"Keluar kau dari rumahku sekarang juga!" Terdengar suara Hera mengusir seseorang dari rumahnya.
"Kenapa tidak putrimu saja yang kau jodohkan dengan lelaki itu?" Nyonya Hera, ibu dari Anyelir membantah keinginan Tuan Hadi Wijaya, mantan suaminya yang kini datang kembali ke rumahnya setelah belasan tahun menghilang tanpa kabar."Mana mungkin aku menyerahkan putriku untuk menikah dengan lelaki cacat seperti dia?" Tuan Hadi Wijaya menutup mulutnya yang keceplosan berbicara."Jadi kau ingin menjadikan anakku tumbal demi kepentinganmu, hah?" Nyonya Hera menatap Tuan Hadi dengan tidak percaya.Ia menyesal telah menikah dengan lelaki seperti Hadi. Lelaki yang telah berselingkuh dengan temannya sendiri dan meninggalkan dia beserta Anyelir yang kala itu masih kecil."Tidak ada jalan lain, perjodohan ini harus dilakukan karena orang tuaku dan keluarga Sudibyo telah mengatur hal ini dari semenjak Anyelir kecil." Tuan Hadi mengatakan hal itu tanpa rasa bersalah sedikitpun."Tidak tahu malu. Kau sudah menelantarkan kami selama bertahun-tahun, dan sekarang saat kau ada kesulitan, kau baru mencari kami untuk menyelesaikannya. Jangan harap aku mengizinkan Anyelir untuk menikah dengan pria pilihanmu." Nyonya Hera mengetatkan rahangnya dengan kuat. Semburat kebencian dan rasa sesak dalam dadanya menjadikan wanita itu mengepalkan tinjunya kuat-kuat."Aku terima perjodohan ini asal kau memenuhi syarat yang aku ajukan." Anyelir yang baru keluar dari kamar mandi berdiri di ambang pintu. dan menghampiri mereka."Apa?! Anyelir kau jangan bicara sembarangan!" Nyonya Hera memegangi dadanya yang terasa sakit.Ia baru pulih dari operasi jantung yang mengharuskannya memakai ring di jantungnya untuk bisa bertahan hidup. Tapi laki-laki yang sempat menjadi pendamping hidupnya itu telah membuat jantungnya kembali nyeri.Ditambah dengan keputusan Anyelir yang malah menyetujui permintaan ayahnya itu."Apa ini kau Anyelir?" Tuan Hadi menatap gadis yang kini mendekat ke arahnya. Berjalan dengan tatapan sayu namun penuh benci dan keberanian. Anyelir tidak ingin menggubris pertanyaan ayahnya yang sudah sangat ia benci, bahkan wajahnyapun hampir hilang di memori otaknya."Anye, jangan main-main soal pernikahan. Pria yang ditawarkan ayahmu adalah pria cacat." Nyonya Hera menggeleng tegas."Apa syarat yang kau ajukan Anyelir?" Tuan Hadi memotong pembicaraan mantan istrinya itu, ia khawatir Anyelir akan berubah pikiran karenanya."Aku ingin kembali ke Jakarta. Berikan kami sebuah rumah untuk tinggal dan juga berikan aku saham sepuluh persen dari perusahaan peninggalan kakek," tegas Anyelir.Nyonya Hera menghela nafasnya. Sama sekali ia tidak setuju dengan keputusan anak gadisnya itu."Oke, aku akan berikan semua yang kau minta. Besok pagi kita akan berangkat ke Jakarta," ucap Tuan Hadi setelah ia berpikir sejenak."Pria seperti apa yang akan aku nikahi nanti?" tanya Anyelir penasaran dengan cacat yang di derita calon suaminya."Dia—pria impoten." Tuan Hadi Wijaya terlihat ragu untuk mengatakan semuanya, ia takut Anyelir berubah pikiran.Nyonya Hera tampak terkejut mendengar hal itu, berbeda dengan Anyelir yang tampak datar menghadapi ini semua. Nyonya