Share

Laki-laki di Masa Lalu

"Cukup sekali ini aku menyentuhmu. Dan uang yang kamu inginkan akan aku beri di luar dari yang Hana berikan." Laki-laki itu kemudian berjalan ke luar, tapi urung membuka pintu dan kembali berbalik.

"Semoga kamu segera hamil dan segera juga pergi dari kehidupanku."

Mendengar ucapan terakhir Rasya itu justru makin membuat hati ini tersiksa. Dia menganggapku sama dengan perempuan di luaran sana. Perempuan yang telah menjual kehormatan demi uang. Nyeri di dada ini menyertai nyeri di bagian bawah.

"Aku benci kamu, Rasya!"

Aku hanya bisa menyesali apa yang sudah terjadi kali ini. Dia memang cinta pertamaku, tapi dia juga neraka bagi keluargaku.

Sekelebat ingatan masa lalu kembali membayang. Saat di mana Rasya begitu menghargaiku sebagai seorang perempuan dan dia memperjuangkan cinta kami meskipun orang tuanya melarang.

Hubungan yang terjalin selama tiga tahun sejak kami duduk di bangku SMA. Dia sebagai siswa kelas tiga yang begitu dikagumi oleh para siswa perempuan hampir satu sekolah karena ketampanannya dan pastinya kekayaan orang tuanya. Namun, entah kenapa cintanya jatuh kepadaku, seorang siswi kelas satu dari keluarga biasa saja dan pendiam.

Tiba saat Rasya lulus dan melanjutkan kuliah, kami masih tetap menjalin hubungan. Awalnya, semua baik-baik saja hingga hubungan kami diendus oleh orang tua Rasya. Mereka menganggapku hanya sebagai benalu yang mengincar kekayaan hingga usaha apa pun keluarga Rasya lakukan untuk memisahkan kami.

Aku dan Rasya masih mencoba bertahan, tapi semua usaha kami sia-sia. Bahkan, ayah Rasya bertindak nekat dengan membuat perusahaan kecil yang dibangun ayahku dari nol hancur karena fitnah yang keji. Keluarga kaya raya itu tiba-tiba menjalin kerja sama dengan perusahaan Ayah dan akhirnya memberikan tuduhan kepada Ayah tentang penggelapan uang.

Sejak saat itulah kesengsaraan menimpa keluargaku. Ayah sakit-sakitan, utang menggunung, dan aku terpaksa putus kuliah setelah laki-laki pertama dalam hidup ini pergi selamanya.

"Aku benci kamu, Rasya."

Aku hanya bisa menangis dalam diam. Aku bersumpah akan membuatnya menderita dengan menggunakan anak yang kukandung nantinya. Aku juga akan membuatnya jatuh cinta lagi kepada perempuan masa lalunya ini, lalu mencampakkannya. Aku ingin melihatnya hancur tidak cukup satu kali.

***

Waktu begitu cepat bergulir menjadi malam. Aku sama sekali tidak bisa keluar dari kamar meskipun perut sudah protes minta diisi. Aku tidak memegang kunci kamar ini dan ponsel juga kehabisan beterai. Lengkap sudah penderitaanku. Sementara aku juga tidak bisa menggunakan telepon kamar ini.

Aku memilih menghabiskan waktu dengan menonton televisi yang menyiarkan drama Korea. Paling tidak, bisa sedikit membuat hatiku yang membatu ini sedikit mencair. Dan lagi untuk mengalihkan pikiran agar cacing-cacing di perut ini tak kebanyakan tingkah.

"Kamu sedang apa, Ran? Sepertinya asyik?"

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Hana akhirnya datang membawa nampan berisi makanan, lalu meletakkannya di nakas. Sepiring nasi beserta lauk terlihat begitu menggoda di sana. Aku tidak sama sekali tidak menyadari kedatangannya.

"Maafin Mas Rasya, ya. Dia lupa kalau kamu tidak memegang kunci kamar ini. Kamu pasti belum makan sejak siang, 'kan?" Kini, Hana duduk di tepi tempat tidur, tepat di samping kiriku.

Aku tersenyum tipis. Memangnya, dia baru tahu kalau suaminya itu menyebalkan. Padahal, memang sejak lama Rasya seperti itu.

"Makanlah, lalu istirahat. Besok pagi, kita akan pulang." Hana mengusap lenganku pelan.

"Besok? Pulang?" Aku begitu terkejut mendengar penuturan Hana.

Ah, syukurlah. Aku tidak perlu melakukannya lagi dengan laki-laki genderuwo itu.

Kedua ujung bibir perempuan berhidung mancung itu tertarik ke atas, membuat lengkungan indah yang makin menampakkan kecantikan alaminya. Lantas, meremas tanganku dengan lembut.

"Terima kasih, Ran. Semoga di dalam sini sudah ada anak Mas Rasya."

Aku memutar bola mata malas saat Hana beralih memegang perut ini yang entah sudah tertanam benih suaminya atau belum. Dia sangat antusias dengan rencana yang pasti melukai hatinya sendiri.

Aku berdecak dalam hati. Mana ada perempuan yang rela membagi suaminya dengan perempuan lain selain Hana. Baru satu perempuan ini yang kukenal begitu tegar, bahkan dia sendiri yang memilihkan istri kedua untuk laki-laki yang sepertinya sangat dicintainya.

Aku kembali tersenyum. "Aku mau menagih janjimu, Mbak Hana."

"Tentu, Ran. Uangnya sudah aku siapkan, tapi setelah memberikan uang itu, selanjutnya kamu akan tinggal bersamaku."

Ya, untung saja dia langsung paham apa yang menjadi maksud ucapanku. Jadi, tidak perlu lagi menjelaskan panjang-lebar seperti penagih utang. Hanya saja, untuk tinggal bersamanya itu terasa sangat berat. Namun, aku juga tidak punya pilihan lain.

