Mentari sangat sedih melihat putra kebanggaannya terbaring di brankar rumah sakit. Air matanya kembali menetes dan segera dia usap karena yakin Aslan akan baik-baik saja setelah ini, sehingga dia tidak ingin larut dalam tangisannya. Saat melihat dari dekat wajah sang putra membuat hatinya kembali teriris, dia harus tahu apa yang menyebabkan anaknya sampai seperti ini.
Seorang perawat tadi memberikan padanya pakaian yang dipakai Aslan saat masuk rumah sakit dan dia letakkan diatas meja. Mentari memilih duduk di sofa untuk memeriksa pakaian itu. Dia menemukan ponsel, dompet dan kotak beludru dari dalam saku jas putranya.Mentari sangat penasaran dengan isi dari kitak beludru tersebut. Perlahan dia membuka kotak yang kini berada di tangannya dan alangkah terkejut dirinya saat melihat The Pink Star Diamond berada di depan matanya. Itu adalah cincin berkelas yang mewah dan mahal."Mungkinkah tadi Aslan akan melamar gadis itu menggunakan ini?" tanya Mentari dalam hati.Jika memang benar, sungguh miris nasib putranya yang ingin melamar gadis yang dicintai. Namun, berakhir dengan berdarah-darah yang kemungkinan besarnya akibat dari Aiko meskipun belum terbukti 100%. Jika sampai terbukti putranya telah diracuni, dia tidak akan memaafkan gadis tersebut.Pintu terbuka dan Mentari menoleh saat suaminya masuk ke dalam ruangan tersebut. Erlan berdiri di dekat brankar putranya sejenak lalu dia memilih duduk di sebelah istrinya, mencoba menghibur ibu dari anak-anaknya yang pasti sangat sedih dan terpukul atas kejadian ini. Dia menggenggam tangan wanita yang dia cintai sambil tersenyum."Yakinlah semua akan baik-baik saja karena Aslan adalah pria yang kuat. Dia tidak akan kalah hanya karena kejadian seperti ini," ucap Erlan menguatkan istrinya.Mentari mengangguk. "Kau benar, suamiku. Putra kita pasti akan baik-baik saja."Melihat suaminya yang datang sendirian, Mentari pun bertanya, "Di mana Abrahan dan Magnus?""Abrahan, aku perintahkan untuk memimpin anak buah kita untuk mencari keberadaan gadis bernama Aiko itu. Sementara Magnus sedang mengambil hasil pemeriksaan terkait makanan yang dimakan oleh Aslan saat berada di restauran. Beracun atau tidak, kita akan mengetahuinya nanti," jawab Erlan menjawab semua pertanyaan istrinya.Mentari terlihat ingin mengatakan sesuatu kepada suaminya. Namun, dia terlihat ragu. Semua itu terlihat jelas di wajahnya dan membuat Erlan penasaran. "Katakanlah, apa yang sebenarnya ada di dalam hatimu?""Aku merasa jika Aslan tadinya ingin melamar gadis yang bernama Aiko itu. Aku menemukan kotak beludru berisi The Pink Star Diamond dari dalam saku jasnya."Erlan sedikit tersentak dengan penyataan istrinya. Sungguh, jika sampai benar-benar terbukti kejadian yang menimpa Aslan adalah ulah gadis itu disaat putranya akan memberikan cincin tersebut untuk melamar, tentu dia akan berusaha menemukan Aiko bagaimanapun caranya. Dia bahkan tidak segan untuk menghabisi gadis tersebut."Apa kau yakin?" tanya Erlan dengan kening mengkerut.Mentari mengngguk yakin. "Memangnya apa lagi? Putra kita tidak pernah dekat dengan gadis manapun sebelumnya, sedangkan malam ini dia mengajak gadis itu makan malam di tempat yang bagus seperti Les Ombres dengan membawa cincin mewah ini." jawab Mentari sambil memberikan kotak beludru di tangannya kepada Erlan.Erlan menerima kotak beludru tersebut dan membukanya. Setelah menatap sesaat The Pink Star Diamond tersebut, dia kembali menutup kotak itu dan menoleh pada istrinya. "Aku tidak akan pernah memaafkan gadis itu!"Sementara di Montmartre