"Agni.., cepetan udah telat nih!" seru, Axel seraya melirik ke jam tangannya. Giginya mengertak, tidak tahan menunggu Agni yang selalu ngaret.
"Agni.., gue jalan duluan nih!" pekiknya kembali. Seorang gadis yang sejak tadi namanya di panggil langsung keluar meski riasan wajahnya masih berantakan."Jangan tinggal gue dong!" wajahnya memelas dengan bibir yang sedikit cemberut"Ahk..., Ha ha..." Axel tak bisa menghentikan gelak tawanya. Yah masa sih Agni mau ke kampus dengan lipstik menor gitu. Kayak tante-tante tau gak."Mending lo hapus deh lipstik lo itu!" Axel turun dari motornya. Berjalan mendekati Agni. Dengan tangannya ia membelai bibir Agni bermaksud menanggalkan warna merah pada birai menggoda itu berganti kembali ke warna alaminya."Nah..,cantik,'kan juga kayak gini lo," tuturnya, terus menatap Agni lekat. Entah mengapa membuat perasaan Agni berdebar tak karuan. Gadis itu tak bisa menjawab sepatah katapun. Alih-alih protes dengan sikap Axel. Agni justru hanya mematut iris matanya terus mengarah ke wajah tampan Axel. Wajah yang selama ini ia lihat, tak pernah seharipun mereka terpisah selama lebih dari delapan belas tahun menjadi sahabat. Akankah perasaan itu harus berganti ke romansa cinta. Ahk, membayangkan Axel menjadi kekasihnya saja membuat Agni mau tertawa."Kenapa Lo?!" Axel memincingkan matanya keheranan dengan sudut bibir Agni yang sedikit terangkat."Gue! gue kenapa emangnya?!" Agni berpura-pura bisa saja. Tapi itu mengundang senyum manis di lengkapi lesung pipi milik Axel."Gue tau Lo.., gak usah pura-pura. Lo tadi mau ketawain gue,'kan?!""Enggak.., siapa juga. Kurang kerjaan banget!" Agni tak lagi mau menatap wajah Axel. Karena ia takut, seandainya Axel menatap matanya. Maka pemuda itu juga akan tahu betapa besar rasa cintanya ke Axel. Perasaan yang Agni pendam, bahkan sering kali ia ingkari. Namun.., sebesar apapun usaha Agni. Ia yakin getaran di dadanya itu bernama cinta.Sayang.., Agni tidak bisa mengungkapkan secara gamblang perasaannya ke Axel. Ia hanya takut Axel malah memilih menjauh darinya. Apalagi Axel itu sudah memiliki..."Ni.., cepet dong Sherly ngajakin gue sarapan di kantin bareng ini" gerutunya. Yah, ini adalah salah satu alasannya. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Karena Axel sudah memiliki pujaan hatinya."Bentar, gue ijin sama Ibu dulu dong," kata Agni mencoba biasa saja. Axel menarik tangannya. "Gue udah ijinin tadi sekalian buat lo!" sahutnya, tidak sabaran.***Motor Axel parkir di area kampus. Seperti biasanya, Agni dengan setia menunggu Axel selesai meletakkan kendaraan ber-cc tinggi itu. Tapi kali ini kesenangannya harus tergores karena Sherly juga datang menunggu Axel.“Sayang.., cepet dong! Aku udah laper ini." Wanita itu terlihat sangat manja pada Axel. Ia bahkan memegangi perutnya seolah benar-benar kelaparan bak korban pengungsian. Tetapi sikap itu hanya ia perlihatkan pada Axel. Sementara dengan Agni, Sherly sangat judes. Ia seolah ingin mengukuhkan jika Axel adalah miliknya“Kamu ngapain di sini?” tanyanya curiga. Matanya memincing tak suka. “Axel udah ada aku, jadi lebih baik kamu pergi deh dari sini!” lanjutnya seraya mengibaskan rambutnya yang tergerai liar. Secara