Share

Diet

Author: Centong ajaib
last update Last Updated: 2025-02-03 15:31:51

"Nabila?!" suara Govan meninggi, langkahnya cepat menghampiri Nabila yang terduduk di kasur dengan mata bengkak, jantungnya langsung berdegup lebih cepat.

Ia berlutut di depan gadis itu, tangannya langsung menangkup wajah Nabila, menelusuri pipinya yang lembab bekas air mata.

"Kamu habis nangis?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, tapi penuh kekhawatiran. "Kenapa? Ada apa, Bil? Ayo cerita dengan om."

Nabila menggeleng pelan, wajahnya keliatan lelah. Govan menatapnya lama, lalu tanpa ragu, ia menarik Nabila ke dalam pelukannya.

"Kalau ada masalah, cerita sama Om," bisiknya di atas kepala gadis itu. "Jangan dipendam sendiri, nanti sakit."

Nabila menggigit bibir, tubuhnya menegang dalam dekapan pamannya. Ia ingin bercerita. Ingin mengeluarkan semua beban di hatinya.

Tapi ia takut.

Takut terlihat lemah.

Takut kalau Govan akan menganggapnya berlebihan. Jadi, ia hanya diam.

Govan merasakan gadis itu masih kaku dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Nabila dengan lembut, mencoba menenangkan.

"Om di sini, Bil," katanya lagi. "Gak peduli apa pun yang terjadi, Om bakal selalu ada buat kamu."

Saat mendengar itu, akhirnya pertahanan Nabila runtuh. Ia meremas baju Govan, menenggelamkan wajahnya di dada pria itu, dan tanpa bisa dicegah lagi air matanya jatuh.

Tak ada kata hanya tangisan yang pelan yang menyakitkan dan Govan tanpa berkata apa-apa lagi, hanya memeluknya lebih erat.

"Bil?" panggil Govan lembut. 

Nabila mengusap matanya, menahan isakan terakhir sebelum menarik napas panjang.

"Aku baik-baik saja, Om," kata Nabila lirih, meski suaranya masih sedikit bergetar.

Govan menatapnya curiga, tapi ia tak ingin memaksa. Ia hanya menghela napas, lalu mengacak rambut keponakannya dengan lembut.

"Yaudah kalau gak apa-apa jangan nangis lagi, kamu bikin khawatir om." Govan mengusap wajah Nabila lembut. "Ayo sarapan, om mau berangkat kerja. Setelah itu, kamu istirahat."

Nabila mengangguk pelan, mengikuti ajakan pamannya.

Mereka sarapan dalam keheningan. Govan tetap mengawasinya dengan khawatir, tapi memilih tak banyak bicara. Setelah memastikan Nabila makan cukup, Govan berangkat ke kantor, meninggalkannya sendirian di rumah.

"Kalau ada apa-apa, telpon om ya," kata govan sebelum pergi. 

Nabila hanya mengangguk melihat kepergian pamannya, lalu ia duduk diam di sofa ruang tamu. Pikirannya melayang ke kejadian tadi malam, tatapan merendahkan, bisikan-bisikan menusuk, dan ejekan yang membuat dadanya sesak.

"Aku gak mau kayak gini terus," gumamnya mengepalkan tangan

Ia menatap pantulan dirinya di layar televisi yang mati. Sosok gadis dengan tubuh berisi, pipi tembam, dan mata yang masih sembab karena menangis.

"Tidak. Tidak boleh menangis lagi. Aku harus berubah," gumamnya menggeleng pelan. 

Ia tidak ingin diejek terus-menerus. Tidak ingin melihat tatapan iba atau mendengar orang-orang mempertanyakan kenapa Govan selalu bersamanya.

Dan yang paling penting, ia tidak ingin membuat Govan malu.

"AKU HARUS BERUBAH, HARUS DIET!" pekik Nabila dengan tekad membara, mengepalkan tangan ke atas. 

Nabila bangkit dari sofa. Ia mengambil ponselnya, mulai mencari-cari program diet dan olahraga yang cocok untuknya.

Mulai hari ini, semuanya akan berbeda.

