"Nabila?!" suara Govan meninggi, langkahnya cepat menghampiri Nabila yang terduduk di kasur dengan mata bengkak, jantungnya langsung berdegup lebih cepat.
Ia berlutut di depan gadis itu, tangannya langsung menangkup wajah Nabila, menelusuri pipinya yang lembab bekas air mata.
"Kamu habis nangis?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, tapi penuh kekhawatiran. "Kenapa? Ada apa, Bil? Ayo cerita dengan om."
Nabila menggeleng pelan, wajahnya keliatan lelah. Govan menatapnya lama, lalu tanpa ragu, ia menarik Nabila ke dalam pelukannya.
"Kalau ada masalah, cerita sama Om," bisiknya di atas kepala gadis itu. "Jangan dipendam sendiri, nanti sakit."
Nabila menggigit bibir, tubuhnya menegang dalam dekapan pamannya. Ia ingin bercerita. Ingin mengeluarkan semua beban di hatinya.
Tapi ia takut.
Takut terlihat lemah.
Takut kalau Govan akan menganggapnya berlebihan. Jadi, ia hanya diam.
Govan merasakan gadis itu masih kaku dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Nabila dengan lembut, mencoba menenangkan.
"Om di sini, Bil," katanya lagi. "Gak peduli apa pun yang terjadi, Om bakal selalu ada buat kamu."
Saat mendengar itu, akhirnya pertahanan Nabila runtuh. Ia meremas baju Govan, menenggelamkan wajahnya di dada pria itu, dan tanpa bisa dicegah lagi air matanya jatuh.
Tak ada kata hanya tangisan yang pelan yang menyakitkan dan Govan tanpa berkata apa-apa lagi, hanya memeluknya lebih erat.
"Bil?" panggil Govan lembut.
Nabila mengusap matanya, menahan isakan terakhir sebelum menarik napas panjang.
"Aku baik-baik saja, Om," kata Nabila lirih, meski suaranya masih sedikit bergetar.
Govan menatapnya curiga, tapi ia tak ingin memaksa. Ia hanya menghela napas, lalu mengacak rambut keponakannya dengan lembut.
"Yaudah kalau gak apa-apa jangan nangis lagi, kamu bikin khawatir om." Govan mengusap wajah Nabila lembut. "Ayo sarapan, om mau berangkat kerja. Setelah itu, kamu istirahat."
Nabila mengangguk pelan, mengikuti ajakan pamannya.
Mereka sarapan dalam keheningan. Govan tetap mengawasinya dengan khawatir, tapi memilih tak banyak bicara. Setelah memastikan Nabila makan cukup, Govan berangkat ke kantor, meninggalkannya sendirian di rumah.
"Kalau ada apa-apa, telpon om ya," kata govan sebelum pergi.
Nabila hanya mengangguk melihat kepergian pamannya, lalu ia duduk diam di sofa ruang tamu. Pikirannya melayang ke kejadian tadi malam, tatapan merendahkan, bisikan-bisikan menusuk, dan ejekan yang membuat dadanya sesak.
"Aku gak mau kayak gini terus," gumamnya mengepalkan tangan
Ia menatap pantulan dirinya di layar televisi yang mati. Sosok gadis dengan tubuh berisi, pipi tembam, dan mata yang masih sembab karena menangis.
"Tidak. Tidak boleh menangis lagi. Aku harus berubah," gumamnya menggeleng pelan.
Ia tidak ingin diejek terus-menerus. Tidak ingin melihat tatapan iba atau mendengar orang-orang mempertanyakan kenapa Govan selalu bersamanya.
Dan yang paling penting, ia tidak ingin membuat Govan malu.
"AKU HARUS BERUBAH, HARUS DIET!" pekik Nabila dengan tekad membara, mengepalkan tangan ke atas.
Nabila bangkit dari sofa. Ia mengambil ponselnya, mulai mencari-cari program diet dan olahraga yang cocok untuknya.