naluri Agni mundur selangkah dan bermaksud pergi dari sana. Sebetulnya Agni memaklumi sikap Sherly, tak ada seorangpun wanita yang mau berbagi kasih pujaan hatinya kepada wanita lain. Meski sahabatnya sekalipun, terlebih Agni menyadari ia telah menodai hubungan ini dengan perasaannya itu, Agni pun tidak mengerti. Bukankah cinta tak pernah salah. Dan ia sendiri tak pernah meminta pada Tuhan meletakkan perasaan cintanya ke Axel. Ia hanya mengikuti arus takdir, dan jika takdir membawanya untuk mencintai sahabatnya sendiri. Agni ikhlas, meski perasaan itu hanya ada dalam hatinya.Agni kembali mengenang kejadian yang membuat ia menyukai Axel.“Pa.., papa, bangun, Pa." Tangis Agni pecah sesaat mengetahui ayahnya harus gugur di medan perang. Meski Agni sangat jarang bertemu dengan Gunawan. Tetapi ia sangat-sangat mencintai pria itu. Hanya Papa'nyalah keluarga yang Agni miliki satu-satunya setelah sang ibu meninggal sekitar tujuh tahun yang lalu.“Papa.., papa gak bisa ninggalin aku kayak gini, Pa. Papa bangun” Ia menggoncangkan tubuh kaku Gunawan yang diletakkan di kamar jenazah. Tangannya perlahan menyentuh luka tembak yang terdapat di dada Gunawan, hatinya remuk redam ketika memperkirakan inilah penyebab ayahnya meregang nyawa di tanah orang. Kini setelah Panglima tersebut terbujur dingin tak ada lagi pelindung bagi Agni. Ia menunduk terus menyanyikan alunan pilu yang keluar dari sudut bibirnya. Seandainya Agni bisa memutar waktu dan meminta sang ayah untuk tinggal saja bersamanya. Atau seandainya Agni diberi waktu satu detik saja untuk mengucapkan kata betapa ia menyayangi ayahnya. Maka Agni rela mempertaruhkan seluruh hal yang ia punya. Tapi sayang.., apa yang telah berlalu tidak mungkin kembali. Kata penyesalan, hanya akan menambah derita tanpa pernah menemui titiknya.“Agni.., udah, Ni!” Axel menarik lengan Agni, pemuda itu mau membangunkan Agni karena sebentar lagi jenazah Gunawan mau dimandikan. Tapi Agni menolak, ia menghempaskan tangan Axel “Jangan sentuh aku! Jangan pisahin aku sama Papa. Papa...” Axel pun sangat sedih. Tak pernah ia melihat Agni sehancur ini Agni yang ia kenal adalah wanita yang mandiri. Ia yang seorang anak tunggal apalagi ditinggal sosok ibu menjadi pribadi yang sedikit tertutup dan kaku. Hanya kepada Axel, Agni menunjukkan keceriaannya sebagai gadis remaja pada umumnya.Axel membeku di tempatnya. Berkali-kali ia mengacak wajahnya sendiri. Air mata seakan terus menutupi penglihatannya, Menjadikan matanya berkabut kepedihan. Ia berusaha tegar untuk Agni. Sayang.., kehilangan Gunawan, sosok kebanggannnya juga membuat Axel hilang arah.Untuk meredam rasanya, Axel menumpuhkan dirinya di lutut kakinya, ia membalikkan tubuh Agni menghadapnya dan memeluk sahabatnya itu erat.“Agni... Agni...” rancaunya disela isak tangis yang keluar dari bibir keduanya. Pelan, Agni membalas pelukkan Axel. Ini pertama kalinya Axel mendekapnya. Meski mereka sudah lama bersahabat tetapi mereka selalu mencoba menjaga batasan.Agni jadi tahu, betapa nyamannya berada dipelukkan lelaki. Atau karena lelaki itu Axel, seseorang yang menemaninya baik suka dan duka. Dekapan mereka semakin erat sampai salah satu petugas menarik brankas berisikan jenazah Gunawan.