Seperti hari penghakiman, Cassandra duduk gelisah di tempatnya. Dia tak henti-hentinya meremat jemarinya pertanda bahwa semua yang terjadi merupakan realisasi dari mimpi buruk yang tak pernah sekalipun dia harapkan akan terjadi, setidaknya secepat ini.
“Ayolah Om, sama aku aja Om, dijamin puas,” suara manja dari televisi berukuran 100 inch di depannya, membuat Cassandra kembali meringis. Suara itu berasal dari cuplikan film yang dibintanginya selama berkarir sebagai selebritis di ibu kota. Dia tak pernah menyangka jika ‘kenekatannya’ mengambil peran berani, membuatnya dalam masalah besar hari ini.
“Mau jadi seksi dan langsing kayak aku? Minum jamu ini, dijamin badan langsung singset, dan jadi rebutan para lelaki,” seolah tak cukup, televisi itu juga menampilkan potongan iklan yang Cassandra bintangi. Di sana terlihat Cassandra yang memakai pakaian minim, memamerkan lekuk tubuhnya yang sempurna dan selalu dipuji, sambil berlenggak-lenggok mengiklankan sebuah produk jamu pelangsing yang sudah menjalin kerjasama dengannya, tempo hari.
Setelah iklan itu berakhir, televisi itu kembali menampilkan potongan wawancara Cassandra dengan beberapa program infotainment ternama.
“Kan Nona Sandra sekarang sudah menjadi selebritis ternama. Kira-kira tipe ideal laki-laki yang Nona Sandra cari yang seperti apa?” tanya salah seorang seorang wartawan di sela-sela lampu sorot yang menyilaukan dan kamera yang terus menyorot ke arahnya.
“Saya gak munafik sih Mba, saya suka pria yang tampan, mapan dan banyak uang. Saya perlu seseorang yang bisa menyenangkan saya bukan hanya dengan perhatian dan kasih sayang, tapi juga dengan uang,” Cassandra terkekeh di akhir kalimatnya. Seakan dia merasa bangga dengan jawaban yang dia berikan, tanpa tahu bahwa jawaban itu bisa saja menjadi bumerang untuk dirinya di kemudian hari.
“Wahh, Nona Cassandra ini benar-benar unik ya, beda dari perempuan lain yang malah terkesan munafik. Di saat aktris lain banyak yang menjawab, ‘Yang terpenting taat agama dan takut pada Tuhan,’ Nona malah menjawab dengan jujur dan apa adanya.” Ujar wartawan wanita itu dengan maksud dan tujuan lain.
“Jelas dong, saya kan memang istimewa, beda dari perempuan lainnya yang bermuka dua.”
“Jadi apakah maksud Nona Sandra bahwa lelaki yang terlihat religius dan taat agama bukan termasuk dalam kriteria Anda?” tanya wartawan lain yang sengaja memancing-mancing Cassandra agar mengeluarkan statement yang bisa ia goreng sebagai bahan berita.
“Ya, orang-orang seperti itu bukan tipe saya.”
“Kenapa?”
“Saya relisitis saja Mbak, saya lebih suka berpacaran dengan lelaki yang kaya daripada yang paham agama. Lagipula kita menjalani hidup ini dengan uang, bukan dengan hapalan, keimanan apalagi ketaqwaan. Sebagai seorang aktris, saya akan jauh merasa lebih bangga berjalan bersama lelaki keren dan stylish daripada lelaki yang bersarung dan berpeci, bukan begitu kan, Sayang?” Cassandra mengelus pelan lengan kokoh milik kekasihnya, meminta persetujuan.
“Benar Sayang, aku setuju. Lelaki keren, tampan dan kaya tidak akan pernah mempermalukanmu.”
Mata Cassandra melotot, matilah dia. Gadis itu kemudian menatap ke arah Abah yang duduk diam di kursi kayunya dengan ekspresi yang sulit terbaca. Dengan sigap, Cassandra meraih remote televisi dan mencari-cari tombol off untuk mematikannya, namun anehnya sekeras apapun ia mencari, tak dapat dia temukan tombol itu di dalam remote di tangannya.
Cassandra terus menekan setiap tombol dengan panik. Angka 1 sampai 9 sudah ia coba, namun sialnya, semua chanel dan siaran di tv itu tetap menampilkan gambar dan video yang sama.
“Percuma, sejak televisi itu dikirim ke sini, semua channelnya menampilkan hal yang sama. Menampilkan betapa terlalu jauhnya Kota Jakarta mengubahmu menjadi seseorang yang tak bisa Abah kenali lagi.”
