Share

Perjodohan?!

last update Last Updated: 2025-05-22 10:21:26

"Kamu tidak perlu khawatir, Qia. Papa tau apa yang harus kita lakukan."

Baik Qiana maupun sang ibunda, reflek menoleh ke arah pria paruh baya dengan jambang yang mulai memutih tersebut. "Apa rencana Papa?" tanya sang istri. "Papa gak punya ide yang aneh-aneh kan?"

Qiana menganggukkan kepalanya. Setuju dengan ucapan sang Mama. Dia sudah terlalu hafal dengan sifat Papanya yang sangat susah di tebak dan di luar prediksi.

***

"Qiana, kamu sudah siap belum? Papa sama temennya sudah nunggu kamu di bawah."

Qiana melihat ke arah sang Mama yang tampak rapi sore itu, beliau memakai setelan blouse dan rok span warna maroon dengan rambut yang di sanggul rapi. Sementara ia sendiri mengenakan gaun ungu muda potongan A-line dengan lengan pendek mengembang dan kerutan pada bagian dada. Di bagian pinggang terdapat hiasan bunga tiga dimensi yang menambah kesan anggun.

"Kita mau ketemu siapa sih, Ma?" tanya Qiana sambil berdiri dari kursi meja riasnya. Ia mendekati sang Mama yang tampak tersenyum puas melihat penampilan putri semata wayangnya. "Udah, ikut aja ke bawah! Nanti kamu juga tau kok."

Mereka berdua berjalan keluar dari kamar Qiana. Tanpa berbicara apapun lagi, Qiana mengikuti arahan sang Mama. Begitu sampai di lantai bawah, langkah Qiana melambat. Ruang tamu yang biasanya lengang kini tampak penuh.

Di sofa utama duduk Papa-nya bersama dua pasangan lain. Salah satu pasangan adalah wanita anggun sebaya dengan Mamanya, dan seorang pria yang kemungkinan besar adalah suaminya.

Sementara di hadapan Papa duduk seorang pria muda berusia sekitar 28 tahun—tampan, berpenampilan rapi dengan jas hitam, kemeja biru muda, serta jam tangan kulit. Di samping pria itu duduk seorang gadis manis dengan riasan natural dan penampilan feminin, terlihat sebaya dengan Qiana.

Semua kepala sontak menoleh begitu melihat Qiana dan ibunya turun.

“Ini dia putri Papa,” kata Pak Wijaya dengan bangga, langsung berdiri menyambut.

Qiana semakin bingung. Tapi alih-alih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, dia lebih dahulu menyambut uluran tangan dari para tamu yang datang sore itu.

Satu persatu, sang Papa mengenalkan Qiana pada tamu-tamunya. Ternyata mereka adalah teman lama sang Papa. Mereka dari keluarga Atmaja. Tapi di antara itu semua, pandangan mata Qiana lebih terfokus ke arah si lelaki dengan jas hitam di depannya.

Bagaimana tidak, pria itu cukup menarik di mata Qiana. Wajahnya oval dengan fitur yang tegas dan proporsional. Ia memiliki mata berwarna cokelat muda yang lembut dan ekspresi wajah yang tenang dan sedikit misterius. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Ia terlihat memiliki postur tubuh yang tegak dan proporsional.

"Qiana, yang ini putra sulung Om Atmaja. Namanya Zayn. Dia ini murid Papa waktu kuliah dulu. Dan sekarang dia sibuk jadi dokter residen di rumah sakit milik Papanya. Pak Atmaja."

"Hai, namaku Zayn..."

Qiana sempat terdiam sepersekian detik saat mendengar suara Zayn yang dalam dan tenang. Tatapan mata pria itu juga tidak biasa—tajam sedikit mengintimidasi.

Ia spontan tersenyum canggung dan menjawab, “Hai juga, a-aku Qiana."

“Nama yang cantik, sama seperti orangnya,” sahut Pak Atmaja yang disambut oleh tawa renyah sang Papa.

Setelah berkenalan, Qiana lalu duduk di samping sang Mama dengan penuh wibawa, lebih tepatnya jaga image.

