LOGIN"Terimakasih banyak, Gheza." Livia membungkukkan badan, laki-laki bernama Gheza itu tak menjawab. Dia hanya mengangguk sekilas kemudian segera masuk kedalam mobil.
Perlahan, roda empat yang tadi Livia tumpangi meninggalkan pelataran parkir rumah sakit. Livia masih mematung di sana, ia masih tak menyangka jika akan kembali bertemu dengan Gheza dengan keadaan yang terbilang buruk. Rengekan Yazeed menyentak Livia, perempuan itu bergegas membawa anaknya agar segera mendapat penanganan. "Sus, tolong anak saya. Badannya panas banget," ujar Livia panik. Dia membawa Yazeed ke IGD puskesmas agar tak perlu menunggu untuk mendapatkan penanganan. "Baringkan anaknya di sini, ya, Bu. Biar kami periksa dulu," kata dokter menghampiri Livia. Perempuan itu mengangguk dan segera membaringkan Yazeed diatas ranjang. Tangis bayi itu kembali melengking. Livia semakin cemas dibuatnya, dia takut terjadi sesuatu pada Yazeed yang akan membuatnya menyesal seumur hidup. Selagi Yazeed ditangani, Livia memilih duduk di kursi tunggu. Dia hanya bisa berdoa pada Allah agar tak terjadi apa-apa pada putranya. Perlahan, air mata merebak dari kedua sisi matanya. Ia mengingat bagaimana buruknya perlakuan Hakam serta keluarganya padanya dan Yazeed. Keluarga Hakam mengaku sangat menyayangi Yazeed, tapi tak sedikit pun perhatian mereka curahkan pada bayi 9 bulan itu. Mereka hanya fokus pada Hanin dan Hanan, anak kembar Hana. Terlebih mereka sudah tak memiliki ayah, dan menganggap Hakam lah yang pantas menggantikan memberi perhatian pada dua bocah itu. "Bu, anaknya sudah selesai dipasang infus." Perawat yang tadi mendampingi dokter menghampiri Livia yang duduk tak jauh dari ranjang Yazeed. "Ah, ya, terimakasih banyak, Sus." Livia bangkit dan tersenyum tulus. "Ibu pakai BPJS atau mandiri? Kalau mandiri bisa langsung lakukan pembayaran di depan, dan kalau menggunakan BPJS juga bisa langsung ke depan. Nanti ada petugas yang akan membantu untuk pengurusannya," ujar suster itu ramah. "Apa anak saya akan dirawat, Sus?" tanya Livia cemas, pasalnya dia tak membawa barang-barang Yazeed didalam tas. Dan jika menginap, itu artinya dia harus pulang dulu. "Iya, Bu. Kata dokter anak ibu dehidrasi, demamnya juga terlalu tinggi." Livia terdiam mendengarnya. Bagaimana dengan Yazeed jika dia pulang menjemput barang? "Kalau begitu saya permisi dulu, silahkan urus pembayaran agar anak ibu segera mendapat ruangan." Livia mengangguk, kemudian sebelum suster tadi beranjak Livia meminta tolong terlebih dulu agar mau di titipkan Yazeed, sementara ia mengurus pembayaran. * "Mas, Yazeed dirawat. Kamu bisa ke sini sebentar, gantian jagain Yazeed. Biar aku pulang buat ambil barang," kata Livia, dia tengah menelpon Hakam. "Kenapa bisa dirawat, sih? Kamu itu bodoh, bukannya minta obat terus pulang, malah pasrah pas dibilang rawat inap!" omel Hakam diseberang sana. Dia kesal sebab merasa terganggu oleh panggilan sang istri, padahal Livia membawa kabar buruk. "Kalau gini repot, kan, jadinya? Orang lagi banyak kerjaan juga!" Laki-laki itu terus saja mengomel. Dada Livia sesak terasa, disaat genting begini pun Hakam masih tetap keras kepala dan egois. "Mas, aku nggak minta apa-apa. Aku cuma minta kamu datang ke sini buat gantiin aku jaga Yazeed sebentar. Masa itu aja kamu harus marah-marah dulu?" kesal Livia. "Ah, udah lah! Nanti aku ke sana, aku mau selesaikan kerjaan dulu," putus Hakam. "Baiklah, aku tunggu," kata Livia singkat. Hakam tak lagi menjawab, dia hanya bergumam kemudian langsung mematikan panggilan. Livia menghembuskan napas berat, dia menatap putranya yang sudah tertidur dengan infus di tangan. Dada perempuan itu kembali sesak, mengingat sikap suaminya yang tak pernah baik padanya dan Yazeed. Padahal, dulu Hakam berjanji akan selalu di sisi Livia. Tapi, sejak suami Hana meninggal sikap laki-laki itu mulai berubah. Hakam lebih senang di rumah sang ibu, bermain dengan dua keponakan kembarnya dan menghabiskan waktu dengan ibu serta kakak perempuannya. Dulu, Livia memilih Hakam karena suka melihat bagaimana laki-laki itu memperlakukan ibu