"Kamu tidak perlu khawatir, Qia. Papa tau apa yang harus kita lakukan."
Baik Qiana maupun sang ibunda, reflek menoleh ke arah pria paruh baya dengan jambang yang mulai memutih tersebut. "Apa rencana Papa?" tanya sang istri. "Papa gak punya ide yang aneh-aneh kan?" Qiana menganggukkan kepalanya. Setuju dengan ucapan sang Mama. Dia sudah terlalu hafal dengan sifat Papanya yang sangat susah di tebak dan di luar prediksi. *** "Qiana, kamu sudah siap belum? Papa sama temennya sudah nunggu kamu di bawah." Qiana melihat ke arah sang Mama yang tampak rapi sore itu, beliau memakai setelan blouse dan rok span warna maroon dengan rambut yang di sanggul rapi. Sementara ia sendiri mengenakan gaun ungu muda potongan A-line dengan lengan pendek mengembang dan kerutan pada bagian dada. Di bagian pinggang terdapat hiasan bunga tiga dimensi yang menambah kesan anggun. "Kita mau ketemu siapa sih, Ma?" tanya Qiana sambil berdiri dari kursi meja riasnya. Ia mendekati sang Mama yang tampak tersenyum puas melihat penampilan putri semata wayangnya. "Udah, ikut aja ke bawah! Nanti kamu juga tau kok." Mereka berdua berjalan keluar dari kamar Qiana. Tanpa berbicara apapun lagi, Qiana mengikuti arahan sang Mama. Begitu sampai di lantai bawah, langkah Qiana melambat. Ruang tamu yang biasanya lengang kini tampak penuh. Di sofa utama duduk Papa-nya bersama dua pasangan lain. Salah satu pasangan adalah wanita anggun sebaya dengan Mamanya, dan seorang pria yang kemungkinan besar adalah suaminya. Sementara di hadapan Papa duduk seorang pria muda berusia sekitar 28 tahun—tampan, berpenampilan rapi dengan jas hitam, kemeja biru muda, serta jam tangan kulit. Di samping pria itu duduk seorang gadis manis dengan riasan natural dan penampilan feminin, terlihat sebaya dengan Qiana. Semua kepala sontak menoleh begitu melihat Qiana dan ibunya turun. “Ini dia putri Papa,” kata Pak Wijaya dengan bangga, langsung berdiri menyambut. Qiana semakin bingung. Tapi alih-alih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, dia lebih dahulu menyambut uluran tangan dari para tamu yang datang sore itu. Satu persatu, sang Papa mengenalkan Qiana pada tamu-tamunya. Ternyata mereka adalah teman lama sang Papa. Mereka dari keluarga Atmaja. Tapi di antara itu semua, pandangan mata Qiana lebih terfokus ke arah si lelaki dengan jas hitam di depannya. Bagaimana tidak, pria itu cukup menarik di mata Qiana. Wajahnya oval dengan fitur yang tegas dan proporsional. Ia memiliki mata berwarna cokelat muda yang lembut dan ekspresi wajah yang tenang dan sedikit misterius. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Ia terlihat memiliki postur tubuh yang tegak dan proporsional. "Qiana, yang ini putra sulung Om Atmaja. Namanya Zayn. Dia ini murid Papa waktu kuliah dulu. Dan sekarang dia sibuk jadi dokter residen di rumah sakit milik Papanya. Pak Atmaja." "Hai, namaku Zayn..." Qiana sempat terdiam sepersekian detik saat mendengar suara Zayn yang dalam dan tenang. Tatapan mata pria itu juga tidak biasa—tajam sedikit mengintimidasi. Ia spontan tersenyum canggung dan menjawab, “Hai juga, a-aku Qiana." “Nama yang cantik, sama