"Mas, pulang sekarang, ya? Yazeed demam tinggi, temenin aku bawa ke dokter." Suara Livia terdengar panik saat menghubungi Hakam –suaminya.
"Ck, kenapa harus aku, sih? Kamu sendiri tau kalau aku lagi kerja, kan?" Hakam berdecak, hati Livia teriris mendengar ucapan suaminya. "Kalau bukan sama kamu, pada siapa lagi aku minta tolong, Mas? Kamu itu ayahnya Yazeed!" tekan Livia dengan suara bergetar menahan marah. "Halah, kamu pergi sendiri aja. Aku lagi banyak kerjaan!" sahut laki-laki itu santai. "Tapi, Mas–" Tut! Panggilan diakhiri oleh Hakam tanpa mau menunggu istrinya bicara. Livia menghempaskan napas kasar, untuk kesekian kalinya Hakam lepas tangan terhadap keadaan putra mereka. Yazeed kembali menangis, Livia tersadar dan langsung menghampiri sang anak yang ia tiduri diatas ranjang. Tubuh bayi berumur 9 bulan itu menggeliat, wajahnya memerah dengan suara tangis melengking. "Ya Allah, Nak. Tenang, ya, Sayang. Kita berangkat berdua saja, mama siapin keperluan kamu dulu." Livia menggendong bayinya dengan kain jarik, kemudian ia bergegas meraih tas kecil dan mulai memasukkan barang yang sekiranya diperlukan. Yazeed masih saja menangis ditengah kesibukan sang mama. Livia berusaha menenangkannya, tapi tetap saja tak mempan. Suhu badan anak itu semakin terasa panas. "Hey! Dasar perempuan bodoh! Mendiamkan anak saja kamu tak becus!" Livia yang tengah berusaha menenangkan Yazeed dikejutkan dengan kedatangan sang mertua. Darah perempuan itu mendidih, disaat dia yang tengah dipusingkan dengan keadaan sang anak, emosinya kembali dipancing oleh sang mertua yang datang dengan marah-marah. "Kalau mama niatnya ke sini cuma buat maki-maki aku, mending sekarang mama pulang!" usir Livia tanpa menoleh, dia masih sibuk menenangkan putranya yang masih menangis. Dania– mertua Livia membelalak mendengar ucapan sang menantu yang terkesan berani. Ada apa dengan menantunya itu? Tak biasanya Livia berani bicara agak kasar padanya. "Sudah berani menjawab kamu sekarang, ya? Dasar menantu durhaka!" Umpat Dania kesal. Livia tak lagi menjawab, kali ini dia memilih meraih tas kecil yang sudah ia siapkan, kemudian menentengnya dan berjalan keluar melewati Dania yang terus menatapnya. Melihat tingkah menantunya, Dania benar-benar dibuat kesal. Dia berjalan cepat kemudian menarik kasar tangan Livia hingga perempuan itu menghentikan langkah. "Apa-apaan, sih, Ma? Lepas!" sentak Livia tak terima. "Mau kemana kamu bawa cucuku, hah?! Kamu nggak liat cuaca lagi panas-panasnya?" Nyinyir Dania. Karena mendengar suara Livia yang agak keras tadi, Hana–kakak iparnya keluar dari rumah yang berada tepat disamping rumah Livia. Wanita single parents itu menghampiri ibu dan adik iparnya. "Ada apa, nih?" tanya wanita itu melirik Livia kemudian ibunya. "Si Livia, nih, mau bawa Yazeed panas-panasan. Udah tau anak lagi nggak enak badan." Dania menyahut sembari menatap Livia sinis. "Yazeed demam tinggi. Kalau aku nggak bawa dia keluar buat berobat sekarang, memangnya kalian mau membantu?" balas Livia tak kalah sinis. Dania dan Hana saling pandang. Keduanya terdiam membuat Livia terkekeh sinis. "Enggak, kan? Jangankan kalian, ayah kandungnya saja tidak peduli. Dia lebih mementingkan pekerjaannya dibanding kesehatan anaknya sendiri. Benar-benar manusia tak punya hati!" sindir Livia. Setelah mengucapkan kalimat itu, Livia langsung melangkahkan kaki dengan cepat. Dia berjalan keluar dari gang rumahnya menuju persimpangan. Sesampainya di sana nanti dia akan menunggu angkutan umum yang akan membawanya ke puskesmas. Sementara