“Sherena? Yang mana?” tanya balik Juwita semakin bingung.“Itu, Bu. Wanita yang melarang Ibu masuk ke lobby kantor Pak Maha waktu pertama kali kita ketemu,” sahut Ziana menjelaskan.“Wanita judes itu? Namanya Sherena. Kok kayak pernah dengar ya. Memangnya dia siapa?”Mahanta kembali menarik tangan Ziana, seolah meminta kekuatan dari menggenggam tangan perempuan itu. Tapi Ziana justru merasakan hal lain. Saat ini Mahanta membutuhkan Ziana untuk mempercayainya. Pria itu akan menjelaskan sejelas-jelasnya tentang hubungannya dengan Sherena.“Na, mungkin kamu tidak akan percaya semudah itu padaku. Tapi aku berharap kamu bisa mendengarkan penjelasanku sampai selesai. Aku ingin meluruskan kesalahpahaman diantara kita.”Mahanta kembali menatap Pak Tomo dan Ibu Juwita. “Dulu aku dan Sherena memang menjalin hubungan pacaran. Bahkan ada rencana pertunangan yang sempat kami bicarakan. Tapi Sherena berselingkuh dengan Jay hingga hamil.”Ibu Juwita menutup mulutnya yang terkejut mendengar penjelasa
Mahanta baru saja akan membuka mulutnya ketika ponselnya berdering nyaring. Pria itu buru-buru mengeluarkan ponselnya dan melihat siapa yang menelponnya. “Sherena,” ucapnya lalu meletakkan ponsel itu di atas meja. Ziana melirik layar ponsel Mahanta yang sudah hilang nada deringnya tapi panggilan dari Sherena belum berakhir. Ibu Juwita juga ikut kepo dan melirik layar ponsel Mahanta. “Kenapa nggak diangkat?” Ibu Juwita menunjuk ponsel Mahanta saat panggilan kedua masuk. “Aku malas mendengar suaranya. Nggak penting, tante.” “Angkat saja. Kita dengerin rame-rame.” Mahanta mengikuti permintaan Ibu Juwita yang penasaran. Segera terdengar suara centil Sherena yang sepertinya sengaja dibuat-buat kalau bicara dengan Mahanta. [“Maha, lama banget angkat telponnya. Kamu lagi dimana sih?”] “To the point. Ada apa?” Nada suara Mahanta terdengar dingin. [“Besok om dan tante ‘kan pulang tuh. Nenek suruh kita menjemput ke bandara. Jemput aku ya di rumah.”] “Pulangnya bukan besok, lusa,” sahut
Sherena masih berharap dirinya akan dipanggil. Bahkan sampai sengaja memperlambat jalannya dan berpura-pura terhuyung. Tapi sampai lima menit berlalu, tidak ada siapapun yang mengejarnya. Saat Sherena berbalik, Mahanta dan kedua orang tuanya sudah pergi dari tempat mereka berdiri tadi.“Sialan! Mereka kemana sih,” dumel Sherena lalu mengedarkan pandangannya berusaha mencari keberadaan Mahanta.Lelah mencari-cari, Sherena buru-buru kembali ke mobilnya. Wanita itu menutup pintu dengan keras, lalu mengomeli sopirnya.“Kamu lihat nggak kemana sopirnya Maha pergi?!”“Tadi ke arah parkiran, Nona.”“Ck! Memang nggak berguna! Pulang sekarang!”Sopir Sherena menjalankan mobil keluar dari bandara dan tanpa mereka sadari kalau mobil Mahanta juga keluar dari gerbang yang berbeda. Kedua mobil itu berjalan beriringan, tapi sopir Sherena hanya diam, meskipun ia tahu keberadaan mobil Mahanta.Mahanta sengaja mengajak kedua orang tuanya makan di restoran favorit mereka. Pria itu akan memberitahu tenta
Renan meletakkan bungkusan kue buatan Hannah diatas meja kerja Ziana. “Baru saja. Hari ini kamu pulang ‘kan? Tidak baik lembur terus.” Pria itu melirik ke arah perut Ziana lalu tersenyum smirk.Ziana meneguk salivanya melihat arah pandangan Renan. Perempuan itu sengaja tidak menutupi perutnya agar Renan tidak semakin curiga. Ziana tidak percaya kalau Renan baru saja sampai karena sifat kepo kakak iparnya itu.“Nanti aku pulang, Pak,” sahut Ziana.“Oke. Riana juga nyariin kamu. Kemana buna katanya.” Pandangan Renan pun beralih pada Lintang yang sudah berdiri di samping pintu ruangannya. “Pak Lintang, saya cuma nganterin titipan kakaknya Ziana. Saya permisi dulu.”Ziana terus menatap punggung Renan yang berjalan kembali ke lift. Kedua kakinya terasa lemas hingga kembali terduduk di kursi kerjanya. Dengan tangan gemetar, Ziana meraih gelas air minum lalu meneguknya hingga tandas. Ziana belum memikirkan tanggapan Hannah kalau sampai tahu tentang kehamilannya.Reaksi Ziana membuat Lintang