***

Langit mulai berwarna jingga saat Govan pulang ke rumah. Suasana rumah terasa lebih sepi dari biasanya. 

Biasanya, Nabila selalu menunggu di ruang tamu, menyapa dengan wajah ceria dan segelas es teh di meja. Tapi kali ini, gadis itu tidak ada di sana.

"Bil," panggil govan pelan mencari keberadaan Nabila. 

Samar-samar terdengar alunan musik kecil dari halaman belakang. Govan mengerutkan kening, penasaran. Dengan langkah santai, ia berjalan ke sana, dan pemandangan yang ia lihat membuatnya terdiam.

Di halaman belakang, Nabila tengah berolahraga. Ia mengenakan sport bra dan celana olahraga ketat, tubuhnya mandi keringat, gerakannya penuh semangat mengikuti irama musik. Matanya fokus, bibirnya sedikit terbuka saat mengatur napas. 

"Nabila?" Govan terkejut melihat keponakannya yang biasanya lebih suka duduk malas-malasan kini berolahraga, ada apakah gerangan? 

Nabila menghentikan gerakannya dan menoleh. Matanya melebar saat melihat Govan berdiri di ambang pintu dengan sekantong jajanan di tangannya.

“KYAAA! PAMAN!” Nabila buru-buru meraih handuk dan menutup wajahnya yang memerah karena malu.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Govan menyeringaI, berjalan mendekat.

 “Lagi olahraga,” kata Nabila mengusap keringat di dahinya, masih berusaha menormalkan napasnya. “Aku mau kurus.”

“Tapi aku bawa jajanan buat kamu.” Govan melirik kantong plastik di tangannya, lalu mengangkatnya ke udara. 

Mata Nabila membulat. Aroma manis dari kantong itu langsung menggoda indra penciumannya. Ia bisa menebak isinya pasti kue-kue favoritnya. Ia menelan ludah, namun dengan cepat menggeleng.

“Gak mau! Aku lagi diet!” katanya tegas.

 “Masa sih? Aku beliin donat isi cokelat, loh. Sama roti keju kesukaanmu.” Govan menaikkan sebelah alis, tersenyum menggoda.

Nabila menggigit bibirnya, tubuhnya seakan ingin maju dan merebut kantong itu. Tapi ia menahan diri. 

“Aku gak boleh makan itu, Paman,” katanya lirih. “Aku diejek di sekolah karena gendut… Aku nggak mau gendut lagi.”

Govan terdiam sejenak, matanya menatap wajah keponakannya yang tampak serius. 

Tiba-tiba, ia tersenyum jahil. 

“Kalau dipaksa, gimana?” Ia mengayunkan kantong jajanan di depan wajah Nabila, seakan-akan menggoda seekor kucing dengan ikan.

 “Paman! Jangan gitu!” Nabila mengerang kesal.

“Oke, oke. Aku dukung kamu diet.” Govan tertawa, lalu mengacak rambut Nabila. 

“Beneran?” Mata Nabila berbinar. 

“Mulai sekarang, aku bantu ngawasin diet kamu. Gak ada makanan manis-manis, dan aku bakal beliin makanan sehat, dan kalau kamu tergoda makan yang nggak sehat, Paman cubit pipi kamu.” Govan mencubit pipi Nabila gemes. 

 “Iiiih... Apaan sih." Nabila tersenyum jengkel, namun hatinya terharu pamannya mendukungnya diet. Dengan cepat, ia memukul dada Govan pelan.

“Tapi kalau kamu sampai pingsan gara-gara kelaperan, aku bakal paksa kamu makan.” Govan tertawa mengejek. 

Nabila mendengus, lalu kembali mengelap keringatnya. Ia percaya diet ini akan berhasil karena govan mendukungnya. 

***

Kryuuuuk... 

Perut Nabila berbunyi pelan, rasa lapar tak tertahankan, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur.

"Wanginya enak," gumam Nabila mencium aroma sedap saat mendekati ruang makan, membuat perutnya semakin protes.

Nabila mempercepat langkahnya, penasaran makanan apa yang sedang dimasak Govan. 

Namun, begitu sampai di meja makan, langkahnya terhenti dan matanya membelalak.

