Share

Dibully

Penulis: Centong ajaib
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-01 09:05:00

'Om, maaf... Aku pergi jogging dulu...'

Govan terdiam sejenak, tangannya gemetar menahan tawa senang. Ternyata keponakannya seniat itu mau diet. 

Govan menaruh kembali kertas itu di atas meja, tak lupa meninggalkan balasaan. 

'Semangat ya :)'

Govan mulai menyiapkan sarapan pagi. Telur dadar, roti panggang, dan segelas kopi hitam untuk dirinya.

Ia baru saja meletakkan sarapan di meja ketika pintu rumah terbuka.

"Hosh… Hosh…"

Govan menoleh dan matanya membulat ketika melihat Nabila memasuki rumah. Gadis itu mengenakan setelan olahraga, kaosnya basah oleh keringat, dan napasnya tersengal-sengal seolah baru berlari berkilometer-kilometer tanpa henti.

"Kamu dari mana saja?" tanya Govan dengan nada terkejut, meletakkan cangkir kopinya di meja.

Nabila melepas jaket olahraganya dan melemparkannya ke sandaran kursi, lalu berjalan ke kulkas dan mengambil sebotol air. Ia meneguknya dengan rakus sebelum menjawab.

"Aku cuman keliling komplek saja, Om." Nabila duduk mengatur nafasnya. Kakinya seakan mati rasa setelah keliling komplek dari jam 4 pagi. 

"Dari jam berapa kamu jogging? Kenapa gak ajak Om?" tanya Govan, alisnya masih berkerut.

"Jam 4 pagi-"

"Prfff... Uhuk... Uhuk... Apa jam 4 pagi?!" Govan tersedak kopi miliknya mendengar perkataan Nabila.

"Hehehe..." Nabila cengengesan menggaruk Kepala yang tidak gatal. 

"Lain kali jangan keluar pagi-pagi buta sendirian. Kalau mau jogging, ajak Om. Om gak keberatan." Govan menghela napas panjang. 

"Baik Om. Tadi aku ingin mengajak Om jogging, tapi aku cuman gak ganggu tidur om saja." Nabila memperbaiki posisi duduknya memainkan jarinya. 

"Kamu ini, kalau om bilang gak keberatan ya gak keberatan, daripada terjadi sesuatu sama kamu, nanti om juga yang susah." Govan memberikan roti tawar yang sudah di beri selai coklat pada Nabila. 

Nabila mengangguk ia mengambil roti itu lalu memakannya. Mereka sarapan seperti biasanya, diselangi obrolan kecil. 

***

Sesuai janji, mereka rutin jogging bersama setiap pagi. Nabila mulai menikmati perubahan kecil yang terjadi dalam dirinya, terutama ketika melihat angka di timbangan mulai turun secara perlahan. Ia semakin bersemangat menjalani pola hidup sehatnya.

Namun, liburannya tak berlangsung selamanya. Saat perkuliahan kembali aktif, Nabila harus menghadapi ketakutannya. 

"Semoga gak terjadi apa-apa hari ini," gunam Nabila meyakinkan dirinya. Dengan berat hati, ia melangkahkan kakinya ke kampus.

Namun semua tak sesuai harapan Nabila, hari pertama kembali ke kampus tidak berjalan mulus. 

Begitu ia tiba, Gisel cewek cantik yang selama ini sering membully dan memalaknya langsung menghadangnya bersama gengnya.

"Eh, lihat siapa yang akhirnya muncul!" Gisel menyeringai sinis. "Kamu kira bisa lolos dari kami setelah nggak transfer uang yang kemarin gue minta?"

Nabila tak sempat menghindar. Tangan Gisel sudah mencengkeram pergelangan tangannya, menyeretnya ke dalam toilet perempuan. Sebelum sempat melawan, tubuhnya disiram dengan air kotor dari ember pel.

"Dasar nyebelin! Kamu pikir bisa ngacangin gue?!" Gisel melampiaskan amarahnya.

Nabila terdiam, tubuhnya gemetar. Napasnya tercekat oleh kejutan dinginnya air dan rasa takut yang perlahan kembali menyelimutinya.

"Cih... Lemah. Makanya lu jadi orang sadar diri masih mending gue mau jadi teman lu, gue minta batuan tapi lu gak nolongin gue. Rasain tuh," cibir Gisel menatapnya dengan seringai puas. 