Residence, seorang pria tampan tengah mengamuk di dalam apartemen miliknya. Dia membanting semua benda-benda yang ada di sekitarnya. Hal itu membuat gadis yang tadi dia sewa untuk melepaskan hasratnya pergi ketakutan."Sial! Bagaimana Aiko bisa gagal? Dasar gadis bodoh!" teriak Gilbert menggelegar.Gilbert Hugo sangat marah. Tugas yang dia berikan kepada kekasihnya, Aiko De Angelo justru berakhir dengan kegagalan. Padahal gadis itu sudah berhasil mendekati Aslan yang terkenal dingin dan tak tersentuh oleh gadis manapun yang menginginkan pria itu.Namun, kekasihnya mampu membuat pria dengan julukan Sang Bujang Lapuk itu bertekuk lutut pada gadis itu. Gilbert sudah bersusah payah mendapatkan gadis seperti Aiko untuk melancarkan aksinya menyingkirkan musuh bebuyutannya. Dia memang tidak benar-benar jatuh cinta, hanya sekedar memanfaatkan cinta dari gadis bodoh yang mencintainya.* * *"Magnus, bagaimana dengan laporan hasil penelitian makanan yang dimakan oleh Aslan?"Erlan kini berada di kantin rumah sakit, duduk berhadapan dengan Magnus. Sementara pengawal yang lain duduk tidak jauh dari mereka.Magnus meletakkan berkas hasil laporan penelitian di atas meja. "Sesuai dugaan saya, Tuan Besar. Nona Aiko memang meracuni Tuan Muda walaupun sebenarnya bukan racun yang gadis itu gunakan."Erlan mengernyit heran, tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Magnus. "Apa maksudmu dengan meracuni bukan dengan racun?""Nona Aiko menggunakan sejenis obat herbal yang tidak berbahaya dan tidak beracun. Yang paling aneh obat tersebut tidak berwarna dan tidak berbau sehingga Tuan Muda ketika memakannya tidak akan menaruh curiga sedikitpun. Namun, ketika obat tersebut dicampur dengan minuman berakohol, itu akan menjadi racun mematikan dan sulit untuk terdeteksi.""Lalu itu akan terlihat seolah Aslan terkena serangan jantung. Namun, yang janggal adalah putraku batuk dengan banyak darah yang keluar dari mulutnya," lanjut Erlan yang mulai mengerti.Magnus mengangguk. "Anda benar, Tuan Besar. Bahkan para ahli peneliti hampir saja tidak bisa menemukan ini. Dokter di rumah sakit pun akan merasa ini kasus serangan jantung yang cukup aneh."Erlan meremas gelas kopi kertas yang ada di tangannya sampai hancur, untungnya kopi di dalamnya telah habis diminum. "Aku tidak menyangka ada gadis sekeji itu terhadap putraku. Bagaimana bisa Aiko tega melakukannya?"Erlan sampai menggelengkan kepala karena tidak mengerti dengan jalan pikiran Aiko. "Magnus, aku ingin kau mencari Aiko. Sedangkan untuk menyelidiki siapa saja orang yang bekerjasama dengan gadis itu, aku akan serahkan pada Edward, asisten pribadi Aslan."Magnus mengangguk menerima perintah dari Erlan. "Baik, Tuan Besar. Saya akan segera mencarinya sekarang juga."Magnus pun segera pamit undur diri, dia tidak ingin membuang-buang waktu dalam mencari Aiko. Dia yakin gadis itu tidak akan bisa keluar negri karena saat ini dia sudah menjadi buronan dan akses untuk pergi keluar negeri ditutup. Namun, dia sungguh tidak menyangka jika wanita tersebut bisa merencanakan semua ini dengan begitu rapi dan kabur dengan sangat cepat."Siapa kau sebenarnya, Aiko?" gumam Magnus lirih saat berada di dalam mobil miliknya. Dia akui jika gadis itu sangat cantik dan menarik, bahkan sempat hadir rasa kagum dalam hatinya saat pertama kali melihat sosok tersebut bekerja dengan tuannya. Namun, siapa sangka di balik kecantikan dan perilaku yang mampu memikat setiap pria ada niat keji yang terselubung.Magnus segera mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah kerlap kerlip kecantikan kota Paris di malam hari. Dia menuju apartemen Aiko, berharap menemukan petunjuk di sana.