Share

5. Lagi-Lagi

Dengan langkah lebar dan pandangan lurus ke depan, Allarick Xaviero berjalan santai memasuki gedung perusahaannya. Kantung mata laki-laki itu menghitam, wajahnya tak sesegar biasanya, namun tetap saja ketampanan seorang tuan muda Xaviero itu tak berkurang.

Para karyawan yang berlalu lalang membungkuk dengan segan padanya. Si bos yang akhir-akhir ini sangat murah senyum itu, hari ini terlihat begitu dingin dan suram. Dan mereka memilih untuk menghindar daripada terkena masalah.

“Arick.”

Panggilan itu mengalihkan perhatian Allarick. Ia cukup terkejut saat melihat Laura dengan berani menunggunya di lobby, bahkan wanita itu kini berjalan mendekatinya.

“Arick.”

“KENAPA KALIAN MEMBIARKAN WANITA INI MASUK, HAH?!” Teriaknya murka, ia mengedarkan pandangannya menatap pada para karyawan, sesaat kemudian security berlari mendekat.

Laura memegang tangan Allarick, “Arick, aku mohon bantuan kamu. A-aku, aku butuh pekerjaan Arick. Tidak bisakah kamu kasih aku pekerjaan? Aku nggak tau lagi harus minta tolong siapa,” pintanya dengan memelas.

Dengan keras Allarick menyentak tangan kotor Laura yang telah memegang tangannya. Pria itu mengambil sapu tangan di balik jas, lalu mengelap tangannya seolah sentuhan Laura meninggalkan kuman dan noda yang harus di hilangkan.

“Apa aku tidak salah dengar? Kau meminta pekerjaan?” Allarick menunduk menatap Laura.

Wanita itu mengangguk cepat, ia maju selangkah untuk lebih dekat dengan Allarick namun dengan cepat Allarick mundur.

“Ah, begitu? Lantas apa pekerjaan yang kau inginkan?”

Seulas senyum terbit dibibir Laura. “Apa saja Arick. Office Girl pun tak masalah bagiku. Aku sangat membutuhkan uang Arick, aku sedang kesulitan,” ucapnya bergetar, dengan mata berkaca-kaca.

Allarick tersenyum miring, ia mendekat pada Laura membuat wanita itu sedikit tersentak. Badannya sedikit membungkuk, dan kepalanya mendekat pada telinga kiri Laura.

“Sayang sekali, tidak ada pekerjaan yang cocok untuk wanita sepertimu di kantor ini. Bukankah keahlianmu hanya mengangkang di bawah laki-laki tua, nona? Di perusahaan ini skill seperti itu tidak di perlukan,” bisiknya menyeringai. Laki-laki itu kembali menegakkan badannya, dengan tangan bersidekap dada.

Laura menegang, tangannya yang berada di sisi tubuh terkepal erat. Ia mendongakkan kepalanya, menatap Allarick dengan tatapan terluka.

“A-arick ak-“

“Ssst, jangan memasang wajah seperti itu. Aku sungguh muak,” sela Allarick penuh penekanan.

Pria itu melirik ke arah dua security yang berdiri tak jauh darinya, mengkode kedua orang itu agar menyeret Laura keluar.

“Jangan pernah membiarkan dia kembali ke sini!!” titahnya.

Allarick menoleh ke arah pintu keluar dimana Laura yang di pegangi kedua satpam itu meronta-ronta, tanpa menyadari bahwa sebelumnya pintu itu sudah di lewati terlebih dulu oleh Elleza yang melihat kebersamaannya dengan Laura.

***

“Tidak usah ke bekerja Elle. Kau di rumah saja.” Lucas menatap jengah sang adik yang baru saja memasuki mobil. Elleza acuh, ia fokus memakai seatbelt nya tanpa menoleh pada Lucas.

“Elle!!” sentak Lucas.

Dengan sebal Elleza menoleh, “Kakak ini kenapa, hah? Kenapa jadi ikut-ikutan melarang Elle bekerja seperti mama dan papa?!”

Lucas menghela nafas lelah, “Liburlah beberapa hari Elle, itu untuk kebaikanmu,” bujuknya mengelus pundak sang adik.

“Elle nggak apa-apa kak. Kakak pikir Elle selemah itu? Hanya karena cinta jadi sedih berkepanjangan dan tidak bisa beraktifitas normal. Cuma karena putus pertunangan, dunia Elle nggak akan kiamat kak.”

“Ah, atau kakak bersikeras melarang Elle pergi bekerja hari ini karena kita ada meeting lagi dengan Allarick?” Tuduhnya.

Lucas diam, tidak bisa lagi menjawab karena memang yang di katakan Elleza itu benar. Hari ini mereka akan kembali meeting di perusahaan Allarick, untuk melanjutkan pembahasan kerja sama mereka tempo hari.

Ia hanya merasa jika Elleza butuh waktu untu kembali menata hati. Setidaknya sang adik bisa beristirahat selama beberapa hari, dan tidak perlu bertemu dengan Allarick dalam waktu dekat.

