“Siapa tahu Mbak Irene mau ditikung sebelum ijab kabul.”
*** Aku berdiri di tengah-tengah ballroom yang luas, dikelilingi bunga-bunga segar yang dipilih dengan cermat untuk menghiasi setiap sudut. Warna-warna cerah mewarnai meja-meja bundar, sementara langit-langit dihiasi kerlap-kerlip lampu gantung kecil yang memberikan kesan romantis dan memikat. "Mbak Irene, bunga ini taruh di mana?" tanya salah satu pegawai. “Oh, bunga itu taruh di meja penerima tamu. Dan… tolong, pastikan nggak menutupi daftar tamu ya,” jawabku sambil menunjuk tempatnya. “Siap, Mbak Irene!” Aku Irene Handoyo, putri dari Pak Handoyo dan Bu Ramisha. Aku seorang wedding organizer sekaligus pemilik "Ever After Events", bisnis yang kutumbuhkan dari kecintaanku pada estetika dan perasaan bahagia di momen-momen besar kehidupan orang lain. Setiap bunga, setiap simpul pita, hingga pencahayaan—aku pilih dan atur dengan penuh perhatian. Bagiku, dekorasi bukan sekadar mempercantik ruangan. Mawar bukan cuma mawar—dia melambangkan cinta. Lily itu kesucian. Anggrek? Keanggunan yang tak berisik. Setiap kali aku merangkai pernikahan, aku ingin tamu yang datang tak cuma memuji keindahannya, tapi juga bisa merasa... sesuatu. Sesuatu yang membekas. Tapi, hari ini—di pernikahan Bagas dan Novita—ada sesuatu yang bikin suasana sedikit lain. Nia, asistenku yang selalu kepo, menghampiriku sambil senyum-senyum misterius. “Mbak, lihat, deh. Mas Gasan dateng. Itu lho, kakaknya Mas Bagas.” Aku menoleh sekilas ke arah pintu masuk ballroom. Seorang pria masuk, tinggi dan tegap, setelan jas biru tua membalut tubuhnya dengan pas. Gaya jalannya percaya diri, seperti seseorang yang terbiasa diperhatikan. Aku kembali ke clipboard. “Kenapa lo kasih tahu gue?” Nia terkikik. “Siapa tahu Mbak Irene mau ditikung sebelum ijab kabul.” Aku menyentil keningnya pelan. “Dasar, kerja yang bener!” Baru saja Nia menjauh, datanglah Pak Teguh—manajer Hotel Amalia—dengan gaya khasnya, rambut klimis, parfum mencolok, dan ya, buket bunga di tangan. Aku nyaris menghela napas dengan suara. Lagi? “Hai, Irene,” sapanya manis. “Aku bawain mawar merah. Katanya kamu suka, kan?” Dia menyodorkannya dengan bangga. "Simbol cintaku," tambahnya dengan nada dramatis. Oh, Tuhan. Ini sudah ketiga kalinya minggu ini. Bahkan, di pertemuan pertama, dia sudah bicara soal menikah. Serius. Apa karena aku single dan sibuk kerja, orang-orang pikir aku haus perhatian? “Maaf, Pak. Saya nggak tertarik. Permisi,” ujarku tegas. Kutinggalkan dia dengan bunga dan kebingungan di tangan. Aku menuju lorong samping ballroom, mengecek dekorasi ruang pengantin. Sepanjang lorong, suasana sedikit lebih tenang. Namun, langkahku terhenti ketika melihat sosok pria yang berdiri menyandar santai di dinding, seperti sedang menunggu seseorang. “Jadi perempuan, jangan terlalu angkuh, Mbak. Nanti jodohnya takut duluan,” katanya enteng, senyumnya penuh percaya diri. Matanya menyipit menatapku. Aku menoleh pelan. “Maaf?” Dia mendekat satu langkah. “Gasan. Gasan Ishaaq. Kakaknya mempelai pria. Baru aja lihat kamu tolak cowok bawa bunga. Sadis juga, ya.” Aku mengangkat alis, berusaha menahan diri. “Dan, apa itu ada hubungannya dengan Anda?” “Nggak juga. Cuma, penasaran. Perempuan secantik kamu, kok kayak benteng berlapis.” “Karena saya bukan tempat wisata yang bisa dikunjungi sembarangan,” balasku tajam. Dia tertawa kecil. “Galak juga, ya.” “Defensif,” koreksiku. “Karena saya kerja di tengah banyak