Nabila terdiam, tubuhnya gemetar. Napasnya tercekat oleh kejutan dinginnya air dan rasa takut yang perlahan kembali menyelimutinya.

Di belakang Gisel, teman-temannya tertawa puas, menikmati penderitaan Nabila seperti tontonan gratis.

Tangan Nabila mengepal. Ia bangkit dengan sekuat tenaga, ia melayangkan pukulan ke wajah Gisel hingga gadis itu terhuyung ke belakang.

"A-Apa?!" Gisel memegang pipinya yang terasa panas akibat pukulan Nabila.

"Aku bukan orang yang bisa kalian hina dan perlakukan seenaknya lagi!" suara Nabila bergetar namun sorot matanya tajam.

Teman-teman Gisel langsung bereaksi, menyerbu Nabila dengan pukulan dan tendangan. Meski sempat melawan, tubuh Nabila kalah jumlah. Ia dihajar habis-habisan hingga terjatuh di lantai toilet yang dingin.

"Gila kaget gue cok!" Maki Gisel ikut menendang Nabila. 

"Sok keren lu, lu kira gue bakal takut hah! Cih..." Gisel meludahi Nabila. 

Dengan napas tersengal dan tubuh penuh luka, Nabila berusaha berdiri, tetapi rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia memaksakan diri untuk berjalan tertatih keluar dari toilet, meninggalkan tawa puas Gisel dan gengnya di belakang.

Hari pertama kuliah yang seharusnya menjadi awal baru baginya justru berakhir dengan luka dan rasa sakit.

"Om..." Nabila bergumam menahan tangis terus berjalan tanpa menghiraukan tatapan para mahasiswa di sekitarnya. 

Saat sampai di gerbang kampus, Nabila berdiri lemah sambil menunggu taksi. Matanya berkunang-kunang, tetapi ia tetap berusaha terlihat tegar.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekatinya.

"Nabila?" Suara seorang pria membuatnya tersentak.

Nabila menoleh, matanya melotot mendapati seorang pria berdiri di belakangnya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menggoda Sang Paman   Ayo tinggal disini

    Esok harinya, langit tampak cerah. Matahari menggantung tinggi saat Govan dan Nabila tiba di rumah besar milik Anes dan, Dian. Rumah dua lantai bergaya klasik itu terletak di sebuah kompleks elit, jauh berbeda dari lingkungan rumah sederhana tempat mereka biasa tinggal.Begitu mobil Govan berhenti di halaman, pintu depan langsung terbuka.“Wah! Sudah datang juga!” seru Dian ramah, melangkah cepat menuruni anak tangga. “Masuk, masuk!”Govan membalas dengan senyum sopan, “Makasih, Dian. Maaf ganggu.”“Apa ganggu? Justru seneng banget kalian mau mampir.” Dian menepuk bahu Govan, lalu menoleh ke arah Nabila. “Dan ini pasti Nabila, ya? Ya ampun, cantik banget sekarang. Kayak bukan anak kecil yang dulu deh.”Nabila hanya tersenyum kecil. “Iya, Om... makasih,” ujarnya pelan.Rasa tidak nyaman la

  • Menggoda Sang Paman   Ngajak nginep? Yg bener aja

    Riang tawa dan denting gelas saling bersahutan di dalam aula megah tempat pesta pernikahan berlangsung. Musik lembut mengalun, tamu-tamu terus berdatangan dan mengisi meja-meja yang disusun rapi.Di meja tengah yang paling dekat ke pelaminan, keluarga besar memusatkan perhatiannya bukan hanya pada pasangan pengantin, tetapi pada sosok lain yang mencuri sorotan, Nabila."Siapa sih tadi cewek cantik yang datang bareng Govan?" bisik seorang tante bermake-up tebal, mencondongkan tubuhnya ke arah sepupu perempuan Anes."Yang bajunya hijau itu? Cantik banget, ya ampun… mukanya kayak artis!" ujar sepupu lain, matanya tak lepas dari sosok Nabila yang kini tengah menyendokkan sup jamur dengan anggun."Aku sempat nanya ke Mbak Retno, katanya itu keponakan Anes, Si Nabila. Yang dibawa Govan dulu…""Tapi masa iya? Bukannya Nabila itu gendut ya, dulu kan waktu kecil dia ge