seperti orangnya,” sahut Pak Atmaja yang disambut oleh tawa renyah sang Papa. Setelah berkenalan, Qiana lalu duduk di samping sang Mama dengan penuh wibawa, lebih tepatnya jaga image. Tak lama, Pak Wijaya berdeham, menandakan akan memulai pembicaraan yang lebih serius. “Begini, sebenarnya malam ini bukan hanya sekedar makan malam biasa," mulai Pak Wijaya sambil menatap Qiana penuh arti. Qiana mengernyit. “Maksud Papa…?” “Papa dan Om Atmaja sudah lama kenal, bisa dibilang kita ini bestie sejak kecil. Dan saat muda dulu kami sering berangan-angan untuk menjodohkan anak-anak kita saat kalian besar." Pak Wijaya menepuk-nepuk pundak Pak Atmaja. Seolah meminta dukungan penuh pada sahabat baiknya itu. "Benar Nak Qia, karena itulah kami datang ke sini karena berniat untuk menikahkan kamu dan Zayn." Qiana terperanjat. Ia segera menoleh cepat ke arah Zayn. Pria itu tidak tampak biasa saja. Bahkan, tersenyum saja tidak. Akan tetapi wajah tenangnya, seakan menjawab jika sebenarnya dia sudah mengetahui rencana ini sejak awal. "Pa, ini serius? Maksudku kita sama sekali belum saling kenal. Dan—" Suasana mendadak agak tegang. Namun Pak Wijaya menjawab ringan, “Qiana, Zayn ini pria yang baik." Pak Wijaya melanjutkan dengan nada serius tapi tetap hangat, “Zayn itu memang kelihatannya pendiam. Bahkan kadang orang ngira dia dingin. Tapi Papa tau betul seperti apa karakter dia. Zayn ini selain pintar, dia juga anak baik dan sangat bertanggungjawab." Qiana menoleh sekilas ke arah Zayn yang masih tampak tenang. Namun Bu Atmaja segera menambahkan. "Orang seperti Zayn ini sangat jarang ada, Qia. Yah, Mungkin dia bukan tipe yang romantis kayak di drama Korea yang kamu suka. Tapi dia bisa diandalkan, bisa dipercaya. Dan Tante yakin… dia bisa jadi suami yang baik buat kamu.” "Iya Qiana," gadis sebaya Qia yang sejak tadi diam akhirnya ikut angkat bicara, "Kak Zayn ini cowok super perfect yang pas banget dijadikan suami. Jadi kamu gak akan nyesel. Yaaah, walaupun dia terlalu introvert sih." Ruangan jadi sunyi sesaat. Qiana menunduk, menatap jemarinya sendiri. Dalam hatinya masih ada badai yang belum reda—sisa luka dari Vero yang belum sembuh. Tapi, kalau ada jodoh yang baik di depan mata, kenapa harus disia-siakan? Toh mereka bisa berkenalan setelah menikah bukan? Dan lagi, mungkin ini cara agar kedua orang tuanya terhindar dari rasa malu akibat pernikahannya yang batal. Namun... "Qiana, tenang saja. Zayn gak akan nyakitin kamu seperti mantan pacar kamu sebelumnya. Om dan Tante jamin," imbuh Pak Atmaja sambil menepuk pelan dadanya. Qiana menghela nafas pelan. 'Berarti mereka sudah tau soal aku sama Vero?' "Gimana Qiana? Kamu mau kan menikah sama Zayn?" tanya sang Papa penasaran. Qiana menggigit bibirnya. Mereka semua bergantian mempromosikan Zayn dengan begitu baiknya. Seperti iklan pinjol yang sering dia tonton. "Jangan terlalu banyak berpikir Nak Qia. Menikah dengan Zayn dijamin worth it," imbuh Pak Atmaja lagi. "Emmm..." Qiana menggaruk pelan pipinya. Alih-alih menjawab Qiana justru melihat ke arah pemuda itu. "A- aku sih terserah sama Mama dan Papa baiknya gimana. Tapi gimana sama Kak Zayn? Dia setuju atau enggak sama perjodohan ini?" Zayn dengan ekspresi tenang, balik melihat ke arah Qiana— tentu saja membuat Qiana sedikit salah tingkah karena tatapannya tersebut. Ia melonggarkan sedikit dasi di lehernya dan berkata, "Aku..."Zayn muncul dari tangga atas, mengenakan kaus gelap dan celana santai.