laki-laki yang sok tahu.” Dia menyilangkan tangan, mengamatiku. “Pantes. Gayamu kayak nyetir rapat direksi.” Aku menatapnya datar. “Karena saya pemilik usaha ini. Kamu? Gayamu kayak CEO.” Dia nyengir. “Kebetulan, Aku adalah CEO Ishaaq Group.” Aku terdiam satu detik. Oke, tidak kusangka. Tapi, tetap saja. “Selamat, Tuan CEO. Tapi, jabatan itu nggak otomatis bikin opinimu valid buat saya.” Dia kembali tertawa. Aku mulai merasa geli sendiri. Pria ini jelas bukan tipikal cowok basa-basi. Tapi, entah kenapa aku tak bisa sepenuhnya ilfeel juga. “Kamu suka bunga?” tanyanya tiba-tiba. Aku sempat bingung, tapi menjawab, “Suka. Banget.” “Kalau aku bilang kamu mirip peony, kamu marah nggak?” Aku menyipitkan mata. “Tergantung. Maksudnya apa?” “Cantik, tapi hati-hati banget buka kelopak. Nggak semua orang bisa lihat sisi dalamnya.” Aku terdiam. Oke, ini mendekati pujian yang kupikirkan semalaman. Tapi, aku nggak mau kalah. “Dan kamu seperti duri mawar. Nempel terus di mana ada peluang, tapi menyakitkan kalau disentuh sembarangan.” Dia tersenyum lebar, lalu berkata pelan, “Fair enough.” Sebelum suasana makin absurd, aku melangkah pergi. Tapi, langkahku terhenti saat dia memanggil. “Irene.” Aku menoleh. “Mungkin kamu bener soal pagar tinggi. Tapi, kadang ada orang yang cukup sabar buat ketuk pintu, bukan dobrak.” Aku sempat terdiam, lalu berkata, “Semoga kamu sabar beneran. Karena pagar ini nggak pakai kunci duplikat.” Lalu, aku melanjutkan langkah. Entah kenapa, lorong yang sepi tadi terasa sedikit lebih hangat sekarang. Atau, mungkin karena pria menyebalkan yang—sialnya—membuat jantungku berdetak agak lebih cepat. *** Suara musik lembut mulai mengalun. Ballroom sudah penuh oleh tamu-tamu berpakaian elegan. Lampu digelapkan sedikit, menyisakan cahaya keemasan dari chandelier dan lilin-lilin di setiap meja. Aku berdiri di sisi ruangan, earpiece terpasang, clipboard di tangan, mata awas mengamati segala sudut. Pemandangan pengantin berjalan menuju pelaminan selalu jadi favoritku. Ada sesuatu yang magis saat dua orang berjalan berdampingan, siap memulai hidup bersama. “Lighting oke. Musik jalan. Catering on time. Alur masuk tamu clear,” kataku pada tim lewat earpiece. Semua di bawah kendali, persis seperti yang kurencanakan. Tapi, dari ujung mata, aku tahu seseorang sedang menatapku, lagi. Gasan. Dia berdiri dekat meja minuman, memegang segelas sparkling water, dan—astaga—masih dengan senyum menyebalkannya. Seperti dia tahu betul aku nggak bisa sepenuhnya mengabaikannya. Aku berpaling, pura-pura sibuk mencatat sesuatu. Tapi, tak lama kemudian, “Pemandangan dari sini bagus, ya?” tanyanya, tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. Aku menoleh cepat. “Maksudnya?” “Kamu yang lagi kerja dan fokus, juga tegas. Tapi, tetap kelihatan tenang.” Aku mendesah pelan. “Kalau kamu lagi bosan, di pojok sana ada photo booth. Bisa foto bareng balon sama kacamata lucu.” “Ah, tapi aku lebih suka interaksi manusia asli daripada properti pesta.” Dia bicara santai, tapi matanya mengunci padaku. Aku tak membalas. Cuma menatapnya sejenak, lalu kembali fokus ke keramaian. “Kalau kamu ikut ke aisle, bisa jadi bridesmaid paling galak di sejarah,” katanya lagi. “Dan, kamu bisa jadi tamu paling banyak omong,” balasku pelan. Dia tertawa. “Aku serius, lho. Kamu tipe orang yang, walau diam di pojok ruangan, tapi tetap paling nyala. Kelihatan beda.” Aku meliriknya. “Kamu selalu gombal begini ke semua