Share

Larangan paman

Penulis: Centong ajaib
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-28 13:15:00

"Nabila, transferin 500k dong. Gue butuh banget nih! Kamu kan baik masa gak mau nolongin aku."

Mata Govan menyipit membaca pesan tersebut, kata-katanya lembut, namun punya niat terselubung. Rahangnya mengeras seiring dengan jemarinya yang mulai menggulir chat ke atas, membaca pesan demi pesan. 

Semakin ia membaca puluhan pesan bernada sama, bahkan ada ancaman, tekanan, bahkan hinaan yang terselubung. 

"Nabila," suara govan rendah, tangannya mengepal kuat, ponsel itu hampir remuk di genggamannya.

"Apa maksud semua ini?" tanya Govan butuh penjelasan. 

Nabila menunduk, menggigit bibirnya. Ia tahu tak ada gunanya berbohong, tapi mulutnya terkunci.

"Om tanya, ini apa?" Govan mengangkat layar ponsel ke hadapan gadis itu, menunjuk deretan pesan yang memenuhi layar.

Nabila tetap diam, ia gak ingin bilang yang sebenarnya dengan Govan, takut kalau govan akan marah. 

Govan semakin kesal melihat sikap diam keponakannya. Ia melemparkan ponsel itu ke sofa dan berdiri, tubuhnya yang lebih tinggi membuat Nabila semakin merasa terpojok.

"Kamu diancam? Dipalak? Sejak kapan?" desaknya.

Nabila tetap tak menjawab.

"Kenapa kamu gak cerita ke Om? Kamu pikir Om bakal diam aja kalau tahu ada yang nyakitin kamu?" Govan menarik napas dalam, berusaha meredam emosinya.

Nabila mendongak, matanya berkaca-kaca. "Aku takut," suaranya lirih. "Dia... dia temanku satu-satunya."

"Teman? Kamu itu dimanfaatin Nabila." Govan mengusap wajah tak habis pikir ponakannya menganggap tukang palak ini temannya. 

"Tapi, Om—"

"Tidak ada tapi tapi!" suara Govan meninggi. "Dengar baik-baik, mulai sekarang kamu janji dengan om, gak akan kasih dia uang lagi, sepeser pun. Jauhi dia dan jangan kontakan lagi dengan dia." 

Nabila mengepalkan jemarinya, ingin membantah. Tapi tatapan tajam Govan membuatnya menelan kembali protesnya.

"Lalu kalau dia marah gimana?" suara Nabila melemah, penuh keraguan.

Govan mengusap wajahnya kasar, sebenarnya ponakannya ini terlalu pintar atau gimana, sampai gak bsa bedain mana teman mana yang bukan teman. 

"Kalau dia marah, bilang ke om." Govan menepuk kedua bahu Nabila dan menatap gadis itu dalam-dalam.

"Om gak akan biarin dia nyakitin kamu," katanya, suaranya lebih lembut tapi penuh ketegasan. "Kalau dia berani macam-macam, Om sendiri yang bakal urus dia."

Nabila menatap Govan, hatinya masih diliputi ketakutan. Tapi ada sesuatu di mata pamannya, sesuatu yang membuatnya merasa sedikit lebih aman.

"Kamu ngerti?" 

Nabila menarik napas dalam, lalu perlahan mengangguk.

"Pintar." Govan tersenyum tipis, lalu mengacak rambut Nabila dengan lembut. 

Nabila mengabaikan chat dari orang itu sesuai perintah Govan, namun pesan-pesan terus berdatangan dari nomor tak dikenal. Meski ia sudah memblokir para pembully dan teman-temannya.

Ancaman demi ancaman terus berdatangan lewat pesan. Isi pesannya semakin kasar, mengejek fisiknya dan bahkan mengancam akan mempermalukan Nabila nantinya. 

"Aduh gimana nih, mereka marah." Nabila panik ia sempat bingung dengan keputusannya. 