itu, Dania dan Hana sama-sama meledak mendengar ucapan Livia tadi. Mereka kesal sebab merasa jika Livia sedang merendahkan mereka dan juga Hakam. "Lihat saja perempuan itu, akan kubuat Hakam marah besar padanya," tekad Hana penuh dendam. * Hampir setengah jam Livia berdiri dipinggir jalan sambil menggendong Yazeed yang sudah tertidur. Teriknya matahari tak mengurungkan niat perempuan itu untuk membawa putranya berobat seorang diri. Livia berteduh dibawah pohon mangga yang lumayan besar, matanya tak henti melihat kearah jalan berharap angkutan yang ia tunggu segera datang. Tin! Tin! Livia yang tengah fokus menyeka keringat yang mengucur di pelipisnya tersentak saat mendengar klakson mobil didepannya. Perempuan itu menyipitkan mata begitu kaca mobil diturunkan. Mata Livia membeliak sempurna begitu menyadari siapa yang duduk dibalik kemudi mobil mewah itu. Dadanya berdentum, terlebih saat seseorang itu turun dan berjalan menghampirinya. "Masuk." Suara datar itu menyentak Livia, perempuan itu mengucek mata seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat."Tenang saja, Pa. Setelah menjadi istri Gheza, aku yakin bisa menguasai semuanya sesuai perintah Papa," ujar Kaluna tersenyum licik.Semua memang sudah direncanakan. Perusahaan milik keluarga Dharmawan sedang goyah, ia tentu butuh banyak suntikan dana demi mempertahankan keutuhan perusahaannya. Kebetulan juga ia mendengar bahwa Ghani sedang mencari menantu dari keluarga pengusaha seperti mereka juga.Sebuah ide langsung mendarat di kepalanya. Rencana licik mulai ia susun, dan itu juga yang membuat Kaluna begitu berambisi mendekati Gheza. Demi menyelamatkan perusahaan keluarga mereka."Kamu benar. Beruntung Pak Ghani mau menerima kita, karena hanya dia yang bisa menyuntikkan dana besar pada perusahaan kita agar tetap stabil." Tawa Dharmawan dan Kaluna menggema.Neni, istri pria itu hanya bisa memaksakan senyum. Sebenarnya ia kurang setuju dengan rencana suami dan anak sambungnya itu, tetapi ia tak punya kuasa. Suaranya tak akan didengar, sarannya tak akan diterima. Sebab selama ini, Ne
"Mbak, aku nggak mau banyak komentar kalo masalah ini. Tapi ... kalau alasan Mbak balik lagi sama papanya Yazeed gara-gara takut merepotkan Mbah dan juga aku, mending pikir-pikir dulu." Alia menanggapi ucapan Livia dengan tenang."Memangnya Mbak yakin dia sudah berubah?" Alia bertanya menatap Livia serius.Livia menghembuskan napas kasar, kemudian menggeleng pelan."Mbak nggak begitu yakin, Al. Walau pun katanya akan membeli rumah baru yang jauh dari keluarganya," jawab Livia."Kalau begitu, Mbak pikir-pikir dulu, deh! Jangan mau menyerahkan hidup untuk laki-laki seperti itu, Mbak. Seumur hidup itu lama, jangan sampai Mbak dan Yazeed kembali sengsara karena ulahnya." Livia mengangguk pelan. Apa yang dikatakan Alia ada benarnya, dia tak hanya butuh uang untuk hidup. Tapi juga kasih sayang serta perhatian tulus dari sang suami demi menjaga kewarasan dirinya.*Hari terus berlalu, rumah dan mobil yang sempat Hakam promosikan di sosial media pada akhirnya menemukan pembelinya. Dengan bera