* * *Tiga bulan kemudian Aslan bangun dari komanya setelah diracuni oleh Aiko. Dia benar-benar tidak menyangka dengan kenyataan yang harus dia hadapi. Gadis yang dengan tulus dia cintai bahkan hendak ia lamar justru menginginkan kematiannya.Aslan tersenyum miring setelah membaca berkas laporan dan mendengar cerita dari Magnus bagaimana dirinya sampai berakhir menyedihkan seperti ini. Dia yang sejak awal tidak suka berdekatan dengan wanita, kini semakin tidak menyukai makhkuk yang berjenis wanita kecuali ibu dan adiknya. Cinta yang dulu berkobar di hatinya untuk Aiko De Angelo kini berubah menjadi kebencian dan dendam yang harus dia balaskan."Kau harus membayar apa yang telah kau lakukan kepadaku!" Aslan menyeringai menatap satu-satunya foto gadis yang pernah dia cintai sekaligus yang menginginkan kematiannya di layar ponsel. Semua foto Aiko sudah dia hapus dan hanya menyisakan satu, itu semua untuk mengingatkan dirinya akan dendam yang harus dia balas.Malam di Paris masih terasa hangat, tapi udara di dalam apartemen Angela seperti berhenti berputar. Hening. Sunyi. Dan menyesakkan.Aslan berdiri di dekat jendela, menatap lampu-lampu kota yang bergemerlapan. Sementara Angela duduk di sofa, memeluk lututnya. Tatapannya kosong, tapi dalam pikirannya ribuan suara berteriak minta dikeluarkan."Aslan..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan.Aslan menoleh. "Hm?"Angela menarik napas dalam. “Selama ini... kamu hanya tahu aku adalah Aiko. Gadis yang memalsukan identitas dan mencuri posisi sebagai sekretarismu. Tapi aku belum pernah bilang... siapa aku sebenarnya.”Aslan diam. Tapi seluruh tubuhnya menegang. Matanya mengunci ke arah Angela yang kini menatapnya, tak lagi bersembunyi.“Aku bukan penipu biasa. Aku dulu pembunuh bayaran.”Keheningan runtuh seketika. Seperti kaca yang dibanting di lantai marmer."Aku… dulu bekerja untuk Organisasi Tangan Hitam. Mereka yang melatihku sejak aku berusia 12 tahun. Membuatku jadi senjata. Aku menghi
Angela menatap jam tangannya. Sudah hampir satu jam ia berada di restoran ini. Meskipun ia duduk diam dan hanya menjawab saat ditanya, tetap saja atmosfer meja itu membuatnya sesak.Aslan dan Klara terlihat membahas sesuatu tentang acara amal. Mentari sesekali menimpali, lalu menatap Angela dengan sorot mata yang tidak bisa dibaca.Angela berdiri dengan sopan. “Maaf, saya ke toilet sebentar.”Aslan pun menoleh pada Angela dan mengangguk tanpa banyak bicara.---Toilet wanita berlapis marmer hitam dan cermin panjang itu sunyi. Angela berdiri di depan wastafel, membasuh wajahnya perlahan. Ia tahu, ada yang tak beres hari ini. Klara, Mentari, dan cara makan siang ini dirancang—semuanya terlalu... sempurna.Angela menarik napas pelan, tapi langkah sepatu hak tinggi menghentikannya.Angela menoleh ke cermin.Mentari berdiri di ambang pintu dengan anggun, menutup pintu perlahan. “Kukira kita butuh bicara berdua,” ucapnya tenang.Angela berdiri tegak, tidak ingin menunjukkan kelemahan sediki
