Telah berlalu beberapa minggu sejak pertemuanku dengan pria menyebalkan itu. Kini, aku sudah berada di Bandung, di sebuah hotel ternama, untuk menangani acara pernikahan--Bimo dan Kiki-- dengan tema "Garden Party".
Biasanya, aku akan sangat antusias dengan tema seperti ini. Bunga-bunga segar, lampu-lampu gantung kecil yang menyala redup saat malam tiba, dan dekorasi alami yang menyatu dengan alam—itu seperti panggung sempurna bagiku untuk berkarya. Sayangnya, cuaca Bandung yang tak bisa diajak kompromi memaksa kami memindahkan seluruh konsep ke area indoor. Tentu saja, ini bukan hal yang mudah karena pengerjaan waktu itu sudah hampir 60% disesuaikan untuk taman terbuka. “Kadang, yang kita rencanakan dengan sempurna bisa diacak-acak oleh hujan,” gumamku saat itu sambil menatap langit mendung dari balik jendela ballroom. Beruntung, klien kali ini adalah anak Bupati. Semua biaya ditanggung penuh oleh keluarga mereka. Jadi, penyesuaian ini meskipun rumit, tidak terlalu membebani. Lagipula, mereka percaya penuh padaku, dan kepercayaan itu harus kujawab dengan hasil yang sepadan. Akhirnya, hari ini selesai. Paling, hanya cek ini itu saja. "Mbak, makan dulu," kata Nia sambil menyodorkan nasi kotak. "Thanks, Nia. Tapi, gue belum lapar. Taruh aja di meja," jawabku, tetap fokus merangkai bunga untuk buket pengantin. Kali ini aku memilih kombinasi peony, baby's breath, dan mawar putih. Lembut, anggun, tapi tetap punya karakter. "Ok, jangan lupa nanti dimakan, Mbak! Ingat, uang itu segalanya, tapi sehat juga mahal!" cibir Nia sambil tertawa. Aku hanya menjawabnya dengan melemparkan potongan busa bunga ke arahnya. Dia menghindar sambil tertawa geli. Suasana kerja yang santai seperti inilah yang membuatku tetap waras di tengah tekanan. Setelah selesai, aku tidak langsung makan. Ada beberapa hal yang harus kupastikan. Background pelaminan, sistem suara, pencahayaan, hingga arah datangnya tamu VIP. Aku berjalan cepat menuju panggung, menyesuaikan posisi lampu. Namun, langkahku terhenti ketika melihat sosok yang sangat familiar sedang berdiri bersandar di dekat pilar. Jantungku seperti ingin menolak kenyataan. Dia lagi. Gasan Ishaaq. Mau ngapain dia? Masih dengan aura menyebalkannya. Masih dengan senyum setengah miring dan tatapan seolah tahu segalanya. Aku berusaha pura-pura tidak melihat, tapi seperti hukum semesta yang kejam, dia sudah memergokiku. "Lo ngapain ngikutin gue?" katanya tiba-tiba, membuatku menoleh tajam. Lo-gue? Ok. "Apa?! Dalam mimpi pun gue ogah ngikutin lo!" Aku menepis kata-katanya seperti debu yang menempel di bahu. Tapi, dia malah tertawa. “Lo selalu segalak ini, ya? Apa ini bagian dari SOP wedding organizer?” Gaya bicaranya yang sok dekat sepertinya memang sudah menjadi ciri khasnya, dan aku tidak peduli. Aku menghela napas, berusaha sabar. “Kalau, udah selesai ganggu orang kerja, silakan pergi, Pak Gasan!" Akan tetapi, dia justru melangkah lebih dekat hingga jarak kami tinggal sejengkal. “Tenang aja. Gue nggak akan lama. Cuma mau bilang, lo tetap kelihatan cantik, bahkan saat lagi kesal begini.” Aku mendongak menatapnya. “Gue lebih suka dibilang profesional daripada cantik. Sekarang minggir!” Seperti biasa, dia malah tersenyum santai. Tidak ada satu pun omonganku yang sepertinya