LOGINKeesokan harinya, Dinda mencoba bersikap setenang mungkin di kampus. Ia menghindari Maya yang sedari tadi terus melontarkan spekulasi tentang email dari Bagas. Jam menunjukkan pukul 15.50 WIB, dan Dinda sudah berdiri di depan pintu ruang kerja dosen yang tertera di email Bagas.
Jantungnya berdebar kencang, tangannya sedikit berkeringat.Ia mengetuk pintu perlahan. "Masuk," suara Bagas terdengar dari dalam. Dinda membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan itu rapi dan minimalis, dengan rak buku penuh jurnal hukum, meja kerja yang bersih, dan sebuah sofa kecil di sudut. Bagas duduk di balik mejanya, memakai kacamata baca, menatap ke arah Dinda dengan ekspresi datar namun sorot matanya tajam. "Selamat sore, Pak Bagas," sapa Dinda, mencoba suaranya agar tetap stabil. "Selamat sore, Dinda. Silakan duduk," ucap Bagas, menunjuk kursi di hadapan mejanya. Dinda duduk, menaruh tasnya di pangkuan. Keheningan sesaat menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara pendingin ruangan yang berdesir pelan. Dinda menatap Bagas, menunggu. Bagas melepas kacamatanya, meletakkannya di atas meja. "Terima kasih sudah datang, Dinda." Ia menghela napas. "Baiklah, saya akan langsung pada intinya." Dinda menahan napas. Ini dia. "Saya ingin berbicara tentang kinerja akademik Anda," lanjut Bagas, suaranya tenang dan profesional. Dinda mengernyitkan dahi. Ini serius? "Saya perhatikan, nilai Anda di beberapa kuis dan tugas awal cukup baik. Anda memiliki pemahaman dasar yang kuat tentang Pengantar Ilmu Hukum. Namun," Bagas menjeda, menatap Dinda lekat, "ada beberapa momen di kelas di mana saya merasa Anda tidak sepenuhnya fokus. Terkadang Anda terlihat melamun, atau menghindari kontak mata." Dinda merasa pipinya memanas. Bagas benar. Ia memang sering melamun dan berusaha menghindarinya. "Saya tahu," lanjut Bagas, suaranya sedikit melunak, "situasi kita saat ini mungkin... canggung bagi Anda. Saya juga tidak menyangka akan bertemu Anda lagi di sini, dalam kapasitas seperti ini." Ada nada keraguan dalam suaranya, seolah ia juga merasakan hal yang sama. "Tapi, Dinda, saya tidak ingin masa lalu kita memengaruhi studi Anda. Anda punya potensi. Saya tidak mau Anda menyia-nyiakannya." Dinda mengangkat kepalanya, menatap Bagas. Mata Bagas memancarkan campuran antara kepedulian dan sesuatu yang tak terdefinisikan. "Saya mengerti, Pak," jawab Dinda lirih. "Saya... saya akan berusaha lebih keras untuk fokus. Maafkan saya jika selama ini terlihat tidak profesional."Bagas tersenyum tipis. "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Saya hanya ingin memastikan Anda bisa mendapatkan yang terbaik dari mata kuliah ini. Dan juga, dari pengalaman Anda di kampus ini." Ia bersandar di kursinya, tatapannya kini lebih lembut. "Apakah ada yang ingin Anda tanyakan, Dinda? Terkait mata kuliah, atau hal lain yang mungkin mengganggu Anda?" Dinda terdiam. Ini adalah kesempatannya untuk menanyakan banyak hal, untuk menjelaskan masa lalunya yang belum tuntas, namun ia ragu. Apakah ini tempat yang tepat? Apakah ia sudah siap? "Saya... saya tidak tahu harus bertanya apa, Pak," Dinda akhirnya menjawab. "Hanya... ini semua terasa sangat tiba-tiba. Saya tidak siap." Bagas mengangguk pelan, seolah memahami. "Saya bisa membayangkannya. Dulu, saya juga sangat terpukul saat Anda menghilang tanpa jejak. Saya mencari Anda ke mana-mana, Dinda. Saya bahkan sempat berpikir sesuatu yang buruk terjadi pada Anda." Suara Bagas terdengar sendu. "Rasa sakit itu... butuh waktu lama untuk pulih." Dinda merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia menunduk. "Maafkan saya, Mas... Pak. Saya... saya sungguh menyesal." Bagas menghela napas panjang. "Sudah empat tahun berlalu, Dinda. Hidup harus terus berjalan. Saya hanya ingin memastikan