Home / Romansa / Menggodamu Hingga Takluk Padaku / 1. Pemakaman Ayah dan Permintaan Ibu

Share

Menggodamu Hingga Takluk Padaku
Menggodamu Hingga Takluk Padaku
Author: Black Aurora

1. Pemakaman Ayah dan Permintaan Ibu

Author: Black Aurora
last update Last Updated: 2025-08-04 13:00:51

Hujan turun dengan pelan, mengguyur seluruh kompleks pemakaman yang luas dan mewah milik keluarga Asher.

Suara payung yang beradu dengan angin seperti ikut meratapi kepergian seorang pria yang dulunya menjadi kepala keluarga.

“Akhirnya kamu datang juga,” bisik suara yang sangat dikenalnya.

Calla pun serta-merta menoleh.

Ia melihat Marissa, ibunya, berdiri di sampingnya dengan payung warna merah menyala. Seketika Calla mengernyit melihat warna yang terlalu mencolok untuk suasana berkabung.

Lima tahun tak bertemu dengan Marissa, namun Calla sama sekali tidak ingin memeluknya seperti seorang putri yang merindukan ibunya.

Tidak, karena hubungan mereka tidak seperti hubungan ibu dan anak pada umumnya. Tidak ada kasih sayang, rindu, apalagi cinta.

“Bagaimanapun dia adalah ayah tiriku,” jawab Calla pelan, seraya menatap nisan yang belum tertancap.

Pria yang dimakamkan hari ini adalah ayah tiri Calla, atau suami kedua dari ibunya.

Calla berdiri tegak di balik payung hitamnya, mengenakan dress hitam sederhana namun membuat warna kulitnya yang pucat semakin tampak mempesona.

Rambut panjangnya yang merah ikal dibiarkan terurai di punggung.

Wajahnya dingin tak menampakkan duka, hanya sedikit kerutan di keningnya setiap kali melihat orang-orang datang dan meliriknya seolah ia adalah tamu asing.

Sudah lima tahun sejak ia pergi dari keluarga ini untuk hidup mandiri di kota lain.

Lima tahun sejak ia memutuskan menjauh dari keluarga yang terasa terlalu "rumit".

Namun hari ini dia kembali, meskipun alasannya hanya untuk menghadiri pemakaman ayah tirinya.

Marissa tertawa sinis, lalu tiba-tiba saja menggamit lengan putrinya dan menariknya menjauh dari kerumunan pelayat.

Mereka lalu berhenti di bawah pohon besar yang rimbun, tempat suara hujan sedikit mereda.

“Calla, Sayangku,” ucap Marissa dengan suara rendah namun tajam.

“Dengarkan ibumu baik-baik. Sudahi semua 'petualanganmu' itu, Sayang. Ayah tirimu sudah tiada, jadi sepertinya kamu harus mulai lebih peduli dengan keluarga ini, Calla."

"Untuk apa?" desis Calla pelan dan muram. "Bukankah keluarga ini juga tak pernah peduli padaku?"

'Tak ada yang peduli padaku bahkan jika aku mati, termasuk ibu', imbuh Calla dalam hati dengan nada getir.

"Jangan berkata omong-kosong. Kamu tahu jika ibu sangat peduli." Marissa berdecak pelan, lalu melanjutkan kembali perkataannya seolah tak sabar.

"Kamu harus tahu jika Dylan berniat menguasai seluruh warisan, Calla. Kita harus bersatu untuk mencegahnya."

Calla menghela napas pelan seraya menatap wanita yang masih tampak cantik dan elegan meski telah berusia 50 tahun.

Ibunya memiliki rambut pirang lembut dan bola mata hijau yang cantik, sangat berbeda dengannya yang berambut merah dan warna mata biru. Calla memang lebih mirip dengan almarhum ayah kandungnya.

"Dylan memang berhak atas warisan itu, ibu. Dia adalah satu-satunya anak kandung Tuan Steven Asher," sahut Calla seraya mengedikkan bahu tak peduli.

Ibunya selalu saja ribut masalah harta, ia bosan sekali membahasnya.

"'Ayah', Calla. Bukan 'Tuan Asher!'" hardik Marissa kesal, karena sejak dulu Calla memang enggan mengakui suami keduanya itu sebagai ayah sambungnya.

