Bab 20B Pameran yang ricuh "Sini biar kulihat tanganmu!" "Tidak perlu. Keluarlah dari ruanganku, Vin! Aku tidak ingin kamu terkena luapan emosiku." "Tidak Zen. Aku tetap akan di sini menemanimu." "Ya sudah. Aku mau pulang saja. Sampai jumpa. Tolong pintunya di tutup biar satpam yang mengunci. "Zen. Zen!" Vina berusaha menahan. Namun, Zen tidak mengindahkan seruannya. Zen meninggalkan Vina yang terpaku di ruangan sedikit berantakan itu. Vina merapikan kembali meja Zen. Kemarahan merajai hatinya. Ia tidak terima dengan kehadiran kembali Ning di hidup Zen. Melangkah ke luar ruangan, Vina hendak menuju stand pameran milik Ning. Ia sudah diliputi kemarahan. Beruntung tidak ada Syam di sana, ia bebas melakukan apa saja. Di sudut tak jauh dari tempat pameran, Vina berbicara dengan dua orang mahasiswi. Keduanya mengangguk paham lalu berjalan menuju stand Ning. "Hebat ya, bikin produk dengan aneka rasa tanpa meminta izin pemilik haki (hak cipta) nya. Itu namanya mencuri." "Eh maksudnya
Bab 21A Bertemu "Ya Rabb, kenapa jalannya harus begini. Saat kesuksesan di depan mata kenapa harus hancur hanya dalam satu kedipan mata. Tidak pantaskah aku mendapatkan kebahagiaan. Dosaku pasti belum termaafkan. Semua kebahagiaan yang aku impikan hanya bayang semu." Sepanjang kaki melangkah, Ning hanya meracau membuat Ayu trenyuh. "Ning, sabar ya! Kita ke kos dulu. Kamu butuh istirahat." Brukk "Astaghfirullah, Ning!" "Maaf, Yuk. Aku merepotkanmu." "Sudah diam saja, jangan banyak omong. Ayo kita ke kembali ke kos." Melewati gang sempit, keduanya sempat berpapasan dengan beberapa mahasiswa yang akan berangkat ke kampus. Mefeka memandang heran. Bahkan ada yang sempat menegur sapa. Namun, Ayu bisa memberi penjelasan singkat hingga mereka tidak bertanya kembali. "Ayo rebahan dulu! Aku bikinkan teh manis." Ayu menyandarkan tubuh Ning dengan kepala agak tinggi. Ia menumpuk dua bantal lalu membuatkan minum. "Diminum dulu, Ning!" Ning memang mendengarnya. Akan tetapi keinginan menan
"Zen, jangan begini." Ning berusaha menghindar. Namun Zen justru semakin mengikis jarak. Ning berlari menuju pintu tetapi jelas terkunci. Ning melakukan hal yang sia-sia dengan memutar berulang handelnya. "Buka pintunya Zen!" Ia merasa belum perlu berteriak. Sebab Zen tidak mungkin melakukan hal jahat padanya. Ia hanya ingin segera keluar dari rumah itu. "Kumohon, buka Zen!" lirihnya sambil terisak. Tenaganya jelas masih lemah setelah memikirkan masalah kericuhan di kampus." "Sepasang lengan mengurungnya dari belakang sampai ke pintu. Ning hanya bisa mematung. Ia mencoba berpikir dingin supaya Zen tidak murka." "Sudah aku bilang jangan dekati keluargaku. Kenapa masih saja bersama Syam?!" Ning berjengkit, suara Zen tepat di sebelah telinga kanannya yang tertutup jilbab instan berbahan kaos. Satu tangannya ia pakai untuk menutupinya. "Aku bilang menjauh dari keluargaku. Kenapa tidak kamu lakukan, huh?!" "Zen." "Kamu sengaja mau menghancurkan keluargaku, kan? Setelah tahu aku ora
Bab 22A Terik Menyengat "Ning. Apa yang kamu lakukan dengan Mas Zen di kamar?" Deg. Suara Mbok Nem membuat tubuh Ning mematung di tempat. "Apa Mas Zen menyakitimu?" Mbok Nem melihat pipi Ning masih tersisa jejak air mata. Gegas Ning mengusapnya. "Tidak, Mbok. Tolong Mbok jangan cerita pada siapa-siapa kalau Mas Zen barusan dari kamar saya. Dia tidak menyukai saya tinggal di sini. Jadi, saya harus pergi, Mbok. Tolong pamitkan Bu Tya ya, Mbok. Kapan-kapan saya menemui beliau kalau tidak ada Mas Zen." "Ya, Ning. Hati-hati di jalan." Mbok Nem menatap punggung dari tubuh kurus Ning berangsur menghilang di balik pintu. Ia masih penasaran dengan apa yang dilakukan anak majikannya. "Semoga Mas Zen tidak melakukan hal buruk pada gadis itu. Kasian sekali Ning." ***** Tiga hari berlalu, Ning off dari menjaga kasir. Ia harus menjajakan keripiknya hingga habis. Sebab uang yang didapat harus diputar ulang sebagai modal. Sekali uang itu berhenti di tempat, maka usahanya akan rugi. Ning me
