“Eh, Agni kemana?” Axel melirik ke sekelilingnya tak nampak temannya itu. Sedang Sherly sudah mendengus kesal sambil bersidekap dada.
“Udah pergi. Lagi Sayang, kan ada aku.” Ia mengalungkan tangannya ke lengan Axel.“Minggir gak.., aku mau cari Agni!”“Buat apa sih Xel. Yang cewek kamu itu aku! Bukan dia.” Hilang sudah kesabaran Sherly. Tapi sayangnya, Axel tidak menaruh simpatik pada rengekkan Sherly. Sambil tersenyum miring ia segera membalas ucapan Sherly.“Jangan-jangan kamu yang meminta Agni untuk pergi?” tudingnya.Sherly mengangkat dagunya angkuh “Iya aku. Memangnya kenapa. Lagi dia itu cuma pengganggu kita, Xel.” Axel menggeleng berusaha menahan luapan emosinya.“Kalau diantara kita ada seorang pengganggu yang jelas orang itu bukan Agni tapi kamu!” cowok itu menujuk Sherly.“Maksud kamu?” suara Sherly jadi kaku dengan pupil matanya yang bergerak, menolak pernyataan Axel.“Perlu aku jelasin sekali lagi. Aku bisa kehilangan cewek manapun asal itu bukanlah Agni!” Tak memperdulikan jawaban Sherly Axel segera mengejar Agni. Ia berlari kalap tidak ingin Agni terluka sedikitpun.“Agni!” Axel tersenyum ketika melihat punggung Agni.“Agni tunggu...” Cepat Agni melap air matanya. Ia juga tak berusaha menghentikan langkahnya ‘Axel gak boleh lihat kalau aku nangis. Nanti dia cemas...’ suara hatinya“Ni.., hufft!” Sebentar saja Axel sudah ada di depan meski ia juga terbanjiri peluh.“Kok lo gak nunggu gue, sih?” Agni berusaha tersenyum, iris matanya tak ingin menatap Axel."Gue ada kelas" tutur, Agni mencari alasanAxel mencoba mengingat jadwal Agni. 'Bukannya Agni free,ya sampai nanti jam sepuluh?' batinnya"Kelas apa, Ni?" tanyanya karena penasaran. Agni cemberut,"Lo gak perlu tau semualah. Lo,'kan bukan siapa-siapa gue" jawabnya, kesal. Yang sebenarnya Agni kesal dengan perasaannya sendiri.'Maafin aku, Xel. Tapi gak mau jadi orang ketiga atas hubungan kamu dengan Sherly' suara hatinya bersenandika."Gue bukan siapa-siapa lo," Axel menunjuk dirinya sendiri begitu marah tak dianggap Agni"Lo udah bikin gue kecewa, Ni" lirihnya pilu. Sesakit itu nyatanya tidak diakui Agni dan karena itu Axel memutuskan menjauhi Agni untuk sementara waktu.Axel POVAku yang mengejar Agni berniat untuk menghiburnya. Aku tahu, Agni pasti terluka dengan ucapan Sherly meski aku sendiri tidak tahu apa saja yang sudah ia ucapkan ke Agni. Tetapi jika melihat sorot mata Agni yang sedih aku tahu, ia habis menangis. Tetapi aku berpura-pura tidak tahu. Yang ku tahu Agni tak suka di pandang lemah.Dari arah depan Arkan memanggilku"Xel... Woy kemana ajah lo!" sapanya sembari berjalan kearahku. Dari ekor mataku, aku melihat Agni berjalan di belakangku. Tapi aku memasang wajah tak acuh dengannya."Eh, Arkan!" Aku menyambut rangkulan Arkan. Kami berjalan beriringan. Entah karena Agni sedang melamun atau apa. Tetapi tanpa sadar ia malah menubruk lenganku."Ahk, Maaf!" matanya kembali menyiratkan rasa bersalah. Dan itu membuat aku semakin kesal. Aku membuang pandangan darinya."Eh, Lo tadi nabrak Agni!" ucap, Arkan menarikku agar melihat keadaan Agni. Ia hanya ingin temannya bertanggung jawab sudah membuat Agni meringis kesakitan."Udahlah, Kan!" aku