Hera tampak gemas sendiri melihat anak gadisnya yang tak bereaksi apapun."Tidak masalah bagiku. Aku tetap setuju." Jawaban Anyelir membuat Tuan Hadi tersenyum puas. Tidak sia-sia ia datang jauh-jauh dari Jakarta ke Yogyakarta kalau hasilnya sangat memuaskan seperti ini.Anyelir berbeda dengan ibunya. Ia lebih menurut dan tidak banyak membantah meskipun syarat yang diajukannya sedikit berat."Terima kasih Anyelir, kau memang bisa diandalkan. Aku akan menjemput kalian besok pagi. Kita berangkat ke Jakarta bersama." Tuan Hadi segera keluar dari rumah gubuk milik Nyonya Hera yang hampir roboh itu."Anye... ibu ingin kamu memikirkan lagi keputusanmu untuk menikah dengan pria itu. Pernikahan bukan hal main-main Anye. Kau tidak bisa mempertaruhkan hidupmu demi Ibu, demi kehidupan kita. Ibu tidak akan terima." Nyonya Hera duduk menghadapi putrinya yang saat itu masih terpaku dengan wajah tenangnya.Suara Nyonya Hera terdengar bergetar. Ia menatap wajah sendu putrinya yang terlihat pucat. Berbagai penderitaan telah dilalui oleh anak semata wayangnya. Di usianya yang menginjak delapan belas tahun mestinya ia hidup senang bertabur kebahagiaan. Menikmati masa remaja yang indah. Tapi apa yang terjadi dengan Anyelir tak seindah kehidupan gadis lain.Ia harus bekerja keras memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pagi hingga siang bekerja di pasar sebagai penjaga toko. Dan dari siang hingga malam dia bekerja sebagai pegawai Freelance di sebuah restoran.Semuanya di lakukan Anyelir dengan penuh semangat demi ibunya tercinta. Tak pernah mengeluh karena tidak mempunyai waktu bermain seperti gadis seusianya."Aku sudah memikirkannya, Bu. Justru karena aku ingin hidup kita lebih baik maka aku tidak akan ragu mengambil jalan ini.""Tapi Anye... pria itu tidak akan dapat memuaskanmu sebagai seorang istri. Dia—pria impoten—" Nyonya Hera kembali menjelaskan dengan ragu. Jika Anyelir menikah dengan pria itu maka seumur hidup Anyelir akan menderita.Anyelir hanya terdiam. Baginya menikah dengan pria impoten jauh lebih baik untuk dirinya yang saat ini memang sudah tidak suci lagi. Jadi tak akan ada protes yang mempertanyakan tentang kesuciannya yang telah terenggut oleh pria di malam itu."Kita berangkat ke Jakarta besok, Bu." Anyelir meyakinkan ibunya. Dia tidak ingin berdebat dengan ibunya lebih lanjut."Apa kau yakin?" Nyonya Hera menatap nanar wajah Anyelir."Sangat yakin. Ibu tenang saja, aku akan berusaha membuat hidup kita bahagia. Sudah cukup banyak penderitaan yang kita jalani selama ini. Sudah saatnya kita hidup lebih baik dari sekarang.Tiba di Jakarta.Karena penampilan Anyelir yang lusuh, Tuan Hadi Wijaya mengajak Anyelir membeli gaun di sebuah butik di mall besar yang ada di Jakarta."Tolong pilihkan gaun yang bagus untuknya." Tuan Hadi meminta seorang pelayan butik memilihkan gaun untuk Anyelir.Gadis itu hanya menurut dengan apa yang dilakukan ayahnya padanya. Seumur hidup baru kali ini ia membeli sebuah baju dari sebuah butik.Pilihan pelayan butik itu memang bagus. Gaun dengan warna dusty membuat penampilan Anyelir menjadi girly sekali. Ia juga menjadi tampak anggun dan cantik. Penampilannya berubah 180 