berhasil membuatnya tersinggung. *** Acara pemberkatan dan resepsi berlangsung lancar. Semua tamu tampak menikmati pesta. Malam ini adalah puncaknya. Musik lembut mengalun di udara, diselingi tawa para tamu dan gemerlap lampu gantung yang memantul di gaun-gaun mewah. Aku duduk di salah satu meja undangan. Untuk malam ini, aku membiarkan diriku sedikit lebih santai. Midi dress berwarna champagne dengan detail payet sederhana membungkus tubuhku dengan anggun. Make-up natural dan anting mutiara kecil menyempurnakan penampilan. Rumi, sahabatku sejak SMA, duduk di samping. Dia sepupu dari Kiki, tapi juga tempatku berbagi keluh kesah soal hidup dan lelaki. Kami sempat saling berbagi cerita tentang kegiatan beberapa hari ini karena sudah cukup lama tak bertemu. Aku juga sempat heran dengan kedatangannya yang sendirian. Jika biasanya, Rumi akan menggandeng cowok ke acara seperti ini. Tapi, sekarang single. Katanya, sih, dia baru saja putus dengan brondongnya yang masih kuliah. Gila memang temanku itu. Bagaimana tidak, kami 31 tahun, sedangkan brondongnya baru masuk kuliah. Kami seorang pekerja keras, single, dan tidak suka bergantung pada lelaki, itu aku. Sedangkan Rumi, dia suka berpetualang dan senang mentraktir brondongnya. Untungnya, Rumi anak orang kaya, warisannya banyak, dan anak tunggal pula. Sementara diriku, hanyalah wanita mandiri yang senang mengandalkan diri sendiri dibandingkan orang tua. "Njir, Irene! Lihat deh ke arah jam 9!" bisik Rumi, matanya membulat antusias. Aku menyesap jus jerukku sambil melirik perlahan. Hampir saja aku tersedak. Gasan. Dia duduk santai dengan setelan hitam pekat dan kemeja putih bersih. Kali ini tanpa dasi, rambutnya sedikit acak, dan senyumnya masih sama, menyebalkan. Tapi, entah kenapa, ada karisma yang membuatnya mencolok di antara kerumunan. “Kenapa semesta harus begini kejam padaku?" gumamku. “Gila! Ganteng banget, Ren. Mirip CEO-CEO di drama Korea gitu, loh,” bisik Rumi, seperti fans berat. “Dia emang CEO,” jawabku pelan. Rumi menoleh cepat. “HA?! SERIUS?!” serunya, hampir menjatuhkan garpunya. “Shh! Pelanin suara lo, Rum!” Aku melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. Rumi menatapku dengan tatapan penuh tuntutan. “Lo kenal? Sumpah, kenalin gue!” Aku menatapnya lelah. “Rum, dia tuh... ngeselin. Percaya deh, lo gak akan kuat.” “Justru itu, Ren. Gue butuh tantangan.” Aku tertawa kecil. “Yaudah, gue doain aja lo kuat mental.” Dan, seperti dipanggil semesta—Gasan berdiri dan berjalan ke arah kami. Aku sudah mau mengangkat tas dan kabur, tapi Rumi dengan sangat tidak tahu diri malah berdiri dan pergi, meninggalkan kursinya kosong. Lah, itu orang malah nyelonong pergi. “Loh, ternyata elo?” kata Gasan, dengan nada sok akrab. "Mau apa?" tanyaku, tajam. “Cuma pengin liat aja. Masih jutek nggak,” katanya, lalu duduk seenaknya di kursi kosong. Aku mendengkus. “Lo kayaknya pengangguran, ya? Kerjaannya ganggu hidup orang.” Dia hanya tertawa. “Sayangnya, gue terlalu sibuk buat jadi pengangguran. Tapi, selalu ada waktu kalau urusannya soal elo.” Aku melipat tangan di dada. “Gue bukan urusan lo, Pak Gasan.” Dia bersandar santai. “Tapi, gue mau jadi urusan lo.” Sebelum aku sempat membalas, dia mengeluarkan kaleng soda dari balik jasnya—dingin