Axel tidak ingin terus meratapi. Ia ingin mulai bergerak untuk mencari jejak Agni. Tetapi saat ia ingat kembali, dirinya malah tidak pernah tahu tentang Agni selain tentang semua hal yang pernah Agni ceritakan dari bibirnya begitu saja. Axel memang punya sikap cuek. Ia tidak pernah bertanya duluan tentang keluarga besar Agni karena ia merasa hal itu tidak perlu ditanyakan. Baginya cukup kehadiran Agni disisinya, rasa nyaman adalah alasan yang jelas untuk mereka terus bersama. Tanpa perlu tahu siapa bebet-bobot masing-masing. Yang Axel tahu, ia cuma selalu ingin berada di samping Agni. Menjadi support system bahkan total caregiver untuknya. Axel hanya peduli pada perasaan Agni dan semua kegundahan hati si gadis. Sehingga, ide-ide yang muncul dari benaknya selama ini cuma fokus untuk membuat Agni bahagia.
Tanpa Axel pernah bertanya pada hatinya, mengapa ia selalu ingin jadi yang terbaik untuk Agni. Kenapa dirinya ingin menjadi orang pertama yang selalu ada demi menghibur Agni. Ia juga orang yang paling sakit saat melihat Agni menangis. Tidak.., Sejak dulu ia tidak pernah meresapi perasaan itu, semua mengalir berjalan bagai air. Dan kini, Axel tahu perasaan itu bernama cinta. Cinta yang kini baru ia sadari disaat Agni sudah pergi jauh.Axel tidak tahu harus kemana untuk mencari Agni. Ia mulai putus asa. Rasanya tidak bertemu Agni sebentar saja, dadanya sangat sakit bagai seseorang menikamnya tepat di jantung.Ditambah tahu, kalau Agni berniat pergi darinya karena pertengkaran tadi. 'Ah, Agni.., Tolong maafkan aku.' Pikirannya hanya larut dalam tiga kata tersebut.Akhirnya, ia memutuskan kembali ke kampus berniat mencari data-data Agni disana. Mungkin Agni sempat menuliskan alamat lainnya pada formulir kemahasiswaan. Atau minimal, nomor yang bisa dihubungi jika dirinya tidak ada kabar."Eh, Xel. Kok balik lagi?" tegur Arkan. Ia langsung merangkul sahabatnya itu. Axel membuang nafas kasar. Di tangannya ada surat dari Agni yang terus ia genggam tanpa henti."Itu apa?" Arkan menunjuk ke surat di tangan Axel. Axel menaiki suratnya, ia tersenyum miring"Agni pergi!" lirihnya lemah"Pergi?!" kutip Arkan sambil menyeritkan alis. "Memangnya kenapa, dia mau pergi lama sampai harus tulis surat segala. Kenapa gak chat lo ajah?" berbagai pertanyaan yang sebetulnya terlintas di benak Axel kini Arkan lontarkan. Pemuda itu cuma bisa menggeleng lemah."Gue juga gak tahu, gue telepon handphonenya gak aktif!" ucapnya lesu."Gue ngrasa dia pergi karena dia marah sama gue. Sekarang dia gak mau lagi ketemu gue," lanjut, Axel pilu."Hm," Arkan menghembuskan nafas. Ia juga sama bingungnya."Lo sih.., tahu Agni naksir lo, pakai lo bentak anaknya," komentarnya begitu saja. Axel menatap Arkan serius. Matanya terbelalak seolah tidak percaya dengan pernyataan Arkan. Sok tahu, ia saja tidak menyadari kalau Agni menaruh hati padanya. Atau jangan-jangan karena ia yang terlalu bodoh sampai gak melihat sinyal cinta yang Agni berikan. Shitt!!"Eh, lo kenapa. Jangan bilang kalau lo gak tahu Agni selama ini Agni suka sama lo. Wah, parah lo" Tentu saja tampang bingung Axel menjadi cemoohan Arkan. Lelaki itu tertawa miring sangat meledek Axel."Lagian, atas dasar apa lo mikir Agni suka sama