Tak lama, Pak Wijaya berdeham, menandakan akan memulai pembicaraan yang lebih serius.

“Begini, sebenarnya malam ini bukan hanya sekedar makan malam biasa," mulai Pak Wijaya sambil menatap Qiana penuh arti.

Qiana mengernyit. “Maksud Papa…?”

“Papa dan Om Atmaja sudah lama kenal, bisa dibilang kita ini bestie sejak kecil. Dan saat muda dulu kami sering berangan-angan untuk menjodohkan anak-anak kita saat kalian besar." Pak Wijaya menepuk-nepuk pundak Pak Atmaja. Seolah meminta dukungan penuh pada sahabat baiknya itu.

"Benar Nak Qia, karena itulah kami datang ke sini karena berniat untuk menikahkan kamu dan Zayn."

Qiana terperanjat. Ia segera menoleh cepat ke arah Zayn. Pria itu tidak tampak biasa saja. Bahkan, tersenyum saja tidak. Akan tetapi wajah tenangnya, seakan menjawab jika sebenarnya dia sudah mengetahui rencana ini sejak awal.

"Pa, ini serius? Maksudku kita sama sekali belum saling kenal. Dan—"

Suasana mendadak agak tegang. Namun Pak Wijaya menjawab ringan, “Qiana, Zayn ini pria yang baik." Pak Wijaya melanjutkan dengan nada serius tapi tetap hangat, “Zayn itu memang kelihatannya pendiam. Bahkan kadang orang ngira dia dingin. Tapi Papa tau betul seperti apa karakter dia. Zayn ini selain pintar, dia juga anak baik dan sangat bertanggungjawab."

Qiana menoleh sekilas ke arah Zayn yang masih tampak tenang.

Namun Bu Atmaja segera menambahkan. "Orang seperti Zayn ini sangat jarang ada, Qia. Yah, Mungkin dia bukan tipe yang romantis kayak di drama Korea yang kamu suka. Tapi dia bisa diandalkan, bisa dipercaya. Dan Tante yakin… dia bisa jadi suami yang baik buat kamu.”

"Iya Qiana," gadis sebaya Qia yang sejak tadi diam akhirnya ikut angkat bicara, "Kak Zayn ini cowok super perfect yang pas banget dijadikan suami. Jadi kamu gak akan nyesel. Yaaah, walaupun dia terlalu introvert sih."

Ruangan jadi sunyi sesaat.

Qiana menunduk, menatap jemarinya sendiri. Dalam hatinya masih ada badai yang belum reda—sisa luka dari Vero yang belum sembuh. Tapi, kalau ada jodoh yang baik di depan mata, kenapa harus disia-siakan? Toh mereka bisa berkenalan setelah menikah bukan?

Dan lagi, mungkin ini cara agar kedua orang tuanya terhindar dari rasa malu akibat pernikahannya yang batal. Namun...

"Qiana, tenang saja. Zayn gak akan nyakitin kamu seperti mantan pacar kamu sebelumnya. Om dan Tante jamin," imbuh Pak Atmaja sambil menepuk pelan dadanya.

Qiana menghela nafas pelan. 'Berarti mereka sudah tau soal aku sama Vero?'

"Gimana Qiana? Kamu mau kan menikah sama Zayn?" tanya sang Papa penasaran.

Qiana menggigit bibirnya. Mereka semua bergantian mempromosikan Zayn dengan begitu baiknya. Seperti iklan pinjol yang sering dia tonton.

"Jangan terlalu banyak berpikir Nak Qia. Menikah dengan Zayn dijamin worth it," imbuh Pak Atmaja lagi.

"Emmm..." Qiana menggaruk pelan pipinya. Alih-alih menjawab Qiana justru melihat ke arah pemuda itu. "A- aku sih terserah sama Mama dan Papa baiknya gimana. Tapi gimana sama Kak Zayn? Dia setuju atau enggak sama perjodohan ini?"