Cassandra tertunduk. Ucapan dingin abah menunjukan betapa kecewanya ia terhadap cucu yang dulunya terkenal karena kepatuhan dan sifat sholehanya itu. Cassandra sepenuhnya tahu kesalahannya, tapi janji mimpi yang disuguhkan di depan mata, membuatnya lupa akan janji-janji keimanan yang dulu dipertahankannya mati-matian.
Sosok Nayla yang cantik dengan perhiasan imannya berubah menjadi Cassandra yang lekat dengan image seksi dan sosialitanya.
“Maaf, maafkan Nayla, Abah.”
“Nayla?” Abah bangkit, sambil tangannya tak pernah berhenti menggerak-gerakan biji tasbih. Tanpa perlu bertanya, gadis itu tahu kalimat apa yang berulang kali diucapkan abah dalam hati. Kalimat istigfar, ribuan kali diucapkan abah demi meredam emosinya.
“Jangan sebut nama cucu saya. Dia sedang berkuliah di ibu kota sebagai mahasiswi baik yang mendapat beasiswa. Cucu saya tak akan mungkin sepertimu, yang menukar semua janji, keimanan dan kepercayaan kakeknya hanya untuk memenuhi mimpinya sendiri. Cucu saya tidak akan se-egois dirimu.”
Tak tehitung jutaan anak panah yang menancap di hati Cassandra saat ini. Ucapan abah begitu menusuk, mengingatkannya pada janji-janji palsu yang ia ucapkan dulu demi memuluskan jalannya agar diijinkan pergi ke Jakarta. Abah tak pernah seperti ini, sehingga ia bisa melihat bahwa lelaki tua bersorban putih itu malah menatap asing pada cucu yang kini sudah tak dikenalinya lagi.
“Namamu Cassandra Calista, seorang aktris muda yang sukses luar biasa, yang dengan mudah mengorbankan semuanya hanya demi mewujudkan mimpi duniawinya. Sampai ia lupa bahwa dalam agamanya, terdapat batasan antara benar dan salah.”
“Ini Nayla, Abah, Nayla cucu Abah,” Cassandra tak mampu lagi membendung air matanya. Dia mengaku salah, namun di satu bagian kecil dalam hatinya, mimpi menjadi seorang selebritis ternama, masih tersimpan manis di sana.
Dan abah, lelaki tua yang sangat dihormati dan terkenal dengan aura kewibawaan dan kebijaksanaannya itu, tak akan pernah bisa menahan diri, apalagi jika melihat cucu tersayangnya menangis. Sekuat apapun dia bertahan, satu hal yang tak bisa abah abaikan adalah ketika melihat cucu tersayangnya berada dalam kebingungan dan kesesatan.
“Apa Neng? Apa yang dijanjikan kota itu kepadamu sampai cucu abah berubah sejauh ini?” sedikit, Cassandra mampu merasa lega, mendengar kata ‘Neng,’ sapaan sayang yang selalu digunakan abah untuk memanggil namanya.
“Apakah seistimewa itu nilai tukar yang dijanjikan Kota Jarakrta sehingga kamu rela menukar keimanan dan ketaatanmu pada Tuhanmu?”
“Bukan, bukan begitu Bah-“
“Lalu bagaimana?”
“Maafkan Nayla, Abah.” Nayla, kita panggil saja demikian, akhirnya menyerah. Dia tak tega membuat hati abahnya semakin terluka karena perilakunya. Lidah Nayla juga kelu, dia tak sanggup menjelaskan semuanya, karena gadis itu sepenuhnya tahu, bahwa sebanyak apapun penjelasan yang akan ia berikan, tak akan ada yang mengerti, termasuk abah sendiri.
“Maaf Abah, Nayla janji gak akan melakukan itu lagi.”
“Janji kamu mengingatkan Abah pada janji cucu Abah dua tahun lalu, janji yang juga sudah diingkarinya.”
Nayla menarik napas pelan, kalau sudah begini, ia tak punya pilihan lagi, “Kali ini Nayla janji Abah, Nayla gak akan melakukan kesalahan itu lagi. Nayla akan melakukan apapun untuk menebus kesalahan Nayla.”
“Baik, kesalahanmu akan Abah maafkan, tapi dengan satu syarat.”
“Syarat apa Bah?”
“Kamu harus tinggal di sini.”
Mata Nayla membulat, ia pikir bahwa hukuman ‘Membersihkan rumah, atau memasak selama seminggu’, merupakan hukuman yang cukup pantas, tapi apa ini?
“Tapi Bah?”
“Tidak ada penolakan. Kamu gak boleh kembali ke Jakarta. Sebagai gantinya, kamu harus tinggal di sini sebagai santri di Pondok Pesantren Nurul Huda!”