Mulai hari ini, semuanya akan berbeda.
***
Langit mulai berwarna jingga saat Govan pulang ke rumah. Suasana rumah terasa lebih sepi dari biasanya.
Biasanya, Nabila selalu menunggu di ruang tamu, menyapa dengan wajah ceria dan segelas es teh di meja. Tapi kali ini, gadis itu tidak ada di sana.
"Bil," panggil govan pelan mencari keberadaan Nabila.
Samar-samar terdengar alunan musik kecil dari halaman belakang. Govan mengerutkan kening, penasaran. Dengan langkah santai, ia berjalan ke sana, dan pemandangan yang ia lihat membuatnya terdiam.
Di halaman belakang, Nabila tengah berolahraga. Ia mengenakan sport bra dan celana olahraga ketat, tubuhnya mandi keringat, gerakannya penuh semangat mengikuti irama musik. Matanya fokus, bibirnya sedikit terbuka saat mengatur napas.
"Nabila?" Govan terkejut melihat keponakannya yang biasanya lebih suka duduk malas-malasan kini berolahraga, ada apakah gerangan?
Nabila menghentikan gerakannya dan menoleh. Matanya melebar saat melihat Govan berdiri di ambang pintu dengan sekantong jajanan di tangannya.
“KYAAA! PAMAN!” Nabila buru-buru meraih handuk dan menutup wajahnya yang memerah karena malu.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Govan menyeringaI, berjalan mendekat.
“Lagi olahraga,” kata Nabila mengusap keringat di dahinya, masih berusaha menormalkan napasnya. “Aku mau kurus.”
“Tapi aku bawa jajanan buat kamu.” Govan melirik kantong plastik di tangannya, lalu mengangkatnya ke udara.
Mata Nabila membulat. Aroma manis dari kantong itu langsung menggoda indra penciumannya. Ia bisa menebak isinya pasti kue-kue favoritnya. Ia menelan ludah, namun dengan cepat menggeleng.
“Gak mau! Aku lagi diet!” katanya tegas.
“Masa sih? Aku beliin donat isi cokelat, loh. Sama roti keju kesukaanmu.” Govan menaikkan sebelah alis, tersenyum menggoda.
Nabila menggigit bibirnya, tubuhnya seakan ingin maju dan merebut kantong itu. Tapi ia menahan diri.
“Aku gak boleh makan itu, Paman,” katanya lirih. “Aku diejek di sekolah karena gendut… Aku nggak mau gendut lagi.”
Govan terdiam sejenak, matanya menatap wajah keponakannya yang tampak serius.
Tiba-tiba, ia tersenyum jahil.
“Kalau dipaksa, gimana?” Ia mengayunkan kantong jajanan di depan wajah Nabila, seakan-akan menggoda seekor kucing dengan ikan.
“Paman! Jangan gitu!” Nabila mengerang kesal.
“Oke, oke. Aku dukung kamu diet.” Govan tertawa, lalu mengacak rambut Nabila.
“Beneran?” Mata Nabila berbinar.
“Mulai sekarang, aku bantu ngawasin diet kamu. Gak ada makanan manis-manis, dan aku bakal beliin makanan sehat, dan kalau kamu tergoda makan yang nggak sehat, Paman cubit pipi kamu.” Govan mencubit pipi Nabila gemes.
“Iiiih... Apaan sih." Nabila tersenyum jengkel, namun hatinya terharu pamannya mendukungnya diet. Dengan cepat, ia memukul dada Govan pelan.
“Tapi kalau kamu sampai pingsan gara-gara kelaperan, aku bakal paksa kamu makan.” Govan tertawa mengejek.
Nabila mendengus, lalu kembali mengelap keringatnya. Ia percaya diet ini akan berhasil karena govan mendukungnya.
***
Kryuuuuk...
Perut Nabila berbunyi pelan, rasa lapar tak tertahankan, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur.
"Wanginya enak," gumam Nabila mencium aroma sedap saat mendekati ruang makan, membuat perutnya semakin protes.