"Nggak usah! Papa nggak perlu bukti atau apa pun itu. Yang Papa tau, kamu dan Kaluna sama-sama salah!" tepis Ghani membuat Gheza membeliak.Bagaimana bisa pria itu tak mengindahkan pembelaan sang putra? Padahal Gheza tak sekedar membela diri, dia punya bukti yang menunjukkan siapa yang salah.Kaluna menghembuskan napas lega dan tersenyum. Dia melirik Gheza yang tengah menatap tajam ke arahnya. Kaluna tak peduli, biarlah Gheza menganggapnya perempuan rendahan. Yang penting, dia harus berhasil menikah dengan laki-laki itu sesuai permintaan sang Papa."Sudah, kamu lanjutkan kerjaan. Dan kamu ... balik dulu, ya? Mungkin setelah suasana hati Gheza mulai membaik, kalian bisa bertemu lagi." Ghani menoleh dan tersenyum kearah Kaluna. Perempuan itu mengangguk sopan dan langsung pamit undur diri dari sana.Dalam hati, Kaluna bersorak penuh kemenangan. Menaklukkan Gheza memang cukup sulit, tapi ia bisa lewat jalan pintas, yaitu Ghani.Seperginya Kaluna, Ghani menatap Gheza yang memasang tampang
"Gheza! Apa yang sedang kalian lakukan?!" Murka Ghani.Kedatangan sang Papa yang tiba-tiba tentu saja mengejutkan Gheza. Laki-laki itu langsung mendorong Kaluna hingga perempuan itu terjengkang jatuh, sedang dia langsung berdiri gugup sambil merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan.Kaluna mengaduh kesakitan dan segera dibantu berdiri oleh Sahira –sekretaris pribadi Gheza. Ghani sendiri masih berdiri ditempatnya tanpa mengalihkan pandangannya dari sang putra.Tatapan mata pria itu tajam bagai elang, dia murka sebab tak menyangka jika sang putra akan seberani itu dan melakukannya di kantor."Pa, ini semua tidak seperti yang Papa bayangkan," kata Gheza gugup, dia mendekati Ghani yang masih saja menatapnya."Alasan apa yang ingin kamu lontarkan, Gheza? Dengan melihat posisi kalian saja, Papa tau apa yang akan terjadi selanjutnya jika kami tidak segera datang. Iya, kan?!" cemooh Ghani.Kaluna menundukkan wajah, dari gesturnya sengaja ia buat seolah merasa bersalah didepan Ghani. Padah
"Mama? Mama memecat Mbak Livia, Mbok?" tanya Ghaida tak percaya. Masitah hanya mengangguk mengiyakan, setelahnya Ghaida langsung berlari masuk meninggalkan Masitah di sana. Sementara itu, Masitah kembali ke dapur. Ghaida sendiri masuk kedalam sembari memanggil-manggil sang Mama. Nia yang tengah berada didalam kamar pun langsung keluar begitu mendengar panggilan Ghaida. "Ada apa, sih, Ghaida?" gerutu Nia. "Bener Mama mecat Mbak Livia?" Ghaida menatap sang Mama dengan mata berkaca-kaca, Nia tergemap tapi segera bisa menguasai diri. "Iya." Nia mengangguk, Ghaida menghempaskan napas kasar. "Kenapa? Apa salah Mbak Livia, Ma? Apa karena perintah Papa?" cecar Ghaida. "Mbak Livia itu kerja untuk biaya hidup dia dan Yazeed, Ma. Dia butuh kerjaan ini, kenapa Mama tega sekali?" tambah Ghaida lagi. Nia menghempaskan napas pelan, kemudian wanita itu berjalan santai menuju ruang tengah. Ghaida mengekor dibelakang sang Mama, bahkan ikut duduk sesaat setelah Nia menghempaskan bokongnya
"Ta–tapi ... apa salah saya, Nya?" Suara Livia terdengar lirih, mungkin tak menyangka jika hari ini adalah hari terakhir ia bekerja.Nia menggigit bibir, ia tak kuasa menatap wajah Livia maka ia memilih memalingkan wajah. Keputusan itu diluar kendalinya, ia terpaksa melakukan itu demi kebaikan perempuan itu juga."Apa pekerjaan saya kurang memuaskan, Nya? Saya mohon, beri saya satu kesempatan lagi dan saya janji akan memperbaiki semuanya. Sa–saya sangat butuh pekerjaan ini, Nya ... saya ... saya nggak mau bergantung hidup terus sama Si Mbok tanpa membantu sedikit pun." Livia memohon, mencoba merayu sang majikan. Namun, Nia tak sedikit pun menoleh padanya. Wanita itu hanya menggeleng menandakan ia tetap pada keputusannya."Maaf Livia, keputusan saya mungkin mengecewakanmu. Tapi maaf, saya tidak bisa mempertahankan kamu di sini lagi." Nia berusaha tegas.Livia menitikkan air matanya, perempuan itu menunduk dalam sembari memandang amplop cokelat yang diberikan sang majikan. Yazeed yang d