Share

Keputusan Telak

Author: Okta Novita
last update Last Updated: 2022-12-07 15:30:12

"Aku ingat siapa dia, Ran. Dia, anak dari orang yang sudah menghancurkan keluargamu, 'kan?"

Aku menarik napas panjang seraya memejam untuk sekadar menghalau sesak di dada. Saat kembali mengingat luka lama itu, hati ini begitu perih terasa.

Narendra memang tahu semuanya, bahkan dia satu-satunya orang yang selalu ada saat teman yang lain mulai menjauh karena fitnah matre yang diaebarkan di seantero kampus. Mungkin bukan Rasya yang menyebarkan berita hoax itu, tapi sakit hatiku untuknya sudah telanjur mengakar.

"Kalian ada hubungan apa? Kamu bilang, dia kakak ipar, tapi dia bilang suamimu. Mana yang benar?" Narendra terus mencecar.

Setelah cukup lama terdiam, semua yang mengganjal di hati ini pun keluar. Aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Narendra. Bahkan, tentang pernikahan siriku dengan Rasya yang baru dua hari ini terjadi.

Aku terisak sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dan sebuah dekapan membuat hati ini menghangat. Narendra memelukku tanpa bertanya atau memberi aba-aba.

Inikah rasanya dicintai?

Ah, Rania! Jangan terlalu berharap. Mungkinkah di usia sekarang, laki-laki sebaik dan setampan Narendra belum punya pasangan? Pastinya tidak.

"Kembalikan uang mereka, Ran. Dan mintalah cerai kepada Rasya. Aku yang akan membantu keuangan keluargamu," ucap Natendra setelah melepas pelukannya.

Aku terkekeh pelan, menanggapi ucapan Narendra. Lantas, menggeleng seraya menatap wajah tampannya. "Aku nggak mau berutang budi kepadamu, Ren. Mungkin, ini pertama dan terakhir kita bertemu."

Narendra berdecak, lalu berkata, "Aku tidak main-main, Ran. Lepaskan dia dan beri aku kesempatan untuk membahagiakanmu, juga ibumu. Sekian lama aku mencarimu, dan tidak akan kulepaskan lagi."

Aku menyandarkan punggung pada sandaran kursi, lalu mendongak, memandang langit yang kian gelap. Di taman hotel ini hanya ada kami berdua karena memang malam sudah makin larut.

Narendra terlalu sempurna untukku, tapi wacananya tidak salah jika kulakukan. Aku juga tidak ingin terjebak lagi dengan keluarga Rasya Hendrawan.

"Aku sudah telanjur melakukannya dengan Rasya, Ren. Bagaimana kalau aku sudah mengandung anaknya? Aku nggak mau membuat beban untuk Ibu." Aku menoleh, lalu menatap lekat bola mata kecokelatan itu.

"Mana mungkin hanya dengan sekali saja kamu bisa positif, Rania. Kalaupun iya, aku yang akan bertanggungjawab. Menikahlah denganku."

Aku tertawa sumbang. "Percaya diri sekali kamu, Ren. Apa yang membuatmu yakin kalau aku mau menerimamu? Lagi pula, siapa yang percaya kalau kamu belum punya pasangan? Kalau aku, tidak."

"Perlu bukti?" ucapnya angkuh. Namun, sikapnya itu membuatku mengulum senyum.

Narendra lantas merogoh saku celananya. Sebuah dompet warna hitam sudah berpindah ke tangannya, lalu dikeluarkannya sebuah KTP. Tertera di sana jika Narendra memang masih lajang di usia dua puluh delapan tahun. Sama sepertiku yang tidak laku-laku.

Aku tertawa lepas melihat kenyataan jika laki-laki setampan Narendra masih jomlo. Padahal, jelas-jelas dia menjadi favorit setiap perempuan di masa kuliah.

"Puas-puasin aja ketawa. Aku suka melihatmu seperti ini. Cantik."

***

Hana terus menangis dan mengiba saat aku akan pergi setelah mengembalikan uangnya. Dia tidak mau melepaskan tangannya yang mencengkeram erat lengan kiriku. Namun, tekadku sudah bulat karena Narendra berhasil membuatku memikirkan ulang tentang pernikahan yang memang seharusnya tidak terjadi. Lagi pula, aku yang akan mengalami kerugian setelahnya.

