Share

Bab 2

Penulis: Lavinka
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-11 16:39:27

Telah berlalu beberapa minggu sejak pertemuanku dengan pria menyebalkan itu. Kini, aku sudah berada di Bandung, di sebuah hotel ternama, untuk menangani acara pernikahan--Bimo dan Kiki-- dengan tema "Garden Party".

Biasanya, aku akan sangat antusias dengan tema seperti ini. Bunga-bunga segar, lampu-lampu gantung kecil yang menyala redup saat malam tiba, dan dekorasi alami yang menyatu dengan alam—itu seperti panggung sempurna bagiku untuk berkarya.

Sayangnya, cuaca Bandung yang tak bisa diajak kompromi memaksa kami memindahkan seluruh konsep ke area indoor. Tentu saja, ini bukan hal yang mudah karena pengerjaan waktu itu sudah hampir 60% disesuaikan untuk taman terbuka.

“Kadang, yang kita rencanakan dengan sempurna bisa diacak-acak oleh hujan,” gumamku saat itu sambil menatap langit mendung dari balik jendela ballroom.

Beruntung, klien kali ini adalah anak Bupati. Semua biaya ditanggung penuh oleh keluarga mereka. Jadi, penyesuaian ini meskipun rumit, tidak terlalu membebani. Lagipula, mereka percaya penuh padaku, dan kepercayaan itu harus kujawab dengan hasil yang sepadan.

Akhirnya, hari ini selesai. Paling, hanya cek ini itu saja.

"Mbak, makan dulu," kata Nia sambil menyodorkan nasi kotak.

"Thanks, Nia. Tapi, gue belum lapar. Taruh aja di meja," jawabku, tetap fokus merangkai bunga untuk buket pengantin. Kali ini aku memilih kombinasi peony, baby's breath, dan mawar putih. Lembut, anggun, tapi tetap punya karakter.

"Ok, jangan lupa nanti dimakan, Mbak! Ingat, uang itu segalanya, tapi sehat juga mahal!" cibir Nia sambil tertawa.

Aku hanya menjawabnya dengan melemparkan potongan busa bunga ke arahnya. Dia menghindar sambil tertawa geli. Suasana kerja yang santai seperti inilah yang membuatku tetap waras di tengah tekanan.

Setelah selesai, aku tidak langsung makan. Ada beberapa hal yang harus kupastikan. Background pelaminan, sistem suara, pencahayaan, hingga arah datangnya tamu VIP. Aku berjalan cepat menuju panggung, menyesuaikan posisi lampu. Namun, langkahku terhenti ketika melihat sosok yang sangat familiar sedang berdiri bersandar di dekat pilar.

Jantungku seperti ingin menolak kenyataan.

Dia lagi.

Gasan Ishaaq.

Mau ngapain dia?

Masih dengan aura menyebalkannya. Masih dengan senyum setengah miring dan tatapan seolah tahu segalanya. Aku berusaha pura-pura tidak melihat, tapi seperti hukum semesta yang kejam, dia sudah memergokiku.

"Lo ngapain ngikutin gue?" katanya tiba-tiba, membuatku menoleh tajam.

Lo-gue?

Ok.

"Apa?! Dalam mimpi pun gue ogah ngikutin lo!" Aku menepis kata-katanya seperti debu yang menempel di bahu.

Tapi, dia malah tertawa. “Lo selalu segalak ini, ya? Apa ini bagian dari SOP wedding organizer?” Gaya bicaranya yang sok dekat sepertinya memang sudah menjadi ciri khasnya, dan aku tidak peduli.

Aku menghela napas, berusaha sabar. “Kalau, udah selesai ganggu orang kerja, silakan pergi, Pak Gasan!"

Akan tetapi, dia justru melangkah lebih dekat hingga jarak kami tinggal sejengkal. “Tenang aja. Gue nggak akan lama. Cuma mau bilang, lo tetap kelihatan cantik, bahkan saat lagi kesal begini.”

Aku mendongak menatapnya. “Gue lebih suka dibilang profesional daripada cantik. Sekarang minggir!”

Seperti biasa, dia malah tersenyum santai. Tidak ada satu pun omonganku yang sepertinya berhasil membuatnya tersinggung.

