Keesokan harinya, tampak Riko juga sudah tiba di sana. Dari sini, Riko mulai melacak keberadaan ibu Salma melalui nomor teleponnya. Riko punya keahlian dalam bidang itu. Hingga tidak butuh waktu yang lama, akhirnya Riko menemukan tempat tinggal ibu Salma yang sekarang ini. Dia tinggal di sebuah villa, tidak sempit, tidak juga luas. Villa itu cukup untuk menampung dirinya. Nyaman untuk di tinggal. Walaupun begitu, ibu Salma merasa seperti tinggal di hotel mewah saja. Villa itu tidak jauh dari desanya. Tepatnya berada di ujung desa, yang keterbatasan dengan kota. Iya, di sanalah dia. Riko tersenyum puas. Siang ini juga mereka semua bergerak menuju villa itu. Teringat akan tamparan keras dari kakak dan iparnya membuat dirinya sedikit berkeringat. Mereka berdiri menatap ibu Salma dengan tajam. "Herlina! Kamu berpihak pada mereka." Hardik ibu Salma. "Seharusnya ibu merasa malu karena sudah membohongi banyak orang. Lihat, di luar sana begitu bany
Chapter 26. Sementara di tempat lain, kabar buruk Tina mulai terlihat di media. Awalnya ibu Salma menyebar isu buruk tentang Tina hanya pada orang-orang desanya. Namun, mereka tidak percaya karena mereka tau bagaimana sikap ibu Salma selama ini. Ibu Salma duduk dan berpikir bagaimana caranya untuk menyebar isu itu. Akhirnya dia menemukan cara yaitu di media sosial. Ibu Salma mulai merekam kesedihan palsunya untuk menjebak penonton. Lama kelamaan, sudah begitu banyak orang-orang yang menatap benci ke arah Tina. Begitu dengan Nathan, reputasi nya menjadi buruk. Banyak perusahaan yang tidak ingin bekerjasama dengan perusahaannya. Begitu juga dengan paman dan bibinya, paman mengetahui isu itu ia menjadi begitu marah. Berkali-kali ia memukuli ibu Salma dengan keras. Bibi Seri juga, sangking begitu marahnya dia bahkan dirinya kehilangan kendali. Ia memukuli ibu Salma bertubi-tubi. Wajahnya, tubuhnya, remuk oleh amukan bibi Seri. Untung saja. Kehidupan masih berpihak padanya
Diri tamak dan serakah masih mendukung dirinya, sehingga dirinya tidak menyadari apapun. Bahkan dia tidak tau kalau baru saja melewati masa kritisnya. Dia mengira semua itu hanya mimpi, mana mungkin dia sakit. *** Tidak terasa kini sudah dua bulan waktu telah berlalu. Kehamilan Tina sudah memasuki sembilan bulan, Tina sudah kelihatan gemuk. Namun, tenaganya jauh dari kata sehat. Akan tetapi, dia harus menahannya sampai bayi itu lahir. Tidak terasa terbeban karena mertuanya dan para pelayan begitu menjaganya dengan baik. Semenjak itu, bahkan Herlina menghilang tanpa jejak. Entah kemana perginya dia. Entah bagaimana kabarnya, hidupnya di luar sana seorang diri. Hingga dua minggu berlalu, akhirnya Tina tiba waktunya melahirkan. Nafasnya tidak teratur, tenaganya sangat lemas. Darahnya yang kurang, bahkan sang dokter pun panik harus melakukan proses lahirannya bagaimana. "Maaf, Tuan. Hanya satu di antara mereka yang harus di selamatkan." Ujar dokter.
Keesokan harinya, paman pulang kerumah dengan tatapan kosong. "Ada apa pak? Kenapa begini, bapak sakit?" Tanya bik Seri yang panik melihat kondisi sang paman. "Dimana Tina?" "Mereka masih di kamar. Kenapa pak?" "Mereka harus kembali pulang saja. Tidak ada guna juga tetap disini. Salma masih tidak berubah terhadapnya. Uang segalanya di depannya. Dasar serakah!" Dengan emosi yang mendalam, mata yang memerah, rahang mengeras, dengan tangan meninju. Paman mengepal kuat tangannya. "Sudah, jangan marah-marah dulu. Belum sarapan kan? Sana sarapan dulu biar tenang." Memang dari dulu dulu istrinya itu paling mengerti dirinya dan paling mudah untuk menenangkannya. Sang istri tidak takut sedikitpun padanya walaupun saat ia sedang marah. *** Kembali lagi ke Nathan dan Tina. "Lalu apa rencanamu?" Tanya Nathan datar. "Balik saja. Hari ini juga kita pulang." "Kenapa mendadak? Ibumu belum sembuh total dan masih dirumah sakit. Kenapa, nggak betah ya?
Tina menoleh sesaat lalu menunduk lesu. Tubuhnya yang gemetar perlahan membaik. Ia tak langsung menjawab, rasa takut masih menjalar di tubuhnya. "Ayo, istirahat. Kamu butuh banyak istirahat. Tidurlah." Tina sejenak termenung. Terkagum melihat sikap Nathan yang sekarang. Ada apa dengannya? Dan ada apa denganku? Tina langsung ikut merebahkan tubuhnya di samping Nathan. Namun, hatinya terus berdebar hebat tak karuan. Kini, Nathan malah berbalik lagi. Nathan tidur dengan menghadap langsung kearahnya. Tina semakin linglung dibuatnya. "Apa yang salah? Kenapa kamu?" Tanyanya dengan mata yang masih menatap lurus kearah Tina. "Apa maksudmu, Tuan?" "Entahlah. Apa yang kamu punya? Kenapa aku aku melakukan itu waktu itu? Kenapa aku harus menikahimu? Padahal begitu banyak cewek-cewek berkelas dan cantik yang selalu saja mengejarku. Tapi, kenapa kamu yang aku pilih?" "Kenapa kamu nanya itu padaku? Mana aku tau." "Apa mungkin karna anak yang tumbuh di rahimmu i
"Bik, siapkan barangmu juga. Kamu akan ikut dengan mereka." Bik Misna hanya bisa mengangguk pelan tanpa membantah apalagi bertanya. Tak lama kemudian, Nathan pun tiba di rumah. Ia melihat Tina yang sudah siap dengan barangnya begitu juga dengan pelayan mereka. "Cepat angkat ini ke mobil!" Titah Marissa lantang. Nathan memutar balek tubuhnya dengan malas dan segera mengangkat koper itu ke bagasi mobil. "Terimakasih, Tuan" Hmmm... Tina masih berdiri dengan alis mengerut. "Jawabannya begitu ya?" Sontak, Nathan segera berbalik menoleh menatap Tina dengan tatapan datar. "Capat masuk. Katanya terburu-buru." "Nathan. Langsung di suruh masuk aja, pintunya tidak kamu buka bagaimana dia bisa masuk. Dasar kamu!" Hhhffff.. Lagi lagi Nathan hanya menghela nafas. Setelah 6 jam di perjalanan, akhirnya mereka tiba di rumah sakit Bhayangkara. Itu rumah sakit yang tidak jauh yang terletak di pertengahan kota dan desa. Tina langsung turun dan ber