gue?" tantangnya. Arkan semakin tertawa renyah. Oke biar ia jelaskan Tuan Axel yang terhormatKetika itu, disaat Axe belum jadian sama Sherly,Terlalu terburu membuat Axel tidak sadar menjatuhkan buku catatannya. Untungnya Agni menemukan buku itu tergeletak di samping motornya, ia jadi berniat ke kelas Axel."Axel mana,ya?!" Gadis itu melirik ke dalam kelas Axel. Ia dan Axel memang beda jurusan. Ketika tatapannya bertemu dengan sosok Axel, Agni malah mendengar isi gurauan Axel dengan teman lainnya tentang para gadis."Iya itu sih Karen, gila semalam dia posting foto seksi banget. Sampe ngiler gue" seloroh Yudi salah satu teman kampus Axel. Agni mendengus sembari menggeleng. Laki-laki memang seperti itu. Untungnya Axel aku gak tertarik tuh sama yang begituan, fikirnya. Baru saja ia menduga kayak begitu. Axel susah menyerocos menanggapi Yudi"Eh yang bener doi seksi? Gue mau lihat dong!" Apa, Agni melotot tajam. Jadi Axel sama saja sama lingkaran pertemanan kusutnya itu. Bibirnya bergerutu seraya membanting-banting kaki."Iih, Axel nyebelin!" Disaat itu nyatanya ada Arkan di belakang Agni. Pemuda itu sangat ingin tertawa, namun saat tangannya ingin menepuk bahu Agni. Arkan bisa melihat kekecewaan yang terpancar dalam dari sorot mata sang hawa.Yah, Agni meneteskan air matanya. Meski berkali-kali juga ia menghapus kilat. Bibirnya terus bergerutu hal yang sama. Walau semakin lama suaranya menjadi parau. Arkan menelan ludah kasar, semenjak itu ia sadar Agni menaruh hati pada Axel.Tidak hanya sampai situ. Di saat Axel mendekati Sherly, cewek bau kencur salah satu mahasiswa baru. Saat itu, Arkan sudah menegur Axel supaya tidak mendekati Sherly"Lo yakin sama Sherly?" tanyanya, raguAxel yang sedang dimabuk asmara langsung mengangguk tanpa segan."Anaknya asik diajak jalan!" komentar Axel kala itu. Arkan menghembuskan nafas "Enak di ajak jalan,'kan belum tentu harus lo pacarin, Bro!" Ia ingin bilang ke Axel untuk sebentar saja melihat Agni sebagai wanita bukan sebagai sahabat apalagi saudara. Tapi Arkan merasa itu bukanlah ranahnya. Arkan malah takut Agni merasa terhina dan marah karena ia memberi tahu perasaannya ke Axel. Yah, Arkan sadar. Terkadang wanita seribet dan serapuh itu. Mereka ingin orang disukai peduli tanpa perlu mengatakan keinginannya langsung.Mungkin suatu hari nanti Axel akan memahami perasaan Agni. Dan pastinya moment itu menjadi saat-saat terindah bagi Agni. Tapi nyatanya Arkan salah, saat Axel tahu. Malah kekecewaan yang semakin besarlah yang Agni dapati. Setelah Arkan berhenti cerita. Axel terlihat semakin kalang kabut,"Apa? Jadi Agni suka sama gue sejak hari itu?" Axel terdengar sangat kaget. Kenapa ia tidak menyadari kalau Agni terluka. Seingatnya, Agni merestui hubungannya dengan Sherly. Gadis itu malah sering menyemangatinya untuk terus melakukan pendekatan sama Sherly. Dan artinya disaat yang sama Agni terluka begitu dalam.''Bodoh! Bodoh!' Tidak ada kata lain yang terus Axel runtuki dari sikapnya. Ia terus bersama Agni setiap hari. Tapi parahnya Axel tidak menyadari perasaan terdalam Agni, malah dengan mudahnya ia menyakiti hatinya.Axel merasa ia menjalani hidup dengan egois. Cuma memperdulikan diri sendiri. Sering kali ia bilang