orang?” “Nggak. Biasanya cuma ke klien investor dan," jedanya sambil melirikku, "perempuan yang menarik perhatianku.” Deg. Aku mengalihkan pandangan ke panggung. Bagas dan Novita sudah duduk di pelaminan. Semua berjalan lancar. Tapi, pikiranku sedikit teralihkan. Sial. Gasan melirikku. “Aku tahu kamu sibuk, tapi kalau nanti pesta selesai, apa boleh traktir kamu kopi? Teh, atau apa pun yang nggak ada hubungannya sama bunga?" Aku mengangkat alis. “Kenapa?” “Karena aku mau tahu kamu lebih dari sekadar wedding organizer galak yang suka marah kalau bunga dipindahin.” Aku menahan senyum. Hampir. “Nanti malam aku masih harus beresin rundown dan follow-up ke vendor. Nggak ada waktu buat teh.” “Besok?” “Besok ada dua meeting.” “Lusa?” Aku menatapnya penuh tanya. “Kamu selalu segigih ini, ya?” Dia mengangguk. “Kalau menurutku layak." Dan entah kenapa, aku nggak bisa membalas dengan sarkasme seperti biasa.Aku membuka mata perlahan, cahaya pagi yang lembut menyelinap lewat celah tirai--lupa kututup rapat semalam. Badanku terasa ringan, aneh. Padahal, begadang. Tapi, pagi ini damai, menenangkan.Kupalingkan kepala. Kosong. Sepi, sunyi, hampa. Gasan? Harusnya memang tidak ada. Rasa kecewa yang sayup mulai muncul.Aku mendengkus pelan, menatap langit-langit dengan perasaan sedikit kesal. "Irene Handoyo, sadar! Kalian itu cuma ngobrol manis semalam, bukan honeymoon!" Kata-kata itu terasa sinis, menyindir diriku sendiri.Baru kuselimutin diri, siap kembali tidur—tok tok tok!— suara ketukan pintu yang keras, diikuti suara yang jauh dari kata romantis, suara yang menggelegar dan mengganggu kedamaian pagiku."Mbak, telor abis! Lo lupa belanja, ya? Gue udah ngubek kulkas, tapi cuma ada tomat kering satu, whipped cream, sama kecap sachet!" Suara Pras terdengar cemberut, juga menuntut.Keningku berkerut. "Pras, whipped cream itu punya gue! Jangan dimakan!" teriakku, duduk dengan rambut acak-acaka
Aku baru saja menyelesaikan sesi presentasi untuk klien dan sedang duduk di sofa ruang tengah sambil memijat pelipis, ketika pintu kantor diketuk pelan.“Ada tamu, Mbak?” tanya Rini, salah satu stafku dari balik meja resepsionis.Aku belum sempat menjawab ketika pintu terbuka, lalu di sanalah dia, Gasan.Hari ini adalah satu Minggu setelah kami pulang dari acara kemarin. Dengan kemeja abu-abu lengan digulung dan tangan menenteng kantong kertas berlogo salah satu resto favoritku di Jakarta. Senyumnya kecil, tapi cukup bikin degup jantungku melonjak tak karuan.“Permisi,” katanya, matanya langsung mengarah ke aku. “Ada yang belum sempat makan siang, nggak?”Rini langsung nyengir sambil nyikut bahu Juni. “Wah, Mas Gasan bawa bekal, nih.”Aku berdiri, kikuk, tapi senang. “Lho, ngapain ke sini?”“Ngantar makanan,” jawabnya ringan, lalu menghampiri dan menyodorkan kantong itu. “Gue inget lo suka ayam bakar kremes dari tempat ini. Dan, gue juga inget lo sering lupa makan kalau udah kerja."A
Pagi datang seperti biasanya—tenang dan sejuk. Tapi bagiku, pagi ini terasa berbeda.Aku bangun lebih dulu. Gasan masih terlelap di ranjang sebelah, wajahnya tenang, napasnya teratur. Ada senyum kecil di bibirku saat melihatnya. Apalagi, kalau mengingat kejadian kemarin sore."Bagaimana bisa gue senyum-senyum sendiri begini?" gumamku pelan, menahan tawa kecil sambil menarik selimut sampai menutupi wajah.Dari arah ranjang, terdengar dengkuran halus. Syukurlah dia belum bangun. Kalau tahu aku kayak orang jatuh cinta lagi, bisa-bisa dibully seharian.Kukibaskan rasa malu yang nggak jelas arah itu. Udara pagi di vila menyapa kulitku dengan dingin lembut. Wangi tanah basah masih tertinggal dari hujan semalam. Dengan langkah ringan, aku keluar kamar secara mengendap-endap sambil mengikat rambut yang awut-awutan. Mataku melirik jam dinding di ruang tengah. Baru jam tujuh lewat sedikit. Vila masih sepi.Dari balik jendela, kulihat burung-burung kecil hinggap di dahan pohon mangga yang menjul
