Semua sudah disiapkan. Waktu menuju pernikahan hanya tinggal menghitung jam. Miranda tersenyum sendiri menatap dirinya di kaca. "Sebentar lagi aku akan berganti status," Tak bisa di gambarkan betapa ia merasa sangat bahagia hari ini. Dia sudah membayangkan hari-hari indah yang akan ia lalui, saat nanti statusnya sudah menjadi seorang istri dari Wisnu. Kekasihnya yang sudah lama ia pacari, semenjak dia duduk di bangku SMA dulu.Namun tiba-tiba ponselnya berdering, dan segera Miranda mengangkat panggilan tersebut "Apa? Tidak!! Tidak mungkin ini terjadi. Jangan katakan itu lagi! Aku tak mau mendengarnya!! Tidak mungkin Wisnu meninggal begitu saja!! Dia sudah berjanji akan datang esok pagi di acara pernikahan kita!!" teriak Miranda kala itu, dan ia jatuh pingsan, saat pihak rumah sakit memberitahunya, kalau Wisnu calon suaminya, mengalami laka lantas dalam perjalanan menuju rumah Miranda. Pukulan berat menghantam jiwa Miranda. Ia sempat tak sadarkan diri, saat mendengar kabar
Laki-laki berhidung mancung dan berkulit sawo matang itu, masih menikmati segelas susu jahe favoritnya. Ia hanya bergeming di tengah hiruk pikuk orang-orang di sekelilingnya, yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. "Nyonya, bunga ini ditaruh dimana?" seorang bertanya pada Mama Tita sambil membawa bucket bunga ditangannya. "Simpan saja di atas meja sana!!" Perintah Tita sambil menunjuk meja kosong, di sebelah kursi pengantin. Tita menatap ke arah Barak, si calon pengantin laki-laki yang sama sekali tak ingin pindah posisi dari duduknya, atau pun hanya berkomentar tentang apapun yang terjadi di sekitarnya. Tita mendekati Barak, anak semata wayangnya yang semenjak tadi hanya fokus pada ponsel di tangannya. "Barak, besok hari pernikahanmu, tapi Kau sama sekali tak bersemangat menyambutnya, apa ada masalah?" Tita mencoba bertanya pada anaknya itu. Barak meletakan ponsel di tangannya, lalu ia menatap mata ibunya dengan dalam. Mata perempuan itulah yang selalu me
Ibu Tita hanya menelan salivanya, mendengar perkataan anaknya itu, membuat ia tak enak hati. "Maafkan Mama sayang, tapi ini yang terbaik untukmu!" gumam Tita dalam hatinya. Mengingat calon istri Barak adalah wanita yang paling tepat untuk anaknya. Dia benar benar wanita yang baik, tak seperti wanita lain, yang memilih laki-laki dari materi. Seperti itulah pemikiran Tita tentang Miranda, calon istri dari Barak. Barak yang seolah tak peduli dengan semua yang terjadi didalam rumahnya, malah dengan sengaja, menutup telinganya rapat dan mengunci matanya. Ia tak ingin tahu dengan segalanya. Ia malah memejamkan matanya rapat. Tak lama, ia pun terbang ke alam mimpi, mencoba melupakan semua yang terjadi dan yang akan terjadi besok hari.Waktu berjalan terasa lebih cepat dari biasanya. Bahkan, satu malam pun terasa Satu Jam Saja oleh Barak. Seharusnya, Hari ini adalah hari yang paling bahagia untuknya. Tetapi, entah mengapa tak sedikit pun tersirat dalam hatinya,untuk merasakan kebahagiaan i
"Saya terima nikah dan kawinnya Miranda binti Bapak Nano,dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!!" "Bagaimana para saksi? sah?" tanya Bapak penghulu, pada saksi akad yang duduk didepan. "Sah!" jawab semua serentak. "Alhamdulillah!" jawab semuanya. Dan kini, Miranda dan Barak sudah sah menjadi sepasang suami istri. Barak sedikit merasa tenang, karena sudah mampu mengucapkan akad nikah dengan lancarnya. "Selamat sayang, kamu sekarang sudah menjadi seorang suami, kamu sudah punya istri. Tolong jaga Miranda dengan baik ya," Mama Tita mengucapkan selamat pada anaknya. Dia terlihat sangat gembira dengan pernikahan Barak. Tetapi tidak dengan Barak yang lebih terkesan merasa jijik, pada pernikahan terpaksa ini. "Lelaki macam apa aku ini? Sekedar menolak pernikahan saja, aku tak bisa!" Barak terus menggerutu dalam hatinya. Ia sangat marah pada dirinya sendiri, karena selalu bisa luluh, saat mama membujuknya melakukan sesuatu hal. Apapun itu! Tiba-tiba, sosok wanita, dengan menggunak