Nabila mempercepat langkahnya, penasaran makanan apa yang sedang dimasak Govan.
Namun, begitu sampai di meja makan, langkahnya terhenti dan matanya membelalak.
"I... Itu..." Nabila melihat Govan berdiri santai, mengenakan kaos polos dan celana pendek, tangannya sibuk menata piring.
Tapi yang membuat Nabila tercengang adalah menu makan malamnya, bukan ayam goreng renyah atau steak menggoda seperti yang ia harapkan, melainkan semangkuk besar salad segar dengan potongan ayam panggang tanpa kulit.
"Lapar, ya?" tanya Govan santai, menyeringai saat melihat Nabila yang terpaku di pintu dapur. .
“Paha ayamku mana?” Nabila menelan ludah, matanya masih mencari-cari makanan lain.
"Kamu lupa? Katanya kamu mau diet. Sekarang Paman yang atur pola makanmu, malam ini kita makan sehat." Govan tertawa kecil, lalu berjalan mendekat dan mencubit pipinya pelan.
Nabila mendesah kesal, wajahnya memelas. Govan menggeleng, menarik kursi dan menyuruhnya duduk.
"Udah jangan banyak protes, katanya mau diet." Govan duduk di sebelah Nabila.
Nabila mendesah, menatap salad di hadapannya seolah itu adalah musuh besar. Namun, begitu ia menyendok sedikit dan memasukkannya ke mulut, ia terkejut.
Rasanya ternyata enak! Gurihnya ayam panggang bercampur dengan segarnya sayuran, ditambah saus dressing yang pas di lidah.
"Tuh kan, enak, kan?" Govan tersenyum puas melihat ekspresi Nabila yang mulai menikmati makanannya.
Nabila pura-pura gak dengar, ia melanjutkan mengunyah dengan lahap.
"Enak gak?" tanya Govan meggoda Nabila.
"Lumayan," katanya dengan mulut penuh.
“Mulai sekarang, kalau lapar tengah malam ngemil buah-buahan saja di kulkas, jangan harap nemu gorengan atau makanan instan di rumah ini.” Govan terkekeh.
“Paman kejam.” Nabila mendelik.
"Demi keponakan cantikku juga." Govan mengangkat bahu.
Pipi Nabila memanas, tapi ia pura-pura fokus pada makanannya.
"Oh ya makannya jangan banyak-banyak, harus di batasi juga." Govan mengambil mangkuk salad di hadapannya.
"Eh... Paman!" Nabila merengek merebut mangkuk salad itu dan Govan tertawa puas mengerjai Nabila.
Govan menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Nabila dengan tatapan jahil.
“Jadi, kamu benar-benar serius diet ini?” tanyanya, masih menahan tawa.
“Tentu saja! Aku bakal jadi cantik, Paman akan terpesona nantinya,” kata Nabila yang masih mengunyah saladnya langsung
Govan terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha! Terpesona, katanya!” Govan memegang perutnya sakit.
“Ih, Paman nggak percaya, ya?” Wajah Nabila langsung memerah, merasa malu karena ucapannya sendiri. Ia mengembangkan pipinya, menatap Govan dengan kesal.
“Bukan nggak percaya, Aku cuma penasaran aja. Secantik apa sih keponakanku kalau sudah kurusan nanti?” katanya sambil menahan tawa mengusap kepala Nabila dengan gemas.
“Tunggu aja! Aku bakal jadi cantik plus tobrut!” Nabila melipat tangan di dada, mendongak dengan penuh percaya diri.
Govan tertawa brutal, wajah Nabila semakin memerah.
“Oke, oke. Aku tunggu. Tapi kalau nanti nggak ada perubahan, siap-siap diejek balik.” Govan menggeleng, masih terkekeh.
“Huh! Lihat aja nanti!” Nabila melotot, wajahnya merah gemes.