Bab 22B Terik Menyengat Terik yang menyengat tidak menyurutkan semangat. Ning tetap melewatinya dengan suka cita. Meskipun harus menahan lapar dan dahaga. Sebab ia mulai rutin menjalankan puasa. Tidak hanya untuk menghemat pengeluaran, ia bisa hidup prihatin layaknya pedagang kecil yang ia jumpai di sepanjang jalan Malioboro. Ia kerap bercengkerama melepas lelah dengan sesama orang kecil. Pernah Ning bertemu perempuan berusia senja kisaran enam puluh. Tubuhnya memang renta, tetapi semangat kerja kerasnya patut ditiru. Saat Ning bertanya kenapa masih bekerja di usia yang seharusnya duduk menikmati hidup. Jawabnya sungguh menohok. "Saya tidak mau menjadi pengemis. Sekalipun saya miskin, saya masih mampu mencari rejeki halal." Ning salut dengan orang itu. Ia selalu bisa melebarkan senyum saat bertemu dengan perempuan seusia neneknya itu. "Man jadda wa jadda." Begitulah pesan orang itu sambil menepuk bahu Ning. Ucapan singkat yang mampu mengobarkan semangat Ning untuk bertahan hidup
Bab 23 Di ujung lelah "Mbak, Mbak Ning. Mbak nggak apa-apa?!" Ning mendengar teriakan dari luar kamar. Ia masih merasakan pusing hebat di kepalanya. Posisinya tergeletak di lantai kamar. Ia berusaha mengumpulkan kesadaran yang sempat hilang sekejap. "Ya, Dik. Ada apa?" tanyanya dengan suara serak menahan isakan. Ia menyandarkan tubuhnya di pinggir ranjang dengan posisi kaki selonjoran. "Aku dengar suara benda jatuh di kamar Mbak. Apa yang terjadi?" "Oh, nggak papa, Dik." "Syukurlah. Mbak sudah makan?" "Mbak habis bangun dari tidur, nanti makannya." "Jangan lupa makan, Mbak! Aku mau keluar belanja, Mbak mau nitip nggak?" "Tidak, Dik. Terima kasih." Memilih naik ke ranjang, Ning meringkuk dengan selimut sebagai penutup tubuhnya. Rasa mual di perutnya kian datang silih berganti, pun pusing kepala tak kunjung reda. Ia mencoba memejamkan mata agar terlelap hingga pikirannya tidak dipenuhi masalah bak benang kusut. Semalaman, Ning mual muntah banyak kali hingga tubuhnya lemas. Mak
Bab 24 PanikZen beranjak dari duduk, berdiri mondar-mandir. "Tolong, beri alamatnya sekarang juga!" Gegas Zen menyambar kunci mobilnya. Ia keluar ruangan dengan tergesa hanya menutup pintu dengan keras. Dari kejauhan ada Vina yang heran melihatnya. Ia ingin mengejar tetapi mobil Zen sudah melaju dengan cepat. "Mau ke mana Zen buru-buru?" guman Vina penasaran. Ia harus mencari tahu. Sebab mereka berada di kampus akhir pekan biasanya untuk menghadiri acara kemahasiswaan. Sementara itu, acara belum berakhir tetapi Zen sudah pergi. Tidak butuh lama, Zen sudah sampai di kontrakan Ayu sekaligus Ning. "Mas cari siapa?" tanya adik kos Ning yang memperkenalkan diri dengan panggilan Mita. "Di mana Hani?" "Hani?" Mita yang mengenakan kaos dan celana santai itu mengerutkan kening. "Haningtyas," ulang Zen. "Oh, Mbak Ning. Ini kamarnya, Mas," tunjuknya ke kamar yang ditempati Ning. "Kenapa panggilannya lain. Jangan-jangan...," gumannya menerka. Zen memasuki kamar tempat Ning meringkuk di
Bab 25 Gunjingan "Han, sabar, ya! Kumohon kamu yang kuat, ya!" Zen membisikkan kalimat penyemangat di telinga kanan Ning. Rintihan demi rintihan lirih keluar dari mulut, Ning. Matanya tetap setia terpejam, tapi racau kesakitan keluar dari mulutnya. Di ujung kesakitan, kilas balik kisahnya bertemu dengan Zen silih berganti melintas di benak.Flashback on (Pov Ning)Mentari mulai merangk4k naik hingga panasnya menerpa ubun-ubun. Aku pulang dari rumah Pak Haji dengan hati riang. Sebab ada acara esok lusa di balai desa yang memberi harapan untuk usaha keripik singkong bapak. Keripik singkong Pak Rahmat. Otakku sudah membayangkan dagangan bapak berlabel nama beliau. Sungguh aku sedari tadi tersenyum sendiri di perjalanan. Sampai-sampai di tengah jalan beberapa tetangga menegurku. "Ning, lihat jalan. Awas nabrak!" teriak tetanggaku. "Ya, Bulik. Makasih!" seruku. "Astaghfirullah." Saking senangnya, aku lupa mampir di warung Yu Barit untuk membeli bumbu dan bahan membuat keripik singkong