Byurr!Tampa aba-aba, seember air dingin disiram ke wajah dan tubuh Nayla, membuat gadis itu terlonjak kaget dari tidurnya. Mata pandanya menandakan bahwa semalam dia tak bisa tidur sama sekali, dan hanya menghabiskan waktu untuk marah-marah dan tak terima dengan keputusan kakeknya.Semalam, sekitar pukul satu dini hari, abah membawa Nayla masuk ke sebuah kamar asing dengan lemari kayu kecil dan ranjang bertingkat. Demi mencegah cucunya kabur, abah memutuskan untuk mengurung dan mengunci Nayla di kamar yang biasa para santriwati tempati untuk beristirahat.“Bangun!” bentak orang itu lagi sambil menarik kain satin yang dikenakan Nayla dan memaksanya untuk berdiri.Nayla yang masih belum sadar betul, tak bisa berbuat banyak. Walaupun dalam hati, ia tengah mengumpulkan niat untuk bisa menghajar orang itu dengan benda apapun yang bisa ia jangkau.Hal pertama yang dilihatnya ada seorang perempuan seumurannya, dengan wajah sinis, mata melotot, bibir manyun, dan warna kulit sawo matang, teng
“Nih!”“Maksud lo apa?!” Lagi dan lagi, Nayla tak mampu membendung emosinya, ketika melihat sebuah benda kecil dan mungil di tangannya.“Gunakan ini untuk melaksanakan hukumanmu!” Laila menampilkan ekspresi penuh kemenangan. Ia senang ketika melihat Nayla berada dalam fase ‘frustasi tingkat tinggi’. Bukannya tega, hanya saja Laila sangat benci ketika harus berurusan dengan orang yang melanggar peraturan, apalagi dalam kasus ini, baru kali ini ada santri yang memberontak dan berani melawannya. Semakin membara-lah niat Laila untuk memberi santri kurang ajar ini pelajaran berharga yang tak akan pernah dilupakannya.“Lo gila!” sumpah serapah itu sudah puluhan kali diucapkan Nayla sepagi ini. Menjadi rekor baru sebagai, jumlah umpatan terbanyak yang diucapkannya hanya dalam jangka waktu satu jam saja.“Masa gue harus bersihin rumput di lapangan ini cuman pakai gunting kuku!”Ya, benda kecil nan imut yang diberikan Laila adalah sebuah gunting kuku. Laila memberikan benda itu sebagai hukuman
“Toiletnya pasti terlewat.”Laila berjalan ke arah pojok kamar mandi, memeriksa toilet jongkok berwarna hijau di sana.“Loh? Kok-““Udah bersih kan?,” Nayla berdiri di ambang pintu kamar mandi, dengan suara lembut dan senyum manis yang senantiasa terpatri sejak tadi.Melihat senyum yang tak biasanya terbit di bibir Nayla, membuat Laila merinding sendiri.Ada apa dengan gadis itu? Tak biasanya mulutnya berkata selembut kain sarung putra yang baru dicuci? Biasanya hanya dua kata yang keluar dari bibirnya, umpatan dan sumpah serapah.“Ah, kamu pasti lupa menguras tempat air-“ Laila tertegun ketika ia membuka tutup penampungan air, dan hanya satu kata yang dapat mewakilinya, bersih, tempat itu benar-benar bersih, sampai-sampai tak ada satupun lumut dan jentik nyamuk yang biasanya bersarang di sana.“Udah gue bersihin, bahkan sudah kugosok pinggirannya, plus keran-kerannya sekalian,&rdq
“Matanya coklat indah, bak permata yang berkilau ditimpa sinar mentari,” mata Nayla menatap ke atas, mencoba mendeskripsikan kembali ‘surga dunia’ yang kemarin dilihatnya.“Gurat wajahnya sempurna. Dengan rahang tegas, alis tebal, bulu mata lentik, dan mata yang menenggelamkan dalam pesonanya,” rupa-rupanya puisi dadakan itu masih belum tamat.“Tubuhnya tinggi, bahunya lebar, sangat pas buat dijadiin sandaran hidup gue.”“Hemm,” hanya deheman itu yang mampu Nisa ucapkan. Pasalnya, doia tak tahu harus merespon dengan cara apalagi. Sejak pagi tadi, ah tidak, pukul tiga tadi, Nayla membangunkannya dengan alasan ‘Pengen curhat soal masalah penting’. Nisa mana tahu kalau ‘Masalah penting’ yang dimaksud gadis itu adalah memuji seseorang dengan puisi dadakan yang terdengar alay.“Punggungnya tegap, sangat cocok dijadiin tulang punggung buat gue dan anak-anak gue kelak.”HuhNisa menghembuskan napas lelah, ia sudah tak tahan lagi. Ia sudah muak. Sepertinya sahabatnya itu terlalu berlebihan da