"I... Itu..." Nabila melihat Govan berdiri santai, mengenakan kaos polos dan celana pendek, tangannya sibuk menata piring. 

Tapi yang membuat Nabila tercengang adalah menu makan malamnya, bukan ayam goreng renyah atau steak menggoda seperti yang ia harapkan, melainkan semangkuk besar salad segar dengan potongan ayam panggang tanpa kulit.

"Lapar, ya?" tanya Govan santai, menyeringai saat melihat Nabila yang terpaku di pintu dapur. .

“Paha ayamku mana?” Nabila menelan ludah, matanya masih mencari-cari makanan lain.

 "Kamu lupa? Katanya kamu mau diet. Sekarang Paman yang atur pola makanmu, malam ini kita makan sehat." Govan tertawa kecil, lalu berjalan mendekat dan mencubit pipinya pelan.

 Nabila mendesah kesal, wajahnya memelas. Govan menggeleng, menarik kursi dan menyuruhnya duduk. 

"Udah jangan banyak protes, katanya mau diet." Govan duduk di sebelah Nabila. 

Nabila mendesah, menatap salad di hadapannya seolah itu adalah musuh besar. Namun, begitu ia menyendok sedikit dan memasukkannya ke mulut, ia terkejut. 

Rasanya ternyata enak! Gurihnya ayam panggang bercampur dengan segarnya sayuran, ditambah saus dressing yang pas di lidah.

"Tuh kan, enak, kan?" Govan tersenyum puas melihat ekspresi Nabila yang mulai menikmati makanannya. 

Nabila pura-pura gak dengar, ia melanjutkan mengunyah dengan lahap.  

"Enak gak?" tanya Govan meggoda Nabila.

"Lumayan," katanya dengan mulut penuh.

“Mulai sekarang, kalau lapar tengah malam ngemil buah-buahan saja di kulkas, jangan harap nemu gorengan atau makanan instan di rumah ini.” Govan terkekeh. 

“Paman kejam.” Nabila mendelik. 

"Demi keponakan cantikku juga." Govan mengangkat bahu. 

Pipi Nabila memanas, tapi ia pura-pura fokus pada makanannya. 

"Oh ya makannya jangan banyak-banyak, harus di batasi juga." Govan mengambil mangkuk salad di hadapannya. 

"Eh... Paman!" Nabila merengek merebut mangkuk salad itu dan Govan tertawa puas mengerjai Nabila. 

Govan menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Nabila dengan tatapan jahil. 

“Jadi, kamu benar-benar serius diet ini?” tanyanya, masih menahan tawa.

 “Tentu saja! Aku bakal jadi cantik, Paman akan terpesona nantinya,” kata Nabila yang masih mengunyah saladnya langsung 

Govan terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. 

“Hahaha! Terpesona, katanya!” Govan memegang perutnya sakit. 

“Ih, Paman nggak percaya, ya?” Wajah Nabila langsung memerah, merasa malu karena ucapannya sendiri. Ia mengembangkan pipinya, menatap Govan dengan kesal. 

 “Bukan nggak percaya, Aku cuma penasaran aja. Secantik apa sih keponakanku kalau sudah kurusan nanti?” katanya sambil menahan tawa mengusap kepala Nabila dengan gemas.

 “Tunggu aja! Aku bakal jadi cantik plus tobrut!” Nabila melipat tangan di dada, mendongak dengan penuh percaya diri.

Govan tertawa brutal, wajah Nabila semakin memerah. 

 “Oke, oke. Aku tunggu. Tapi kalau nanti nggak ada perubahan, siap-siap diejek balik.” Govan menggeleng, masih terkekeh.

 “Huh! Lihat aja nanti!” Nabila melotot, wajahnya merah gemes.

Govan tersenyum melihat keponakannya yang penuh semangat. Meskipun ia sudah menganggap Nabila cantik apa adanya, melihat tekad gadis itu untuk berubah membuatnya ingin mendukung sepenuh hati.

“Mau jadi secantik apapun, kamu tetap keponakan kesayanganku.” Govan berucap dengan nada lembut, kali ini tanpa candaan.

