"Hmmm... Na na~" Nabila bersenandung ria memulai membersihkan kamarnya.
Nabila membuka lemari dan mulai mengatur baju-baju barunya. Satu per satu baju lama ia keluarkan, menumpuknya di atas tempat tidur. Govan yang baru saja masuk ke kamarnya mengangkat alis melihat keponakannya yang sibuk memilah-milah pakaian.
"Lagi apa, Bil?" tanya Govan bercanda, bersedekap di ambang pintu.
"Lagi cari harta karun Om." Nabila menanggapi dengan candaan.
"Hahaha... Kirain lagi merakit bom," canda Govan tertawa kecil.
"Ya enggak lah, kan Om liat sendiri. Aku lagi kemas-kemas lemari lah." Nabila mulai bete, mengerucutkan mulutnya.
"Iya iya kan Om bercanda." Govan mendekati Nabila mengusap kepalanya lalu duduk di tepi ranjang.
Namun, setelah setengah jalan, Nabila terdiam menatap tumpukan bajunya yang lama.
"Ini
“Govan bukan pamanmu,” bisik Tante Anes lirih, namun cukup jelas untuk menghentikan detak jantung Nabila seketika.“Maksud Tante apa?” Nabila menoleh cepat, matanya membulat.Anes menyilangkan tangan di dada, menatap Nabila tanpa berkedip.“Dia bukan saudara kandung Tante dan ibumu. Govan itu cuma anak angkat dari almarhum Ayah, kakekmu. Nggak ada hubungan darah sedikit pun antara kalian.” Suaranya tenang, namun tajam. “Jadi... sebenarnya nggak wajar kamu terus-terusan tinggal serumah sama dia.”“Itu... itu nggak benar. Nggak mungkin...” Napas Nabila tercekat. Ia melangkah mundur setapak, seperti baru saja ditampar kenyataan yang tak pernah ia bayangkan.“Dia bukan pamanku?” tanyanya lagi, suara gemetar, seolah berharap ada penyangkalan.Anes justru melangkah pelan mendekat, wajahny
Esok harinya, langit tampak cerah. Matahari menggantung tinggi saat Govan dan Nabila tiba di rumah besar milik Anes dan, Dian. Rumah dua lantai bergaya klasik itu terletak di sebuah kompleks elit, jauh berbeda dari lingkungan rumah sederhana tempat mereka biasa tinggal.Begitu mobil Govan berhenti di halaman, pintu depan langsung terbuka.“Wah! Sudah datang juga!” seru Dian ramah, melangkah cepat menuruni anak tangga. “Masuk, masuk!”Govan membalas dengan senyum sopan, “Makasih, Dian. Maaf ganggu.”“Apa ganggu? Justru seneng banget kalian mau mampir.” Dian menepuk bahu Govan, lalu menoleh ke arah Nabila. “Dan ini pasti Nabila, ya? Ya ampun, cantik banget sekarang. Kayak bukan anak kecil yang dulu deh.”Nabila hanya tersenyum kecil. “Iya, Om... makasih,” ujarnya pelan.Rasa tidak nyaman la
Riang tawa dan denting gelas saling bersahutan di dalam aula megah tempat pesta pernikahan berlangsung. Musik lembut mengalun, tamu-tamu terus berdatangan dan mengisi meja-meja yang disusun rapi.Di meja tengah yang paling dekat ke pelaminan, keluarga besar memusatkan perhatiannya bukan hanya pada pasangan pengantin, tetapi pada sosok lain yang mencuri sorotan, Nabila."Siapa sih tadi cewek cantik yang datang bareng Govan?" bisik seorang tante bermake-up tebal, mencondongkan tubuhnya ke arah sepupu perempuan Anes."Yang bajunya hijau itu? Cantik banget, ya ampun… mukanya kayak artis!" ujar sepupu lain, matanya tak lepas dari sosok Nabila yang kini tengah menyendokkan sup jamur dengan anggun."Aku sempat nanya ke Mbak Retno, katanya itu keponakan Anes, Si Nabila. Yang dibawa Govan dulu…""Tapi masa iya? Bukannya Nabila itu gendut ya, dulu kan waktu kecil dia ge
Mobil hitam elegan berhenti perlahan di depan gedung pernikahan mewah di pusat kota Bandung. Gedung itu berdiri megah dengan arsitektur modern yang dipadukan dengan sentuhan tradisional, dihiasi oleh lampu kristal yang berkilauan dan karpet merah yang membentang dari pintu masuk hingga ke dalam ballroom.Govan keluar terlebih dahulu, mengenakan setelan jas hitam yang rapi dan elegan. Ia kemudian membuka pintu untuk Nabila, yang melangkah keluar dengan anggun. Gaun hijau zamrud yang dikenakannya tampak berkilau di bawah cahaya matahari, memancarkan aura kemewahan dan keanggunan. Riasan wajahnya yang sempurna menambah pesonanya, membuat siapa pun yang melihatnya terpesona.“Kamu siap?” Govan menoleh sekilas.Nabila mengangguk pelan, meski jari-jarinya masih menggenggam clutch bag erat. “Aku… agak gugup, Om.”“Tenang. Kamu aman bersamaku.&rd
Pagi itu, suasana di kamar rias Puspa dipenuhi dengan hiruk-pikuk persiapan. Para penata rias sibuk menyempurnakan tampilan Puspa yang duduk anggun di depan cermin besar. Gaun pengantin berwarna putih gading dengan detail renda halus membalut tubuhnya, sementara rambutnya ditata dalam sanggul modern yang elegan.Di sudut ruangan Ratu, adik Puspa, tengah mengenakan kebaya seragam berwarna biru pastel yang senada dengan anggota keluarga lainnya. Ia menatap cermin, memastikan setiap detail penampilannya sempurna."Mama, Om Govan dapat baju seragam juga nggak?" tanya Ratu sambil membetulkan antingnya.Anes, sedang duduk di sofa sambil menyeruput teh hangat, melirik Ratu melalui cermin."Nggak, dia nggak dikasih. Lagipula, dia bukan bagian dari keluarga inti kita," jawab Mira dengan nada datar."Tapi dia kan Adik, Mama," ujar Ratu, sedikit bingung. "Keluarga mama yan
Tengah Malam di Kamar Govan.Cahaya laptop menerangi wajah Govan yang duduk bersandar di ranjang. Di meja samping, secangkir kopi sudah dingin. Jam dinding menunjukkan pukul 00.47. Kota sudah terlelap, tapi pikirannya masih berisik.Ia membuka Instagram, sekadar ingin melepas penat setelah seharian bekerja. Jempolnya menggulir layar, lalu berhenti pada sebuah postingan yang memuat potret seorang influencer wanita berdiri anggun dengan gaun berwarna hijau zamrud. Lengan gaun mengembang ringan, pita kecil menghias pinggangnya, dan kainnya jatuh sempurna hingga menutupi betis. Wajah modelnya tersenyum lembut di bawah cahaya sore.Tapi Govan tidak terlalu fokus pada modelnya. Matanya terpaku pada gaun itu. Warnanya, potongannya, keanggunan sederhana yang dibawanya, semuanya terasa... Nabila.Ia terdiam. Jantungnya berdetak lebih kencang tanpa alasan yang bisa