“Pa... Papa aku mau dibawa kemana?”“Agni.., cukup Agni, lo harus kuat!” tekan, AxelPemakaman secara negara dilangsungkan. Penghormatan terakhir diberikan kepada pahlawan yang gugur di medan perbatasan itu. Sedang Agni, hanya menatap acara dengan pandangan yang kosong. Sejak mengetahui kepergian ayahnya sampai detik inipun ia tidak makan sama sekali. Mungkin Agni berniat menyusul kedua orangtuanya, entalah... Yang pasti Axel tak akan pernah membiarkan itu terjadi.“Ni.., lo makan dong. Nyokap udah buatin roti nih!” ia menunjukkan roti keju buatan Ningsih di tangannya, kebetulan itu roti kesukaan Agni.“Gue suapinnya?” Agni hanya menggeleng lemah“Lo harus makan, Ni!” Axel nampak kesal. Tapi Agni tak jua mau membalas. Ia bagaikan mayat hidup.“Gue tau lo sedih. Tapi lo harus bangkit demi bokap lo. Dia pasti sedih banget ngliat lo jadi kayak gini” Axel menggoyangkan tubuh Agni, Agni sedikit memberikan reaksinya. Tatapan mereka bersiborok.“Gue udah gak punya siapa-siapa lagi, Xel” lirihnya sambil menggeleng. Tangan besar Axel menangkup wajah Agni.“Kata siapa? Lo punya gue. Punya nyokap Ningsih. Dan gue akan selalu ada untuk lo!” janji Axel. Semenjak itu Agni menjadi lebih manja dengan Axel. Tak mau sedikitpun Axel menjauh darinya. Beruntung Axel memahami perasaan Agni.Saat Agni membutuhkan sandaran. Dengan senang hati Axel meminjamkan bahunya. Lama kelamaan, Agni merasa tidak bisa hidup tanpa Axel. Dan ia mendefiniskannya menjadi cinta. Cinta yang tak perlu di balas, cinta yang bahkan berusaha ia sembunyikan karena takut Axel merasa tak nyaman.“Eh, Agni kemana?” Axel melirik ke sekelilingnya tak nampak temannya itu. Sedang Sherly sudah mendengus kesal sambil bersidekap dada.“Udah pergi. Lagi Sayang, kan ada aku.” Ia mengalungkan tangannya ke lengan Axel.“Minggir gak.., aku mau cari Agni!”“Buat apa sih Xel. Yang cewek kamu itu aku! Bukan dia.” Hilang sudah kesabaran Sherly. Tapi sayangnya, Axel tidak menaruh simpatik pada rengekkan Sherly. Sambil tersenyum miring ia segera membalas ucapan Sherly.“Jangan-jangan kamu yang meminta Agni untuk pergi?” tudingnya.Sherly mengangkat dagunya angkuh “Iya aku. Memangnya kenapa. Lagi dia itu cuma pengganggu kita, Xel.” Axel menggeleng berusaha menahan luapan emosinya.“Kalau diantara kita ada seorang pengganggu yang jelas orang itu bukan Agni tapi kamu!” cowok itu menujuk Sherly.“Maksud kamu?” suara Sherly jadi kaku dengan pupil matanya yang bergerak, menolak pernyataan Axel.“Perlu aku jelasin sekali lagi. Aku bisa kehilangan cewek manapun asal itu bukanlah Agni!” Tak memperdulika
"Lo apa-apaan sih?!" Axel menghempaskan tubuh Sherly untuk menjauh. Tadi mereka sedang cekcok karena lagi-lagi Sherly tidak terima diputuskan Axel begitu saja. Masih dalam obrolan tiba-tiba saja Sherly memajukan wajahnya. Beruntung Axel mengeles, sehingga bibirnya tidak bertemu dengan birai berlipstik nude tersebut."Kita udah putus,ya!" tekan Axel menunjuk Sherly lalu pergi.Sampai siang hari Axel tak pernah lagi menemui Agni di kampus. Biasanya semarah apapun mereka. Axel dan Agni tak akan pernah berpisah begitu lama."Eh, Ta... Lo lihat Agni gak?!" tanya, Axel pada Metta, teman satu jurusan Agni"Agni.., kayaknya dari pagi gak masuk kelas deh," ujar Metta mengingat-ingat"Apa, Agni gak masuk kelas?" gumam, Axel. Bukan tadi Agni jutek padanya beralasan ada kelas?"Egh, kalau gitu makasih,ya, Ta" Axel segera berniat pulang. Ia ingin menanyakan perubahan Agni.Axel sampai di rumah Agni. Ia menghentikan laju motor di pelataran rumah sahabatnya ituSampai disana tak ia dapati Agni diman
