Share

Mengejar Cinta Sahabat Jandaku
Mengejar Cinta Sahabat Jandaku
Penulis: Mega Silvia

Sehancur Itu Aku Pernah

"Agni.., cepetan udah telat nih!" seru, Axel seraya melirik ke jam tangannya. Giginya mengertak, tidak tahan menunggu Agni yang selalu ngaret.

"Agni.., gue jalan duluan nih!" pekiknya kembali. Seorang gadis yang sejak tadi namanya di panggil langsung keluar meski riasan wajahnya masih berantakan.

"Jangan tinggal gue dong!" wajahnya memelas dengan bibir yang sedikit cemberut

"Ahk..., Ha ha..." Axel tak bisa menghentikan gelak tawanya. Yah masa sih Agni mau ke kampus dengan lipstik menor gitu. Kayak tante-tante tau gak.

"Mending lo hapus deh lipstik lo itu!" Axel turun dari motornya. Berjalan mendekati Agni. Dengan tangannya ia membelai bibir Agni bermaksud menanggalkan warna merah pada birai menggoda itu berganti kembali ke warna alaminya.

"Nah..,cantik,'kan juga kayak gini lo," tuturnya, terus menatap Agni lekat. Entah mengapa membuat perasaan Agni berdebar tak karuan. Gadis itu tak bisa menjawab sepatah katapun. Alih-alih protes dengan sikap Axel. Agni justru hanya mematut iris matanya terus mengarah ke wajah tampan Axel. Wajah yang selama ini ia lihat, tak pernah seharipun mereka terpisah selama lebih dari delapan belas tahun menjadi sahabat. Akankah perasaan itu harus berganti ke romansa cinta. Ahk, membayangkan Axel menjadi kekasihnya saja membuat Agni mau tertawa.

"Kenapa Lo?!" Axel memincingkan matanya keheranan dengan sudut bibir Agni yang sedikit terangkat.

"Gue! gue kenapa emangnya?!" Agni berpura-pura bisa saja. Tapi itu mengundang senyum manis di lengkapi lesung pipi milik Axel.

"Gue tau Lo.., gak usah pura-pura. Lo tadi mau ketawain gue,'kan?!"

"Enggak.., siapa juga. Kurang kerjaan banget!" Agni tak lagi mau menatap wajah Axel. Karena ia takut, seandainya Axel menatap matanya. Maka pemuda itu juga akan tahu betapa besar rasa cintanya ke Axel. Perasaan yang Agni pendam, bahkan sering kali ia ingkari. Namun.., sebesar apapun usaha Agni. Ia yakin getaran di dadanya itu bernama cinta.

Sayang.., Agni tidak bisa mengungkapkan secara gamblang perasaannya ke Axel. Ia hanya takut Axel malah memilih menjauh darinya. Apalagi Axel itu sudah memiliki...

"Ni.., cepet dong Sherly ngajakin gue sarapan di kantin bareng ini" gerutunya. Yah, ini adalah salah satu alasannya. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Karena Axel sudah memiliki pujaan hatinya.

"Bentar, gue ijin sama Ibu dulu dong," kata Agni mencoba biasa saja. Axel menarik tangannya. "Gue udah ijinin tadi sekalian buat lo!" sahutnya, tidak sabaran.

***

Motor Axel parkir di area kampus. Seperti biasanya, Agni dengan setia menunggu Axel selesai meletakkan kendaraan ber-cc tinggi itu. Tapi kali ini kesenangannya harus tergores karena Sherly juga datang menunggu Axel.

“Sayang.., cepet dong! Aku udah laper ini." Wanita itu terlihat sangat manja pada Axel. Ia bahkan memegangi perutnya seolah benar-benar kelaparan bak korban pengungsian. Tetapi sikap itu hanya ia perlihatkan pada Axel. Sementara dengan Agni, Sherly sangat judes. Ia seolah ingin mengukuhkan jika Axel adalah miliknya

“Kamu ngapain di sini?” tanyanya curiga. Matanya memincing tak suka. “Axel udah ada aku, jadi lebih baik kamu pergi deh dari sini!” lanjutnya seraya mengibaskan rambutnya yang tergerai liar. Secara naluri Agni mundur selangkah dan bermaksud pergi dari sana. Sebetulnya Agni memaklumi sikap Sherly, tak ada seorangpun wanita yang mau berbagi kasih pujaan hatinya kepada wanita lain. Meski sahabatnya sekalipun, terlebih Agni menyadari ia telah menodai hubungan ini dengan perasaannya itu, Agni pun tidak mengerti. Bukankah cinta tak pernah salah. Dan ia sendiri tak pernah meminta pada Tuhan meletakkan perasaan cintanya ke Axel. Ia hanya mengikuti arus takdir, dan jika takdir membawanya untuk mencintai sahabatnya sendiri. Agni ikhlas, meski perasaan itu hanya ada dalam hatinya.

Agni kembali mengenang kejadian yang membuat ia menyukai Axel.