dan masih berembun—lalu meletakkannya begitu saja di pipiku. “Apaan, sih?” Aku mengelak, refleks. “Biar lo lebih tenang. Lo tuh terlalu panas kalo ngomong ke gue,” katanya santai, senyum jahilnya merekah. Dan yang paling mengganggu adalah detak jantungku yang tiba-tiba tidak beraturan. Aku hendak berdiri dan pergi, tapi dia menarik perlahan kerah belakang gaunku, lalu membisik pelan di telingaku, nyaris tanpa suara. “Lo mau nggak... jadi istri gue?” Aku membeku. Detik itu juga, semua musik dan suara di ruangan seperti berhenti.Aku membuka mata perlahan, cahaya pagi yang lembut menyelinap lewat celah tirai--lupa kututup rapat semalam. Badanku terasa ringan, aneh. Padahal, begadang. Tapi, pagi ini damai, menenangkan.Kupalingkan kepala. Kosong. Sepi, sunyi, hampa. Gasan? Harusnya memang tidak ada. Rasa kecewa yang sayup mulai muncul.Aku mendengkus pelan, menatap langit-langit dengan perasaan sedikit kesal. "Irene Handoyo, sadar! Kalian itu cuma ngobrol manis semalam, bukan honeymoon!" Kata-kata itu terasa sinis, menyindir diriku sendiri.Baru kuselimutin diri, siap kembali tidur—tok tok tok!— suara ketukan pintu yang keras, diikuti suara yang jauh dari kata romantis, suara yang menggelegar dan mengganggu kedamaian pagiku."Mbak, telor abis! Lo lupa belanja, ya? Gue udah ngubek kulkas, tapi cuma ada tomat kering satu, whipped cream, sama kecap sachet!" Suara Pras terdengar cemberut, juga menuntut.Keningku berkerut. "Pras, whipped cream itu punya gue! Jangan dimakan!" teriakku, duduk dengan rambut acak-acaka
Aku baru saja menyelesaikan sesi presentasi untuk klien dan sedang duduk di sofa ruang tengah sambil memijat pelipis, ketika pintu kantor diketuk pelan.“Ada tamu, Mbak?” tanya Rini, salah satu stafku dari balik meja resepsionis.Aku belum sempat menjawab ketika pintu terbuka, lalu di sanalah dia, Gasan.Hari ini adalah satu Minggu setelah kami pulang dari acara kemarin. Dengan kemeja abu-abu lengan digulung dan tangan menenteng kantong kertas berlogo salah satu resto favoritku di Jakarta. Senyumnya kecil, tapi cukup bikin degup jantungku melonjak tak karuan.“Permisi,” katanya, matanya langsung mengarah ke aku. “Ada yang belum sempat makan siang, nggak?”Rini langsung nyengir sambil nyikut bahu Juni. “Wah, Mas Gasan bawa bekal, nih.”Aku berdiri, kikuk, tapi senang. “Lho, ngapain ke sini?”“Ngantar makanan,” jawabnya ringan, lalu menghampiri dan menyodorkan kantong itu. “Gue inget lo suka ayam bakar kremes dari tempat ini. Dan, gue juga inget lo sering lupa makan kalau udah kerja."A
Pagi datang seperti biasanya—tenang dan sejuk. Tapi bagiku, pagi ini terasa berbeda.Aku bangun lebih dulu. Gasan masih terlelap di ranjang sebelah, wajahnya tenang, napasnya teratur. Ada senyum kecil di bibirku saat melihatnya. Apalagi, kalau mengingat kejadian kemarin sore."Bagaimana bisa gue senyum-senyum sendiri begini?" gumamku pelan, menahan tawa kecil sambil menarik selimut sampai menutupi wajah.Dari arah ranjang, terdengar dengkuran halus. Syukurlah dia belum bangun. Kalau tahu aku kayak orang jatuh cinta lagi, bisa-bisa dibully seharian.Kukibaskan rasa malu yang nggak jelas arah itu. Udara pagi di vila menyapa kulitku dengan dingin lembut. Wangi tanah basah masih tertinggal dari hujan semalam. Dengan langkah ringan, aku keluar kamar secara mengendap-endap sambil mengikat rambut yang awut-awutan. Mataku melirik jam dinding di ruang tengah. Baru jam tujuh lewat sedikit. Vila masih sepi.Dari balik jendela, kulihat burung-burung kecil hinggap di dahan pohon mangga yang menjul