***

Acara pemberkatan dan resepsi berlangsung lancar. Semua tamu tampak menikmati pesta. Malam ini adalah puncaknya. Musik lembut mengalun di udara, diselingi tawa para tamu dan gemerlap lampu gantung yang memantul di gaun-gaun mewah.

Aku duduk di salah satu meja undangan. Untuk malam ini, aku membiarkan diriku sedikit lebih santai. Midi dress berwarna champagne dengan detail payet sederhana membungkus tubuhku dengan anggun. Make-up natural dan anting mutiara kecil menyempurnakan penampilan.

Rumi, sahabatku sejak SMA, duduk di samping. Dia sepupu dari Kiki, tapi juga tempatku berbagi keluh kesah soal hidup dan lelaki. Kami sempat saling berbagi cerita tentang kegiatan beberapa hari ini karena sudah cukup lama tak bertemu.

Aku juga sempat heran dengan kedatangannya yang sendirian. Jika biasanya, Rumi akan menggandeng cowok ke acara seperti ini. Tapi, sekarang single. Katanya, sih, dia baru saja putus dengan brondongnya yang masih kuliah.

Gila memang temanku itu. Bagaimana tidak, kami 31 tahun, sedangkan brondongnya baru masuk kuliah.

Kami seorang pekerja keras, single, dan tidak suka bergantung pada lelaki, itu aku. Sedangkan Rumi, dia suka berpetualang dan senang mentraktir brondongnya.

Untungnya, Rumi anak orang kaya, warisannya banyak, dan anak tunggal pula. Sementara diriku, hanyalah wanita mandiri yang senang mengandalkan diri sendiri dibandingkan orang tua.

"Njir, Irene! Lihat deh ke arah jam 9!" bisik Rumi, matanya membulat antusias.

Aku menyesap jus jerukku sambil melirik perlahan. Hampir saja aku tersedak. Gasan. Dia duduk santai dengan setelan hitam pekat dan kemeja putih bersih. Kali ini tanpa dasi, rambutnya sedikit acak, dan senyumnya masih sama, menyebalkan. Tapi, entah kenapa, ada karisma yang membuatnya mencolok di antara kerumunan.

“Kenapa semesta harus begini kejam padaku?" gumamku.

“Gila! Ganteng banget, Ren. Mirip CEO-CEO di drama Korea gitu, loh,” bisik Rumi, seperti fans berat.

“Dia emang CEO,” jawabku pelan.

Rumi menoleh cepat. “HA?! SERIUS?!” serunya, hampir menjatuhkan garpunya.

“Shh! Pelanin suara lo, Rum!” Aku melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar.

Rumi menatapku dengan tatapan penuh tuntutan. “Lo kenal? Sumpah, kenalin gue!”

Aku menatapnya lelah. “Rum, dia tuh... ngeselin. Percaya deh, lo gak akan kuat.”

“Justru itu, Ren. Gue butuh tantangan.”

Aku tertawa kecil. “Yaudah, gue doain aja lo kuat mental.”

Dan, seperti dipanggil semesta—Gasan berdiri dan berjalan ke arah kami. Aku sudah mau mengangkat tas dan kabur, tapi Rumi dengan sangat tidak tahu diri malah berdiri dan pergi, meninggalkan kursinya kosong.

Lah, itu orang malah nyelonong pergi.

“Loh, ternyata elo?” kata Gasan, dengan nada sok akrab.

"Mau apa?" tanyaku, tajam.

“Cuma pengin liat aja. Masih jutek nggak,” katanya, lalu duduk seenaknya di kursi kosong.

Aku mendengkus. “Lo kayaknya pengangguran, ya? Kerjaannya ganggu hidup orang.”

Dia hanya tertawa. “Sayangnya, gue terlalu sibuk buat jadi pengangguran. Tapi, selalu ada waktu kalau urusannya soal elo.”

Aku melipat tangan di dada. “Gue bukan urusan lo, Pak Gasan.”

Dia bersandar santai. “Tapi, gue mau jadi urusan lo.”

Sebelum aku sempat membalas, dia mengeluarkan kaleng soda dari balik jasnya—dingin dan masih berembun—lalu meletakkannya begitu saja di pipiku.