"Aku nggak bisa, Mbak. Aku sakit setelah suami tercinta Mbak Hana memperlakukanku seperti binatang. Aku tadi memang diam karena tidak akan ada yang membela, tapi tidak sekarang."

Aku sudah menggendong tas ransel dan bersiap melangkah keluar dari kamar hotel. Namun, sosok tinggi besar menghadang jalanku. Dia berdiri telah berdiri di ambang pintu.

"Siapa yang mengizinkanmu pergi?" hardik Rasya dengan tatapan tajam layaknya ingin membunuh.

"Aku tidak perlu izin siapa pun. Jika aku masih bertahan dengan kalian, pasti aku hanya akan menderita. Tapi, kamu tenang saja karena aku tidak mengambil sepeser pun uang darimu ataupun dari istrimu." Aku menunjuk wajah angkuh di hadapan.

"Siapa yang kamu bilang istriku? Bukankah kamu juga istriku, Rania Felisya Rose?" sindirnya. Rasya tetap bergeming di tempatnya.

Sementara ia akan dari sang istri masih terdengar dan menjadi backsound pertengkaranku dengan Rasya.

Tiba-tiba, suara berdebum diikuti tubuh Rasya yang ambruk ke depan membuatku terkejut. Laki-laki angkuh itu jatuh dengan posisi tangan menyentuh kakiku. Sontak, aku pun mundur satu langkah.

"Ayo, Ran! Nggak perlu kamu meminta izin mereka," teriak Narendra. Ternyata, dia menendang tubuh Rasya dari belakang.

Aku pun bergegas pergi tanpa peduli dengan Rasya ataupun Hana.

Narendra langsung menggandeng tanganku dan kami pergi berdua. Namun, baru saja kami sampai di tempat parkir, Rasya muncul dan memberikan pukulan mendadak kepada Narendra.

Dua laki-laki itu terus saja saling menyerang tanpa mengindahkan aku yang sudah berteriak untuk menghentikan mereka. Hingga Narendra terjatuh dengan beberapa luka lebam di wajah, tapi Rasya masih saja terlihat akan menyerang.

"Pukul aku, Kak!" teriakku saat hampir saja kepalan tangan Rasya akan mendarat di wajah ini. Niatku memang untuk menghalangi serangan brutal yang akan kembali dilayangkan untuk Narendra.

"Ah, kenapa aku memanggilmu kak? Sepertinya, otakku sudah sedikit bergeser hanya karena bersamamu selama dua hari." Aku menatap Rasya dengan penuh kebencian.

"Untuk apa kamu menghalangiku pergi? Bukankah kamu juga ingin segera lepas dariku, Kak Rasya Hendrawan yang terhormat." Aku sengaja menekankan menyebut namanya.

Laki-laki berkulit sawo matang itu terdiam, kepalanya sedikit menunduk, tapi sedetik kemudian pandangannya lurus ke arahku. Terlihat mata yang tadinya mengilat penuh amarah, berubah sendu dan memelas. Perlahan, dia menurunkan tangan yang tadinya masih menggantung di udara.

"Kamu masih sah sebagai istriku dan kamu tidak bisa pergi begitu saja," ucapnya. Kali ini, suaranya sedikit melunak.

Aku menggeleng kasar. "Ceraikan aku sekarang juga. Lagi pula, pernikahan kita tidak tercatat secara hukum negara. Itu lebih mudah, bukan? Cukup talak aku saja dan hubungan kita selesai."

"Pergilah, tapi aku tidak akan menceraikanmu. Aku yakin jika sudah ada benihku yang tumbuh di rahimmu." Rasya membalikkan badan, lalu melangkah menjauh. Rupanya, Hana juga menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Dia berdiri bersandar pada tembok tidak jauh dari tempatku.

Tangan ini meremas perut dengan kencang saat sepasang suami-istri itu sudah tak terlihat. Apa mungkin di dalam sini sudah tumbuh anak Rasya?

Tidak mungkin!

***

Entah kenapa, air mata ini terus meluruh sejak mendengar perkataan terakhir Rasya. Aku merasakan Rasya yang dulu telah kembali. Namun, jika mengingat perlakuannya saat merampas paksa haknya dariku, hati ini terasa sangat sakit.