menaiki tanganku. Tak mau lagi mendengar ucapannya. Arkan terlihat kikuk. Ia berusaha membantu Agni. Tapi ia juga mau mengejarku. Akhirnya ia memutuskan mengejarku"Xel.., dia Agni!" tekannya."Ya gue tau kok. Dan mulai sekarang gue gak mau peduli sama dia. Dia itu manja, ngerepotin gue doang. Lo tahu,'kan. Bentar lagi kita mau sidang. Gue sibuk dan gak bisa menanggapi rengekkannya terus menerus," ujark menyakitkan. Aku sengaja mengatakan itu untuk membalas sakit hatiku padanya. Mungkin Arkan fikir aku ada lelaki yang kekanak-kanakan karena sungguh aku juga merasa seperti itu. Bahkan setelah selesai bicara aku merasa begitu bersalah. Ku tatap wajah Agni yang datar, seakan tak terpengaruh sedikitpun. Perasaan kesal semakin menjadi dan membuatku meninggalkan Arkan dan Agni begitu saja.Axel POV end"Ni.., lo gakpapa?!" Arkan mencoba menanyakan keadaan Agni. Agni hanya mengulas senyum manisnya sebagai jawaban"Gue heran. Kenapa juga Axel bilang kalau lo itu manja. Padahal lo adalah salah satu wanita terkuat yang pernah gue kenal" bela, Arkan. Agni tak menunjukkan reaksinya. Sebenarnya hatinya sakit mendengar penuturan Axel padanya. Kata-kata Axel seolah menari di telinganya. Sayang, ia termasuk wanita yang sulit mengekspresikan diri. Hanya kepalan erat pada buku-bukunya sebagai perantara rasa kecewanya."Aku duluan,ya Kan!" ucap, Agni***Agni POVNiat awalku untuk pergi ke perpustakaan menjadi kacau. Bagaimana bisa aku belajar, sedang hatiku terasa sangat perih. Aku tahu, Axel mengatakan seperti itu karena akulah yang memulainya. Axel yang ku kenal memang memiliki sifat tidak mau mengalah. Dahulu, kami sangat sering berebut mainan. Meski awalnya ia yang menang. Tapi pada akhirnya Axel memilih mengalah setelah melihat aku menangis. Ahk, Axelku yang lucu. Tapi kali ini, ia tak melakukan itu. Apa aku harus menangis di depannya agar ia mengerti isi hatiku. Tetapi tidak, aku bukan anak kecil lagi. Lagipula jika itu aku lakukan artinya Axel menyerahkan dirinya karena ia kasihan padaku. Bukan karena cinta, aku tak ingin di kasihani. Aku memang seorang diri disini. Dan aku bisa mengatasinya.Biarlah jika Tuhan mengijinkan kami bersama. Sebanyak apapun halangan yang menerjang. Aku yakin suatu hari nanti kita akan dipersatukan. Jika ada hari itu, aku bersumpah menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini.Aku berjalan keliling taman sebentar. Hanya hembusan nafas lelah yang sanggup aku keluarkan. Lelah dengan keadaaan ini.Dari jarak aku menandang ku dapati seseorang yang sudah membuat hatiku berbunga juga orang yang dengan mudahnya meremukkan kalbuku. Siapa lagi kalau bukan Axel.Ia sedang bersama Sherly. Seharusnya aku menjauhi mereka. Tetapi sayangnya kakiku seakan berdusta. Aku mematut diri disana. Melihat lelaki yang ku cintai beradu mesra dengan wanita lainnya. Ku buang pandanganku ke samping. Lalu sesaat pandangan kembali kearah mereka. Ada rasa ingin tahu. Tapi aku juga rasanya tak kuat dengan semua ini.Memang benar, seorang wanita bisa menyimpan rasa cintanya berpuluh tahun lamanya. Tetapi mereka selalu gagal menyembunyikan rasa cemburunya meski sedetik sajaPosisi Axel saat ini