Axel tidak ingin terus meratapi. Ia ingin mulai bergerak untuk mencari jejak Agni. Tetapi saat ia ingat kembali, dirinya malah tidak pernah tahu tentang Agni selain tentang semua hal yang pernah Agni ceritakan dari bibirnya begitu saja. Axel memang punya sikap cuek. Ia tidak pernah bertanya duluan tentang keluarga besar Agni karena ia merasa hal itu tidak perlu ditanyakan. Baginya cukup kehadiran Agni disisinya, rasa nyaman adalah alasan yang jelas untuk mereka terus bersama. Tanpa perlu tahu siapa bebet-bobot masing-masing. Yang Axel tahu, ia cuma selalu ingin berada di samping Agni. Menjadi support system bahkan total caregiver untuknya. Axel hanya peduli pada perasaan Agni dan semua kegundahan hati si gadis. Sehingga, ide-ide yang muncul dari benaknya selama ini cuma fokus untuk membuat Agni bahagia.Tanpa Axel pernah bertanya pada hatinya, mengapa ia selalu ingin jadi yang terbaik untuk Agni. Kenapa dirinya ingin menjadi orang pertama yang selalu ada demi menghibur Agni. Ia juga o
Agni sampai di kota kelahirannya. Sebentar, ia memandangi stasiun tua yang jadi tujuannya.Tempat itu tidak banyak berubah sejak terakhir kali ia menginjakkan kakinya kesini. Kejadian itu terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Saat itu ia duduk di kelas tiga SD. Agni ingat. Ayahnya pernah mengajak Axel kesini, sayangnya.., Axel menolak karena alasan takut gak bisa tidur tanpa ibunya. 'Hm, Axel.., Axel, sejak dulu kamu tuh manja. Bilangnya saja berani. Xel, apa kamu juga inget sama nama kota ini?' senandika Agni terus teringat tentang Axel disepanjang perjalanan.Agni sampai di rumah omnya, Damar. Ia yang meminta Agni untuk datang kesini."Agni, akhirnya kamu sampai," Damar segera menyambut Agni seraya terus tersenyum. Agni menyeritkan alisnya. Tumben-tumbenan omnya terlihat sangat baik. Jujur Agni tidak begitu akrab dengan pria itu. Damar yang Agni kenal adalah pria kolot dengan segala kewaspadaannya. Ia bisa mencurigai Agni tanpa rasa bersalah, padahal Agni adalah keponakannya."A
Agni dan Tian sudah berada di mobil pria itu. Kata Tian, ia mau mengajak Agni pergi nonton bioskop. Sampai depan Om Damar, Tian terus memperlakukan Agni dengan baik. Ia bahkan membukakan pintu untuk gadis itu. Namun, setelah mobil melaju cukup jauh. Ia mulai memperlihatkan wujud aslinya pada Agni"Mas Tian, kok kita berhenti?" Agni memindai jalanan luar. Jalanan ini sangat sepi. Tidak ada kemacetan, jadi mengapa Tian menepi.Tian tertawa remeh "Aduh, jangan manggil gue, Mas dong. Kata lo gue emas 24 karat," Agni tercenang. Sebagai orang pribumi, Tian sama sekali tidak menunjukkan gelagat sesuai adat istiadat. Agni memanggilnya Mas. Karena ia menghormati Tian. Agni berusaha tersenyum, tangannya mengepal tali seatbelt "Kalau gitu aku panggil, Kakak saja,ya?" lirih AgniTian sama sekali tidak berniat menjawab. Ia malah melepas tali seatbelt yang melingkar di tubuhnya. Tatapannya ke Agni mengundang banyak tanya di hati Agni. Ia menciutkan tubuhnya otomatis, Agni mengerti.., itu adalah t