“Kakak tenang saja, Elle nggak apa-apa. Elle juga tidak akan mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan. Elle ke sana mendampingi kakak sebagai sekretaris, bukan sebagai mantan tunangan Allarick. Jadi, ayo kita berangkat kak. Sudah hampir telat,” ucap Elleza dengan senyum manisnya, membuat Lucas mau tak mau mengangguk. Setelah mengacak rambut adiknya pelan, pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Tak butuh waktu lama, kini mereka sudah sampai di perusahaan Allarick. Keduanya berjalan beriringan, namun tiba-tiba Lucas berhenti saat akan masuk.

“Elle, ponsel kakak tertinggal di mobil. Kamu tunggu di lobby ya? Kakak ambil dulu.”

Pria itu berjalan cepat kembali ke mobilnya untuk mengambil ponsel, sedangkan Elleza hanya mengendikkan bahu dan melanjutkan jalannya. Hingga tepat sesaat setelah melewati pintu masuk, ia melihat Allarick berdiri disana.

Laki-laki itu membungkuk dengan kepala menempel pada seorang wanita di sampingnya, yang tak lain adalah Laura. Dari jaraknya yang cukup jauh, Elleza tidak buta untuk melihat apa yang mereka lakukan.

“Salah paham? Cih. Kalau waktu itu salah paham, lalu ini apa?” gumamnya.

Tak ingin berlama-lama melihat adegan yang cukup ‘manis’ itu, Elleza kembali berbalik keluar gedung dengan sesekali mendongak agar air mata sialannya yang sudah menggenang tidak jatuh.

“Loh, Elle kenapa keluar lagi?” tanya Lucas yang baru kembali.

Elleza tersenyum kikuk, “Ada yang ketinggalan juga kak ternyata, kakak masuk duluan ya? Elle ambil dulu,” ucapnya menjauhi Lucas yang mengernyitkan dahinya heran.

“Kenapa tadi tidak mengirim pesan padaku untuk sekalian mengambilkan?” gumamnya.

***

Selama meeting berlangsung, Allarick sesekali mencuri pandang ke arah Elleza. Namun gadis yang ia pandangi itu sama sekali tak meliriknya, Elleza malah sibuk mencatat notulen mengenai pembahasan meeting dengan serius.

Keadaan yang seperti ini sungguh tak pernah terbayang di benak Allarick sebelumnya. Ia terlalu percaya diri dengan rasa cinta yang di miliki Elleza untuknya, sehingga ia sangat yakin bahwa gadis itu tak akan pernah bisa berpaling darinya.

Gadis yang biasanya mencuri pandang ke arahnya setiap ada pekerjaan bersama, gadis yang biasanya selalu menatapnya dengan penuh damba dan merecoki hari-hari tenangnya dengan segala tingkah. Tapi sekarang, bahkan untuk meliriknya sedikitpun gadis itu seperti tak sudi.

“Tahan Elle, tahan. Jangan melihat ke arah bajingan tengik itu!!” Elleza terus menggumamkan kalimat itu dalam hatinya.

“Mr. Allarick? Apa anda mendengar saya?”

Allarick langsung tersentak saat mendengar pertanyaan dari Lucas, ia membenarkan posisi duduknya dan mengangguk. Sementara Lucas sedikit tersenyum miring, ia tau benar kalau pikiran Allarick sedang kacau karena adiknya. Yah, sesekali pria angkuh seperti Allarick Xaviero itu harus di beri pelajaran agar tak selalu semena-mena.

“Kakak, Elle ingin es krim.” Elleza menatap kakaknya penuh harap, setelah selesai membereskan berkas-berkas.

“Dasar bocah.”

Dengan bibir mengerucut sebal, Elleza merapikan rambutnya yang baru saja di acak-acak Lucas. Gadis itu tak menyadari bahwa sedari tadi ia diperhatikan dengan intens oleh Allarick yang masih bertahan di tempat duduknya disaat yang lain sudah keluar.

Ah, lebih tepatnya Elleza tidak menganggap keberadaan Allarick? Atau menghiraukan pria itu? Ck, keduanya sama saja.

“Ayo.” Lucas menarik lembut tangan adiknya menuju pintu keluar.

Saat mencapai pintu, Lucas mengernyit heran karena adiknya berhenti. Ia menoleh ke belakang, dan berdecak sebal saat tau Allarick menahan satu tangan adiknya.

“We need to talk, Elle.”

Tatapan Elleza yang semula terpaku pada pergelangan tangannya yang digenggam Allarick, kini beralih menatap wajah tegas pria itu.

“For what? Tidak ada lagi yang perlu di bicarakan. Ah, kau tak perlu lagi menjaga image di depan orang-orang Al. Karena berita pemutusan pertunangan kita sudah menyebar, jadi kau tak perlu lagi berpura-pura.”

Rahang Allarick mengetat tanda menahan emosi. Pria itu bahkan tak menyadari genggamannya pada pergelangan tangan Elleza turut menguat. Dengan mempertahankan wajah datarnya, Elleza berusaha tak mengeluarkan ringisan.

“Jangan menyakiti adikku lagi Al!” Lucas menyentak tangan Allarick hingga terlepas. Ia mengelus tangan Elleza yang memerah, lalu kembali mengajak adiknya itu melanjutkan langkah.

Sementara Allarick terdiam. Ia melihat dengan jelas pergelangan tangan Elleza yang memerah karena ulahnya. Seketika perasaan bersalah kembali menyeruak di dalam hati pria arogan itu tanpa ampun.

“Lagi-lagi, aku menyakitimu Elle,” gumamnya terkekeh miris.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status