sedang membelakangiku. Jadi ia tidak tahu kalau aku memergokinya bermesraan. Lagipula Axel berhak.Dari jauh aku melihat Sherly menaiki sudut bibirnya. Aku memperkirakan ia menyadari keberadaanku. Aku memutuskan tidak peduli lagi dan berniat pergi sampai aku melihat dengan mata kepala ku sendiri mereka berdua seakan berpagut mesra. Aku memang tidak jelas melihatnya, lagipula untuk apa aku terus mematut diri disana. Aku memilih berlari untuk pulang. Membawa cinta bebalut luka ini."Xel!" Agni menatap Axel berkaca-kaca. Tidak menyangka Axel tidak menyerah demi mendapatkanya. Padahal, Agni sempat ingin berpaling.Axel mengangguk maksum dan mencium kepala Agni. Tidak perlu berkata apapun. Karena Axel tau cinta Agni cuma untuknya."Tapi aku harus bilang sama papa dan mamanya Tian. Gimanapun mereka sangat baik ke aku!" Axel mengangguk maksum. Ia mengantarkan Agni ke rumah orangtua Tian. Di sana Agni disambut tapi mama Tian bingung siapa pria yang bersama Agni. Keduanya masuk dan menjelaskan kepada orangtua Tian.Mama Tian sangat kaget saat tau perbuatan Tian yang suka mengurung Agni."Astaga!" Dia tidak bisa menyalahkan Agni. "Lalu bagaimana, kamu ingin bercerai dari Tian, Agni?" Papa Tian menengahi. Dia dapat kabar dari orang kantornya kalau Tian punya hubungan gelap dengan sekretarisnya. Sepintar-pintarnya Tian menutupi, perselingkuhannya tercium juga dan papa Tian tidak bisa mengelak lagi. Selingkuh dan melakukan kekerasan fisik. Pantas anak mantunya tidak
Siang itu Axel menemui Agni di rumahnya. Dia ingin mengingatkan wanita itu perihal perlakuan Tian selama ini yang benar-benar salah, yaitu penuh kelicikan dan memfitnah habis-habisan. Sebenarnya dia tahu jika Agni pasti peduli, tetapi nampaknya selama ini Axel merasa tidak ada pergerakan apa-apa dari wanita itu. Jika dikata harus sabar, nampaknya Axel tidak bisa. Dia harus segera melanggar permasalahan ini dan bertindak lebih cepat dari Agni, yaitu dengan memberikan hukuman kepada Tian yang sudah berani berbuat. Jika tidak seperti ini, maka sampai selamanya Tian pasti akan terus-menerus seperti itu. Dia tidak bisa menyadari kesalahannya sendiri dan bahkan hanya bisa menjadikan orang sebagai kambing hitam atau semua yang telah terjadi, tentang permasalahan yang ada. Mendengar dan melihat yang seperti itu, siapa yang tidak marah? Ya, tentu. Axel sudah bukan lagi ingin marah, tetapi dia memiliki rencana untuk membunuh Tian jika laki-laki itu masih terus-menerus keterlaluan dan semena-men
Di satu sisi, diam-diam Axel masih memikirkan tentang kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu. Tiba-tiba saja pemikirannya mengingat tentang kebohongan Agni yang selama ini disembunyikan. Axel kecewa mengapa wanita itu tega kepadanya, padahal selama ini Axel hanya berharap jika Agni mau jujur kepada dia.“Walaupun ini udah terjadi, tapi aku masih ingat jelas. Aku lupa cara melupakan ini semua. Sudah seharusnya aku nggak perlu lagi ingat-ingat soal itu.”Wanita paruh baya yang kerap disapa dengan nama bu Ningsih tiba-tiba saja menghampiri Axel. Pasalnya, sejak tadi dia melihat jika putranya itu seperti memperlihatkan raut wajah tidak tenang dan kepikiran terhadap sesuatu hal. Sebenarnya sejauh ini belum ada yang bisa diartikan oleh Bu Ningsih. Beliau sendiri bingung, apakah Axel sedang sakit atau tidak. Akan tetapi, dia tidak menemukan bukti dan tanda bahwa putranya itu mengalami hal yang dia pikirkan. Semua itu seperti terjadi begitu cepat dan Bu Ningsih harus segera menangani apa y
