaim dia milikku,” ujarnya tenang. “Aku hanya bilang, dia berarti bagiku.”“Berarti?” Jonathan mengulang dengan nada mengejek. “Kau bicara seakan punya tempat di hidupnya.”Marcell menautkan alis. “Memangnya kau juga punya tempat di sana?” “Dia istriku,” katanya pelan, seperti peringatan. “Seharusnya kau tahu batasmu!”Marcell tak menjawab hanya menatap balik dengan senyum tipis yang sulit dibaca, entah itu meremehkan atau menantang.“Sudah cukup kalian berdua!” seru Ratna yang mulai muak mendengar perdebatan mereka. Dia menatap Marcell dan Jonathan bergantian menghentikan ketegangan yang terjadi di antara mereka. “Eyang akui kalau vi
Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Ponsel Jonathan di samping ranjang berdering, layar menyala menampilkan nama Raden. Amel tetap duduk di sisi ranjang, jemarinya saling menggenggam erat dipangkuan.Perlahan Jonathan mengerjapkan mata. Sorotnya kosong sejenak, lalu pandangannya jatuh pada Amel. Ia mengangkat badannya duduk bersandar di sandaran ranjang. Ada satu detik jeda sebelum ia meraih ponsel itu, menempelkan ke telinga. Hanya beberapa patah kalimat yang terdengar, nada diseberang cepat dan mendesak membuat mimik wajah Jonathan berubah. Rahangnya menegang, alisnya merapat, matanya meredup gelap seiring kata yang dia dengar. Saat panggilan berakhir, ia menurunkan ponsel itu perlahan. Jari-jarinya memutih mencengkram benda pipih itu. Ia membuka salah satu portal berita di layar ponsel, menatapnya lama sebelum akhirnya mendengus pendek. Matanya beralih pada Amel, tatapan itu keras meminta penjelasan. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Jonathan. Amel memandang ujung kakinya, bib