Mahanta berjalan cepat diikuti Hasan dan Intan yang menyusul di belakangnya. Segera setelah Mahanta mendengar terjadi sesuatu pada Ziana, pria itu bergegas kembali ke kantornya. Dengan tidak sabaran Mahanta menekan tombol lift agar pintu kembali tertutup.“Tenanglah, Maha. Lintang bilang sudah memanggil dokter ‘kan?” kata Intan menenangkan Mahanta.“Tapi, mah. Aku khawatir terjadi sesuatu pada Ziana. Dia sedang hamil muda. Padahal aku sudah menasehatinya untuk tetap di apartemen, tapi dia bersikeras ingin bekerja.”Hasan dan Intan bisa melihat kegelisahan yang terpancar dari ekspresi Mahanta. Sudah lama sekali mereka tidak melihat ekspresi seperti itu dari Mahanta, sejak tiga tahun yang lalu. Pintu lift segera terbuka di lantai kantor CEO.“Ziana!” seru Mahanta yang sudah melesat lebih dulu menuju ruang kerjanya. Pria itu membuka pintu dengan kasar dan mendapati Lintang sedang menunggu di samping ruang pribadinya. “Lintang! Mana Ziana?!”“Ada di dalam. Kavya sedang memeriksanya. Tungg
“Mau diangkat?” tanya Mahanta.“Aku nggak berani. Biarkan saja dulu. Nanti kuchat. Gimana dengan kedua orang tuamu?”“Apa kamu siap bicara sekarang?”Ziana mengangguk lalu merapikan penampilannya dibantu Mahanta. Setelah siap, mereka berdua keluar dari ruang pribadi itu dan menemui orang tua Mahanta. Ziana tersenyum tipis lalu mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri.“Selamat siang, Bapak, Ibu. Nama saya Ziana.” Ziana tidak berharap uluran tangannya akan dibalas. Karena itu, perempuan itu menarik tangannya lalu mengangguk hormat.“Saya Hasan dan ini istri saya, Intan,” sahut Hasan lalu mengulurkan tangannya diikuti Intan.Ziana menyalami tangan Hasan dan Intan dengan hormat, sebelum duduk di samping Mahanta. Wanita itu sengaja menggerai rambutnya untuk menutupi pipinya yang membiru. Tapi mata awas Hasan lebih dulu melihatnya.“Pipimu kenapa?”Ziana sontak merapikan rambut yang menutupi pipinya lalu menyenggol Mahanta untuk membantunya memberikan alasan. Tapi jawaban Mahanta me
Ziana mengusap sudut matanya yang basah lalu tersenyum tipis pada Mahanta. “Kak Hannah menunggu kita di rumah. Bisa ‘kan?”“Iya. Kita ke rumahmu nanti ya,” sahut Mahanta lembut.“Kalau gitu, saya titip kue saja ya untuk keluargamu. Sebentar saya pesan dulu,” ucap Intan.“Jangan merepotkan, Bu.”“Tidak repot. Nanti sama Maha ngambilnya. Kue di toko ini enak banget ‘loh. Saya langganan disana.”Ziana mengangguk pelan lalu membiarkan Intan sibuk sendiri dengan ponselnya. Tapi setelah beberapa saat, raut wajah Intan sedikit berubah.“Yah, tokonya tutup hari ini. Aneh banget. Padahal tadi pagi ownernya masih posting story kue hari ini loh.”“Memangnya mama mau beli kue apa?” tanya Mahanta.Intan membalik ponselnya dan menunjukkan gambar beberapa jenis kue basah. Sejenak Ziana merasa tidak asing dengan gambar tersebut. Tapi perempuan itu tidak bertanya lebih lanjut.“Kue ini mama paling suka. Jarang banget ada toko kue seperti ini di dekat sini. Kamu ‘kan suka juga kue soes ‘kan? Lemper jug
“Kakak nggak bohong, Ziana. Sudah ya. Ada yang mau bayar,” ucap Hannah lalu memutuskan sambungan teleponnya.Ziana tidak bisa terima begitu saja. Feelingnya bisa merasakan ada sesuatu yang Hannah sembunyikan. Perempuan itu beranjak dari atas tempat tidur, lalu keluar dari ruangan itu. Sejenak Ziana tertegun karena Mahanta tidak ada di kursinya.“Kemana dia?”Tapi Ziana tidak punya waktu untuk mencari keberadaan Mahanta. Setelah keluar dari ruang kerja pria itu, Ziana langsung menyambar tasnya dan pergi dari sana. Dalam pikirannya saat ini hanya memikirkan untuk segera pergi ke toko kue Hannah.Dengan menaiki gocar, Ziana akhirnya sampai di depan toko kue itu. Sejenak ia tertegun melihat toko yang terlihat sepi. Seharusnya semakin sore, toko kue itu semakin ramai. Biasanya seperti itu. Tapi kini hanya ada satu mobil yang terparkir di depan toko kue itu.“Dari bank?” gumam Ziana lalu turun dari gocar yang ditumpanginya.Ziana berjalan cepat mendekati pintu toko yang terbuka lebar, lalu