Share

Bab 3: Televisi Pembawa Bencana

Seperti hari penghakiman, Cassandra duduk gelisah di tempatnya. Dia tak henti-hentinya meremat jemarinya pertanda bahwa semua yang terjadi merupakan realisasi dari mimpi buruk yang tak pernah sekalipun dia harapkan akan terjadi, setidaknya secepat ini.

Ayolah Om, sama aku aja Om, dijamin puas,” suara manja dari televisi berukuran 100 inch di depannya, membuat Cassandra kembali meringis. Suara itu berasal dari cuplikan film yang dibintanginya selama berkarir sebagai selebritis di ibu kota. Dia tak pernah menyangka jika ‘kenekatannya’ mengambil peran berani, membuatnya dalam masalah besar hari ini.

Mau jadi seksi dan langsing kayak aku? Minum jamu ini, dijamin badan langsung singset, dan jadi rebutan para lelaki,” seolah tak cukup, televisi itu juga menampilkan potongan iklan yang Cassandra bintangi. Di sana terlihat Cassandra yang memakai pakaian minim, memamerkan lekuk tubuhnya yang sempurna dan selalu dipuji, sambil berlenggak-lenggok mengiklankan sebuah produk jamu pelangsing yang sudah menjalin kerjasama dengannya, tempo hari.

Setelah iklan itu berakhir, televisi itu kembali menampilkan potongan wawancara Cassandra dengan beberapa program infotainment ternama.

“Kan Nona Sandra sekarang sudah menjadi selebritis ternama. Kira-kira tipe ideal laki-laki yang Nona Sandra cari yang seperti apa?” tanya salah seorang seorang wartawan di sela-sela lampu sorot yang menyilaukan dan kamera yang terus menyorot ke arahnya.

“Saya gak munafik sih Mba, saya suka pria yang tampan, mapan dan banyak uang. Saya perlu seseorang yang bisa menyenangkan saya bukan hanya dengan perhatian dan kasih sayang, tapi juga dengan uang,” Cassandra terkekeh di akhir kalimatnya. Seakan dia merasa bangga dengan jawaban yang dia berikan, tanpa tahu bahwa jawaban itu bisa saja menjadi bumerang untuk dirinya di kemudian hari.

“Wahh, Nona Cassandra ini benar-benar unik ya, beda dari perempuan lain yang malah terkesan munafik. Di saat aktris lain banyak yang menjawab, ‘Yang terpenting taat agama dan takut pada Tuhan,’ Nona malah menjawab dengan jujur dan apa adanya.” Ujar wartawan wanita itu dengan maksud dan tujuan lain.

“Jelas dong, saya kan memang istimewa, beda dari perempuan lainnya yang bermuka dua.”

“Jadi apakah maksud Nona Sandra bahwa lelaki yang terlihat religius dan taat agama bukan termasuk dalam kriteria Anda?” tanya wartawan lain yang sengaja memancing-mancing Cassandra agar mengeluarkan statement yang bisa ia goreng sebagai bahan berita.

“Ya, orang-orang seperti itu bukan tipe saya.”

“Kenapa?”

“Saya relisitis saja Mbak, saya lebih suka berpacaran dengan lelaki yang kaya daripada yang paham agama. Lagipula kita menjalani hidup ini dengan uang, bukan dengan hapalan, keimanan apalagi ketaqwaan. Sebagai seorang aktris, saya akan jauh merasa lebih bangga berjalan bersama lelaki keren dan stylish daripada lelaki yang bersarung dan berpeci, bukan begitu kan, Sayang?” Cassandra mengelus pelan lengan kokoh milik kekasihnya, meminta persetujuan.

“Benar Sayang, aku setuju. Lelaki keren, tampan dan kaya tidak akan pernah mempermalukanmu.”

Mata Cassandra melotot, matilah dia. Gadis itu kemudian menatap ke arah Abah yang duduk diam di kursi kayunya dengan ekspresi yang sulit terbaca. Dengan sigap, Cassandra meraih remote televisi dan mencari-cari tombol off untuk mematikannya, namun anehnya sekeras apapun ia mencari, tak dapat dia temukan tombol itu di dalam remote di tangannya.

Cassandra terus menekan setiap tombol dengan panik. Angka 1 sampai 9 sudah ia coba, namun sialnya,  semua chanel dan siaran di tv itu tetap menampilkan gambar dan video yang sama.

“Percuma, sejak televisi itu dikirim ke sini, semua channelnya menampilkan hal yang sama. Menampilkan betapa terlalu jauhnya Kota Jakarta mengubahmu menjadi seseorang yang tak bisa Abah kenali lagi.”