"Baiklah, ibu akan langsung to the point denganmu! Calla, kamu harus mulai mendekati Dylan. Goda dia. Buat dia bertekuk lutut atau bahkan tergila-gila padamu, kalau perlu.”

Untuk beberapa saat, Calla terdiam mematung. Ia mengira salah dengar, hingga akhirnya memalingkan wajah dan menatap ibunya dengan kening berkerut.

"Apa ini? Ibu bercanda, kan?"

Marissa menggeleng tegas. "Seperti katamu tadi, Dylan adalah pewaris tunggal. Tapi ibu juga berhak, sama denganmu juga! Kamu mau kita diusir dari Mansion Keluarga Asher begitu saja setelah ayah tirimu meninggal?" tandas tegas Marissa.

Calla tak bereaksi, ia masih menunjukkan wajah yang datar.

Toh selama ini ia hanya hidup dengan bermodalkan kekuatannya sendiri, tanpa menggunakan nama Asher sama sekali.

Bahkan Calla melamar pekerjaan menggunakan nama keluarga ayah kandungnya, yaitu Rivera.

“Dylan itu kakak tiriku, bu." Calla menghela napas pelan, menyadari posisinya yang tidak mudah karena ibunya adalah sosok yang gigih dan pantang menyerah jika sudah memiliki keinginan.

"Lagipula aku tidak akan pernah bisa melakukannya," imbuh Calla lagi.

Ia hendak melangkah pergi, namun Marissa mencengkram lengannya dengan kuat dan membuat Calla mengernyit sakit.

"Kenapa? Karena kamu sudah memiliki kekasih? Kamu kira Knox Bennet itu bisa menghidupi kita dengan karir modelling-nya yang hanya segelintir, dibandingkan seluruh kekayaan keluarga Asher?!" sambar Marissa dengan sorot berapi-api.

Calla tak suka mendengar ibunya yang seolah meremehkan Knox, padahal justru karir pria itu sedang melambung di dunia runway.

Lagipula, Calla lebih merasa terhormat menjadi kekasih dari seorang pekerja keras seperti Knox, dibandingkan harus menggoda pria lain yang juga kakak tirinya!

Dylan. Bahkan baru menyebut namanya dalam hati saja sudah membuat Calla merinding.

Dylan tak pernah menyukainya sejak dulu. Pria itu selalu bersikap dingin, mengintimidasi, dan sinis padanya.

Calla bahkan enggan untuk berada di jarak dekat dengannya, dan kini tiba-tiba saja ibunya melontarkan ide gila itu?

Perlahan Calla melepaskan cengkeraman kuku tajam berkuteks merah menyala Marissa, yang juga telah menggores kulitnya hingga berdarah.

"Maaf, ibu. Aku hanya mampir sebentar ke Southampton untuk menghadiri pemakaman. Jika acaranya sudah selesai, aku akan segera kembali."

"Kamu tidak akan kemana-mana!" Marissa menghardik dan mencekal kembali tangan putrinya, tepat dimana luka goresan kukunya berada.

Calla menatap ibunya dalam-dalam. “Sudah cukup, ibu. Selama ini aku tidak pernah mengeluh karena ibu mengabaikanku, kan? Lalu kenapa sekarang malah menjual anakmu sendiri?”

“Bukan menjual, Calla. Aku hanya menyuruhmu mengambil hakmu. Sekali saja, gunakan pesonamu itu untuk membantu ibumu.”

Calla membuang pandangannya ke arah lain. Meskipun ia tak ingin, tapi wajah ibu yang memohon dengan mata berkaca-kaca sedikit membuatnya tak tega.

Jiwanya kering kasih sayang, namun sesungguhnya lembut dan mudah iba.

"Sayang," Marissa mendekat, membelai rambut Calla dengan gerakan lembut yang terasa menyesakkan.

"Kamu memiliki wajah yang sangat cantik dan fitur tubuh yang menawan. Tenang saja, aku akan mengajarkanmu semua cara untuk membuat pria dingin seperti Dylan takluk. Percayalah, semua lelaki akan tersiksa jika menginginkan sesuatu yang tak bisa ia miliki."