dan saudara perempuannya dengan sangat baik. Saat itu Livia berpikir jika Hakam pasti juga akan memperlakukan dia sama seperti perlakuannya pada ibu dan kakaknya. Namun, pada kenyataannya semua itu hanya berlaku selama beberapa bulan saja. Perhatian Hakam teralihkan pada Hanin dan Hanan, laki-laki itu memperlakukan kedua keponakannya dengan sangat baik. Sedang pada putranya sendiri, bisa dihitung jari berapa kali ia menggendongnya. Yazeed terbangun dan menangis, dengan cepat Livia meraihnya untuk segera disusui. Suhu badan Yazeed sudah agak turun saat dicek tadi, dan itu cukup membuat Livia sedikit tenang. Livia menyusui Yazeed sambil menunggu kedatangan Hakam. Rencananya, begitu Hakam datang nanti dia akan langsung pulang untuk mengambil beberapa keperluan Yazeed yang tak ia bawa. * Pukul setengah 5 sore pekerjaan Hakam sudah selesai. Laki-laki itu segera membereskan mejanya dan bersiap untuk ke rumah sakit. Begitu kakinya melangkah dari pintu ruangannya, ponsel yang ia simpan di saku berdering. Hakam sempat berdecak, karena dia pikir Livia lagi yang menghubungi. Saat melihat kontak Hana yang tertera di sana ia tak jadi marah. Bahkan dengan cepat ia menggulir tombol hijau, suara Hana langsung menyapa gendang telinganya. "Kamu dimana, Kam? Si kembar minta dibeliin ayam, nih." "Lagi mau jalan ke rumah sakit, nih, Mbak. Kata Livia Yazeed di rawat, jadi dia minta aku datang ke sana. Soalnya dia ada perlu mau ambil barang di rumah. Bilangin si kembar, nanti pas balik dari rumah sakit aja aku belinya, ya?" kata Hakam sambil terus melangkah. Mendengar itu, Hana sedikit kesal. Tapi dia langsung tersenyum saat sebuah ide melintas di kepalanya. "Loh, bukannya dia nggak butuh kita?" Hana mulai melancarkan aksinya. Langkah Hakam terhenti, kening laki-laki itu berkerut mendengar ucapan Hana. "Apa maksudnya, Mbak?" tanya Hakam serius. "Ceritanya panjang. Mending sekarang kamu balik dulu, biar mbak ceritain semuanya. Mbak tunggu di rumah sama mama." Hana langsung mematikan ponselnya tanpa menunggu jawaban Hakam. Laki-laki itu mendesah gusar. Permintaan siapa dulu yang harus ia turuti? Kakaknya, atau istrinya?Setahun setelah pernikahannya dengan Gheza, Livia hidup dalam kedamaian yang tak pernah ia bayangkan. Namun, satu ikatan dari masa lalu masih belum terselesaikan, keluarganya.Saat menikah dengan Gheza, Livia sengaja tak ingin menghubungi Sofian atau pun Karim. Livia dinikahkan oleh wali hakim setelah beberapa kali memohon, permintaannya diterima begitu tau permasalahannya dengan keluarganya.Sejak detik itu juga, Livia tak sedikit pun punya niat untuk bertemu lagi dengan keluarganya, termasuk ibu kandungnya, meski awalnya Livia berniat mencari keberadaan wanita itu.Dia ingin mengubur habis tentang masa lalunya yang pahit. Sebab, setelah menikah dengan Gheza dia hanya ingin merasakan kebahagiaan dengan orang baru tanpa harus melibatkan orang-orang dari masa lalunya.Suatu sore, Livia menerima pesan dari kontak tak dikenal. Pesan itu dari Hernita, ibu kandungnya, yang memohon untuk bertemu. Setelah Gheza dan Nia meyakinkannya, Livia setuju.Awalnya, Livia kaget setengah mati. Kenapa d
Setahun kemudian.Livia dan Gheza menikah secara sederhana, hanya disaksikan oleh Ghani, Nia, Ghaida, Muis, Masitah, dan Alia. Rumah yang dulu dibeli Hakam untuk menjamin keselamatan Livia, kini menjadi rumah bagi tiga anak, Yazeed, Hanan, dan Hanin.Gheza mengajak Livia pindah dan sudah berencana membelikan rumah baru, tapi Livia menolak untuk saat ini. Gheza mengalah, dia memilih tinggal di rumah peninggalan Hakam bersama Livia dan anak-anak.Dania, yang akhirnya mendapat perawatan dan dukungan emosional dari keluarga Gheza, tidak lagi hancur. Ia sering datang mengunjungi cucu kembarnya, meskipun ia masih menjaga jarak dan bungkam di hadapan Livia. Namun, di matanya, ada sedikit rasa terima kasih yang tidak terucapkan.Hana, di penjara, menjalani konsekuensinya. Ia tahu, satu-satunya alasan Hanan dan Hanin hidup nyaman di bawah perlindungan hukum adalah karena kebesaran hati perempuan yang ia benci, Livia.Livia, yang dulunya adalah menantu yang tak pernah mendapat tempat di hati me
