Share

Mengejar Cinta Mas Dokter
Mengejar Cinta Mas Dokter
Penulis: LivLiv

Firasat Buruk

“Nay, congrats!”

“Uuuu! Nayli, gue terharu!”

“Step akhir, yaitu wisuda. Yeay!”

Seruan demi seruang masuk ke gendang telinga Nayli. Bibirnya lantas melengkung, menciptakan lekukan kecil di masing-masing pipi, mata ikut membentuk bulan sabit meski tengah menahan air mata bahagia.

Rasa lega, bahagia, haru bercampur aduk menjadi satu. Dia akhirnya bisa menyelesaikan program S-1 jurusan Hubungan Internasional tepat waktu. Dan beberapa menit lalu, kaki terasa lemas setiap langkah kaki menjejak bumi, mengantarkannya keluar dari ruang sidang yang membuat dada seperti sesak, memancing keringat dingin berkucuran.

“Makasih, ya, kalian udah nungguin gue keluar.” Dia berheneti sejenak, lalu menarik napas panjang agar rongga dada terasa lebih longgar. Setetes air mata pun tak bisa ditahan lagi, mengalir ke pipi saking bahagia. “Jangan lupa, ya. Nanti malam pada datang ke rumah, kita makan-makan. Kata nyokap gue, syukuran atas anaknya yang cantik ini bisa raih gelar sarjana.”

Satu per satu buket bunga, makanan ringan dari tangan teman-teman Nayli telah berpindah tempat ke dekapannya. Bahkan, nyaris kewalahan jika saja sahabat sejak SD, Meysa tak membantu memegang tiga buket.

Mata Nayli yang berembun menatap satu per satu paras orang-orang di sekelilingnya. Tak ada. Seseorang yang dia harapkan hadir menyambut, mengucapkan selamat, justru menghilang dari pandangan. Bukan hanya hari ini saja, tetapi hampir seminggu sosok Arya bak ditelan bumi. Semua media sosial tidak aktif, pun nomor telepon seluler selalu operator yang menyambut panggilan Nayli.

Tak mungkin hanya karena satu orang, Nayli menghilangkan senyuman. Menghargai para sahabat, lengkungan itu kembali tercetak indah di bibirnya meski sorot mata berubah sendu. Meysa sadar, lantas mendekat dan berbisik di telinga kanan, “Dia emang nggak datang. Nanti gue temenin lo ke rumah Arya buat kelarin masalah kalian berdua.”

“Makasih, Mey,” balas Nayli, sama berbisik.

Sebulan sudah hubungan keduanya tanpa kejelasan. Kalau boleh jujur, Nayli sendiri menyesal karena sudah memulai pertengkaran itu. Padahal hanya masalah kecil, tetapi karena dirinya memang terkadang kekanak-kanakan, selalu membesarkan masalah yang ada.

“Nayli! Nayli!” Seorang perempuan bertubuh gempal tampak lari tergopoh-gopoh di lorong mendekati kerumunan mereka yang belum beranjak dari depan pintu di mana tadi Nayli keluar mengembuskan napas lega.

“Awas! Gempa, guys!” seru salah seorang teman pria, bermaksud bergurau. Dia pun mendapatkan pukulan di bahu dari perempuan tersebut.

Napasnya terengah-engah sambil menyerahkan sebuah selempang hitam dengan sisian emas. Tertulis nama nama Nayli Syifa Dyah, S.IP.

“Sorry ... hah ... gue telat,” ucapnya setelah susah payah meredakan napas yang terputus-putus sambil badan melakukan posisi rukuk, kedua telapak tangan bertumpu di lutut.

“Iya, nih. Si Elis dari tadi baru nongol.”

“Ya, maaf. Ada urusan mendadak,” seru Elis sambil nyengir tak berdosa, ibu jari terangkat.

“Nggak jauh urusan perut,” celetuk teman Nayli yang lain.

Biarlah Nayli mengesampingkan urusan dengan Arya sekarang ini. Karena bukan pemuda itu saja yang berharga dalam hidup Nayli, tetapi para sahabat pun tak kalah penting.

“Ya udah, kalau gitu kita foto-foto aja dulu,” usul Nayli yang diangguki mereka semua.

Saat asyik berfoto ria, satu per satu giliran berdiri di samping Nayli, tiba-tiba ponsel di saku jas almamater terasa bergetar. Terpaksa kesenangan mereka terjeda. Lantas, Nayli merogoh benda pipih tersebut. Tertera mama di layar.

Nay, bisa pulang dulu nggak?

Siap, Ibu negara. Tapi agak lamaan dikit, nggak apa-apa, ya, Ma. Kasihan anak-anak lagi foto bareng sama sarjana baru.

Pesan yang dikirimnya pada sang mama di aplikasi hijau tersebut langsung centang biru. Tertera kalau sang mama tengah mengetik.

Iya, ditunggu, Sayang. Hati-hati di jalannya.

Oh, iya. Selamat, Sayang atas gelar sarjananya. Love u.

Ponsel kembali ke saku jas. Senyum mengembang menyambut ajakan teman-temannya yang belum puas berfoto.

Lima belas menit berlalu.

“Gue pulang dulu, ya. Nyokap nunggu di rumah. Mey, bisa anterin gue, ‘kan? Si Blue masuk bengkel, ngadat dia.”

“Oke,” sahut Meysa seraya mengacungkan ibu jari.

***

“Mey,” panggil Nayli. Meysa hanya menyahut dengan dehaman, fokusnya lurus ke jalanan.

Nayli tampak gelisah. Sejak duduk di mobil, dia tak henti memakinkan jari-jari tangannya. Entah mengetuk-ngetuk layar ponsel, atau memilin tali tas selempang cokelat hadiah dari Arya. Jantungnya pun entah kenapa selalu berdegup lebih kencang dari biasanya, keringat dingin keluar dari telapak tangan.