Tian begitu bersemangat menuju rumah Desi. Dia sangat yakin akan mendapat restu dari ayah dan ibunya Desi. Terlebih apa yang sudah dia lakukan selama ini. Itu pasti akan menjadi pertimbangan yang cukup membuatnya percaya diri. Mobilnya sudah masuk ke halaman rumah Desi yang hanya bisa memuat satu mobil dan satu motor saja. Tian langsung turun dan ternyata pintu rumah itu sudah terbuka seperti memang ingin menyambutnya. “Pak Tian, udah sampai,” sapa Desi yang kebetulan ke luar. “Ayo silakan masuk.” Desi berjalan di samping Tian malu-malu.Tian begitu bahagia melihat senyum di wajah Desi. Dia makin yakin kalau dia akan diterima dengan baik di rumah itu sebagai anggota keluarga baru. Tian benar-benar tidak ingat akan keberadaan Agni yang masih sah menjadi istrinya. Dia tidak sadar sedang mempermainkan dua hati wanita yang pasti nanti akan melukai salah satu dari mereka atau bahkan keduanya. Yang ada di pikirannya saat ini sudah pasti hanya bagaimana caranya mendapatkan Desi yang selalu
“Kalau begitu ibu tidak bisa melarang seperti yang ibu katakan tadi. Asalkan kamu harus selesai dulu dengan istri kamu.”Tian lantas tertegun. Meski dia begitu kesal dan marah pada Agni, tidak terlintas sedikit pun dalam hatinya untuk bercerai dengan istrinya itu. Di mata Tian, Agni adalah gadis yang baik dan santun. Terlebih kedua orang tuanya sangat menyayangi Agni. Jadi dia tidak berniat berpisah dari Agni. Tian terlihat begitu gugup. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan ibu Desi.“Bu. Kita makan dulu ya? Jangan bahas yang lain,” ucap Desi menengahi antara ibunya dan Tian. Dia tidak peduli bagaimana reaksi Tian selanjutnya, dia sudah cukup bahagia mendengar pengakuan Tian tentang perasaannya. Dan itu sudah lebih dari cukup.“Pak Tian. Maaf kalau pertanyaan ibu saya tadi ....”“Tidak apa-apa, Desi. Itu hal yang wajar sebagai seorang ibu.”Mereka sudah berada di luar rumah karena Tian akan pulang. “Tapi ....” Desi tidak mela
“Kamu beneran nggak apa-apa, Agni?” mama Tian begitu khawatir dengan menantunya yang terlihat sering murung. “Nggak, Ma. Agni baik-baik aja, kok. Mama jangan khawatir ya?”Wanita itu mengangguk mencoba percaya kalau sang menantu baik-baik saja.*“Pak Tian. Hari ini saya izin pulang lebih cepat, boleh?”Dessy sedang meminta izin pada Tian.“Mau ke mana?”“Tidak ke mana-mana, Pak. Ayah saya hari ini sudah diperbolehkan pulang.”Tian bangkit dari kursi dan memakai jas. Lalu mengambil kunci mobil di atas meja.“Ayo saya antar.” Tian melenggang begitu saja melewati Desi yang tidak tahu maksud bosnya itu.“P-pak ....” Desi mempercepat langkah kaki untuk bisa sejajar dengan Tian.“Saya akan antar kamu ke rumah sakit dan kamu tidak bisa menolak. Lagi pula kita tidak ada pekerjaan lagi, kan?”Desi hanya bisa mengangguk karena tidak mungkin dia bisa menolak Tian.Ternyata semua urusan di rumah sakit sudah selesai. Jadi ayah Desi langsung bisa dibawa pulang. Dua orang tua itu duduk di bangku p