Cassandra tertunduk. Ucapan dingin abah menunjukan betapa kecewanya ia terhadap cucu yang dulunya terkenal karena kepatuhan dan sifat sholehanya itu. Cassandra sepenuhnya tahu kesalahannya, tapi janji mimpi yang disuguhkan di depan mata, membuatnya lupa akan janji-janji keimanan yang dulu dipertahankannya mati-matian.

Sosok Nayla yang cantik dengan perhiasan imannya berubah menjadi Cassandra yang lekat dengan image seksi dan sosialitanya.

“Maaf, maafkan Nayla, Abah.”

“Nayla?” Abah bangkit, sambil tangannya tak pernah berhenti menggerak-gerakan biji tasbih. Tanpa perlu bertanya, gadis itu tahu kalimat apa yang berulang kali diucapkan abah dalam hati. Kalimat istigfar, ribuan kali diucapkan abah demi meredam emosinya.

“Jangan sebut nama cucu saya. Dia sedang berkuliah di ibu kota sebagai mahasiswi baik yang mendapat beasiswa. Cucu saya tak akan  mungkin sepertimu, yang menukar semua janji, keimanan dan kepercayaan kakeknya hanya untuk memenuhi mimpinya sendiri. Cucu saya tidak akan se-egois dirimu.”

Tak tehitung jutaan anak panah yang menancap di hati Cassandra saat ini. Ucapan abah begitu menusuk, mengingatkannya pada janji-janji palsu yang ia ucapkan dulu demi memuluskan jalannya agar diijinkan pergi ke Jakarta. Abah tak pernah seperti ini, sehingga ia bisa melihat bahwa lelaki tua bersorban putih itu malah menatap asing pada cucu yang kini sudah tak dikenalinya lagi.

“Namamu Cassandra Calista, seorang aktris muda yang sukses luar biasa, yang dengan mudah mengorbankan semuanya hanya demi mewujudkan mimpi duniawinya. Sampai ia lupa bahwa dalam agamanya, terdapat batasan antara benar dan salah.”

“Ini Nayla, Abah, Nayla cucu Abah,” Cassandra tak mampu lagi membendung air matanya. Dia mengaku salah, namun di satu bagian kecil dalam hatinya, mimpi menjadi seorang selebritis ternama, masih tersimpan manis di sana.

Dan abah, lelaki tua yang sangat dihormati dan terkenal dengan aura kewibawaan dan kebijaksanaannya itu, tak akan pernah bisa menahan diri, apalagi jika melihat cucu tersayangnya menangis. Sekuat apapun dia bertahan, satu hal yang tak bisa abah abaikan adalah ketika melihat cucu tersayangnya berada dalam kebingungan dan kesesatan.

“Apa Neng? Apa yang dijanjikan kota itu kepadamu sampai cucu abah berubah sejauh ini?” sedikit, Cassandra mampu merasa lega, mendengar kata ‘Neng,’ sapaan sayang yang selalu digunakan abah untuk memanggil namanya.

“Apakah seistimewa itu nilai tukar yang dijanjikan Kota Jarakrta sehingga kamu rela menukar keimanan dan ketaatanmu pada Tuhanmu?”

“Bukan, bukan begitu Bah-“

“Lalu bagaimana?”

“Maafkan Nayla, Abah.” Nayla, kita panggil saja demikian, akhirnya menyerah. Dia tak tega membuat hati abahnya semakin terluka karena perilakunya. Lidah Nayla juga kelu, dia tak sanggup menjelaskan semuanya, karena gadis itu sepenuhnya tahu, bahwa sebanyak apapun penjelasan yang akan ia berikan, tak akan ada yang mengerti, termasuk abah sendiri.

“Maaf Abah, Nayla janji gak akan melakukan itu lagi.”

“Janji kamu mengingatkan Abah pada janji cucu Abah dua tahun lalu, janji yang juga sudah diingkarinya.”

Nayla menarik napas pelan, kalau sudah begini, ia tak punya pilihan lagi, “Kali ini Nayla janji Abah, Nayla gak akan melakukan kesalahan itu lagi. Nayla akan melakukan apapun untuk menebus kesalahan Nayla.”

“Baik, kesalahanmu akan Abah maafkan, tapi dengan satu syarat.”

“Syarat apa Bah?”

“Kamu harus tinggal di sini.”

Mata Nayla membulat, ia pikir bahwa hukuman ‘Membersihkan rumah, atau memasak selama seminggu’, merupakan hukuman yang cukup pantas, tapi apa ini?

“Tapi Bah?”

“Tidak ada penolakan. Kamu gak boleh kembali ke Jakarta. Sebagai gantinya, kamu harus tinggal di sini sebagai santri di Pondok Pesantren Nurul Huda!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status