Share

Keputusan Telak

"Aku ingat siapa dia, Ran. Dia, anak dari orang yang sudah menghancurkan keluargamu, 'kan?"

Aku menarik napas panjang seraya memejam untuk sekadar menghalau sesak di dada. Saat kembali mengingat luka lama itu, hati ini begitu perih terasa.

Narendra memang tahu semuanya, bahkan dia satu-satunya orang yang selalu ada saat teman yang lain mulai menjauh karena fitnah matre yang diaebarkan di seantero kampus. Mungkin bukan Rasya yang menyebarkan berita hoax itu, tapi sakit hatiku untuknya sudah telanjur mengakar.

"Kalian ada hubungan apa? Kamu bilang, dia kakak ipar, tapi dia bilang suamimu. Mana yang benar?" Narendra terus mencecar.

Setelah cukup lama terdiam, semua yang mengganjal di hati ini pun keluar. Aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Narendra. Bahkan, tentang pernikahan siriku dengan Rasya yang baru dua hari ini terjadi.

Aku terisak sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Dan sebuah dekapan membuat hati ini menghangat. Narendra memelukku tanpa bertanya atau memberi aba-aba.

Inikah rasanya dicintai?

Ah, Rania! Jangan terlalu berharap. Mungkinkah di usia sekarang, laki-laki sebaik dan setampan Narendra belum punya pasangan? Pastinya tidak.

"Kembalikan uang mereka, Ran. Dan mintalah cerai kepada Rasya. Aku yang akan membantu keuangan keluargamu," ucap Natendra setelah melepas pelukannya.

Aku terkekeh pelan, menanggapi ucapan Narendra. Lantas, menggeleng seraya menatap wajah tampannya. "Aku nggak mau berutang budi kepadamu, Ren. Mungkin, ini pertama dan terakhir kita bertemu."

Narendra berdecak, lalu berkata, "Aku tidak main-main, Ran. Lepaskan dia dan beri aku kesempatan untuk membahagiakanmu, juga ibumu. Sekian lama aku mencarimu, dan tidak akan kulepaskan lagi."

Aku menyandarkan punggung pada sandaran kursi, lalu mendongak, memandang langit yang kian gelap. Di taman hotel ini hanya ada kami berdua karena memang malam sudah makin larut.

Narendra terlalu sempurna untukku, tapi wacananya tidak salah jika kulakukan. Aku juga tidak ingin terjebak lagi dengan keluarga Rasya Hendrawan.

"Aku sudah telanjur melakukannya dengan Rasya, Ren. Bagaimana kalau aku sudah mengandung anaknya? Aku nggak mau membuat beban untuk Ibu." Aku menoleh, lalu menatap lekat bola mata kecokelatan itu.

"Mana mungkin hanya dengan sekali saja kamu bisa positif, Rania. Kalaupun iya, aku yang akan bertanggungjawab. Menikahlah denganku."

Aku tertawa sumbang. "Percaya diri sekali kamu, Ren. Apa yang membuatmu yakin kalau aku mau menerimamu? Lagi pula, siapa yang percaya kalau kamu belum punya pasangan? Kalau aku, tidak."

"Perlu bukti?" ucapnya angkuh. Namun, sikapnya itu membuatku mengulum senyum.

Narendra lantas merogoh saku celananya. Sebuah dompet warna hitam sudah berpindah ke tangannya, lalu dikeluarkannya sebuah KTP. Tertera di sana jika Narendra memang masih lajang di usia dua puluh delapan tahun. Sama sepertiku yang tidak laku-laku.

Aku tertawa lepas melihat kenyataan jika laki-laki setampan Narendra masih jomlo. Padahal, jelas-jelas dia menjadi favorit setiap perempuan di masa kuliah.

"Puas-puasin aja ketawa. Aku suka melihatmu seperti ini. Cantik."

***

Hana terus menangis dan mengiba saat aku akan pergi setelah mengembalikan uangnya. Dia tidak mau melepaskan tangannya yang mencengkeram erat lengan kiriku. Namun, tekadku sudah bulat karena Narendra berhasil membuatku memikirkan ulang tentang pernikahan yang memang seharusnya tidak terjadi. Lagi pula, aku yang akan mengalami kerugian setelahnya.

"Aku nggak bisa, Mbak. Aku sakit setelah suami tercinta Mbak Hana memperlakukanku seperti binatang. Aku tadi memang diam karena tidak akan ada yang membela, tapi tidak sekarang."

Aku sudah menggendong tas ransel dan bersiap melangkah keluar dari kamar hotel. Namun, sosok tinggi besar menghadang jalanku. Dia berdiri telah berdiri di ambang pintu.