Zayn dengan ekspresi tenang, balik melihat ke arah Qiana— tentu saja membuat Qiana sedikit salah tingkah karena tatapannya tersebut. Ia melonggarkan sedikit dasi di lehernya dan berkata, "Aku..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengejar Cinta Suami Dinginku   Begitu Acuh

    Pak Atmaja berdiri mematung di depan ruang UGD. Tangannya mengepal, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dada. Tak lama, seorang pria setengah baya berseragam putih mendekatinya. Namanya Dokter Surya, kolega lamanya—seorang Dokter spesialis yang telah puluhan tahun malang melintang di dunia medis.“Pak Atmaja,” sapa Dokter Surya pelan. “Saya turut berduka cita.”Pak Atmaja mengangguk pelan. “Terima kasih, Dok. Sebenarnya apa yang terjadi, Dok?"Dokter Surya menghela napas panjang, lalu menatap pria di depannya dengan ragu. “Sebenarnya, secara medis… beliau masih memiliki peluang untuk selamat. Tapi ada keterlambatan penanganan.”Pak Atmaja menyipitkan mata. “Terlambat?”“Iya, Pak. Kami kekurangan dokter bedah jantung hari ini. Dan, seharusnya Dokter Zayn yang bertugas. Tapi… beliau tidak datang.”“Zayn?” Suara Pak Atmaja terdengar tercekat. “Jadi Zayn tidak masuk hari ini?”“Benar, Pak. Kami sudah coba hubungi beliau sejak pagi. Tidak ada kabar. HP-nya tidak aktif. Dan karena

  • Mengejar Cinta Suami Dinginku   Kehilangan Pt 03

    "Dokter, saya mohon lakukan apapun untuk menyelamatkan Mama saya. Saya mohon dokter." Qiana memegang tangan Dokter senior di depannya."Saya mengerti. Hanya saja rumah sakit sedang kekurang dokter bedah jantung. Dan dokter Zayn juga tidak bisa diharapkan."Qiana nyaris lupa caranya bernafas ketika mendengar penjelasan Dokter. ‘Zayn… Kenapa harus sekarang?'Air matanya semakin deras. Kepalanya terangkat perlahan, menatap dokter di depannya dengan pandangan penuh luka."Anda tenang saja! Kami akan berusaha sebisanya."Qiana hendak mengatakan sesuatu, namun suara panggilan sang Mama yang baru siuman itu membuat fokusnya langsung tertuju ke arah wanita itu."Mama!" Qiana beringsut ke arah Bu Wijaya. Ia meraih tangan wanita paruh baya tersebut dan menggenggamnya erat. "Mama... Qia di sini Ma..."Dengan napas yang berat dan suara nyaris tak terdengar, Bu Wijaya perlahan membuka matanya. Pandangannya samar, tapi ia tetap bisa mengenali wajah putrinya yang dipenuhi air mata.“Q—Qia…” bisiknya

  • Mengejar Cinta Suami Dinginku   Kehilangan Pt 2

    “Papa… jangan tinggalin aku…”Hampir 10 menit Qiana di sana. Qiana terdiam di pelukan jasad ayahnya. Tubuhnya melemah sepenuhnya. Wajahnya masih terbenam di dada Pak Wijaya yang dingin, air matanya membasahi kain baju sang Papa. Napasnya berat, dadanya sesak, seolah tak ada lagi alasan baginya untuk bertahan di dunia ini.Namun tiba-tiba, kesadarannya terguncang.Satu ingatan menamparnya keras.‘Mama…’Kepalanya perlahan terangkat. Mata sembabnya membelalak.‘Papa tadi semobil sama Mama…’Detik itu juga, tubuh Qiana terpental mundur. “Mama…! Mama di mana?! Suster! MAMA AKU DI MANA?!” jeritnya panik, suaranya pecah.Seorang suster yang masih berjaga di sudut ruangan langsung menghampiri. “Mba, tenang dulu… tenang…”“GAK! MANA MAMA SAYA?! TADI MAMA SAYA JUGA DI MOBIL ITU KAN?!” Qiana mencengkeram keras lengan suster itu, wajahnya hancur oleh tangis dan panik.Suster itu akhirnya menarik napas dalam-dalam, lalu menunjuk sebuah bilik perawatan tak jauh dari tempat Pak Wijaya terbujur kaku