Dengan tangan gemetar, Nabila mematikan ponselnya. Ia tidak ingin melihat pesan-pesan itu lagi. Tidak malam ini. 

Nabila merebahkan tubuhnya di kasur, menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Air mata yang tadi ia tahan akhirnya jatuh, membasahi bantal. Ia merasa kecil, tak berdaya. 

"Ih...apaan sih... Hiks... Hiks..." Nabila mengusap air matanya, perasaannya begitu sedih. 

Tanpa disadari, tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah pada kantuk, dan ia pun terlelap.

***

Pagi harinya, Govan bangun lebih awal dari biasanya. Rutinitas paginya dimulai dengan menuju kamar Nabila, berniat membangunkannya untuk joging sesuai janjinya.

"Nabila, ayo bangun, kita-" Govan terdiam begitu pintu kamar Nabila terbuka.

Govan melangkah masuk, matanya menyapu seisi kamar dan tidak mendapati Nabila di mana pun.

"Nabila?" panggilnya, mencoba tetap tenang.

Govan menghela napas, mencoba berpikir jernih. Mungkin Nabila sedang di kamar mandi atau turun ke dapur. Namun, saat ia berbalik hendak keluar, matanya menangkap sesuatu di atas meja belajar.

Sebuah kertas.

Govan mendekat, meraih kertas itu, dan membacanya, tangan yang sedikit bergetar

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menggoda Sang Paman   Ayo tinggal disini

    Esok harinya, langit tampak cerah. Matahari menggantung tinggi saat Govan dan Nabila tiba di rumah besar milik Anes dan, Dian. Rumah dua lantai bergaya klasik itu terletak di sebuah kompleks elit, jauh berbeda dari lingkungan rumah sederhana tempat mereka biasa tinggal.Begitu mobil Govan berhenti di halaman, pintu depan langsung terbuka.“Wah! Sudah datang juga!” seru Dian ramah, melangkah cepat menuruni anak tangga. “Masuk, masuk!”Govan membalas dengan senyum sopan, “Makasih, Dian. Maaf ganggu.”“Apa ganggu? Justru seneng banget kalian mau mampir.” Dian menepuk bahu Govan, lalu menoleh ke arah Nabila. “Dan ini pasti Nabila, ya? Ya ampun, cantik banget sekarang. Kayak bukan anak kecil yang dulu deh.”Nabila hanya tersenyum kecil. “Iya, Om... makasih,” ujarnya pelan.Rasa tidak nyaman la

  • Menggoda Sang Paman   Ngajak nginep? Yg bener aja

    Riang tawa dan denting gelas saling bersahutan di dalam aula megah tempat pesta pernikahan berlangsung. Musik lembut mengalun, tamu-tamu terus berdatangan dan mengisi meja-meja yang disusun rapi.Di meja tengah yang paling dekat ke pelaminan, keluarga besar memusatkan perhatiannya bukan hanya pada pasangan pengantin, tetapi pada sosok lain yang mencuri sorotan, Nabila."Siapa sih tadi cewek cantik yang datang bareng Govan?" bisik seorang tante bermake-up tebal, mencondongkan tubuhnya ke arah sepupu perempuan Anes."Yang bajunya hijau itu? Cantik banget, ya ampun… mukanya kayak artis!" ujar sepupu lain, matanya tak lepas dari sosok Nabila yang kini tengah menyendokkan sup jamur dengan anggun."Aku sempat nanya ke Mbak Retno, katanya itu keponakan Anes, Si Nabila. Yang dibawa Govan dulu…""Tapi masa iya? Bukannya Nabila itu gendut ya, dulu kan waktu kecil dia ge

