“Assalamualaikum”
Dzi yang sedang duduk sambil membaca Alquran segera menghentikan kegiatannya ketika mendengar salam di pintu kamarnya. Ia letakkan Alquran di meja pasien dan menatap pintu masuk. Matanya berbinar ketika melihat Nancy dan Tuan Raharja mengunjunginya.
“Waalaikum salam warahmatullah, Tante, Om, Silakan masuk !”
Nancy segera mendorong kursi roda Tuan Raharja memasuki ruang perawatan Dzi. pandangan matanya ia edarkan ke sekeliling ruangan. Melihat fasilitas yang diberikan Rumah Sehat Alfitrah pada karyawannya. Meski Saifi karyawan kelas bawah, kamar perawatan yang diberikan kepadanya sangat memadai. Ada AC dan beberapa kelengkapan lain yang membuat kamar terasa nyaman untuk ditempati orang sakit sepertinya.
“Kamu sakit apa, Nak? Mengapa dirawat di sini?”
Dzi menyalami Nancy dan mencium tangannya lembut sebelum menyilakan mereka duduk di sofa di sudut ruangan.
“Silakan duduk, Tante”
Setelah melakukan terapi lanjutan untuk Tuan Raharja dengan hasil yang maksimal, Nancy meminta Dzi untuk menemaninya mendampingi terapi untuk Tuan Raharja di rumah. Dzi diam menganalisa permintaan wanita paruh baya di hadapannya.Ingin sekali ia mengatakan tidak perlu pendampingan, namun hati kecilnya melarang. Dzi merasa tidak tega melihat wanita di hadapannya yang nyaris kehilangan harapan saat menerima ujian berupa suami yang sakit.“Em, Tante, bagaimana ya? Sebenarnya saya ingin sekali mendampingi Tante menerapi Om Raharja, tapi . . .saya masih belum merasa nyaman kalau harus tinggal di rumah Tante. Apalagi Tante kan memiliki anak laki-laki kan? Saya sendiri sudah memiliki kekasih sekarang Tante. Saya harus menjaga nama baik saya sendiri dan menjaga perasaan calon suami saya”Mendengar Dzi sudah memiliki kekasih, Nancy memandang Dzi intens. Ia sama sekali tidak rela ketika Dzi bersanding dengan laki-laki lain sedangkan dia masih belum bisa memper
Khalid yang baru saja keluar kamar Dzi segera melangkah menuju ruang Bogencil 1 untuk menengok papanya. Ia berjalan pelan agar tidak menarik perhatian semua orang. Wajahnya ia tutup masker agar tidak ada yang mengenali dirinya karena beberapa kali kedatangannya sudah membuat beberapa orang tahu siapa dirinya.“Assalamualaikum”Nancy yang sedang memainkan ponselnya menoleh ke pintu. Matanya berbinar ketika tahu anak kesayangannya datang. Nancy segera meletakkan ponsel dan tersenyum menyambut Khalid.“Waalaikum salam. Alhamdulillah akhirnya kau datang anak nakal. Siapa yang memberitahumu kalau kami di sini?”Khalid tidak menjawab ucapan mamanya. Ia berjalan menuju Tuan Raharja untuk menjabat tangan dan menciumnya lalu beralih pada mamanya yang terus menatapnya dengan mata berbinar bahagia. Harapannya untuk mempertemukan Khalid dengan Saifi sangat kuat. Ini kesempatan terbaik yang ia miliki dan ia tidak ingin melewatkannya. Ia segera
Nancy terpana menatap pria tampan yang ini sedang menatapnya sambil tersenyum. ia membalas senyumnya dan mengangguk memberi hormat. Ia lupa tujuan awal kedatangannya ke bagian pendaftaran untuk sesaat.“Dokter Willy? Dokter kapan datang? Mengapa belum datang mengunjungi suamiku di Bogenvil 1, Dok?”Dokter Willy tersenyum. Ia yang baru saja melihat kepulangan Dzi segera mengajak Nancy untuk duduk di bangku panjang di depan loket pendaftaran. Dokter Willy memandang Nancy sambil menunggu pertanyaan lain yang mungkin akan dilontarkan oleh Nancy. Setelah Nancy tidak menanyakan apapun, ia mencoba angkat bicara.“Nyonya ada di sini sejak kapan?”“Tadi jam sepuluh, kira-kira, Dok”Dokter Willy seperti membayangkan posisi dirinya saat jam sepuluh. Ia baru saja pulang menemui kedua orang tuanya yang datang berkunjung ke apartemennya.“Jam sepuluh saya masih di rumah, Nyonya. Kebetulan hari ini orang tua saya b