"Siapa yang mengizinkanmu pergi?" hardik Rasya dengan tatapan tajam layaknya ingin membunuh.

"Aku tidak perlu izin siapa pun. Jika aku masih bertahan dengan kalian, pasti aku hanya akan menderita. Tapi, kamu tenang saja karena aku tidak mengambil sepeser pun uang darimu ataupun dari istrimu." Aku menunjuk wajah angkuh di hadapan.

"Siapa yang kamu bilang istriku? Bukankah kamu juga istriku, Rania Felisya Rose?" sindirnya. Rasya tetap bergeming di tempatnya.

Sementara ia akan dari sang istri masih terdengar dan menjadi backsound pertengkaranku dengan Rasya.

Tiba-tiba, suara berdebum diikuti tubuh Rasya yang ambruk ke depan membuatku terkejut. Laki-laki angkuh itu jatuh dengan posisi tangan menyentuh kakiku. Sontak, aku pun mundur satu langkah.

"Ayo, Ran! Nggak perlu kamu meminta izin mereka," teriak Narendra. Ternyata, dia menendang tubuh Rasya dari belakang.

Aku pun bergegas pergi tanpa peduli dengan Rasya ataupun Hana.

Narendra langsung menggandeng tanganku dan kami pergi berdua. Namun, baru saja kami sampai di tempat parkir, Rasya muncul dan memberikan pukulan mendadak kepada Narendra.

Dua laki-laki itu terus saja saling menyerang tanpa mengindahkan aku yang sudah berteriak untuk menghentikan mereka. Hingga Narendra terjatuh dengan beberapa luka lebam di wajah, tapi Rasya masih saja terlihat akan menyerang.

"Pukul aku, Kak!" teriakku saat hampir saja kepalan tangan Rasya akan mendarat di wajah ini. Niatku memang untuk menghalangi serangan brutal yang akan kembali dilayangkan untuk Narendra.

"Ah, kenapa aku memanggilmu kak? Sepertinya, otakku sudah sedikit bergeser hanya karena bersamamu selama dua hari." Aku menatap Rasya dengan penuh kebencian.

"Untuk apa kamu menghalangiku pergi? Bukankah kamu juga ingin segera lepas dariku, Kak Rasya Hendrawan yang terhormat." Aku sengaja menekankan menyebut namanya.

Laki-laki berkulit sawo matang itu terdiam, kepalanya sedikit menunduk, tapi sedetik kemudian pandangannya lurus ke arahku. Terlihat mata yang tadinya mengilat penuh amarah, berubah sendu dan memelas. Perlahan, dia menurunkan tangan yang tadinya masih menggantung di udara.

"Kamu masih sah sebagai istriku dan kamu tidak bisa pergi begitu saja," ucapnya. Kali ini, suaranya sedikit melunak.

Aku menggeleng kasar. "Ceraikan aku sekarang juga. Lagi pula, pernikahan kita tidak tercatat secara hukum negara. Itu lebih mudah, bukan? Cukup talak aku saja dan hubungan kita selesai."

"Pergilah, tapi aku tidak akan menceraikanmu. Aku yakin jika sudah ada benihku yang tumbuh di rahimmu." Rasya membalikkan badan, lalu melangkah menjauh. Rupanya, Hana juga menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Dia berdiri bersandar pada tembok tidak jauh dari tempatku.

Tangan ini meremas perut dengan kencang saat sepasang suami-istri itu sudah tak terlihat. Apa mungkin di dalam sini sudah tumbuh anak Rasya?

Tidak mungkin!

***

Entah kenapa, air mata ini terus meluruh sejak mendengar perkataan terakhir Rasya. Aku merasakan Rasya yang dulu telah kembali. Namun, jika mengingat perlakuannya saat merampas paksa haknya dariku, hati ini terasa sangat sakit.

"Di mana alamatmu, Ran? Aku akan langsung mengantarmu."

Pertanyaan Narendra membuatku terhenyak. Lamunan yang tadi memenuhi benak, lenyap begitu saja.

"Ini sudah terlalu malam, Ren. Kita berhenti saja dulu untuk istirahat. Aku juga akan mengobati lukamu dulu."

"Nggak perlu, Rania. Aku baik-baik saja. Lagi pula, sebaiknya kamu segera sampai rumah. Kamu kelihatan sangat lelah."

Tanganku terulur, menyentuh luka lebam di wajah putih laki-laki bermata cokelat itu. Kuusap pelan warna merah yang hampir membiru itu. Aku juga seperti bisa merasakan perihnya.

"Izinkan aku menutup luka hatimu, Rania." Narendra meraih tanganku dan meremasnya lembut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status