  • Menggoda Sang Paman   Disangka istri

    Mobil hitam elegan berhenti perlahan di depan gedung pernikahan mewah di pusat kota Bandung. Gedung itu berdiri megah dengan arsitektur modern yang dipadukan dengan sentuhan tradisional, dihiasi oleh lampu kristal yang berkilauan dan karpet merah yang membentang dari pintu masuk hingga ke dalam ballroom.Govan keluar terlebih dahulu, mengenakan setelan jas hitam yang rapi dan elegan. Ia kemudian membuka pintu untuk Nabila, yang melangkah keluar dengan anggun. Gaun hijau zamrud yang dikenakannya tampak berkilau di bawah cahaya matahari, memancarkan aura kemewahan dan keanggunan. Riasan wajahnya yang sempurna menambah pesonanya, membuat siapa pun yang melihatnya terpesona.“Kamu siap?” Govan menoleh sekilas.Nabila mengangguk pelan, meski jari-jarinya masih menggenggam clutch bag erat. “Aku… agak gugup, Om.”“Tenang. Kamu aman bersamaku.&rd

  • Menggoda Sang Paman   Waduh!

    Pagi itu, suasana di kamar rias Puspa dipenuhi dengan hiruk-pikuk persiapan. Para penata rias sibuk menyempurnakan tampilan Puspa yang duduk anggun di depan cermin besar. Gaun pengantin berwarna putih gading dengan detail renda halus membalut tubuhnya, sementara rambutnya ditata dalam sanggul modern yang elegan.Di sudut ruangan Ratu, adik Puspa, tengah mengenakan kebaya seragam berwarna biru pastel yang senada dengan anggota keluarga lainnya. Ia menatap cermin, memastikan setiap detail penampilannya sempurna."Mama, Om Govan dapat baju seragam juga nggak?" tanya Ratu sambil membetulkan antingnya.Anes, sedang duduk di sofa sambil menyeruput teh hangat, melirik Ratu melalui cermin."Nggak, dia nggak dikasih. Lagipula, dia bukan bagian dari keluarga inti kita," jawab Mira dengan nada datar."Tapi dia kan Adik, Mama," ujar Ratu, sedikit bingung. "Keluarga mama yan

  • Menggoda Sang Paman   Untukmu

    Tengah Malam di Kamar Govan.Cahaya laptop menerangi wajah Govan yang duduk bersandar di ranjang. Di meja samping, secangkir kopi sudah dingin. Jam dinding menunjukkan pukul 00.47. Kota sudah terlelap, tapi pikirannya masih berisik.Ia membuka Instagram, sekadar ingin melepas penat setelah seharian bekerja. Jempolnya menggulir layar, lalu berhenti pada sebuah postingan yang memuat potret seorang influencer wanita berdiri anggun dengan gaun berwarna hijau zamrud. Lengan gaun mengembang ringan, pita kecil menghias pinggangnya, dan kainnya jatuh sempurna hingga menutupi betis. Wajah modelnya tersenyum lembut di bawah cahaya sore.Tapi Govan tidak terlalu fokus pada modelnya. Matanya terpaku pada gaun itu. Warnanya, potongannya, keanggunan sederhana yang dibawanya, semuanya terasa... Nabila.Ia terdiam. Jantungnya berdetak lebih kencang tanpa alasan yang bisa

  • Menggoda Sang Paman   Gaun

    Perjalanan dari Jakarta dimulai sejak pukul enam pagi. Nabila duduk di kursi penumpang dengan jaket jeans menutupi tubuhnya, mata memandangi jalanan tol yang mulai dipadati kendaraan lain. Ia belum banyak bicara, hanya sesekali menjawab ringan obrolan Govan.Govan sendiri tampak santai, mengenakan kaus hitam polos dan celana jeans gelap. Tapi sesekali, tatapannya mencuri pandang ke arah Nabila. Gadis itu tampak gugup, dan itu membuatnya ingin menggenggam tangan keponakannya, menenangkan, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi ia hanya bisa menggenggam setir lebih erat.“Ngantuk?” tanya Govan setelah dua jam perjalanan.“Nggak, cuma mikir.” Nabila menggeleng pelan.“Mau cerita?”“Mau sih, tapi takut nanti malah jadi mellow dan bikin Om bad mood.” Nabila tersenyum tipis.“Om nggak bakal

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status