derajat dan membuat Tuan Hadi terpesona melihatnya."Jangan merengut begitu, tolong tunjukkan sedikit senyummu," pinta Tuan Hadi dengan nada datar.Anyelir menghela nafasnya kasar. Ia menyunggingkan senyum tipisnya dengan terpaksa."Aku mau ke kamar mandi dulu." Anyelir pamit ke toilet dulu sebentar."Jangan lama-lama," pesan Tuan Hadi."Semuanya akan baik-baik saja Anye..." gumam Anyelir sembari berjalan menuju kamar mandi yang ada di pusat perbelanjaan itu.Buggh!"Kalau jalan pake mata dong!"Tanpa sadar Anyelir terkejut karena berjalan sambil melamun ia bertabrakan dengan seorang lelaki dengan tubuh jangkung menjulang."Maafkan saya." Anyelir menatap tajam pada wajah pria tampan yang terlihat dingin itu.Pria itu hanya mendengkus kesal. Tak menanggapi permintaan maaf dari Anyelir."Abimanyu, kau sedang apa, Sayang? Cepat ke sini! Ada tas bagus yang harus kau lihat, aku ingin membelinya." Seorang perempuan cantik melambaikan tangan ke arah pria tadi."Oke, kau boleh membeli apapun yang kau inginkan, Sayang." Pria itu mengabaikan Anyelir dan lebih memilih untuk menghampiri kekasihnya.Anyelir tertegun melihat kemesraan dia sejoli itu."Dasar arogan. Sombong sekali mentang-mentang tampan dan punya kekasih cantik." Anyelir pun mendesis kesal.Lelaki tadi menengok ke arah Anyelir seakan tahu kalau gadis itu baru saja mengumpat.DEGH!Jantung Anyelir berdetak. Sekilas kalung kupu-kupu yang di pakai pria itu. Kalung itu...Anyelir sudah duduk di ruang tamu. Semua orang yang ada di rumah ini menatapnya dengan tatapan mencemooh, seperti melihat sampah yang seharusnya dengan cepat mereka singkirkan. Anyelir duduk dengan resah menanti sang calon suami datang. Jika boleh menawar ia ingin segera pergi dari rumah ini, tak peduli suaminya impoten atau cacat apapun itu, ia akan dengan senang hati untuk ikut dengannya. "Jangan sentuh itu!" Vina, sang adik tiri yang berusia setahun lebih muda darinya dengan ketus menghardik Anyelir saat tangannya menyentuh guci besar yang berada di samping sofa. Reflek Anyelir menarik tangannya lagi. Dengan tatapan nanar ia menatap wajah Vina yang terlihat sangat tidak bersahabat dengannya. Anyelir mengetatkan rahangnya, menatap balik Vina dengan tajam. Harusnya dialah yang menerima perjodohan ini, bukan dirinya. Dasar gadis tidak tahu diri. Anyelir menggerutu dalam hati, karena ia tidak ingin merusak rencana yang sudah ia susun dalam otaknya. Deru mobil berhenti di halaman de
"Tiga bulan? Oke, aku setuju, tetapi dalam jangka waktu tiga bulan ini jangan harap kau bisa membuatku jatuh cinta," ucap Abimanyu dengan penuh rasa percaya diri. Anyelir menghembuskan napas kasar dan menyeringai tipis, "Siapa juga yang akan jatuh cinta pada pria impoten sepertimu."Anyelir meledek Abimanyu. Abimanyu mendengkus kesal dan menghampiri Anyelir. Tangannya mencengkram pipi gadis itu dengan kasar. " Jangan kurang ajar padaku karena aku tidak akan segan menyakitimu." Suara dingin dan kejam itu membuat nyali Anyelir menciut. Anyelir langsung mengatupkan bibirnya dan setelah itu Abimanyu pun melepaskan dirinya namun lelaki itu masih terlihat sangat kesal. Abimanyu melangkah pergi meninggalkan Anyelir yang masih membeku diselimuti rasa takut. Apakah dia bisa bertahan hidup dengan pria sekejam itu? *Anyelir memejamkan matanya untuk beristirahat. Kasur empuk dan sejuknya udara dari mesin pendingin ruangan membuat kedua matanya terasa lengket. Abimanyu sudah menyetujui permi