“Apaan, sih?” Aku mengelak, refleks.

“Biar lo lebih tenang. Lo tuh terlalu panas kalo ngomong ke gue,” katanya santai, senyum jahilnya merekah.

Dan yang paling mengganggu adalah detak jantungku yang tiba-tiba tidak beraturan.

Aku hendak berdiri dan pergi, tapi dia menarik perlahan kerah belakang gaunku, lalu membisik pelan di telingaku, nyaris tanpa suara.

“Lo mau nggak... jadi istri gue?”

Aku membeku. Detik itu juga, semua musik dan suara di ruangan seperti berhenti.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 100

    Hari itu sudah terasa berat sejak pagi.Mulai dari laptop yang tiba-tiba error saat presentasi, klien yang terus mengganti konsep padahal sudah H-7 acara, sampai rekan kerja yang mendadak cuti padahal hari itu seharusnya jadi hari survei lokasi. Aku bolak-balik mengatur ulang jadwal, telponan sambil makan siang seadanya—sepotong roti dan kopi dingin yang rasanya sudah seperti air cucian gelas.“Nggak bisa hari ini, Mbak. Vendor lighting-nya bilang mereka full sampai Kamis!” teriak Dita dari meja belakang.Aku menghela napas sambil berdiri, “Ya udah, hubungin Mas Haryo. Dia pernah bantu kita waktu acara di PIK. Minta dia pasang backup plan!”Dita mengangguk cepat, lalu kembali mengetik sambil nyemil keripik.“Mbak Ren, klien yang akadnya minggu depan minta tambahan photobooth lagi. Bisa dimasukin ke budget nggak?” tanya Cindy, buru-buru menghampiri dengan iPad di tangan.Aku menjawab sambil berjalan ke printer, “Masukin dulu aja, bilangin mereka itu add-on. Kita kirim revisi invoice ma

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 99

    Lima tahun kemudian.Pagi itu terasa berbeda, tapi juga akrab. Rumah kami tak lagi dipenuhi suara tangis bayi atau drama begadang tengah malam. Aluna dan Aksa—yang sekarang sudah lima tahun—sedang bersiap ke sekolah PAUD, dibantu oleh dua nenek yang, meskipun sering cekcok kecil soal siapa yang lebih jago dandanin cucu, selalu kompak saat berangkat bareng.Gasan sudah rapi dengan setelan kerjanya, sambil memeluk anak-anak sebelum mereka pergi. “Good luck main dan belajar, ya! Jangan berantem rebutan pensil lagi!”Aksa mengangguk polos, sementara Aluna malah balas, “Tapi, kalo pensilnya warna ungu, boleh rebutan dikit, kan?”Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengecup pipi mereka sebelum berangkat. Lalu kulirik jam di dinding—waktunya bersiap handle meeting klien.Ya, hidup kami sudah mulai kembali ke “normal” versi kami. Aku kembali aktif di dunia wedding organizer, sesekali mengisi seminar kecil, dan tetap jadi ibu rumah tangga penuh kejutan. Gasan kembali jadi CEO startup-ny

  • Mengejar Cinta Nona WO    98

    Hari itu, aku lagi Zoom meeting dengan klien. Gasan ada di sebelahku, menggendong Aksa yang sudah berusia 2 bulan, sementara Aluna tidur tenang di bouncer. Pakaian formal di atas, celana training di bawah—kehidupanku sekarang memang selalu multitasking.“Jadi, Mbak Irene, untuk dekorasinya, kami ingin nuansa bohemian garden, tapi--”Preeeetttt!Aku kaget, momen meeting jadi hening sejenak. Klien bahkan berhenti ngomong.Aku langsung matiin mic, melirik Gasan dengan ekspresi setengah panik. “Itu siapa, Gas?”Gasan buru-buru angkat Aksa yang udah mulai rewel. “Bukan aku! Aku, sumpah, nggak!” Tapi dengan wajah serius, dia tambah melanjutkan, “Cuman, mungkin... mungkin Aksa? Dia kan mulai coba ngomong…”Aku cuma bisa ketawa kecil dan minta maaf ke klien. “Maaf, Bapak/Ibu, ini ada backing sound dari anak saya.”Dan, dari dapur, suara Pras yang udah nyaman dengan situasi teriak, “Jangan-jangan sound-nya surround, ya? Itu bisa buat iklan popok, tuh!”Klienku di layar Zoom tertawa kecil, sepe