Bunyi gaduh dalam mobil memancing atensi para warga. Beberapa yang tengah berada di sana jadi menghampiri mobil seraya menekuk lutut dan ingin melihat apa yang terjadi di dalam mobil itu. Apa lagi mereka yakin ada suara teriakan minta tolong. "Yuk.., yuk.., kita lihat!" Meski jendela mobil Tian gelap tertutupi kaca film tetap saja. Tian terganggu dengan keingin tahuan orang-orang itu. Ia jadi melerai pegangannya. Dan saat itu, Agni gunakan untuk memencet tombol buka pintu segera. Dengan cepat ia berlari kencang seraya menutup matanya rapat.Setiap jalan adalah takdir yang sudah tertulis. Sebagai manusia, detail insan hanya harus menyiapkan hati untuk menghadapi semuanya.Agni menangis di tengah gerimis yang makin lebat. Sengaja dia menengadahkan wajah ke langit. Berharap semua masalah yang sedang di hadapinya sirna, luruh bersama air hujan yang mengaliri tubuh.“Aaaaa!”Agni mengeluarkan seluruh keluh kesah dalam hati. Setidaknya dia harus punya pelampiasan agar tidak menjadi gebu de
Sesaat mereka saling diam. Agni terus mengalihkan pandangan ke Sembarang arah. Asal tidak ke arah Tian. Pria itu justru menatap Agni dengan intens. Dia suka semua hal tentang gadis di hadapannya ini. Matanya yang sendu, hidung mancung, pipi tirus, rahang kecil, bibir pink tebal dan dagu lancip. Sungguh sebuah pahatan yang begitu sempurna di matanya.“Jadi bagaimana, Agni? Apakah kamu sudah siap menikah denganku?” tanya Tian memecah kesunyian.Agni enggan menjawab. Dia tidak menganggap Tian ada.“Astaga. Menggemaskan sekali calon istriku ini. Kalau begitu pernikahan kita dipercepat,” tegas Tian dengan senyum penuh misteri.Seketika Agni menatap Tian dengan malas.“Apa, kamu keberatan?” tanya Tian lagi saat mendapat tatapan tajam dari calon istrinya.“Kalau aku bilang nggak mau menikah denganmu. Apa itu pengaruh?”Bukannya marah, Tian malah tertawa terbahak-bahak.“Ha ha ha. Agni, semua sudah diatur ayahku dan om kamu. Kita tinggal menerima saja. Apa susahnya, sih?” Tian sedikit kesal d
Bu Ningsih menatap iba pada Axel. ‘Apa sebenarnya mereka sudah saling jatuh cinta, tapi tidak ada yang menyadari? Axel seperti kehilangan pegangan hidup kalau terus seperti ini.’“Xel, mau nggak, nanti malam antar mama ke rumah teman mama?” Bu Ningsih punya sebuah rencana agar anaknya tidak terus larut dalam kesedihan karena ditinggal Agni.“Ke mana?” selama ini Axel tidak pernah menolak jika Bu Ningsih memintanya mengantar pergi. Meski hanya sekadar antar jemput tanpa menemani, tapi Axel selalu patuh.“Ke rumah Bu Ambar. Ada pengajian di sana. Tapi kali ini kamu juga harus ikut masuk, jangan cuma antar jemput.”Axel terlihat malas, tapi dia juga kasihan pada Bu Ningsih jika dia menolak. “Baiklah, nanti malam Axel antar Mama,” ucap Axel akhirnya.Bu Ningsih tersenyum bahagia. Dia berharap kesedihan di hati Axel segera berlalu. Dia tahu Axel tidak mungkin melupakan Agni begitu saja, tetapi kalau terus dibiarkan larut dalam kesedihan, dia khawatir pada kondisi kedekatan Axel yang bisa s