Penangkapan Hana dan kehancuran Dania datang seperti hukuman ilahi. Kabar itu menyebar dengan cepat, melenyapkan semua fitnah yang pernah disebar Hana. Kebenaran tentang pekerjaan gelap Hana—pengedaran narkoba dan menjadi simpanan pria beristri—membuat Dania terisolasi total. Kebencian Dania terhadap Livia lenyap, tergantikan oleh rasa malu yang mematikan dan kepedihan melihat putrinya ditahan.Dengan Dania yang bungkam dan Hana di penjara, urusan warisan Hakam berjalan mulus. Livia, didampingi Gheza dan Pak Wibowo, berhasil memastikan semua aset Hakam—rekening bank, asuransi, dan beberapa investasi lain—dialihkan sepenuhnya atas nama Yazeed, yang diwakili oleh Livia.Ghani dan Nia menawarkan bantuan logistik penuh. Mereka bahkan menyarankan agar Dania mendapatkan bantuan hukum untuk kasus Hana, bukan karena iba pada Dania, tetapi demi menjaga citra keluarga besar. Livia, dengan kebesaran hati, setuju untuk mencabut gugatan pencemaran nama baik, asalkan Dania tidak pernah lagi mengusi
Siang itu, di kantor hukum Pak Wibowo, suasana terasa mencekam. Di satu sisi meja, duduk Gheza, Livia didampingi Alia, dan Pak Wibowo, yang terkenal sebagai pengacara yang dingin dan tanpa kompromi. Di sisi lain, Dania dan Hana datang dengan pengacara mereka yang terlihat kurang berpengalaman.Dania mendengus begitu melihat Livia. "Jadi ini pengacara yang kau pamerkan, Livia? Kau pikir kau bisa menakuti kami?"Namun, senyum Dania langsung luntur saat melihat Gheza duduk tegak di sebelah Livia."Gheza?" Dania terkejut. "Apa urusanmu di sini? Bukannya kau sepupu suami Hana?""Justru itu urusanku, Tante Dania," jawab Gheza dingin. "Suami Hana sudah meninggal. Dan sekarang, aku bertindak sebagai penanggung jawab hukum untuk Livia dan Yazeed. Kau sedang berhadapan dengan pengacaraku, bukan hanya Livia."Dania memandang pengacara Livia, Pak Wibowo. Mendengar nama Pak Wibowo saja sudah membuatnya gentar, sebab ia tahu reputasi Pak Wibowo yang tak pernah kalah.Pertemuan itu dimulai dengan Pa
Livia akhirnya menerima tawaran Gheza. Ia tahu risikonya besar—risiko dicap "merebut" Gheza di masa berkabung, risiko Gheza memanfaatkan situasi, dan risiko terbesarnya: keselamatan dan pekerjaan Alia serta Nenek Masitah. Namun, ketegasan Gheza meyakinkannya."Baiklah, Gheza. Aku terima," ujar Livia, tatapannya tegas. "Tapi ini hanya hubungan profesional. Aku butuh perisai hukum. Dan tolong, pastikan Mbah dan Alia aman dari papamu."Gheza tersenyum lembut. "Syarat diterima. Mari kita urus ini."*Malam itu, di rumah mewah keluarga Gheza, suasana tegang menyelimuti meja makan. Ghani telah mendengar kabar burung tentang putranya yang secara terbuka membantu Livia."Jadi, kau berani-beraninya membantu mantan ART yang sudah kita pecat, Gheza?" desis Ghani, suaranya dipenuhi amarah. "Kau bahkan menggunakan pengacara terbaik perusahaan kita untuk urusan sepele seorang janda?"Nia dan Ghaida hanya diam, menyaksikan. Nia tahu Gheza memiliki perasaan yang kuat untuk Livia, dan Ghaida, yang leb
Langkah Livia terhenti di depan pintu pagar. Rasa penasaran itu cepat berganti menjadi ketakutan saat ia melihat Dania dan Hana duduk di kursi teras, seolah mereka adalah pemilik sah tempat itu. Wajah Dania terlihat dingin, sementara Hana menyeringai tipis."Hanya sebulan, sudah berani berjalan-jalan dengan bunga. Duka macam apa itu?" sambut Dania, menghilangkan semua basa-basi.Alia melangkah maju, tangannya menggenggam lengan Livia erat, melindungi. "Bunga itu dari makam Mas Hakam, Tante. Bukan untuk berjalan-jalan."Dania mengabaikan Alia, matanya fokus pada Livia. "Aku sudah tidak sabar lagi, Livia. Kami sudah menunggu cukup lama. Ini waktunya kau angkat kaki dari rumah ini."Livia menyerahkan Yazeed pada Alia, lalu berjalan menuju teras. Ia menanggapi dengan ketenangan yang sudah ia latih selama sebulan terakhir."Aku sudah bilang, Ma. Rumah ini atas namaku. Hukum melindunginya," jawab Livia tegas.Dania berdiri, raut wajahnya menahan amarah yang meletup-letup. "Hukum? Kau pikir







