Satu jam sebelum jam makan siang, Qiana sudah terlihat Langkah Qiana memasuki area lobi rumah sakit yang megah itu. Aromanya khas—campuran antiseptik dan kopi instan dari vending machine di sudut ruangan. Di tangannya tergenggam tas jinjing kain berisi dua kotak makan yang dia siapkan sejak pagi. Satu untuk Zayn. Satu lagi… ya, untuk dirinya sendiri.Ini pertama kalinya dia datang ke tempat Zayn bekerja. Rumah sakit milik keluarga besar suaminya. Dari luar saja sudah terasa megah dan elit. Tapi begitu benar-benar masuk, jantung Qiana berdetak sedikit lebih cepat. Bukan karena takut, tapi karena khawatir membuat kesalahan.Matanya mencari-cari papan petunjuk sebelum akhirnya berjalan ke meja resepsionis. Di balik meja, berdiri seorang suster berwajah ramah mengenakan seragam hijau muda.“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” sapa suster itu dengan sopan.Qiana tersenyum dan mendekat. “Selamat siang, Suster." Ia menunduk sebentar, seolah mengatur kalimat, lalu melanjutkan. “Saya mau
Langkah Zayn menyusuri lorong panjang lantai tiga rumah sakit dengan cepat dan teratur. Setelan putihnya rapi, ID card dokter menggantung di dada kiri, dan tablet digital dalam genggamannya menampilkan data pasien terbaru dari IGD.Wajahnya datar, fokus sepenuhnya tertuju pada daftar tugas hari ini—visit ruangan rawat inap, evaluasi pasien pascaoperasi, jadwal observasi satu operasi kecil, dan dua diskusi kasus dengan dokter supervisor. Penuh dan padat. Seperti biasa.Suara derap langkah sepatu residen lain dan bunyi mesin infus serta monitor detak jantung jadi musik latar rutinnya sehari-hari. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Apalagi untuk urusan hati.“Dokter Zayn!” panggil suster Karin dari nurse station. “Pasien di ruang 307, tekanan darahnya drop tadi pagi. Dokter jaga minta bantuan untuk evaluasi lebih lanjut.”Zayn mengangguk cepat. “Saya ke sana sekarang.”Ia berjalan cepat ke ruang 307. Pasiennya adalah pria usia 60-an yang baru saja menjalani operasi by pass. Zayn memeriksa
“Kita tidur pisah lagi malam ini?”Zayn mengernyit ringan, seolah pertanyaannya agak aneh. “Iya."Qiana mengedip pelan. "...Kakak serius?"Zayn meletakkan gelas ke meja. “Hm."Qiana menghela napas, sedikit frustrasi tapi mencoba tenang. “Sampai kapan kak?"Zayn memandangnya beberapa detik. Lama. Lalu berkata pelan, “Sampai kamu terbiasa tidur dengan mode gelap.""Kenapa gak kakak aja yang adaptasi? Kenapa harus aku?" sahut Qiana cepat.Zayn mendekat beberapa langkah. Wajahnya tetap tenang, tapi kali ini, ada sorot mata yang berubah. Lebih tajam. Lebih... serius.“Aku tidak bisa. Dan tidak mau."“Kak—""Selamat malam."Zayn lagi-lagi menghindar. Dia pergi dari hadapan Qiana begitu saja saat gadis itu belum selesai bicara.Perempuan berambut coklat panjang itu tampak kecewa dengan sikap Zayn. Tapi tidak bisa berbuat banyak karena posisi mereka yang memang perlu beradaptasi setelah menikah.Hanya saja...Ia merasa sedikit sesak.***Qiana membuka matanya perlahan. Langit di luar jendela
Zayn tersenyum tipis, tatapannya bergeser ke arah Qiana yang langsung menegang saat mendengar pertanyaan sang ayah.“Enggak, Pa,” jawab Zayn sambil menaruh cangkir teh yang baru disuguhkan oleh Mba Retno. “Qiana enggak bikin repot. Cuma... agak bawel sedikit.”Qiana langsung menoleh tajam. “Hah? Bawel? Mana ada ya! Aku tuh gak pernah bawel kalau gak ada apa-apa. Lagian bawel juga karena kebaikan. Bukan buat yang lain. Cowok mana paham."Zayn mengangkat bahu ringan, tetap dengan ekspresi tenang. Baru saja Qiana dibilangin, Qiana langsung menunjukkan buktinya.Pak Wijaya tertawa pelan, melihat reaksi keduanya. “Maklumin saja ya Zayn. Qiana ini kan anak tunggal di keluarga ini, jadi pasti lumayan manja dan kurang dewasa."Qiana menepuk lengan Papanya. Bukannya belain malah dijatuhin. "Papa iiih..."Setelah mengobrol banyak, bu Wijaya muncul memanggil mereka bertiga untuk makan malam. Qiana duduk di samping Zayn bersebrangan dengan kedua orang tuanya.Makan malam hari ini terasa begitu ha
BEBERAPA SAAT YANG LALU...Zayn duduk di bangku panjang lorong rumah sakit, masih mengenakan kemeja hitam yang kini mulai kusut karena dipakai seharian. Lengan bajunya tergulung sampai siku, memperlihatkan otot lengannya yang tegas. Celana panjang slim-fit warna senada melengkapi penampilannya yang selalu tampak rapi dan dewasa, meski kini wajahnya terlihat sedikit lelah.Tangan kanannya memegang ponsel, sementara tangan kirinya menggenggam secangkir kopi dari vending machine yang sudah agak mendingin. Rambutnya yang biasa disisir rapi kini tampak sedikit berantakan, seperti habis disibukkan oleh terlalu banyak pekerjaan. Tapi justru itu yang membuatnya terlihat lebih manusiawi—lebih nyata. Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk. ["Qiana: Kak, aku mau ke rumah buat beresin barang-barang. Kayaknya aku pulang agak malam."] Zayn mendengkus pelan sebelum menyimpan kembali ponselnya di saku celana. Tidak tau kenapa, tiba-tiba terlintas di benaknya mengenai tindakannya semalam. "
"Kak... emnhhp..." Bukannya menyuruh Zayn menjauh, Qiana justru memiringkan kepalanya. Seperti memberikan akses bagi sang suami untuk melakukan lebih. Qiana mengerang pelan. Nafasnya tercekat, tubuhnya refleks mencengkeram bahu Zayn saat bibir pria itu menyentuh kulit lehernya lebih dalam. Bukan hanya satu, tapi beberapa titik ia rasakan sensasi dingin lalu hangat yang nyaris membuat sekujur tubuhnya lemas. Zayn berhenti sejenak, menatap hasil ‘karya’-nya dengan senyum penuh kepuasan. Satu per satu, tanda merah mulai muncul di kulit putih Qiana—tersembunyi oleh rambut dan kerah sweaternya, tapi cukup untuk membuat hati perempuan itu berdebar tak karuan. "Mulai sekarang," bisik Zayn di telinganya, suaranya rendah dan tegas, "kamu resmi jadi milikku. Sepenuhnya." Qiana menatapnya, napasnya masih belum stabil. Pipi merahnya tak bisa berbohong. Matanya membulat karena ucapan Zayn barusan—antara kaget dan... entah. Ada sesuatu yang mencubit hatinya. Manis, sekaligus asing. “Sejak peng