“Pa.., papa, bangun, Pa." Tangis Agni pecah sesaat mengetahui ayahnya harus gugur di medan perang. Meski Agni sangat jarang bertemu dengan Gunawan. Tetapi ia sangat-sangat mencintai pria itu. Hanya Papa'nyalah keluarga yang Agni miliki satu-satunya setelah sang ibu meninggal sekitar tujuh tahun yang lalu.

“Papa.., papa gak bisa ninggalin aku kayak gini, Pa. Papa bangun” Ia menggoncangkan tubuh kaku Gunawan yang diletakkan di kamar jenazah. Tangannya perlahan menyentuh luka tembak yang terdapat di dada Gunawan, hatinya remuk redam ketika memperkirakan inilah penyebab ayahnya meregang nyawa di tanah orang. Kini setelah Panglima tersebut terbujur dingin tak ada lagi pelindung bagi Agni. Ia menunduk terus menyanyikan alunan pilu yang keluar dari sudut bibirnya. Seandainya Agni bisa memutar waktu dan meminta sang ayah untuk tinggal saja bersamanya. Atau seandainya Agni diberi waktu satu detik saja untuk mengucapkan kata betapa ia menyayangi ayahnya. Maka Agni rela mempertaruhkan seluruh hal yang ia punya. Tapi sayang.., apa yang telah berlalu tidak mungkin kembali. Kata penyesalan, hanya akan menambah derita tanpa pernah menemui titiknya.

“Agni.., udah, Ni!” Axel menarik lengan Agni, pemuda itu mau membangunkan Agni karena sebentar lagi jenazah Gunawan mau dimandikan. Tapi Agni menolak, ia menghempaskan tangan Axel “Jangan sentuh aku! Jangan pisahin aku sama Papa. Papa...” Axel pun sangat sedih. Tak pernah ia melihat Agni sehancur ini Agni yang ia kenal adalah wanita yang mandiri. Ia yang seorang anak tunggal apalagi ditinggal sosok ibu menjadi pribadi yang sedikit tertutup dan kaku. Hanya kepada Axel, Agni menunjukkan keceriaannya sebagai gadis remaja pada umumnya.

Axel membeku di tempatnya. Berkali-kali ia mengacak wajahnya sendiri. Air mata seakan terus menutupi penglihatannya, Menjadikan matanya berkabut kepedihan. Ia berusaha tegar untuk Agni. Sayang.., kehilangan Gunawan, sosok kebanggannnya juga membuat Axel hilang arah.

Untuk meredam rasanya, Axel menumpuhkan dirinya di lutut kakinya, ia membalikkan tubuh Agni menghadapnya dan memeluk sahabatnya itu erat.

“Agni... Agni...” rancaunya disela isak tangis yang keluar dari bibir keduanya. Pelan, Agni membalas pelukkan Axel. Ini pertama kalinya Axel mendekapnya. Meski mereka sudah lama bersahabat tetapi mereka selalu mencoba menjaga batasan.

Agni jadi tahu, betapa nyamannya berada dipelukkan lelaki. Atau karena lelaki itu Axel, seseorang yang menemaninya baik suka dan duka. Dekapan mereka semakin erat sampai salah satu petugas menarik brankas berisikan jenazah Gunawan.

“Pa... Papa aku mau dibawa kemana?”

“Agni.., cukup Agni, lo harus kuat!” tekan, Axel

Pemakaman secara negara dilangsungkan. Penghormatan terakhir diberikan kepada pahlawan yang gugur di medan perbatasan itu. Sedang Agni, hanya menatap acara dengan pandangan yang kosong. Sejak mengetahui kepergian ayahnya sampai detik inipun ia tidak makan sama sekali. Mungkin Agni berniat menyusul kedua orangtuanya, entalah... Yang pasti Axel tak akan pernah membiarkan itu terjadi.

“Ni.., lo makan dong. Nyokap udah buatin roti nih!” ia menunjukkan roti keju buatan Ningsih di tangannya, kebetulan itu roti kesukaan Agni.

“Gue suapinnya?” Agni hanya menggeleng lemah

“Lo harus makan, Ni!” Axel nampak kesal. Tapi Agni tak jua mau membalas. Ia bagaikan mayat hidup.

“Gue tau lo sedih. Tapi lo harus bangkit demi bokap lo. Dia pasti sedih banget ngliat lo jadi kayak gini” Axel menggoyangkan tubuh Agni, Agni sedikit memberikan reaksinya. Tatapan mereka bersiborok.

“Gue udah gak punya siapa-siapa lagi, Xel” lirihnya sambil menggeleng. Tangan besar Axel menangkup wajah Agni.

“Kata siapa? Lo punya gue. Punya nyokap Ningsih. Dan gue akan selalu ada untuk lo!” janji Axel. Semenjak itu Agni menjadi lebih manja dengan Axel. Tak mau sedikitpun Axel menjauh darinya. Beruntung Axel memahami perasaan Agni.

Saat Agni membutuhkan sandaran. Dengan senang hati Axel meminjamkan bahunya. Lama kelamaan, Agni merasa tidak bisa hidup tanpa Axel. Dan ia mendefiniskannya menjadi cinta. Cinta yang tak perlu di balas, cinta yang bahkan berusaha ia sembunyikan karena takut Axel merasa tak nyaman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status