"Di mana alamatmu, Ran? Aku akan langsung mengantarmu."

Pertanyaan Narendra membuatku terhenyak. Lamunan yang tadi memenuhi benak, lenyap begitu saja.

"Ini sudah terlalu malam, Ren. Kita berhenti saja dulu untuk istirahat. Aku juga akan mengobati lukamu dulu."

"Nggak perlu, Rania. Aku baik-baik saja. Lagi pula, sebaiknya kamu segera sampai rumah. Kamu kelihatan sangat lelah."

Tanganku terulur, menyentuh luka lebam di wajah putih laki-laki bermata cokelat itu. Kuusap pelan warna merah yang hampir membiru itu. Aku juga seperti bisa merasakan perihnya.

"Izinkan aku menutup luka hatimu, Rania." Narendra meraih tanganku dan meremasnya lembut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Rania   Rasa Sakit yang Terbayar

    Jalan hidup harus dipilih meskipun tidak bisa ditebak apa yang akan terjadi. Namun, saat hati yakin menjalani, Allah pasti akan menuntun pada yang lebih baik. ***Rasa sakit ini adalah awal untuk kebahagiaan baru. Aku hanya tinggal bertahan dan berjuang sekuat tenaga agar hidup diliputi teriakan haru yang menderu. Rasa sakit ini sejenak hilang, lalu datang lagi dan memaksaku mengerahkan sisa tenaga. Aku ingin sekali memegang tangan Mas Narendra di saat seperti ini, memintanya untuk menyalurkan kekuatan, tapi apa daya, laki-laki itu terduduk lemas di sudut ruang bersalin ini. Kesal tentu saja, tapi aku harus tetap kuat demi nyawa yang sebentar lagi akan melihat dunia. Mas Narendra yang begitu gagah, ternyata dia rapuh sekarang. Entah apa penyebabnya. Aku memilih mengikuti instruksi dokter agar kedua tangan ini menggapai bagian belakang paha bawah, lalu menariknya kuat sambil mengejan saat sakitnya kontraksi kembali datang. Namun, bayi yang kutunggu belum juga mau meringankan beban

  • Mengejar Cinta Rania   Kepanikan Tengah Malam

    "Ambilkan telur, Ra!" "Berapa butir, Mbak?""Tiga."Membuat kue bersama adik ipar itu ternyata menyenangkan. Aku dan Hera memang sangat cocok saat sedang bersama. Kata Ibu, kami justru seperti kakak dan adik kandung. Wajah yang cukup mirip mungkin bisa membuat orang lain menebak hal yang sama. Bahkan, kami pun sudah punya julukan khusus pemberian Ibu, Mas Narendra, dan Rendy. Duo Bumil Doyan Ngemil. Hm, nama yang aneh, bukan? Ada-ada saja memang. Dan ngemil adalah salah satu kebiasaan baru kami sekarang. Ya, aku dan Hera memang mulai sering membuat kue sejak kepergian Febi. Kami sama-sama jenuh di apartemen karena suami masing-masing pergi bekerja. Hingga awal iseng itu pun berbuah manis saat Hera mengunggah kue buatan kami pada story Whatsapp. Boom! Kue buatan kami ada yang memesan. Awalnya, hanya teman-teman Hera sewaktu kerja dulu, tapi lambat laun makin banyak pemesan hingga aku pun ikut mencoba memasarkannya. Hasilnya sungguh tidak terduga. Kami mulai kewalahan menerima pesa

  • Mengejar Cinta Rania   Bertemu Rasya Lagi

    Aku terus memandang wajah gadis kecil yang baru saja selesai mandi. Ya, tugas memandikan Febi kali ini sudah kuambil alih. Semalam, aku sudah memberhentikan Mbak Deva karena memang Febi bukan lagi tanggung jawabku dan Mas Narendra mulai hari ini. Dengan lembut, kusisir rambut bergelombang panjang milik Febi, lalu memnguncirnya bagian kanan dan kiri. Cantik. Aku tidak menyangka jika ini moment terakhir bersama bocah berpipi tembam itu. Aku pasti akan sangat merindukannya nanti. Namun, segera kupupus semua itu dan menghibur diri jika akan ada pengganti Febi yang sebentar lagi akan lahir ke dunia. Pagi ini, Febi tidak banyak bicara. Dia seperti tahu jika akan berpisah denganku, juga papanya. Sedari bangun tidur, dia memperhatikan terus koper berwarna pink yang dulu dibawa saat pertama kali pindah ke sini. Koper itu sudah penuh dengan baju dan barang-barang milik Febi. Ada juga beberapa mainan dan boneka yang Mas Narendra belikan selama bersama kami. "Wah, Febi sudah cantik." Mas Nare