"Apa? Itu tidak ada dalam perjanjian, Mbak," sanggahku dengan mata memelotot menatap perempuan berambut panjang itu.

"Aku tidak mau ambil risiko, Ran. Aku sendiri yang akan memastikan kesehatanmu. Dan jika hasil pemeriksaan minggu depan kamu sudah dinyatakan positif, aku juga yang akan melayani semua kebutuhanmu."

"Aku harus bilang apa sama Ibu?" ucapku pelan seraya menunduk.

Jemari ini saling meremas karena jika teringat tentang perempuan yang telah melahirkanku itu, hati ini terasa begitu takut. Aku tidak tahu apa yang akan Ibu katakan jika tahu putri sulungnya ini menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang.

"Aku yang akan bilang sama ibumu. Aku akan memberi alasan kalau kamu diterima menjadi asisten pribadiku dan akan ikut ke kota." Hana tampak sangat yakin dengan keputusannya.

"Aku tidak setuju membawanya pulang ke rumah kita, Han. Apa yang akan orang bilang nanti? Lalu, mamamu bagaimana? Hampir setiap pekan dia datang berkunjung, bahkan bisa dua hari sekali. Apa yang akan kamu katakan padanya?"

Ah, laki-laki dengan tubuh besar itu tiba-tiba saja muncul layaknya genderuwo yang mempunyai kekuatan ajaib. Apa dia tidak diajarkan sopan-santun oleh orang tuanya? Mentang-mentang orang kaya menjadikannya bisa seenaknya sendiri.

***

Malam terakhir di hotel, Hana mengizinkanku keluar dari kamar untuk sekadar menikmati suasana indah di kota ini. Aku juga sengaja membiarkan pasangan suami-istri itu menikmati kebersamaan mereka sebelum nantinya aku akan merusak rumah tangga mereka hingga ke akarnya. Bukan karena masih mencintai Rasya, tapi untuk menuntaskan dendam Ayah.

Cukup dengan berjalan kaki di sekitar hotel, aku bisa merasakan sedikit kebebasan. Tampak awan-awan putih berarak di bawah gelapnya langit yang hanya dihiasi sinar bulan sabit.

Aku duduk di tepi kolam renang yang terletak di area rooftop hotel sambil mengagumi ciptaan Sang Mahabesar. Aku begitu kecil di sini, sendirian, dan terjebak dalam permainan yang kubuat sendiri.

"Nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini."

Aku menoleh saat suara yang sangat familier menyapa telinga. Seorang laki-laki berkulit putih dengan satu giwang di telinga kanan sudah duduk di sebelah kananku. Sorot matanya tidak sama dengan kebanyakan orang Indonesia, sedikit lebih terang dan agak kecokelatan saat terkena oantulan cahaya lampu.

Aku menelisik sosok itu dari atas sampai bawah, tapi masih belum bisa mengingat siapa dia. Hanya saja, suara itu sepertinya aku sangat mengenalnya.

"Belum ingat?" tanyanya seraya tersenyum. Kedua alisnya naik dan lama-lama tampak mengernyit.

Astaga! Manis sekali!

Entah bagaimana penampakan wajahku kali ini. Yang jelas, kedua pipi ini sudah terasa panas.

"Kamu masih sama saja seperti dulu, Ran. Nggak berubah! Selalu centil dengan laki-laki ganteng seperti aku."

"Narendra?" ucapku dengan nada sedikit terkejut.

Laki-laki di hadapan mengangguk. Ini kebetulan yang tidak kusangka. Bisa bertemu dengan Narendra bisa kusebut sebagai keajaiban dunia Rania.

"Kok, makin mirip sama Oppa-oppa Korea?" Keduantanganku menangkup wajahnya, lalu mencubit pipi mulus layaknya porselen itu.

"Iya, dong ... siapa dulu, Narendra gitu, loh,"

Kami tertawa lepas saat mengingat masa-masa kuliah dulu. Meskipun hanya dua tahun dan tidak lulus, aku sempat merasakannya. Narendra adalah salah satu teman yang selalu ada untukku. Tampangnya yang mirip aktor Korea membuatnya menjadi dambaan kaum Hawa, tapi lagi-lagi dia laki-laki kedua yang memilihku daripada ratusan perempuan cantik yang mengerubunginya.

"Kamu tahu, Ran ... sejak kamu dan keluargamu pergi tanpa kabar, aku selalu mencarimu. Dan akhirnya, Tuhan mempertemukan kita di sini. Tanpa kuduga sama sekali."

Aku sungguh tersipu dengan setiap perkataan Narendra. Dia memang pandai dalam menanggapi situasi. Dia bisa menjadi orang paling lucu saat menghibur, tapi dia juga bisa menjadi orang paling romantis di saat-saat tertentu.

Kami pun bertukar nomor ponsel, lalu Narendra menawarkan untuk mengajak jalan-jalan. Tentu aku menyetujuinya. Siapa yang menolak rezeki nomplok seperti ini?

Akan tetapi, baru saja kami akan memasuki lift yang terbuka untuk turun ke lantai dasar, tanganku dicekal cukup kuat.

"Siapa yang mengizinkanmu pergi? Dengan laki-laki pula."

Aku membalikkan badan setelah mundur satu langkah karena tidak jadi masuk lift. Aku membuang napas kasar saat melihat laki-laki menyebalkan sudah ada di hadapan. Kenapa dia mengurus apa yang akan kulakukan? Orang aneh!

"Siapa dia, Ran?" tanya Narendra yang ikut mengurungkan niat memasuki lift.

"Kakak Ipar," jawabku.

Namun, bersamaan pula Rasya menyahut. "Suaminya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status