Govan tersenyum melihat keponakannya yang penuh semangat. Meskipun ia sudah menganggap Nabila cantik apa adanya, melihat tekad gadis itu untuk berubah membuatnya ingin mendukung sepenuh hati.
“Mau jadi secantik apapun, kamu tetap keponakan kesayanganku.” Govan berucap dengan nada lembut, kali ini tanpa candaan.
Mendengar itu, wajah Nabila makin memerah. Ia berdeham, pura-pura sibuk dengan saladnya.
“Pokoknya nanti jangan sampai terpesona sama aku, ya!" seru Nabila kepedean.
“Kita lihat saja nanti.” Govan terkekeh geli.
Setelah makan malam selesai, Nabila beranjak dari kursinya dengan perut kenyang. Govan menatapnya dengan senyum jahil.
"Jangan lupa, besok kita olahraga pagi. Jam lima harus udah bangun."
"Hah?! Paman serius?!" Nabila hampir tersedak.
Govan hanya mengangguk santai, sementara Nabila mengeluh pelan. Tapi sebelum sempat protes lebih jauh, suara notifikasi dari ponsel Nabila berbunyi.
Matanya langsung membulat saat melihat nama yang muncul di layar. Tangan Nabila refleks meraih ponselnya, tapi Govan lebih cepat. Dengan gerakan gesit, ia merebut perangkat itu dari tangan keponakannya.
"Eh, paman! Balikin!" seru Nabila panik.
Namun, saat Govan melihat isi pesan yang baru masuk, ekspresinya langsung berubah.
Tatapan santainya menghilang. Rahangnya menegang. Ia mengangkat wajahnya, menatap Nabila yang kini berdiri membeku di tempatnya.
"Nabila..." suara Govan terdengar dalam dan berbahaya. "Apa maksudnya ini?"
Nabila menggigit bibir, tubuhnya menegang. Napasnya tertahan di tenggorokan.
Ponsel di tangan Govan masih terbuka, menampilkan satu pesan singkat yang membuat darahnya mendidih.
Sinar matahari siang menyelinap masuk melalui celah tirai kantor Wisnu. Ruangannya yang biasanya tenang kini terasa seperti ruang pengadilan. Di hadapannya, tergeletak selembar foto hasil cetakan digital yang memuat adegan yang tak seharusnya terjadi, setidaknya menurut pandangannya sebagai kakak.Foto itu menangkap Govan dan Laras sedang berciuman. Sudut pengambilan yang jelas, pencahayaan yang cukup terang, dan wajah keduanya yang terpampang jelas.Wisnu mengepalkan tangan.“Apa-apaan ini…” gumamnya, nyaris seperti geraman binatang buas yang terluka.Matanya menyipit menatap wajah Govan dalam foto itu. Lelaki itu memang terlihat ragu, tapi jelas tak menolak. Sementara Laras… terlihat tersipu, tapi bahagia. Dan itu yang membuat Wisnu semakin membara."Dasar curut sudah berani menyentuh adikku." Wisnu menghentak meja, me
Keesokan harinya, di kantor...Govan menatap layar laptopnya dengan mata sembab. Semalaman ia tidak bisa tidur. Ciuman itu terus terbayang. Senyum Laras, mata Laras, tangan Laras yang hangat semuanya membuat pikirannya kabur.“Pak Govan,” suara lembut menyapa dari pintu.Govan menoleh. Laras berdiri di sana, mengenakan blouse hijau tua dan rok pensil hitam yang membingkai tubuhnya dengan elegan.“Istirahat yuk, makan siang bareng,” ajak Laras sambil tersenyum.Govan menggeleng pelan. “Aku nggak bisa. Masih banyak kerjaan. Deadline laporan evaluasi harus kelar sebelum jam tiga.”Laras melangkah masuk, mendekat ke meja. “Tapi Pak… eh, Govan, dari tadi belum makan apa-apa. Nanti sakit, lho.”“Aku baik-baik aja. Nanti juga makan.” Govan tersenyum lelah.