  • Mengejar Cinta Rania   Bercanda yang Keterlaluan

    Moment seru yang masih ingin kunikmati harus berhenti karena telepon dari Bi Harni. Katanya ada tamu yang menunggu. Suami-istri yang mengaku sebagai kakek dan nenek dari Febi. Aku dan Mas Narendra memutuskan untuk pulang karena dia juga mengenal siapa tamu yang dimaksud. Mereka mantan mertuanya, atau lebih tepatnya, orang tua Farah. Aku bisa menebaknya dari arah pembicaraan Bi Harni tadi karena memang dinyalakan loudspeaker saat panggilan berlangsung. "Mereka mau apa, ya, Mas? Kok, tiba-tiba aja datang nggak kasih pemberitahuan. Padahal, Febi sudah sama kita tiga bulanan." Pikiran yang tadi terus berputar di kepala, akhirnya kuungkapkan. "Aku juga nggak tahu, Ran. Semoga aja cuma kengen sama cucu," jawabnya. Aku bisa menafsirkan kalau ada keraguan dari nada suaranya.Sepasang suami-istri yang kutaksir usianya sekitar lima puluh tahunan itu saling pandang saat Mas Narendra menanyakan perihal kedatangan mereka. Keduanya seperti berdebat, tapi pelan. Mungkin agar percakapan mereka tid

  • Mengejar Cinta Rania   Nyaman Bersamanya

    Setelah dua pekan Mas Narendra dirawat, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Dari pemeriksaan terakhir, dikatakan kalau tumornya sudah hilang. Meskipun begitu, akan tetap dilakukan MRI saat kontrol selanjutnya untuk memastikan lagi. Dan sekarang--satu pekan setelah dia menjalani rawat jalan--kami sedang berjalan-jalan di taman area apartemen. Memang kawasan apartemen ini tergolong mewah dengan penghuninya kebanyakan orang berpunya. Itu sebabnya ada fasilitas umum yang dibuat untuk warga, seperti taman yang cukup luas ini. Mas Narendra memang dianjurkan untuk melakukan olahraga ringan setiap harinya untuk menjaga kesehatan. Dan aku memulai dengan mengajaknya jalan kaki setiap pagi mulai hari ini. Dengan kaus, celana training, dan topi yang dipakai terbalik ke belakang, Mas Narendra terlihat begitu tampan. Meskipun masih ada rasa malu karena takut orang melihat kepalanya masih belum ditumbuhi rambut, dia tidak menolak ajakanku. "Sayang, apa kamu nggak capek?" tanyanya sambil menghentik

  • Mengejar Cinta Rania   Memohon Kesembuhan

    Aku berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi sejak satu jam yang lalu. Di dalam sana, ada Mas Narendra yang sedang dalam penanganan. Opsi operasi harus diambil karena tumor di otaknya makin membesar. Apalagi, sempat dua hari dia tidak minum obat.Sepulang dari mengurus hotel yang terbakar, keesokan harinya Mas Narendra masih menolak untuk kontrol dengan alasan buru-buru bertemu klien dari Jepang. Katanya, klien itu hanya satu hari di Indonesia dan minta bertemu dengannya. Aku tidak bisa memaksa karena laki-laki itu bersikeras dan berdalih jika pertemuannya hanya di dalam kota. Namun, hal itu berakibat fatal. Sakit kepala Mas Narendra kambuh hingga dia pingsan. Bahkan, dia mengalami koma setelahnya. Setelah dua hari tidak ada perkembangan, dokter memberi opsi operasi. Aku tidak bisa berkata lagi selain mengiakan karena keselamatannya lebih penting. "Duduk, Mbak. Operasinya pasti berjalan lancar." Rendy memegang lenganku, menghentikan kaki ini yang tidak berhenti bergerak. "Ken

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status