Dengan langkah terburu Tian menyusuri koridor rumah sakit daerah tempat ayah Desi dirawat sesuai alamat yang dia ikuti di aplikasi penunjuk jalan.Dari jauh dia melihat Desi dan ibunya duduk di bangku panjang di depan sebuah ruang ICU. Segera Tian menuju ke sana.“Desi,” panggil Tian pelan.Desi yang tadi sedang berpelukan dengan ibunya kini mengangkat wajah dan menatap Tian.“P-pak Tian?”“Bagaimana keadaan ayah kamu?”“Infeksi usus buntu,” jawab Desi lirih. Sebenarnya dia malu untuk meminta bantuan pada Tian hanya untuk operasi yang sebenarnya tidak terlalu memakan banyak biaya. Hanya saja mereka baru saja melunasi rumah yang saat ini mereka tempati. Jadi tabungan Desi benar-benar sudah tidak ada lagi. “Dokter bilang apa harus segera dioperasi,” timpalnya lagi.“Ya sudah kalau begitu ayo kita urus administrasinya, supaya ayah kamu lekas bisa ditangani.”Desi mengangguk dan beranjak bangkit.“Ibu tunggu di sini, ya?”Ibunya Desi setuju dengan ucapan Desi.Kemudian Tian dan Desi ber
Ya, orang itu adalah papanya Tian. Dia baru kembali dari pertemuan dengan beberapa pejabat daerah lainnya. “Kamu sedang apa di sini hujan-hujan begini?”Agni tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin dia bilang kalau melihat Tian yang hampir meniduri sekretarisnya sendiri.“Apa kamu bertengkar dengan Tian?” tebak pria paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih itu.Agni tidak menjawab. Dia lagi menundukkan kepala dengan tangan yang saling bertaut.Papa Tian tentu sudah tahu kalau tebakannya pasti benar.“Ya sudah kalau begitu ayo kamu pulang ke rumah papa saja. Nanti biar mama yang bilang sama Tian kalau kamu tinggal bersama kami untuk sementara waktu.”Karena tidak punya pilihan lain, akhirnya Agni mengangguk setuju untuk ikut bersama mertuanya. Dia duduk di bangku belakang sedangkan papa Tian duduk di samping sopir.“Loh, Agni. Kenapa bisa ikut papa?” tanya mama Tian setibanya suami sampai di rumah.“Sudah, masuk dulu.” Mama Tian mengangguk dan mengajak menantunya masuk k
Seketika wajah Agni berubah pias. Rantang yang ada di tangannya terempas jatuh ke lantai dan isinya berserakan. Dia melihat dengan jelas bagaimana tubuh Tian menindih seorang gadis yang hampir telanjang dan sedang menghisap puting payudara gadis itu dengan penuh nafsu.Sepasang manusia yang sedang dilanda gairah itu terkejut dengan kedatangan Agni.“A-Agni!” Tian langsung turun dari tubuh Desi dan menarik celananya ke atas dengan gerakkan terburu. Begitu juga dengan Desi yang langsung turun dan merangkak mencari bra dan kemejanya yang tadi dilempar sembarangan oleh Tian. Sadar dengan apa yang sedang terjadi, Agni langsung masuk dan menutup pintu agar tidak ada karyawan yang melihat adegan tersebut. Kini dia melihat dua orang berlainan jenis itu sibuk memasang pakaiannya kembali. Desi nampak ketakutan dari wajahnya yang pucat pasi. Berbeda dengan Tian yang wajahnya datar saja sambil terus menatap Agni. Meski awalnya sempat terkejut, tapi Tian sangat pandai menguasai diri dalam kondis