“Ada apa, Pa?”“Kamu ngapain di atas terus? Istri kamu ditinggal ngangkat koper sendirian?” tegur Pak Atmaja tajam.Zayn menuruni tangga tanpa ekspresi. “Tadi dia yang bilang gak apa-apa. Lagipula tadi ART bantu—”“Bukan soal siapa bilang apa-apa atau tidak!” sela Pak Atmaja. “Dia bilang tidak karena pengen bantu kamu sebagai suaminya. Eh— kamu malah nyuruh-nyuruh dia seenaknya."Qiana langsung menunduk. Ia merasa bersalah, seolah-olah kehadirannya malah membuat keributan kecil.Bu Atmaja buru-buru menengahi, “Pa, sabar! Zayn kan baru jadi suami, dia kan masih perlu banyak beradaptasi."Pak Atmaja mendesah panjang, lalu melirik Zayn tajam sebelum beranjak dari hadapan anaknya.Begitu kedua orang tuanya menghilang dari pandangan, suasana menjadi semakin tegang. Qiana masih berdiri di samping Zayn dengan perasaan penuh rasa bersalah."Maaf," cicit Qiana. "gara-gara aku, kamu jadi—"Zayn melesat pergi dari hadapannya.
"Apa menikah denganku termasuk bagian dari rencana itu? Atau justru sebaliknya?""Kerjain aja tugas kamu! Banyak bicara justru membuat tugas kita makin lama selesainya!" titah pria 28 tahun itu dengan nada yang amat bossy.Qiana menghela nafas panjang. Ia langsung mengunci mulutnya rapat-rapat. Meskipun isi kepalanya cukup berisik karena dia gak betah lama-lama diam.Ia kembali melipat baju sambil sesekali mencuri pandang ke arah pria itu. Jarak mereka tidak jauh, tapi rasanya seperti dipisahkan oleh dinding kaca tebal.Dan itu sangat menyebalkan... Satu jam berlalu, Qiana terus menata baju-baju Zayn ke dalam koper. Tangannya sudah pegal, tapi Zayn belum juga selesai dengan dokumennya.Begitu koper pertama hampir penuh, Qiana bangkit berdiri, memutar sedikit badannya sambil memegangi pinggang. Ia melirik Zayn yang masih tenggelam dalam tumpukan map dan folder.“Kak Zayn…” Ia bicara pelan, tapi kali ini suaranya sedikit lebih tegas. “Kamu gak haus?""Kamu mau minum?"Qiana mengangguk
Suasana meja makan yang semula hangat mendadak terasa agak tegang. Pak Atmaja masih memandangi Zayn dengan ekspresi tak puas.“Zayn, kamu itu baru menikah. Papa gak minta kamu libur lama-lama, tapi setidaknya satu-dua hari buat menemani istrimu. Masa kamu gak bisa atur waktu sedikit aja?”Zayn menegakkan duduknya, wajahnya tetap tenang meski sorot matanya terlihat tegas. “Aku sudah atur semuanya, Pa. Dan menurutku, justru karena sudah menikah aku harus lebih fokus ke karier. Aku gak bisa kasih Qiana masa depan kalau aku terlalu santai sekarang.”Pak Atmaja hendak membuka suara lagi, tapi Pak Wijaya segera mengangkat tangan.“Sudah, sudah... jangan terlalu diperdebatkan.” Suaranya terdengar ringan tapi tegas. Ia melirik menantunya lalu beralih ke putrinya. “Atmaja, yang Zayn katakan itu cukup masuk akal. Lagipula, Qiana juga belum selesai kuliah. Bulan depan dia masih harus ujian, ya kan Qia?”Qiana yang dari tadi diam, tersentak pelan. “Iya, Pa...”“Jadi mungkin memang belum waktunya