Calla tak menyahut. Untuk saat ini ia tidak akan memberikan jawaban apa pun, tapi yang pasti ia akan mencari celah untuk melarikan diri.

Tiba-tiba saja Marissa mengedipkan sebelah mata, seolah memberi isyarat agar Calla menegakkan bahu dan bersikap awas.

Saat itulah dia melihatnya. Dylan Asher.

Pria itu berjalan dengan langkah tegas ke arah mereka.

Setelah lima tahun, Calla merasa tubuh Dylan semakin kokoh dan tinggi, namun auranya tetap saja dingin dan mematikan.

Dan ketika manik kelabu tajam pria itu beradu dengannya, napas Calla pun seketika tercekat.

Sial. Lima tahun telah berlalu, tapi ternyata Calla masih saja belum bisa melupakan rasa berdebar melihat cinta pertamanya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bianca
haaa ga nyangka calla suka sama Dylan duluan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    109. Dunia Yang Hancur

    “Terima kasih telah hadir pada malam bersejarah ini.” Suara Dylan mengalun kuat ke seluruh ballroom. “Hari ini Luxterra dengan bangga memperkenalkan Edenfall yang lebih dari sekadar hunian, melainkan masa depan. Sebuah karya yang menggabungkan teknologi, estetika dan keberlanjutan. Sebuah tempat di mana kehidupan manusia dapat berkembang tanpa batas." Tepuk tangan terdengar lagi. Dari bawah panggung, Calla menatap Dylan dengan dada yang penuh sesak oleh rasa bangga… meskipun rasa takut itu masih ada. “Dan sekarang,” ujar Dylan melanjutkan, “kita akan langsung memulai hitungan mundur untuk peluncuran visual Edenfall.” Seluruh ruangan pun ikut menggema mengikuti angka mundur di layar LED. “Ten!” “Nine!” Lampu panggung mulai berpendar. “Eight!” “Seven! Six!” Hologram menara Edenfall mulai berputar di udara. “Five!” Angin AC tiba-tiba terasa sangat dingin bagi Calla, seiring dengan ketakutan yang terasa semakin besar dan membuatnya menggigit bibirnya. “Four!”

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    108. Menjadi Lebih Sempurna

    Cahaya emas dari puluhan lampu kristal menghujani ballroom hotel bintang lima itu seperti tetesan sinar matahari yang jatuh ke bumi. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga panggung utama, dan para tamu undangan yang terdiri dari selebriti dunia, para miliarder, politisi, pemilik galeri seni, serta ratusan investor kelas dunia mengisi ruangan dengan penampilan terbaik dalam busana mewah mereka. Puluhan kamera media besar dari berbagai negara mengarah ke satu titik, yaitu latar panggung berhiaskan hologram tiga menara futuristik dalam efek 3D hidup. Edenfall. Sebuah nama yang sejak diumumkan sebagai proyek rahasia Luxterra sudah membuat spekulasi bergulir di seluruh dunia. Seorang reporter dari Inggris berbisik pada rekannya, “Jika malam ini benar-benar sehebat rumor yang beredar, maka Dylan Asher akan menjadi ikon baru dunia real estate global.” Di sisi lain, influencer fashion dari Korea sibuk memotret detail ruangan yang dipenuhi bunga putih. Setiap orang di dalam

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    107. Sebuah Deklarasi Untuk Perang Terbuka

    Malam merambat dengan perlahan di langit Southampton. Gedung Luxterra yang megah kini hanya diterangi lampu-lampu biru redup yang memantul di dinding kaca, membuatnya tampak seperti kapal besar yang mengapung di tengah samudra gelap. Sebagian besar karyawan sudah pulang. Hanya sedikit cahaya yang tersisa di lantai eksekutif. Dan tentu saja, di ruang kerja Dylan Asher. Calla mengetuk pintu dua kali, tapi tak ada jawaban. Ia tahu Dylan tidak suka diganggu ketika sedang bekerja, tapi hatinya resah sejak tadi. Ia masih memikirkan pembicaraan pagi tadi. Tentang Bianco Holdings, tentang Stella, dan tentang Dylan yang tampak terlalu tenang menghadapi ancaman sebesar itu. Calla lalu memutuskan untuk membuka pintu perlahan. Cahaya dari lampu meja menyinari wajah Dylan yang sedang menatap layar laptop dengan ekspresi nyaris tak terbaca. Setelan jas mahalnya sudah dilepas, kemejanya tergulung sampai siku, dan rambutnya pun sedikit berantakan. Hal yang jarang sekali terlihat dari