Anyelir sudah pernah melihat wanita itu di mall, jadi ia sudah tidak terkejut mendengar pengakuan wanita itu. Anyelir tertegun melihat wajah cantik wanita itu, meskipun umurnya terlihat lebih tua darinya tetapi dia mengakui kalau Lidya memang terlihat sangat cantik. "Nona Lidya, aku harap kau sedikit lebih sopan pada Nyonya Anyelir. Bagaimanapun juga dia adalah istri dari Tuan Abimanyu sekarang." Mbok Siwi sepertinya tidak menyukai sikap pongah Lidya terhadap Anyelir. Lidya memutar bola matanya. Ia melirik sekilas pada pembantu yang dari awal memang tidak pernah menyukai dirinya. Terdengar langkah kaki Abimanyu menuruni anak tangga. Lidya langsung memasang wajah manjanya dan tersenyum manis kepada laki-laki itu. "Sayang, jadi wanita ini istrimu?" tanya Lidya dengan nada merajuk bergelayut manja pada tubuh kekar Abimanyu. Kedua matanya menatap sinis pada Anyelir yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. "Iya, tapi kau jangan khawatir, hubungan kami hanya sebatas status di
"Abi, aku ingin menghabiskan malam ini bersamamu," bisik Lidya pelan dengan memainkan jemarinya di dada bidang Abimanyu. Lidya berjinjit dan ingin menyentuh bibir pria itu dengan bibirnya. Tapi tak ada reaksi apapun dari Abimanyu. Lagi-lagi pria itu begitu dingin. Seakan tak menyimpan perasaan apapun terhadapnya dan hal ini selalu membuat Lidya kesal. "Kau tidurlah lebih dulu, badanku cape, aku mau berendam air hangat dulu sebentar." Abimanyu melonggarkan pelukan Lidya dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Lidya mendesis kesal karenanya. Ia tidak tahu harus dengan cara apa lagi merayu pria itu agar mau tidur dengannya. Ia memang menggunakan cara kotor untuk menipu Abimanyu agar mau menganggap kehadirannya. Ia pikir setelah berhasil membuat Abimanyu terikat padanya, ia dengan mudah bisa menaklukan pria ini. Tapi ternyata tidak semudah itu. Abimanyu tetap dingin dan mengabaikannya. Tidak pernah ada cinta untuk Lidya. Gadis itu bisa merasakannya. Dan mereka bersama karena terdor
Anyelir terkejut melihat kehadiran Abimanyu yang begitu tiba-tiba itu. Dengan cepat gadis itu menutup pintu lemari pakaian agar Abimanyu tidak melihat tas lusuhnya. "Kau baru pulang?" tanya Anyelir berbasa-basi. "Kelihatannya?" jawab Abimanyu dengan ketus. Wajah tampannya sungguh terlihat dingin dan membuat atmosfer di dalam ruangan itu membeku. Lelaki itu ngeloyor pergi melewati Anyelir yang berdiri terpaku. Tercium bau parfum wanita yang beraroma manis. Pasti bau parfumnya Lidya, batin Anyelir. Abimanyu membuka kemejanya karena merasa tubuhnya lengket. Semalam ia terlalu banyak minum hingga mabuk berat di apartemen Lidya. Dan sepertinya hari ini ia akan terlambat pergi ke kantor. Tak akan ada yang memarahi dia karena datang terlambat, sebab Abimanyu adalah CEO dari perusahaan milik keluarga Sudibyo. Terlihat punggung kekar Abimanyu yang begitu kokoh dan menggiurkan saat pria itu membuka kemejanya. Anyelir yang berada di belakang pria itu hanya bisa menelan salivanya karena me