pada Agni, kalau dirinyalah yang paling mengerti keinginan sahabatnya itu. Bahwa Agni tidak perlu bicara secara gamblang karena Axel bisa menebak apa yang ada di isi hatinya. Tapi ternyata ia tidak lebih dari manusia yang mementingkan dirinya sendiri. Jangan,'kan membaca isi hati si gadis. Ia malah tidak tahu apapun tentang Agni.'Agni, maafkan aku. Masih bisakah kau mencintai pria dungu sepertiku? Aku mohon buka hatimu sekali lagi untukku, Sayang!'"Xel!" Agni menatap Axel berkaca-kaca. Tidak menyangka Axel tidak menyerah demi mendapatkanya. Padahal, Agni sempat ingin berpaling.Axel mengangguk maksum dan mencium kepala Agni. Tidak perlu berkata apapun. Karena Axel tau cinta Agni cuma untuknya."Tapi aku harus bilang sama papa dan mamanya Tian. Gimanapun mereka sangat baik ke aku!" Axel mengangguk maksum. Ia mengantarkan Agni ke rumah orangtua Tian. Di sana Agni disambut tapi mama Tian bingung siapa pria yang bersama Agni. Keduanya masuk dan menjelaskan kepada orangtua Tian.Mama Tian sangat kaget saat tau perbuatan Tian yang suka mengurung Agni."Astaga!" Dia tidak bisa menyalahkan Agni. "Lalu bagaimana, kamu ingin bercerai dari Tian, Agni?" Papa Tian menengahi. Dia dapat kabar dari orang kantornya kalau Tian punya hubungan gelap dengan sekretarisnya. Sepintar-pintarnya Tian menutupi, perselingkuhannya tercium juga dan papa Tian tidak bisa mengelak lagi. Selingkuh dan melakukan kekerasan fisik. Pantas anak mantunya tidak
Siang itu Axel menemui Agni di rumahnya. Dia ingin mengingatkan wanita itu perihal perlakuan Tian selama ini yang benar-benar salah, yaitu penuh kelicikan dan memfitnah habis-habisan. Sebenarnya dia tahu jika Agni pasti peduli, tetapi nampaknya selama ini Axel merasa tidak ada pergerakan apa-apa dari wanita itu. Jika dikata harus sabar, nampaknya Axel tidak bisa. Dia harus segera melanggar permasalahan ini dan bertindak lebih cepat dari Agni, yaitu dengan memberikan hukuman kepada Tian yang sudah berani berbuat. Jika tidak seperti ini, maka sampai selamanya Tian pasti akan terus-menerus seperti itu. Dia tidak bisa menyadari kesalahannya sendiri dan bahkan hanya bisa menjadikan orang sebagai kambing hitam atau semua yang telah terjadi, tentang permasalahan yang ada. Mendengar dan melihat yang seperti itu, siapa yang tidak marah? Ya, tentu. Axel sudah bukan lagi ingin marah, tetapi dia memiliki rencana untuk membunuh Tian jika laki-laki itu masih terus-menerus keterlaluan dan semena-men
Di satu sisi, diam-diam Axel masih memikirkan tentang kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu. Tiba-tiba saja pemikirannya mengingat tentang kebohongan Agni yang selama ini disembunyikan. Axel kecewa mengapa wanita itu tega kepadanya, padahal selama ini Axel hanya berharap jika Agni mau jujur kepada dia.“Walaupun ini udah terjadi, tapi aku masih ingat jelas. Aku lupa cara melupakan ini semua. Sudah seharusnya aku nggak perlu lagi ingat-ingat soal itu.”Wanita paruh baya yang kerap disapa dengan nama bu Ningsih tiba-tiba saja menghampiri Axel. Pasalnya, sejak tadi dia melihat jika putranya itu seperti memperlihatkan raut wajah tidak tenang dan kepikiran terhadap sesuatu hal. Sebenarnya sejauh ini belum ada yang bisa diartikan oleh Bu Ningsih. Beliau sendiri bingung, apakah Axel sedang sakit atau tidak. Akan tetapi, dia tidak menemukan bukti dan tanda bahwa putranya itu mengalami hal yang dia pikirkan. Semua itu seperti terjadi begitu cepat dan Bu Ningsih harus segera menangani apa y