Gasan berdiri tiba-tiba, lalu berjalan ke arahku. Aku sempat bingung, tapi belum sempat bertanya, dia sudah jongkok di depanku dan meraih kakiku.“Eh, ngapain, lo?” tanyaku reflek, panik karena belum siap dengan gesture mendadak semesra itu.Dia tidak menjawab. Hanya meletakkan kakiku perlahan ke pangkuannya, lalu mulai memijat pergelangan kakiku yang entah kenapa terasa pegal sejak kemarin.“Gue lihat lo jalannya agak miring pas dari lift tadi. Pasti masih pegal gara-gara kelamaan berdiri di acara tadi, ya?”Aku menatapnya, terdiam.Tangannya hangat. Gerakannya pelan, seperti takut menyakitiku, tapi cukup mantap untuk membuat otot-otot kakiku rileks.“Lo ngamatin gue sedetail itu?” gumamku, sedikit mencairkan suasana.“Gue bukan detektif, tapi gue apal cara jalan lo, Ren. Bahkan, dari jauh.”Aku ingin menjawab sesuatu yang sarkas atau lucu. Tapi, tenggorokanku seolah tertelan kata-kata sendiri.Dia mendongak sebentar, menatapku. “Kalau gue bisa bantu lo ngelewatin hari tanpa pegal, t
Gasan menoleh, menunggu. Tapi, aku ragu melanjutkan. Bukan karena tak tahu harus bilang apa, justru karena terlalu banyak.“Lo nyebelin,” kataku akhirnya, pelan.Alisnya terangkat. “Maksudnya?”“Lo bikin gue mikir ribuan kali, nanya ke diri sendiri terus-menerus, ‘Apa gue segitu nggak pentingnya buat lo?’ Padahal, lo juga yang dulu bilang pengen gue ada terus.”Dia mendesah. “Ren…”“Dan sekarang, lo bilang mau bareng-bareng lagi, tapi tetap dengan gaya lo yang sok misterius, nyebelin, dan terlalu hemat kata-kata!”“Gue gak hemat kata-kata,” balasnya, mulai terdengar defensif. “Gue cuma gak tahu harus ngomong apa, kalau lo selalu pasang tameng tiap gue coba deketin!”Aku berdiri, menatapnya dengan campuran marah dan bingung. “Karena gue gak ngerti posisi gue, Gas! Lo pernah bilang kangen, tapi hilang dua minggu. Lo muncul sekarang, seperti jelangkung."Dia ikut berdiri. “Ya karena gue takut! Lo pikir gue nggak mikirin lo? Gue tiap hari nahan buat nggak balas chat lo karena gue kira, lo
Tadinya aku hampir batal ikut proyek di Lombok. Tapi, Pras dengan mulut julidnya, malah jadi penyemangat paling nggak romantis.“Kalau lo sampe gak berangkat ke Lombok gara-gara cowok, mending gue potong kartu ATM lo sekarang,” katanya dengan nada sarkas penuh dedikasi.Jadi, aku berangkat.Proyek WO kali ini memang cukup besar—klien kami adalah pasangan influencer yang ingin konsep intimate wedding di private villa dekat pantai. Timku terbagi dua. Bagian vendor dan bagian dekor, sementara aku bertugas sebagai liaison antara klien, venue, dan semuanya yang bisa bikin acara ini berjalan smooth.Aku baru tiba di villa tempat acara akan digelar ketika melihat mobil hitam berhenti di area parkir. Pintu depan terbuka dan dari dalam, keluar seseorang yang selama ini cuma muncul di kepala.Gasan Ishaaq.Dia mengenakan kemeja putih dan celana khaki, kacamata hitam bertengger di kepala. Aku refleks melangkah mundur sedikit, seolah butuh jeda napas.Gasan menoleh ke arahku, dan mata kami bertem