Beberapa hari setelahnya.Govan mencoba mengalihkan pikirannya. Ia memperbanyak jam kerja, memperpanjang rapat, dan bahkan mulai meluangkan lebih banyak waktu untuk bersama Laras. Malam itu, mereka baru saja selesai makan malam di sebuah restoran tepi kota tempat yang tenang dengan lampu temaram dan alunan musik jazz lembut.Suasana di mobil saat perjalanan pulang begitu berbeda. Tidak lagi penuh canggung seperti pertemuan pertama mereka. Laras tampak lebih santai, bahkan beberapa kali tertawa kecil dengan candaan Govan. Tapi entah kenapa, malam itu ada ketegangan yang aneh mengalir di antara mereka.Mobil berhenti perlahan di depan rumah Laras. Govan mematikan mesin.“Terima kasih sudah traktir makan malamnya,” ucap Laras sambil menoleh, senyumnya hangat.“Sama-sama. Aku senang bisa ajak kamu keluar,” balas Govan.
Mall sore itu cukup ramai. Suasana gerai pakaian penuh pengunjung. Laras berjalan percaya diri memasuki butik branded, disambut pegawai dengan senyum ramah."Van, kamu temenin aku ya. Biar aku nggak salah pilih," katanya sambil menggandeng lengan Govan.Nabila hanya berjalan di belakang mereka, seperti bayangan. Ia menggigit bibir, melihat tangan Laras bergelayut manja di lengan pamannya. Perasaan tidak nyaman berkecamuk di dadanya."Yang ini kayaknya bagus deh," Laras mengambil satu kemeja biru pastel. "Gimana menurutmu, Van?""Cocok. Warna itu bikin kamu kelihatan lebih dewasa." Govan mengangguk kecil ia lupa kalau dia sedang bersama Laras bukan Nabila."Dewasa? Kamu bilang aku kekanak-kanakan dong selama ini?" Laras terkekeh."Bukan gitu maksudnya. Maksudnya... lebih profesional." Govan salah tingkah.Nabila m
Siang itu, untuk pertama kalinya Laras melangkahkan kaki ke rumah Govan.Mobil berwarna putih berhenti rapi di depan gerbang. Laras turun sambil membawa sebuah kotak kecil berisi oleh-oleh. Senyumnya manis saat melihat rumah tempat atasannya tinggal.“Ini rumahnya, kelihatan asri sekali ya,” kata Laras antusias, matanya menelusuri halaman depan yang penuh pot bunga.Laras berjalan menuju pintu, tangannya yang lentik memencet bel.Ting tong...Tak lama pintu depan terbuka dari dalam, menampilkan sosok Nabila yang berdiri diam di ambang pintu.Gadis itu sempat menegang saat melihat siapa tamu pamannya. Namun, ia cepat-cepat menarik napas, memperbaiki raut wajahnya, dan memaksa senyum ramah.“Selamat pagi,” sapa Laras sopan."Pagi." Nabila tersenyum ramah. “Silakan masuk, Mbak laras.&rdq
Govan terdiam. Jawaban itu menyayat. Ia memang menjaga jarak dengan nabila akhir-akhir ini, apalagi dirinya sudah punya pacar.“Om juga bisa kasih itu. Tapi bukan... Bukan begitu caranya, Bil.” Tapi ia tetap mencoba mengendalikan dirinya.“Caranya gimana?” bisik Nabila, menggoda. “Om peluk aku tiap malam?”“NABILAA!!” Govan berseru setengah panik, lalu bangkit dari sofa, menjauh dengan ekspresi frustasi. Ia berjalan mondar-mandir sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. “Astaga... ini anak kenapa makin hari makin gila?”Nabila tertawa puas melihat pamannya kalang kabut. Ia berdiri, melangkah pelan ke arahnya, lalu berdiri di belakang punggung Govan. Suaranya menurun lembut. “Om cemburu, ya?”Govan memutar badan cepat. “Cemburu? Enggak. Ini bukan tentang cemburu. In