“Lo kenapa, sih?” tanya Meysa, setelah hening beberapa saat. Padahal tadi Nayli yang memanggilnya lebih dulu, tetapi malah bungkam. Awalnya pun, Meysa ingin abai, mungkin Nayli masih diserang gugup akibat sidangnya tadi. Akan tetapi, dirinya pun ikut merasa terusik. Sempat melirik Nayli, ujung flatshoes hitamnya terus mengentak-entak.

Nayli menoleh. Dia menatap Meysa beberapa saat, lalu menggeleng. “Nggak apa-apa, lo lanjut fokus nyetir aja. Kalau lo lengah, bisa bahaya.”

“Nggak perlu bohong sama gue, Nay. Kita kenal udah lebih dari satu dekade, ya. Lo kalau mau bohongin gue, jangan harap. Jujur aja, deh.” Meysa menghela napas panjang. “Si Arya belum ada kasih kabar, kan?”

Tebakan Meysa seratus persen benar.

Kembali Nayli menekan tombol power ponselnya, massih belum ada notifikasi pesan dari Arya yang sedari tadi dia tunggu. Justru penuh dengan pesan dari teman-teman dan grup yang pastinya isinya sama semua, mengucapkan selamat atas sidang akhir Nayli. Lalu, Nayli menoleh ke kanan, menatap sisi wajah Meysa yang menurutnya lebih cantik, natural daripada dirinya.

“Itu yang bikin lo duduk kayak cacing kepanasan, Nay?”

Nayli mengangguk pelan. Dia menunduk sambil menghela napas panjang. Tak hilang. Rasa tak nyaman di dada, sedikit sesak, urung jua menghilang. Pikiran Nayli masih dipenuhi tentang Arya. Pikiran negatif langsung mendominasi.

“Mey,” cicit Nayli. Dia cukup malu untuk menceritakan hal yang baginya sepele, tapi tidak bisa diabaikan juga. “Gue ... perasaan gue tiba-tiba nggak enak. Kayak ....”

“Kayak sesuatu terjadi sama Arya, iya?” sela Meysa dan langsung diangguki Nayli.

Untung masih lampu merah. Meysa bisa menatap Nayli lekat lebih lama. Setelah terdengar bunyi klakson dari mobil belakang dan ternyata lampu sudah berganti warna, Meysa menghadap depan lagi. Barulah suaranya memotong keheningan selama beberapa detik itu.

“Selama ini, firasat perempuan tentang pasangannya jarang meleset. Misal, tiba-tiba kepikiran dia selingkuh, pasti terbukti. Apalagi, hubungan kalian itu nggak sebentar dan pasti ada ikatan batinnya.”

“Jadi?”

“Jadi, kita lihat beberapa saat lagi. Entah bagaimana cara Tuhan memperlihatkan atas firasat lo itu.”

Nayli tercenung. Dia setuju dengan pendapat Meysa. Hubungan dirinya dengan Arya hampir menginjak angka enam tahun. Segala macam masalah sudah dilalui. Perselingkuhan, salah paham. Apalagi, Nayli yang sering overthingking sering menjadi penyebab pertengkaran kecil itu.

“Nay, gue mau tanya ke lo, nih.”

“Apa?”

“Lo yakin nggak kalau si Arya emang jodoh yang Tuhan kirim? Bukannya gue memperkeruh suasana lo sekarang. Cuma ....” Meysa sengaja menggantungkan kalimatnya sesaat. Ada rasa ragu yang menyusup di hatinya. Entah harus jujur atas apa yang pernah dia lihat tempo hari meskipun Meysa belum tahu sendiri lebih jelas.

“Cuma apa, Mey?” desak Nayli. Perasaan tak enaknya semakin menjadi-jadi. Dia merutuk jarak dari kampus ke rumahnya lumayan jauh ditambah banyak lampu merah dan padatnya kendaraan di jalan.

Meysa menggeleng pelan. Dia yakin, untuk tidak mengatakannya sekarang. Mungkin lain waktu setelah Meysa menyelidiki lebih lanjut sekaligus mencari bukti. Kalau sekarang, takut ucapannya menjadi fitnah dan merusak hubungan  sahabatnya. Dia tahu betul bagaimana watak Nayli.

“Ya ... ngerasa aneh aja gitu sama sikap si Arya sekarang. Lo selalu prioritasin dia sedangkan dia kayaknya nggak. Nggak ada timbal balik yang setimpal aja gitu.”

“Apa yang gue lakuin ke Arya emang atas kemauan diri gue sendiri, Mey. Nggak ada rasa pengen apa yang gue kasih, dia kasih balik.”

“Lo nggak merasa dia berengsek?” tanya Meysa lagi.

Nayli tersenyum simpul. Dia menoleh ke jendela, lebih tepatnya ke kaca spion. “Pada dasarnya, manusia itu punya dua manusia, Mey. Sadar tanpa sadar, ada sisi iblis dan sisi malaikat. Dan tentu dia emang berengsek karena dia manusia.”

Perbincangan mereka berhenti di sana. Mobil Meysa sudah berhenti di dekat pagar rumah Nayli.

“Nay, gue numpang ke kamar mandi, ya. Ada panggilan alam mendesak, nih. Kalau ditunda, bisa-bisa mobil gue masuk ke carwash.”

Nayli hanya mengangguk. Dia lebih dulu keluar dari mobil, lalu membuka pintu belakang. Beberapa buket dari teman-temannya tadi dia bawa ke rumah, dibantu Meysa y ang sudah seperti cacing kepanasan, didesak panggilan alam.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status