  • Menggoda Sang Paman   Disangka istri

    Mobil hitam elegan berhenti perlahan di depan gedung pernikahan mewah di pusat kota Bandung. Gedung itu berdiri megah dengan arsitektur modern yang dipadukan dengan sentuhan tradisional, dihiasi oleh lampu kristal yang berkilauan dan karpet merah yang membentang dari pintu masuk hingga ke dalam ballroom.Govan keluar terlebih dahulu, mengenakan setelan jas hitam yang rapi dan elegan. Ia kemudian membuka pintu untuk Nabila, yang melangkah keluar dengan anggun. Gaun hijau zamrud yang dikenakannya tampak berkilau di bawah cahaya matahari, memancarkan aura kemewahan dan keanggunan. Riasan wajahnya yang sempurna menambah pesonanya, membuat siapa pun yang melihatnya terpesona.“Kamu siap?” Govan menoleh sekilas.Nabila mengangguk pelan, meski jari-jarinya masih menggenggam clutch bag erat. “Aku… agak gugup, Om.”“Tenang. Kamu aman bersamaku.&rd

  • Menggoda Sang Paman   Waduh!

    Pagi itu, suasana di kamar rias Puspa dipenuhi dengan hiruk-pikuk persiapan. Para penata rias sibuk menyempurnakan tampilan Puspa yang duduk anggun di depan cermin besar. Gaun pengantin berwarna putih gading dengan detail renda halus membalut tubuhnya, sementara rambutnya ditata dalam sanggul modern yang elegan.Di sudut ruangan Ratu, adik Puspa, tengah mengenakan kebaya seragam berwarna biru pastel yang senada dengan anggota keluarga lainnya. Ia menatap cermin, memastikan setiap detail penampilannya sempurna."Mama, Om Govan dapat baju seragam juga nggak?" tanya Ratu sambil membetulkan antingnya.Anes, sedang duduk di sofa sambil menyeruput teh hangat, melirik Ratu melalui cermin."Nggak, dia nggak dikasih. Lagipula, dia bukan bagian dari keluarga inti kita," jawab Mira dengan nada datar."Tapi dia kan Adik, Mama," ujar Ratu, sedikit bingung. "Keluarga mama yan

  • Menggoda Sang Paman   Untukmu

    Tengah Malam di Kamar Govan.Cahaya laptop menerangi wajah Govan yang duduk bersandar di ranjang. Di meja samping, secangkir kopi sudah dingin. Jam dinding menunjukkan pukul 00.47. Kota sudah terlelap, tapi pikirannya masih berisik.Ia membuka Instagram, sekadar ingin melepas penat setelah seharian bekerja. Jempolnya menggulir layar, lalu berhenti pada sebuah postingan yang memuat potret seorang influencer wanita berdiri anggun dengan gaun berwarna hijau zamrud. Lengan gaun mengembang ringan, pita kecil menghias pinggangnya, dan kainnya jatuh sempurna hingga menutupi betis. Wajah modelnya tersenyum lembut di bawah cahaya sore.Tapi Govan tidak terlalu fokus pada modelnya. Matanya terpaku pada gaun itu. Warnanya, potongannya, keanggunan sederhana yang dibawanya, semuanya terasa... Nabila.Ia terdiam. Jantungnya berdetak lebih kencang tanpa alasan yang bisa

  • Menggoda Sang Paman   Gaun

    Perjalanan dari Jakarta dimulai sejak pukul enam pagi. Nabila duduk di kursi penumpang dengan jaket jeans menutupi tubuhnya, mata memandangi jalanan tol yang mulai dipadati kendaraan lain. Ia belum banyak bicara, hanya sesekali menjawab ringan obrolan Govan.Govan sendiri tampak santai, mengenakan kaus hitam polos dan celana jeans gelap. Tapi sesekali, tatapannya mencuri pandang ke arah Nabila. Gadis itu tampak gugup, dan itu membuatnya ingin menggenggam tangan keponakannya, menenangkan, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi ia hanya bisa menggenggam setir lebih erat.“Ngantuk?” tanya Govan setelah dua jam perjalanan.“Nggak, cuma mikir.” Nabila menggeleng pelan.“Mau cerita?”“Mau sih, tapi takut nanti malah jadi mellow dan bikin Om bad mood.” Nabila tersenyum tipis.“Om nggak bakal

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status