Gasan berdiri tiba-tiba, lalu berjalan ke arahku. Aku sempat bingung, tapi belum sempat bertanya, dia sudah jongkok di depanku dan meraih kakiku.“Eh, ngapain, lo?” tanyaku reflek, panik karena belum siap dengan gesture mendadak semesra itu.Dia tidak menjawab. Hanya meletakkan kakiku perlahan ke pangkuannya, lalu mulai memijat pergelangan kakiku yang entah kenapa terasa pegal sejak kemarin.“Gue lihat lo jalannya agak miring pas dari lift tadi. Pasti masih pegal gara-gara kelamaan berdiri di acara tadi, ya?”Aku menatapnya, terdiam.Tangannya hangat. Gerakannya pelan, seperti takut menyakitiku, tapi cukup mantap untuk membuat otot-otot kakiku rileks.“Lo ngamatin gue sedetail itu?” gumamku, sedikit mencairkan suasana.“Gue bukan detektif, tapi gue apal cara jalan lo, Ren. Bahkan, dari jauh.”Aku ingin menjawab sesuatu yang sarkas atau lucu. Tapi, tenggorokanku seolah tertelan kata-kata sendiri.Dia mendongak sebentar, menatapku. “Kalau gue bisa bantu lo ngelewatin hari tanpa pegal, t
Gasan menoleh, menunggu. Tapi, aku ragu melanjutkan. Bukan karena tak tahu harus bilang apa, justru karena terlalu banyak.“Lo nyebelin,” kataku akhirnya, pelan.Alisnya terangkat. “Maksudnya?”“Lo bikin gue mikir ribuan kali, nanya ke diri sendiri terus-menerus, ‘Apa gue segitu nggak pentingnya buat lo?’ Padahal, lo juga yang dulu bilang pengen gue ada terus.”Dia mendesah. “Ren…”“Dan sekarang, lo bilang mau bareng-bareng lagi, tapi tetap dengan gaya lo yang sok misterius, nyebelin, dan terlalu hemat kata-kata!”“Gue gak hemat kata-kata,” balasnya, mulai terdengar defensif. “Gue cuma gak tahu harus ngomong apa, kalau lo selalu pasang tameng tiap gue coba deketin!”Aku berdiri, menatapnya dengan campuran marah dan bingung. “Karena gue gak ngerti posisi gue, Gas! Lo pernah bilang kangen, tapi hilang dua minggu. Lo muncul sekarang, seperti jelangkung."Dia ikut berdiri. “Ya karena gue takut! Lo pikir gue nggak mikirin lo? Gue tiap hari nahan buat nggak balas chat lo karena gue kira, lo
Tadinya aku hampir batal ikut proyek di Lombok. Tapi, Pras dengan mulut julidnya, malah jadi penyemangat paling nggak romantis.“Kalau lo sampe gak berangkat ke Lombok gara-gara cowok, mending gue potong kartu ATM lo sekarang,” katanya dengan nada sarkas penuh dedikasi.Jadi, aku berangkat.Proyek WO kali ini memang cukup besar—klien kami adalah pasangan influencer yang ingin konsep intimate wedding di private villa dekat pantai. Timku terbagi dua. Bagian vendor dan bagian dekor, sementara aku bertugas sebagai liaison antara klien, venue, dan semuanya yang bisa bikin acara ini berjalan smooth.Aku baru tiba di villa tempat acara akan digelar ketika melihat mobil hitam berhenti di area parkir. Pintu depan terbuka dan dari dalam, keluar seseorang yang selama ini cuma muncul di kepala.Gasan Ishaaq.Dia mengenakan kemeja putih dan celana khaki, kacamata hitam bertengger di kepala. Aku refleks melangkah mundur sedikit, seolah butuh jeda napas.Gasan menoleh ke arahku, dan mata kami bertem