Mendengar itu, wajah Nabila makin memerah. Ia berdeham, pura-pura sibuk dengan saladnya. 

“Pokoknya nanti jangan sampai terpesona sama aku, ya!" seru Nabila kepedean. 

 “Kita lihat saja nanti.” Govan terkekeh geli. 

Setelah makan malam selesai, Nabila beranjak dari kursinya dengan perut kenyang. Govan menatapnya dengan senyum jahil.

"Jangan lupa, besok kita olahraga pagi. Jam lima harus udah bangun."

"Hah?! Paman serius?!" Nabila hampir tersedak. 

Govan hanya mengangguk santai, sementara Nabila mengeluh pelan. Tapi sebelum sempat protes lebih jauh, suara notifikasi dari ponsel Nabila berbunyi.

Matanya langsung membulat saat melihat nama yang muncul di layar. Tangan Nabila refleks meraih ponselnya, tapi Govan lebih cepat. Dengan gerakan gesit, ia merebut perangkat itu dari tangan keponakannya. 

"Eh, paman! Balikin!" seru Nabila panik.

Namun, saat Govan melihat isi pesan yang baru masuk, ekspresinya langsung berubah.

Tatapan santainya menghilang. Rahangnya menegang. Ia mengangkat wajahnya, menatap Nabila yang kini berdiri membeku di tempatnya.

"Nabila..." suara Govan terdengar dalam dan berbahaya. "Apa maksudnya ini?"

Nabila menggigit bibir, tubuhnya menegang. Napasnya tertahan di tenggorokan.

Ponsel di tangan Govan masih terbuka, menampilkan satu pesan singkat yang membuat darahnya mendidih.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menggoda Sang Paman   Ayo tinggal disini

    Esok harinya, langit tampak cerah. Matahari menggantung tinggi saat Govan dan Nabila tiba di rumah besar milik Anes dan, Dian. Rumah dua lantai bergaya klasik itu terletak di sebuah kompleks elit, jauh berbeda dari lingkungan rumah sederhana tempat mereka biasa tinggal.Begitu mobil Govan berhenti di halaman, pintu depan langsung terbuka.“Wah! Sudah datang juga!” seru Dian ramah, melangkah cepat menuruni anak tangga. “Masuk, masuk!”Govan membalas dengan senyum sopan, “Makasih, Dian. Maaf ganggu.”“Apa ganggu? Justru seneng banget kalian mau mampir.” Dian menepuk bahu Govan, lalu menoleh ke arah Nabila. “Dan ini pasti Nabila, ya? Ya ampun, cantik banget sekarang. Kayak bukan anak kecil yang dulu deh.”Nabila hanya tersenyum kecil. “Iya, Om... makasih,” ujarnya pelan.Rasa tidak nyaman la

  • Menggoda Sang Paman   Ngajak nginep? Yg bener aja

    Riang tawa dan denting gelas saling bersahutan di dalam aula megah tempat pesta pernikahan berlangsung. Musik lembut mengalun, tamu-tamu terus berdatangan dan mengisi meja-meja yang disusun rapi.Di meja tengah yang paling dekat ke pelaminan, keluarga besar memusatkan perhatiannya bukan hanya pada pasangan pengantin, tetapi pada sosok lain yang mencuri sorotan, Nabila."Siapa sih tadi cewek cantik yang datang bareng Govan?" bisik seorang tante bermake-up tebal, mencondongkan tubuhnya ke arah sepupu perempuan Anes."Yang bajunya hijau itu? Cantik banget, ya ampun… mukanya kayak artis!" ujar sepupu lain, matanya tak lepas dari sosok Nabila yang kini tengah menyendokkan sup jamur dengan anggun."Aku sempat nanya ke Mbak Retno, katanya itu keponakan Anes, Si Nabila. Yang dibawa Govan dulu…""Tapi masa iya? Bukannya Nabila itu gendut ya, dulu kan waktu kecil dia ge