Tian begitu bersemangat menuju rumah Desi. Dia sangat yakin akan mendapat restu dari ayah dan ibunya Desi. Terlebih apa yang sudah dia lakukan selama ini. Itu pasti akan menjadi pertimbangan yang cukup membuatnya percaya diri. Mobilnya sudah masuk ke halaman rumah Desi yang hanya bisa memuat satu mobil dan satu motor saja. Tian langsung turun dan ternyata pintu rumah itu sudah terbuka seperti memang ingin menyambutnya. “Pak Tian, udah sampai,” sapa Desi yang kebetulan ke luar. “Ayo silakan masuk.” Desi berjalan di samping Tian malu-malu.Tian begitu bahagia melihat senyum di wajah Desi. Dia makin yakin kalau dia akan diterima dengan baik di rumah itu sebagai anggota keluarga baru. Tian benar-benar tidak ingat akan keberadaan Agni yang masih sah menjadi istrinya. Dia tidak sadar sedang mempermainkan dua hati wanita yang pasti nanti akan melukai salah satu dari mereka atau bahkan keduanya. Yang ada di pikirannya saat ini sudah pasti hanya bagaimana caranya mendapatkan Desi yang selalu
“Kalau begitu ibu tidak bisa melarang seperti yang ibu katakan tadi. Asalkan kamu harus selesai dulu dengan istri kamu.”Tian lantas tertegun. Meski dia begitu kesal dan marah pada Agni, tidak terlintas sedikit pun dalam hatinya untuk bercerai dengan istrinya itu. Di mata Tian, Agni adalah gadis yang baik dan santun. Terlebih kedua orang tuanya sangat menyayangi Agni. Jadi dia tidak berniat berpisah dari Agni. Tian terlihat begitu gugup. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan ibu Desi.“Bu. Kita makan dulu ya? Jangan bahas yang lain,” ucap Desi menengahi antara ibunya dan Tian. Dia tidak peduli bagaimana reaksi Tian selanjutnya, dia sudah cukup bahagia mendengar pengakuan Tian tentang perasaannya. Dan itu sudah lebih dari cukup.“Pak Tian. Maaf kalau pertanyaan ibu saya tadi ....”“Tidak apa-apa, Desi. Itu hal yang wajar sebagai seorang ibu.”Mereka sudah berada di luar rumah karena Tian akan pulang. “Tapi ....” Desi tidak mela
“Kamu beneran nggak apa-apa, Agni?” mama Tian begitu khawatir dengan menantunya yang terlihat sering murung. “Nggak, Ma. Agni baik-baik aja, kok. Mama jangan khawatir ya?”Wanita itu mengangguk mencoba percaya kalau sang menantu baik-baik saja.*“Pak Tian. Hari ini saya izin pulang lebih cepat, boleh?”Dessy sedang meminta izin pada Tian.“Mau ke mana?”“Tidak ke mana-mana, Pak. Ayah saya hari ini sudah diperbolehkan pulang.”Tian bangkit dari kursi dan memakai jas. Lalu mengambil kunci mobil di atas meja.“Ayo saya antar.” Tian melenggang begitu saja melewati Desi yang tidak tahu maksud bosnya itu.“P-pak ....” Desi mempercepat langkah kaki untuk bisa sejajar dengan Tian.“Saya akan antar kamu ke rumah sakit dan kamu tidak bisa menolak. Lagi pula kita tidak ada pekerjaan lagi, kan?”Desi hanya bisa mengangguk karena tidak mungkin dia bisa menolak Tian.Ternyata semua urusan di rumah sakit sudah selesai. Jadi ayah Desi langsung bisa dibawa pulang. Dua orang tua itu duduk di bangku p