Khalid baru saja keluar dari kamarnya hendak menuju masjid untuk mengikuti kajian bulanan di masjid, ketika tiba-tiba matanya melihat dua laki-laki sedang berdiri di depan masjid menatap rumah Dzi. ia segera mengurungkan niatnya untuk keluar rumah. Khalid segera mengintip mereka dari jendela ruang tamu. Ia ikuti semua gerak-gerik dua laki-laki yang nampak sedang asik mengobrol. Entah apa topik pembicaraan mereka, yang jelas saat ini satu orang menatap rumah Dzi dan satu lagi memegang ponsel sedang menghubungi seseorang.Hari masih sangat terang karena asar baru saja berlalu. Suasana masjid nampak ramai oleh remaja masjid yang sebentar lagi akan menggelar pengajian bulanan. Pengajian rutin yang biasa dilakukan oleh remaja masjid yang diketuai oleh Wildan. Khalid masih berdiri mengamati pergerakan dua laki-laki asing di halaman masjid. Ia segera melangkah keluar rumah menuju masjid dan pura-pura tidak tahu apa yang mereka lakukan.Ia masuk melalui pintu samping. Kedatang
Khalid mendekati Mamanya dan segera menarik tangannya mengajaknya menuju rumah kontrakan. Ia tidak bisa membiarkan Nancy menghina Dzi di depan banyak orang lebih lama.“Mamah apa-apaan sih? Mamah menjelek-jelekkan Dzi dan sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaannya di hadapan remaja masjid yang kini sedang berkumpul? Kasihan Mah”Nancy mengibaskan tangannya melepaskan diri dari cengkeraman Khalid. Ia begitu kecewa ketika anaknya lebih memilih untuk membela wanitanya dibanding mamanya. Nancy memandang wajah Khalid penuh emosi.“Kamu ini, bukannya membela Mama malah memilih menyelamatkan Dzi. seberapa istimewanya dia dibandingkan dengan Saifi? Gadis pilihan Mama lebih baik dari Dzi yang hanya anak pinggiran”“Mamah belum bertemu dengannya. Kalau Mamah bertemu, Mamah pasti akan menyerah dan lebih memilih untuk menyerahkan urusan jodoh padaku”Nancy cemberut. ia ingin berlari meninggalkan Khalid dan bert
“Kita pulang dulu, Hal. Kita beri kesempatan pada Dzi untuk menenangkan hati dan pikirannya. Kalau semua masalahsudah clear dan hati sudah dingin, kita baru bertindak untuk menemuinya”Khalid diam menelaah kalimat Wildan. Sebenarnya ia masih ingin menemui Dzi dan memeluk tubuhnya erat untuk memberikan rasa nyaman padanya tapi melihat Wildan menarik tangannya, ia tidak memiliki kekuatan untuk menolak.Wildan dan Khalid meninggalkan rumah Dzi dalam diam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing hingga sampai di rumah. Sesampai di rumah, mereka duduk di teras sambil terus mengawasi rumah Dzi yang sepi seperti tak berpenghuni. Khalid berkali-kali mengacak rambutnya, perasaannya benar-benar kacau saat ini. wildan yang melihatnya hanya menggeleng.“Kau adukan semua masalahmu pada Allah, Sahal. Jangan sekali-kali mencari jalan keluar dengan mengadu pada manusia karena mereka sama sekali tidak memiliki solusi terbaik untuk kita”“Ak
“Apakah kau akan tetap di sini atau kembali ke rumah orang tuamu setelah ini?’Khalid memandang Wildan heran. Pertanyaan Wildan benar-benar membuat dirinya frustasi. Ia memang sudah memutuskan untuk tetap tinggal bersamanya di rumah kontrakan, namun ia tidak tahu sampai berapa lama.“Aku akan di sini dulu sampai waktunya tepat untuk pulang”Wildan mengangguk. ia menjadi lega karena saat ada masalah Khalid tetap memilih tinggal bersamanya walau untuk waktu yang tak tahu sampai kapan. Mengenal Khalid adalah anugrah bagi Wildan. Bukan karena dia anak orang kaya atau dia laki-laki sukses di usia yang masih sangat muda. Semua murni karena ia bahagia bisa berbagi masalah dengannya.“Sudah masuk waktu magrib. Kau kumandangkan azan dan aku akan mengembalikan Quran ini ke tempatnya”Wildan terpana mendengar perintah bos arogan.“Kau masih di lingkunganku mengapa arogan seperti itu?”Khalid mengga
Dzi yang sedang frustasi karena hinaan Nancy mengendarai motornya meninggalkan rumah. Hatinya benar-benar hancur menerima kenyataan bahwa dia ditolak oleh ibu dari laki-laki yang dicintainya selama ini. dipermalukan sedemikian rupa oleh wanita yang melahirkan kekasihnya adalah rasa sakit tersendiri baginya.“Yaa Allah, ampunilah aku bila aku sedih karena hinaan manusia padaku. Aku benar-benar sakit hati atas ucapan yang ibunya Sahal ucapkan di hadapan teman-teman remaja masjid, hiks. Ampuni aku karena aku tidak bisa mengendalikan emosi saat ini, hiks”Dzi menyeka air matanya dengan tangan kirinya, sedang tangan kanan ia gunakan untuk memegang kemudi motornya. Sesekali ia kehilangan konsentrasi dan hampir menabrak kendaraan di depannya. Mata Dzi yang kabur karena air mata, membuat dia tidak bisa melihat jalan yang ia lewati.“Hei, kalau sedang menangis jangan naik motor. Kau mau mati karena keteledoranmu hah?”Dzi menoleh ke laki-la