  • Menggoda Sang Paman   Disangka istri

    Mobil hitam elegan berhenti perlahan di depan gedung pernikahan mewah di pusat kota Bandung. Gedung itu berdiri megah dengan arsitektur modern yang dipadukan dengan sentuhan tradisional, dihiasi oleh lampu kristal yang berkilauan dan karpet merah yang membentang dari pintu masuk hingga ke dalam ballroom.Govan keluar terlebih dahulu, mengenakan setelan jas hitam yang rapi dan elegan. Ia kemudian membuka pintu untuk Nabila, yang melangkah keluar dengan anggun. Gaun hijau zamrud yang dikenakannya tampak berkilau di bawah cahaya matahari, memancarkan aura kemewahan dan keanggunan. Riasan wajahnya yang sempurna menambah pesonanya, membuat siapa pun yang melihatnya terpesona.“Kamu siap?” Govan menoleh sekilas.Nabila mengangguk pelan, meski jari-jarinya masih menggenggam clutch bag erat. “Aku… agak gugup, Om.”“Tenang. Kamu aman bersamaku.&rd

  • Menggoda Sang Paman   Waduh!

    Pagi itu, suasana di kamar rias Puspa dipenuhi dengan hiruk-pikuk persiapan. Para penata rias sibuk menyempurnakan tampilan Puspa yang duduk anggun di depan cermin besar. Gaun pengantin berwarna putih gading dengan detail renda halus membalut tubuhnya, sementara rambutnya ditata dalam sanggul modern yang elegan.Di sudut ruangan Ratu, adik Puspa, tengah mengenakan kebaya seragam berwarna biru pastel yang senada dengan anggota keluarga lainnya. Ia menatap cermin, memastikan setiap detail penampilannya sempurna."Mama, Om Govan dapat baju seragam juga nggak?" tanya Ratu sambil membetulkan antingnya.Anes, sedang duduk di sofa sambil menyeruput teh hangat, melirik Ratu melalui cermin."Nggak, dia nggak dikasih. Lagipula, dia bukan bagian dari keluarga inti kita," jawab Mira dengan nada datar."Tapi dia kan Adik, Mama," ujar Ratu, sedikit bingung. "Keluarga mama yan

  • Menggoda Sang Paman   Untukmu

    Tengah Malam di Kamar Govan.Cahaya laptop menerangi wajah Govan yang duduk bersandar di ranjang. Di meja samping, secangkir kopi sudah dingin. Jam dinding menunjukkan pukul 00.47. Kota sudah terlelap, tapi pikirannya masih berisik.Ia membuka Instagram, sekadar ingin melepas penat setelah seharian bekerja. Jempolnya menggulir layar, lalu berhenti pada sebuah postingan yang memuat potret seorang influencer wanita berdiri anggun dengan gaun berwarna hijau zamrud. Lengan gaun mengembang ringan, pita kecil menghias pinggangnya, dan kainnya jatuh sempurna hingga menutupi betis. Wajah modelnya tersenyum lembut di bawah cahaya sore.Tapi Govan tidak terlalu fokus pada modelnya. Matanya terpaku pada gaun itu. Warnanya, potongannya, keanggunan sederhana yang dibawanya, semuanya terasa... Nabila.Ia terdiam. Jantungnya berdetak lebih kencang tanpa alasan yang bisa

  • Menggoda Sang Paman   Gaun

    Perjalanan dari Jakarta dimulai sejak pukul enam pagi. Nabila duduk di kursi penumpang dengan jaket jeans menutupi tubuhnya, mata memandangi jalanan tol yang mulai dipadati kendaraan lain. Ia belum banyak bicara, hanya sesekali menjawab ringan obrolan Govan.Govan sendiri tampak santai, mengenakan kaus hitam polos dan celana jeans gelap. Tapi sesekali, tatapannya mencuri pandang ke arah Nabila. Gadis itu tampak gugup, dan itu membuatnya ingin menggenggam tangan keponakannya, menenangkan, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi ia hanya bisa menggenggam setir lebih erat.“Ngantuk?” tanya Govan setelah dua jam perjalanan.“Nggak, cuma mikir.” Nabila menggeleng pelan.“Mau cerita?”“Mau sih, tapi takut nanti malah jadi mellow dan bikin Om bad mood.” Nabila tersenyum tipis.“Om nggak bakal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status