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 97

    Hari ketiga, aku pulang, ditemani oleh dua keluarga yang heboh menyambut kedatangan cucu-cucu mereka.Tapi, rasanya bukan aku yang baru melahirkan—melainkan semua orang di dalam rumah sakit itu ikut overwhelmed. Mama Gasan menangis sambil cium pipi bayiku berkali-kali, sementara Mama dan Papa sibuk bertanya soal pantangan makanan dan cara memandikan bayi yang benar menurut buku dan menurut warisan nenek moyang.Aku duduk di mobil bersama Pras, yang anehnya cukup tenang sambil memandangi dua keponakannya yang tertidur dalam dekapan para nenek. Tapi keningku mengernyit saat sadar kalau arah mobil yang dikendarai Gasan, bukan ke apartemenku.Aku menoleh ke samping. “Gas, ini kita mau mampir ke mana?”Dia hanya tersenyum kecil, mengelus rambutku, lalu mengecup keningku lembut. “Istirahat saja, Ren. Nanti, kalau udah sampai, aku bangunin.”Aku masih ingin tanya, tapi tubuhku terlalu lelah. Jadi aku nurut. Aku pejamkan mata, membiarkan detak pelan Gasan di sampingku jadi pengantar tidur.*

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 96

    Semua tertawa. Bahkan Mama sampai lap kaca mata karena kena confetti.Gasan menoleh ke aku, mengusap air mataku lembut.“Makasih ya, udah jagain mereka sampai sekarang. Dan makasih karena udah jadi ibu dari anak-anak kita.”Aku mengangguk, menggenggam tangannya.“Gas, kamu yakin siap jadi ayah?”Dia menghela napas, lalu senyum.“Kalau ngidam aja aku kuat, berarti ganti popok pun bisa!” Gasan memelukku dan menjadikanku menjadi satu-satunya wanita yang beruntung memiliki suami yang royal perhatiannya padaku.***Memasuki bulan kedelapan, perutku sudah benar-benar buncit. Aku udah gak bisa handle klien, jadi kuserahkan semua ke Nia dan tim. Beruntung aku memiliki mereka yang bisa diandalkan. Pras, juga beberapa kali datang untuk membantu juga merusuh. Heran aku, kok bisa dia seenergic itu tanpa lelah.Ok, lupakan Nia, tim, dan Pras. Kini, aku tengah merasakan jalan dari kamar ke dapur saja rasanya kayak ekspedisi, capek, dn berat. Baru duduk lima menit, punggung pegal. Berdiri lima men

  • Mengejar Cinta Nona WO    Bab 95

    Aku melempar bantal ke arahnya. “Bukan buat dihirup! Maksudku... ya ampun, kenapa baunya enak banget, sih?! Aku lewat SPBU aja rasanya kayak... kayak liat pemandangan pantai.”Gasan menatapku seperti baru tahu istrinya punya bakat jadi tokoh utama film misteri.“Ren, itu aneh.”“Aku tahu! Makanya aku nggak ngomong dari kemarin! Tapi, rasa pengennya makin kuat. Aku nggak minta kamu nyedotin selang bensin, tenang aja. Aku cuma pengen ngelewatin pom bensin lebih sering aja. Mungkin dua-tiga kali sehari, atau sepuluh.”Gasan berdiri. Mengangguk dramatis. “Baik. Kalau ini cara kamu bahagia, kita akan keliling Jakarta. Setiap SPBU akan kita lewati. Kita bikin tur ‘Aromaterapi Kilang Minyak’. Bahkan, kalau perlu aku bikinin playlist, Smells Like Bensin Spirit.”Aku ketawa sambil ketuk jidat. “Ya Allah, suami aku bener-bener serius.”Tapi, malam itu dia beneran ajak aku naik mobil keliling komplek, sambil muter-muter lewat SPBU. Tiap kali aku ngendus pelan sambil senyum malu-malu, dia cuma ne

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status