Langit malam Paris terlihat redup, seperti menahan napas. Aslan berdiri membeku di balkon unit kosong sebuah apartemen—berada tepat di seberang unit apartemen Angela. Jaraknya cukup dekat untuk melihat ke dalam, apalagi dengan lampu yang masih menyala terang di ruang tengah.Di dalam sana, Angela dan Leo duduk berdampingan di sofa. Angela tertawa pelan, lalu menerima secangkir coklat hangat yang baru saja dibuat Leo.Aslan mengepalkan tinjunya. Ada nyeri di dadanya. Aneh dan sulit dijelaskan.“Apa dia memang... sebahagia itu bersamanya?” desisnya lirih.Dari balik tirai kaca balkon, ia melihat Angela menyender sebentar ke bahu Leo sambil bicara pelan. Wajah Leo memerah. Tapi yang membuat hati Aslan makin bergetar adalah saat Angela menyentuh lengan Leo, lalu tertawa kecil sambil meledek, “Kamu tuh cocok banget gabung boyband Korea, Leo. Udah tinggi, putih, manis, bisa masak, bisa jagain orang… lengkap.”Leo menatap Angela. “Tapi sayangnya hatiku bukan untuk fans. Aku lebih suka peremp
Suara langkah sepatu Aslan terdengar menghentak di lorong kantor pusat Del Piero pusat. Para staf yang masih lembur sontak menunduk, pura-pura sibuk di depan layar komputer masing-masing. Tapi mereka tak bisa membohongi detak jantung yang berdegup lebih cepat setiap kali langkah dingin dan aura gelap sang CEO melintas. Wajah Aslan tampak gelap. Tatapan matanya tajam, seperti elang yang baru saja disakiti dan siap mencabik siapa pun yang berani menyentuh wilayahnya. Tadi sore, Leo menggendong Angela dengan tubuh dengan luka ringan dan wajah pucat. Katanya, Angela disekap di cabang kantor Del Piero Group di pinggiran kota oleh orang tak dikenal. Leo menyelamatkannya secara tidak sengaja saat hendak mencari Aslan. Aslan tidak peduli bagaimana Leo bisa berada di tempat itu. Yang dia lihat hanya satu hal—lelaki lain yang menggendong wanita yang dia cintai. Tubuh wanita itu adalah yang pernah tidur di pelukannya. Yang pernah membisikkan bahwa cinta itu tidak mudah, tapi dia ingin ber
Langit Paris sore itu diselimuti awan kelabu. Cahaya matahari yang biasanya menyapa lembut melalui kaca tinggi menara Del Piero pusat di Paris kini redup, tertutup mendung yang menggantung. Angela berdiri di dekat jendela kantornya, memandangi lalu lintas yang mengalir perlahan di sepanjang Rue de Rivoli. Ada sesuatu yang membuat hatinya tak tenang sejak pagi. Mungkin firasat. Atau mungkin karena mimpi buruk yang membangunkannya dini hari tadi—bayangan masa lalunya sebagai Aiko yang terus menghantui. Ia menghela napas panjang, lalu kembali ke meja dan melanjutkan pekerjaannya. Baru saja ia selesai mengecek laporan keuangan divisi logistik, ketika suara dari meja resepsionis terdengar di interkom. "Mademoiselle Angela Zhou, ada kiriman surat untuk Anda," ujar suara sopan sang petugas. Angela bangkit, berjalan menuju lobi lantai executive. Di sana, seorang pria kurir bertubuh ramping dengan topi hitam menyodorkan amplop besar berwarna hitam legam, disegel dengan lilin merah. Eleg
Cahaya lampu di ruang tamu maansiom Del Piero temaram. Jam dinding berdetak pelan, sesekali bersaing dengan suara rintik gerimis yang membasahi kaca jendela besar. Aslan duduk di sofa panjang, satu kaki disilangkan di atas yang lain, segelas wine merah yang belum disentuh berada di meja di depannya. Pikirannya jauh. Tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di meja bergetar pelan. 🔔 Notifikasi masuk: 📍“Permintaan akses untuk rekaman keamanan lantai 23: disetujui oleh Klara R.” Kening Aslan langsung berkerut. Matanya menyipit, menatap layar ponsel dengan tatapan curiga. > "Rekaman keamanan... lantai 23...? Bukankah itu lantai kantor Angela?" Dia menggulir layar ke atas, memastikan kalau dia tidak salah baca. Benar. Klara—wanita yang baru saja diperkenalkan sebagai rekan bisnis strategis—meminta akses khusus ke lantai yang seharusnya tidak menjadi urusannya. Ada firasat aneh yang menyelinap dalam dada Aslan. Perasaan tak nyaman yang menjalar perlahan, seperti hawa dingin yang menusuk