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    106. Bayangan Gelap Di Balik Cahaya

    Kantor pusat Luxterra Group pagi itu tampak lebih sibuk dari biasanya, menandakan bahwa sesuatu yang besar sedang dipersiapkan. Bagi sebagian orang, ini hanya proyek. Tapi bagi Dylan Asher, ini adalah mahakarya. Pagi itu Calla berdiri di balik kaca besar di lantai eksekutif Luxterra. Dari sana ia bisa melihat kota terhampar luas di bawahnya. Cahaya matahari memantul di jendela pencakar langit, tapi wajah Dylan memantulkan sesuatu yang jauh lebih cemerlang daripada cahaya. Pria itu duduk di kursinya dengan setelan hitam pekat dengan dasi yang sudah ia lepaskan dan entah kini berada di mana. Tangan kirinya memutar bolpoin di antara jari-jari panjangnya. Ia tampak seperti sedang berpikir, atau mungkin sedang menghitung. Tidak ada yang tahu perbedaannya ketika menyangkut Dylan Asher. Calla meliriknya melalui pintu ruang pribadi CEO yang sedikit terbuka. Suara Dylan terdengar rendah dan berat, mengisi ruangan dengan ketegangan yang nyata. “Pastikan semua departemen desai

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    105. Janji Yang Tak Bisa Ditepati (Dylan)

    Dylan Asher berdiri tegak dan diam, mirip seperti patung Dewa tampan yang terbuat dari baja. Ia menatap maket raksasa project Edenfall yang berdiri di tengah ruangannya. Kubah transparan, menara berputar, taman vertikal, semuanya tampak sempurna. Proyek ini bukan sekadar investasi. Ini adalah warisan yang dibangun dengan impian. Lalu tiba-tiba suara langkah lembut dan ringan menghentikan pikirannya yang tak henti berputar. Calla muncul dari arah pintu sembari membawa dua cangkir kopi yang mengepulkan uap. “Kalau kamu terus menatap maket itu setiap hari, aku mulai khawatir kamu akan jatuh cinta pada benda itu,” ucapnya sambil mengangkat alis menggoda. Dylan menoleh ke arah Calla dengan melukiskan senyum samar. “Aku tidak semudah itu jatuh cinta, Sayang. Aku lebih menulisnya dengan darah, waktu, dan kamu, sebagai akhir ceritanya.” Nada suaranya berat dan penuh arti. Calla hanya berdecak kecil, lalu menyerahkan secangkir kopi itu ke tangannya. Ia lalu berdiri di samping Dy

  • Menggodamu Hingga Takluk Padaku    104. Dengan Gaun Terindah

    Lampu kristal memantul di dinding kaca butik couture yang terletak di jantung Manhattan. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi kain dan suara lembut asisten butik yang sibuk menata gaun di rak. Di tengah ruangan itu, Stella Bianco berdiri di depan cermin raksasa dengan tubuhnya yang terbalut renda putih dari koleksi terbaru Maison Verdiere, sebuah gaun yang harganya setara dengan apartemen di Fifth Avenue. Setiap helai kain tampak berkilau seperti serpihan cahaya yang menempel di kulitnya, dan Stella menatap bayangannya sendiri dengan ekspresi puas. “Potong sedikit bagian pinggangnya,” titahnya kepada penjahit yang menunduk di sampingnya. “Aku ingin siluetnya lebih tajam. Lebih dominan.” “As you wish, Miss Bianco,” jawab si penjahit cepat, tangannya langsung bekerja menandai bagian yang disebutkan. Stella berputar dengan perlahan seraya mengagumi pantulan dirinya di cermin dari berbagai sudut. Gaun itu sempurna. Ia tidak hanya memilih pakaian untuk hari pernikahan,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status