"Kalau kamu gimana? Diandra masih deketin kamu?"Zayn meletakkan sendoknya perlahan, lalu menatap Qiana dengan tatapan yang entah kenapa terasa mencurigakan. Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum miring khasnya kalau lagi mau usil.“Kira-kira kalau aku bilang ‘iya’, kamu bakal marah nggak?” tanyanya sambil mencondongkan tubuh sedikit ke depan.Qiana mengernyit, alisnya terangkat. “Tergantung… ‘iya’-nya itu ‘iya beneran’ atau ‘iya cuma buat bikin aku kesel’?”Zayn malah meneguk air putihnya santai, seolah-olah sedang mempertimbangkan jawabannya. “Kalau aku bilang, dia tadi sempat datang ke RS dan—”“Oh ya? Terus?” potong Qiana cepat, suaranya tetap terdengar santai, tapi matanya jelas menyimpan rasa ingin tahu bercampur sedikit waspada.Zayn menahan tawa, lalu bersandar di kursinya. “Aku usir.”Qiana berkedip. "Serius?”“Serius. Sampai orang-orang pada ngeliatin,” jawab Zayn dengan nada santai.Qiana sempat menatapnya lama, lalu bibirnya melengkung kecil. “Terus kenapa tadi kayakn
Zayn condong ke depan. “Kalau begitu, berarti saya bisa daftar di periode ujian semester depan?”“Secara teori, iya,” jawab Candra. “Tapi ada satu hal—di sini kita masih menunggu verifikasi dari kolegium. Mereka yang menentukan apakah kamu sudah siap atau belum. Dan mereka biasanya mempertimbangkan jam terbang operasi besar. Kalau jam terbangmu sudah mencukupi, kamu bisa langsung daftar.”Zayn mengangguk mantap. “Jam operasi besar saya sudah lewat batas minimal. Saya juga sudah ikut beberapa kasus darurat yang dicatat langsung oleh pembimbing.”“Bagus,” kata Candra. “Kalau begitu, mulai sekarang fokus saja ke dua hal: jaga performa harianmu di bangsal dan kamar operasi, dan lengkapi laporan kasusmu tanpa celah. Kalau semua lancar, paling cepat tiga bulan lagi kamu bisa ikut ujian. Itu artinya, akhir tahun ini kamu bisa lulus.”Mata Zayn sedikit berbinar. “Berarti, kalau semua sesuai rencana, awal tahun depan saya sudah resmi jadi dokter spesialis?”“Betul,” Candra tersenyum lebar. “As
"Zayn, apa maksud kamu?" Diandra tertegun. Tatapannya berusaha mencari jawaban di wajah Zayn, tapi pria itu sama sekali tak menunjukkan celah untuk berdamai. “Zayn, kamu kenapa sih? Apa aku punya salah?” suaranya bergetar, setengah tak percaya.Zayn menatapnya tajam, rahangnya mengeras. “Aku nggak mau jelasin apa-apa lagi. Intinya, kita selesai. Titik.”“Aku cuma—”“Keluar, Diandra!" Nada suaranya kini lebih rendah, tapi sarat peringatan.Diandra mematung, tubuhnya setengah menunduk. “Zayn, tolong dengar aku dulu. Aku nggak bisa—”Namun Zayn tak memberi kesempatan. Langkahnya cepat, tangan besarnya meraih lengan Diandra dan mendorongnya ke arah pintu. Sentuhannya cukup kuat untuk membuat tubuh Diandra terhuyung ke belakang.“Aa—!” Suster itu hampir jatuh, tumit sepatunya terseret di lantai licin. Untung tangannya sempat berpegangan pada kusen pintu, meski tubuhnya tetap limbung.Pintu ruang praktik Zayn kini terbuka lebar. Beberapa pegawai klinik yang sedang lewat otomatis menoleh. Ta
"Basa basi a—" Ucapan Jasmine mendadak terhenti ketika matanya menangkap sesuatu yang janggal. "Qia... Itu—" Jasmine membelalakkan mata, lalu spontan menunjuk ke arah leher Qiana.“QIA! ASTAGA ITU—” suaranya nyaris setengah teriak.Refleks Qiana menegakkan badan, bingung. “Apa sih, Jas?”“ITU! DI LEHER KAMU!” Jasmine masih menunjuk, matanya semakin membesar.Clara yang duduk di sebelah langsung refleks menahan lengan Jasmine. “Ssst! Jangan keras-keras! Semua orang pada nengok, tau!” bisiknya sambil melirik ke sekitar. Memang benar, beberapa meja di dekat mereka sudah mulai melirik penasaran.Qiana langsung panik, tangannya meraba leher. Begitu menyentuh area yang sudah coba ia tutupi tapi entah kenapa Jasmine masih saja ngeh.“Jasmine diem ah! Jangan lebay!” Qiana buru-buru menarik kerah blusnya untuk menutupi bekas merah itu.Jasmine masih menatapnya penuh drama, tapi kini suaranya dipelankan. “Qia… jangan bilang kamu dan kak Zayn..."Qiana berdehem, pura-pura fokus pada ponsel. “Itu
"Tumben sih mau nganterin aku?" Disela-sela perjalanan mereka, Qiana memulai percakapan dengan suaminya. Ia gabut dan ngantuk kalau diem."Kenapa? Kamu berharap ada orang lain yang antar?" tanya Zayn dengan nada suara tenang.Qiana mendengkus. "Ya enggak. Cuman kaget aja tiba-tiba mau nganterin.""Aku kan sudah berubah." Zayn kembali menjawab dengan mantap. "Dan lagi aku juga mau jagain kamu kalau Vero tiba-tiba muncul dan gangguin kamu lagi. Bahkan kalau perlu, aku akan antar kamu sampai ke kelas."“Tunggu! Kamu bilang apa?” Qiana hampir tertawa, tapi juga syok. “Sampai ke dalam kelas?”Zayn melirik sekilas tanpa melepas fokus dari jalan. “Iya. Kalau perlu aku duduk di bangku belakang sambil ngawasin.”Qiana mengerutkan kening, pura-pura heran. “Ngapain?”“Jaga-jaga,” jawabnya santai, tapi nada bicaranya cukup tegas. “Kalau tiba-tiba kamu ketemu Vero, aku ada di situ. Dia nggak akan berani macam-macam.”Mata Qiana membesar. “Kak… kita ini udah berapa lama nikah, dan baru sekarang kam
Aroma kuah kaldu bercampur natrium tercium di hidung Qiana saat gadis itu mulai membuka tutup cup mienya. Perempuan cantik itu mulai mengangkat garpunya. "Selamat ma—"Gerakannya terhenti ketika mendengar Suara langkah kaki mendekat, ia reflek menoleh. Dan ua mendapati Zayn berdiri di ambang pintu dapur, rambutnya sedikit berantakan, kausnya kusut.“Kamu kenapa di sini?” suaranya serak, jelas baru bangun.Qiana tersenyum canggung sambil menutup mulut yang masih mengunyah. “Laper,” jawabnya singkat.Zayn berjalan mendekat, lalu menarik kursi di sebelahnya. “Mie lagi?"Sambil meniup-niup mienya, Qiana berkata, "Darurat kak. Toh tadi sore aku gak jadi makan mie kan?"Zayn menarik salah satu tempat duduk tepat di hadapan Qiana. Ia menarik roti tawar yang masih tersisa dua potong di dalam bungkusnya dan ikut makan. "Dua minggu ke depan, kamu di larang makan mie dalam bentuk apapun. Oke!" titah Zayn mutlak.Qiana mendesah panjang lalu mengangguk. Dia bisa curi kesempatan makan mie di kantin