“Perjanjian Hudaibiyah. Seharusnya itu jawabannya,” Nisa menghela napas, tak tahu harus berbicara apa pada sahabatnya yang kini terus berjalan terpincang-pincang sambil terus menggosok-gosok dahinya yang sakit.Sebenarnya Nisa pun merasa kasihan, tak tega dia melihat Nayla yang dihukum berjalan jongkok mengelilingi lapangan sebanyak 3 putaran di tengah terik panas matahari siang tadi. Tapi, apa mau dikata, salahnya juga menjawab asal-asalan pertanyaan Bu Diah dan bermain-main dengan guru yang menduduki peringkat kedua teratas sebagai orang yang harus diwaspadai di pesantren Nurul Huda.“Mana gue tahu, soalnya aja gue gak ngerti,” Nayla cemberut. Dia sudah muak dengan semua kesialan yang terus mendatangi hidupnya akhir-akhir ini. Mulai dari skandal yang menjatuhkan karirnya sampai hancur tak bersisa, kemarahan Abah, sampai akhirnya dia terjebak di sebuah tempat antah berantah yang sangat ia benci ini.“Seharusnya Nona tahu, lagipula, siapa juga yang menjawab soal sejarah islam dengan j
“Kenapa bisa gini?” Nisa mengusapkan lagi kapas yang telah diberi obat merah ke lutut Nayla yang terluka.“Gue gagal masuk ke area itu,” jawabnya sambil meringis merasakan perih dan sakit di lututnya yang berdarah ketika obat itu bereaksi. “Area itu dijaga, malahan gue yang dimarahi.”Nisa menghela napas lelah. Se-tergila-gila itu kah sahabatnya sampai nekat melakukan segala cara untuk bisa mengejar lelaki itu? Tak tahukah Nayla bahwa obsesinya ini mungkin akan membuatnya berada dalam zona ‘bahaya’? Yang terpenting, tak sadarkah Nayla bahwa saat ini ia mengejar-ngejar manusia yang sebenarnya tak pantas mendapatkan cintanya? Manusia itu memiliki hati yang terlalu keras untuk bisa dipecahkan Nayla begitu saja. Dan gadis itu malah seakan memberi kesempatan, menyerahkan diri sendiri untuk dapat dihancurkan oleh lelaki itu.“Itu pondok khusus laki-laki, tentu saja dijaga. Mustahil santri lain, apalagi perempuan bisa masuk ke sana.”Nisa tak paham jalan pikiran Nayla. Sejauh ini, 20 tahun
Pagi ini, sekitar lima belas menit lagi menuju adzan pertama sholat subuh, Laila sudah berjalan dengan gagahnya menelusuri setiap jengkal pondok putri. Seperti tugasnya setiap hari, Laila akan melaksanakan pemeriksaan intensif dan berkala di seluruh area demi memastikan tidak ada santri lain sejenis Nayla yang bersembunyi dan bolos sholat subuh berjamaah. Tuk Tuk Tuk Ketukan sepatu boots berwarna coklat kebanggannya, nampak berbunyi setiap kali ia melangkah, seakan memberi peringatan bagi para santri yang berniat bolos, untuk jangan macam-macam dengan Laila. “Sepertinya sudah aman, lorong-lorong tempat persembunyian mereka pun kosong,” gumamnya pelan setelah meninjau area yang biasa digunakan para santri untuk bersembunyi. Merasa udara semakin dingin, Laila membenarkan posisi jasnya, sebuah jas dengan warna hijau neon yang mencolok, yang menjadi ciri khas dari si penanggung jawab keamanan pondok putri itu. Laila dikenal memiliki gaya berpakaian yang unik, dia lebih senang memadu
“Kita mau ke mana, Abah?”Belum sempat Nayla masuk ke kelas tadi, tiba-tiba gadis itu dikejutkan dengan suara abah yang memanggilnya. Tentu awalnya Nayla merasa senang, karena setelah dua hari perang dingin, akhirnya abah mau juga berbicara dengannnya.“Ke suatu tempat,” jawaban template itu lagi. ini sudah kali ke sekian Nayla mendapatkannya. Bukannnya apa-apa, hanya saja Nayla penasaran, ke mana abah akan membawanya pergi.“Apa Abah akan menghukumku lagi? Seingatku, aku tak melakukan kesalahan besar akhir-akhir ini,” Nayla mencoba mengingat-ingat lagi, barangkali akhir-akhir ini ia membuat satu tindakan yang secara tak sadar telah membuat abah marah dan kembali memberinya hukuman.Eh tunggu? Apakah ini soal Laila? Apakah dia yang mengadu pada abah soal kejadian kemarin?“Kalau soal Laila, Abah, aku udah baikan kok sama dia, jadi kumohon jangan menghukumku lagi.”“Laila? Kenapa Neng bawa-bawa namanya?”Jawaban bingung abah membuat Nayla tahu bahwa ini bukan tentang kejadian kemarin.