Miranda memangku kedua betisnya, dengan kedua telapak tangannya yang menyatu diatas kasur. Ia tenggelamkan wajahnya diatas rangkulan itu. Tak terasa, cairan bening kini mengalir di pojok mata Miranda. Harusnya malam ini menjadi malam panjang yang indah bagi pasangan pengantin baru. Pasangan yang akan memadu kasih, sampai matahari terbit kembali. Miranda tersedu, meratapi nasibnya yang selalu kurang beruntung. Dihapusnya dengan pelan, airmatanya yang tak bisa berhenti mengalir. "Aku harus kuat Miranda kuat! Tak boleh ada yang tahu, kalau malam ini tak ada yang terjadi antara aku dan Barak. Kemudian, dengan langkah tertatih, Miranda menidurkan kembali dirinya di kasur megah miliknya. Karena terlalu lelah menangis, Miranda tertidur lelap diatas kasur, tanpa suaminya di sampingnya. "Aahh.. Barak tiba-tiba terbangun. Tubuhnya terasa remuk, karena semalaman tidur di sofa. Matanya mengitari ruangan yang sedang ia tempati. "Ini dimana? Beberapa kali ia mengusap matanya, memastikan keber
"Silahkan sarapan mas!" Miranda mengembangkan senyumnya, untuk suaminya yang barusaja keluar dari kamar, dengan berpakaian rapi. Dengan terpaksa ia harus menggunakan pakaian yang barusaja di siapkan oleh Miranda. Ia tak punya pilihan lain, karena memang semua bajunya belum ia bawa dari rumahnya. "Kau tampak sangat rapih mas, tapi sayang...sebentar,"Miranda menghampiri Barak ,kemudian membetulkan dasinya yang sedikit miring. "Dasimu miring mas!" ujar Miranda sambil mengedipkan matanya. Cara ampuh untuk meluluhkan laki-laki pendiam yang dingin, irit kata, tak lain dengan menjadi sosok cerewet dan sepertinya, itu bisa sedikit mengubah Barak yang memang tak banyak bicara. Setidaknya merespon apa yang Miranda lakukan. "Tak usah! Biar aku saja yang betulkan. Kau tak usah perhatian begitu. Aku takkan ergoda sedikit pun," perkataan menusuk telinga dan hati Miranda. Ia lontarkan tanpa merasa berdosa sedikit pun. Namun, Miranda yang sudah bertekad untuk membuat Barak jatuh cinta padanya, ta
"Hmmm...mungkin memang dia sedang ada pekerjaan, tolong di maklum ya sayang," ucap Mama Anita, sambil mengelus rambut mantunya itu. "Nanti agak siangan kamu antar mama yah! Kita jalan ke mall sebentar. Ada hal yang harus mama beli sayang," ajak mama Anita. Membuat Miranda terdiam sejenak, memikirkan ajakan mertuanya itu. "Aah iya mah," jawab Miranda pasrah. Baginya, memenuhi keinginan mertuanya merupakan sebuah kebanggan. Karena dengan mama Anita yang menyukainya, siapa tahu Barak semakin lama akan menyukainya pula. "Kalau begitu, kau siap-siap saja dulu. Mamah mau mengobrol sebentar dengan nenekmu," perintah mama Anita, sambil mengelus lembut pipi Miranda, yang saat ini tertunduk malu, mendapat perhatian dari mama mertuanya yang penuh kasih sayang padanya. Dengan segera, Miranda menuju kamarnya. Ia tak mau mengecewakan mama Anita yang mau mengajaknya jalan. "Tak apa, sekarang, mama yang mengajakku, semoga ke depannya, mas Barak akan jatuh cinta juga padaku," harap Miranda dalam
"Kamu tunggu sebentar ya, mama mau telpon Barak. Biar dia yang menjemputmu," ujar mama sambil mencoba mencari kontak Barak. Miranda diam tak mengerti. "Bukannya tadi kita kemari naik mobil mama? kenapa harus menyuruh mas Barak?" sebuah tanda tanya besar di benak Miranda, yang tak berani ia ungkapkan. "Tak usah heran bagitu sayang. Mama sengaja suruh Barak jemput kamu. Biar kalian bisa makin deket," ujar mama sambil mencubit sedikit pipi mulus Miranda. Dengan cepat Miranda mengusap pipinya bekas cubitan mama Anita. "Hallo sayang!" " Iya mah, kenapa? tumben telpon siang begini?" "Sayang, bisa jemput mama di salon langganan mama sekarang enggak?" Barak tak langsung menjawab. Dia yang sedang sibuk menandatangani banyak berkas di mejanya, membuat kurang fokus dan kurang mendengarkan apa yang mama Anita sampaikan. "Kenapa mah? Maaf barusan aku tak dengar," Bara mengulangi pertanyaannya. "Kau jemput mama sekarang ya, di salon langganan mama. Masih ingat kan?" Barak hanya menghela n