"Kakak Ipaaaar..."Qiana yang baru saja keluar dari kamar hotelnya sedikit tersentak saat tiba-tiba seseorang merangkul lehernya dari belakang. Dan begitu ia menengok ke samping ternyata sudah ada Rheana adik iparnya."Baru bangun ya? Gimana malam pertamanya? Seru?"Qiana melihat ke arah gadis itu dan menghela nafas. "Yaa, gitu deh."Rheana mengerutkan keningnya. Ia memperhatikan Qiana dengan saksama dari atas sampai bawah. Rambut Qiana masih sedikit kusut, matanya sembap dan terlihat kurang tidur, ditambah langkahnya yang agak lesu.“Dilihat dari kantong mata itu, kalian abis main berapa ronde?” gumam Rheana sambil cekikikan geli. “Gimana? Kakakku hot gak di ranjang?"Qiana terbatuk kecil, nyaris tersedak udara. “Eh, bukan, aku—”Namun belum sempat ia menyelesaikan klarifikasinya, suara pintu di belakangnya terbuka. Zayn muncul dari balik kamar, pria mengenakan kemeja hitam polos dan celana panjang. Rambutnya masih basah, entah habis mandi atau efek cucu muka.Pandangan Zayn langsun
"A- apa?""Parfum ini akan jadi aroma favoritku sekarang."Qiana berbalik. Dan karena ulahnya itu pula gaun yang ia pakai jadi melorot ke bawah dan jatuh ke lantai dengan bebas. Menyisakan dirinya yang hanya dibalut korset putih dan celana pendek yang bahkan hanya menutupi seperempat pahanya.Zayn terpaku. Matanya tertuju pada pemandangan indah di depannya. Wajah memerah Qiana, kulit putih yang kontras di bawah temaram lampu, tubuh seksi sang istri, serta kaki jenjangnya yang indah membuat Zayn tak bisa berkata-kata."K- kamu ngeliatin apa?" tanya Qiana sambil menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. Walaupun itu jelas tidak akan berhasil."Melihat kecantikan istriku." Zayn tersenyum miring."Me- menurut kamu aku cantik?"Zayn tertawa kecil. Dan itu membuat Qiana kaget. 'Ternyata Zayn tidak sekaku yang aku bayangkan.'"Kalau kamu tidak cantik, mana mau aku menikahimu." Tangan Zayn kembali terulur, kali ini berhenti di tengkuk Qiana. Seolah menahan perempuan itu agar tidak mundur atau me
Rheana yang memang terkenal usil, langsung menangkap perubahan wajah Qiana. Ia menyeringai seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru. "Waaa... Qia! Muka kamu merah banget tuh. Aku tau, kamu pasti lagi mikir yang aneh-aneh kaan," goda Rheana sambil menyikut pelan lengan Qiana.Qiana nyaris tersedak udara. “Eh?! Nggak, nggak! Ini cuma gerah aja kok," balasnya sambil mengipas-ngipasi udara di depannya."Yaelah Qia, ballroom dingin gini? Masa kepanasan? Apalagi kamu kan berdiri di sebelah kak kulkas. Mana mungkin kegerahan, hahaha." Rheana makin jadi. Bahkan Zayn sampai melirik adiknya sambil geleng-geleng.“Rhea, cukup! Jangan godain ipar kamu terus!” pinta sang Papa dengan nada memperingatkan. Rheana memang langsung diam, tapi wajah tengilnya tetap gak bisa hilang.“Sudah-sudah, kalian istirahat dulu ya,” kata Bu Wijaya akhirnya. “Kalian pasti capek. Besok pagi kita sarapan bareng.”"Iya, Qia. Jangan mikirin apa-apa dulu, fokus istirahat," timpal Bu Atmaja dengan senyum me