  • Mengejar Cinta Suami Dinginku   Kehilangan Pt 01

    Qiana membeku di ambang pintu UGD. Pandangannya langsung menangkap sosok yang tergeletak di atas ranjang—tubuh seorang pria paruh baya, penuh darah, dengan perban terbuka di kepala dan alat oksigen menutupi sebagian wajahnya. Beberapa dokter dan suster bergerak cepat di sekelilingnya, suara alat medis berdengung keras di udara.'I-itu...'Qiana refleks ingin berlari. “PAPA!!” jeritnya, histeris. Tapi belum sempat ia mendekat, seorang suster langsung menghadangnya. Tubuh mungil Qiana tertahan kuat di pelukan perawat itu, membuatnya semakin panik.“PAPA! Papa!""Mba! Tolong tenang!""Tapi itu Papa saya, Suster. Saya mau ke sana! Aku mau lihat kondisi Papa!" Suaranya pecah, teriakan yang nyaris seperti rintihan kesakitan. Air matanya langsung mengalir deras tanpa bisa ditahan."Mba, tolong tenang dulu! Doktet sedang menangani pasien!” Suster itu mati-matian menahan Qiana, yang terus memberontak seperti orang kehilangan akal.“Saya anaknya, Sus! Saya mau liat kondisi Papa! Saya mohon!” Su

  • Mengejar Cinta Suami Dinginku   Aku Yang Mengalah

    “Kalau emang dia masih cinta sama Diandra— okey... biar aku yang ngalah." Ia mengusap air mata di pipinya dengan gerakan kasar. “Mungkin hubungan kami hanya sampai di sini." Dia ingin kembali ke rumah orangtuanya. Setidaknya, di sana… ia masih bisa jadi Qiana. Anak gadis sederhana yang dicintai orangtuanya tanpa syarat. Bukan perempuan yang terus memohon perhatian dari suami yang tak pernah benar-benar memandangnya. “Gak ada gunanya aku bertahan. Toh dia gak akan pernah ngeliat aku." Bertahan hanya akan membuat luka di hatinya bertambah parah. Setelah entah berapa lama terisak, tubuh Qiana mulai melemah. Air matanya masih jatuh, tapi sudah tak sekeras sebelumnya. Yang tersisa hanya sesak… dan hampa. Ia menatap kosong ke arah langit-langit ruangan, napasnya tak beraturan, matanya sembab dan bengkak. Perlahan, ia meraih ponselnya di meja samping ranjang. Rasanya berat sekali. Tapi... ini adalah jalan terbaik baginya dan mungkin juga untuk Zayn. Qiana membuka kontak dengan nama

  • Mengejar Cinta Suami Dinginku   Oke, Aku Nyerah

    Qiana menarik napas dalam-dalam. Tapi paru-parunya terasa berat. Matanya menatap kosong langit-langit ruangan, bibirnya bergetar, air matanya mulai jatuh lagi… tanpa suara.Tangan yang tadi menggenggam erat sisi ranjang kini perlahan melemah, jatuh di atas selimut. Tubuhnya seperti kehilangan tenaga.Teringat kembali kejadian semalam.Bagaimana Zayn berdiri di depan Diandra. Bagaimana tatapannya berubah lembut, bagaimana suaranya terdengar begitu pelan dan sabar saat bersama Diandra.Dan puncaknya… bagaimana ciuman itu terjadi.Ciuman yang tampak dalam dan penuh kasih. Penuh rasa saling memiliki.Tidak seperti cara Zayn memperlakukannya selama ini.“Jadi… memang bisa ya… dia hangat kayak gitu.” Suara Qiana lirih, getir. Air matanya tak tertahan lagi. “Ternyata dia bisa peluk seseorang dengan lembut dan penuh. Cuma… bukan aku orangnya.”Air matanya jatuh satu-satu. Tanpa isakan. Hanya diam… tapi menghancurkan.Qiana teringat semua detik saat Zayn bersikap dingin padanya. Cara Zayn bica

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status