Anyelir membuka pintu kamarnya dengan perlahan sembari membawa segelas teh hangat di atas nampan. Namun pemandangan di dalam kamar membuat Anyelir terlonjak kaget. Abimanyu duduk di atas sofa dengan wajah diliputi kemarahan. Jantung Anyelir seakan berhenti berdetak melihat wajah Abimanyu yang tampak dingin. Seketika atmosfer yang menyelimuti kamar itu terasa mencekam seperti di dalam neraka. Kedua mata Anyelir membulat melihat benda yang berada di tangan Abimanyu. Dengan cepat Anyelir menaruh nampan di atas meja di depan Abimanyu. "Jangan sembarangan menyentuh barang orang lain!" Anyelir memburu Abimanyu untuk merebut benda di tangan lelaki itu."Kau bilang orang lain? Kau sudah lupa kalau kita sudah menikah kemarin? Cih, tidak kusangka kau berani menipuku seberani ini, siapa ayah dari bayi yang kau kandung itu?!"Abimanyu melemparkan tespek kehamilan Anyelir ke depan muka gadis itu."Bukan urusanmu." Anyelir menjawab dengan ketus. Ia memungut tespek miliknya yang jatuh di lantai.
Anyelir menyimpan kembali tas lusuhnya ke dalam lemari. Lalu ia menoleh ke arah pintu yang terus diketuk dari luar. "Masuk!" Pintu terbuka, kepala Mbok Siwi nongol dan terlihat begitu khawatir. "Nyonya, saya lihat kau sedang kurang sehat? Apa mau saya antar berobat?"Anyelir mengerjapkan matanya. Terharu dengan sikap perhatian yang ditunjukkan Mbok Siwi. Wanita paruh baya itu menghampiri Anyelir yang kini duduk di tepi pembaringan. Rasa mual di perutnya sudah tidak sehebat tadi. Hanya saja, ia masih shock karena Abimanyu mengetahui kehamilannya. Anyelir memijit pelipisnya yang berdenyut sakit. Kepalanya sekarang yang pusing. "Tidak usah Mbok, sepertinya aku hanya masuk angin." Anyelir beralasan. "Kalau begitu, Mbok bikinkan teh jahe untuk menghangatkan perutmu." Mbok Siwi membalikkan tubuhnya ke belakang. "Tidak usah, Mbok. Aku sudah bikin teh hangat tadi. Aku rasa itu saja sudah cukup." Anyelir melirik ke arah segelas teh yang masih utuh yang sejatinya teh itu sengaja ia buat
Anyelir menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat Abimanyu sedang berdiri di depan ruang kerjanya dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Anyelir terpaku. Ia kira lelaki itu telah berangkat ke kantor. Rupanya ia memutuskan bekerja dari rumah. Anyelir menelan salivanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Jika ia mengatakan akan bekerja, apakah Abimanyu akan marah padanya? "Jawab aku, kau mau kemana?" tanya Abimanyu dengan wajah dingin. "Apa kau mau menemui kekasihmu?" tanyanya lagi dengan tatapan penuh selidik melihat penampilan Anyelir yang begitu rapih. "Tidak... A—aku hanya ingin pergi ke rumah Ibu," jawab Anyelir asal. Abimanyu sepertinya tidak percaya begitu saja. Ia menghampiri Anyelir dan menelisik gadis itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Secantik apapun kau berdandan, tetap saja kau tidak akan berhasil menarik perhatianku." Abimanyu berdecak dengan senyum yang penuh dengan ejekan. Hati Anyelir langsung panas mendengarnya. Ia tidak menyangka bisa menikah dengan