bahwa apa pun yang terjadi di antara kita dulu, tidak akan menjadi penghalang bagi Anda untuk meraih impian Anda sekarang." Ia kembali menegakkan duduknya, kembali ke mode profesional. "Jadi, Dinda, apakah Anda bersedia untuk memisahkan urusan personal dan profesional kita di kampus ini? Saya akan memperlakukan Anda sama seperti mahasiswa lainnya, dan saya berharap Anda juga demikian." Dinda mengangkat kepala, menatap Bagas yang kini menatapnya dengan tatapan penuh harap. Ini adalah ujian yang sebenarnya. Ujian untuk dirinya sendiri. "Saya bersedia, Pak," jawab Dinda mantap, meskipun ada sedikit keraguan di dalam hatinya. Ia harus bisa. Demi masa depannya. Demi menuntaskan apa yang ia mulai di Fakultas Hukum ini. "Saya janji akan bersikap profesional." Bagas mengangguk, senyumnya kini terlihat tulus. "Bagus. Saya pegang janji Anda." Ia kemudian melirik jam tangannya. "Kalau begitu, pertemuan hari ini cukup sampai di sini, Dinda. Saya harap Anda bisa fokus kembali setelah ini. Selamat sore." Dinda bangkit dari kursi, merasakan beban di dadanya sedikit terangkat, namun juga ada perasaan aneh yang bercampur aduk. Ia mengangguk. "Selamat sore, Pak Bagas. Terima kasih." Ia melangkah keluar dari ruangan Bagas, meninggalkan aroma parfum yang masih menempel di indera penciumannya. Pertemuan itu berjalan lebih lancar dari yang ia bayangkan, namun meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Bagas memang profesional, tapi ada kerinduan yang samar dalam tatapannya, dan ia tidak bisa mengabaikan suara sendu saat Bagas bercerita tentang rasa sakitnya. Dinda tahu, memisahkan profesionalisme dan perasaan tidak akan semudah yang ia ucapkan. Ini adalah awal dari babak baru yang lebih kompleks. Apakah ia benar-benar bisa menekan kenangan bersemi kembali, atau justru pertemuan-pertemuan ini akan membawanya pada takdir yang tak terduga? Minggu-minggu berikutnya setelah pertemuan di ruang kerja Bagas, suasana di kelas Pengantar Ilmu Hukum terasa sedikit berbeda bagi Dinda. Bagas memang konsisten dalam bersikap profesional, memperlakukannya sama seperti mahasiswa lain. Namun, Dinda tak bisa mengabaikan perhatian-perhatian kecil yang kadang Bagas tunjukkan. Misalnya, saat kuis, Bagas akan berkeliling dan sesekali berhenti di dekat mejanya, seolah memeriksa, padahal hanya memandang kertasnya sekilas. Atau saat diskusi kelompok, Bagas akan lebih sering menghampiri kelompok Dinda untuk memberikan arahan, meskipun ada kelompok lain yang mungkin lebih membutuhkan bantuannya. Dinda mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya perasaannya saja, bahwa Bagas memang perhatian pada semua mahasiswa. Tapi Maya, dengan intuisi tajamnya, sering kali menyenggol Dinda dan berbisik. "Tuh kan, Dinda, Pak Bagas itu perhatian banget sama kamu!" Suatu siang, saat Dinda sedang berjalan sendirian di koridor fakultas menuju kantin, ia berpapasan dengan Bagas. Ia sempat berpikir untuk menunduk atau pura-pura tidak melihat, namun Bagas sudah lebih dulu menyapanya. "Dinda," sapanya, senyum tipis terukir di wajahnya. "Sore, Pak," jawab Dinda, sedikit canggung. "Mau ke kantin?" tanya Bagas. Dinda mengangguk. "Iya, Pak." "Saya juga. Sekalian jalan saja?" tawar Bagas. Dinda terkejut. Berjalan berdua dengan Bagas di koridor kampus? Ini bisa menimbulkan gosip. Namun, ia tidak enak menolak. "Baik, Pak." Mereka berjalan berdampingan dalam diam selama beberapa saat. Dinda merasakan canggung yang luar biasa. Aroma parfum Bagas kembali menyeruak, dan kenangan-kenangan lama kembali berkelebat. "Bagaimana kuliah Anda sejauh ini?" tanya Bagas, memecah keheningan. "Ada mata kuliah lain yang Anda minati?" Dinda berusaha menjawab dengan lugas, menjelaskan ketertarikannya pada hukum pidana. Bagas mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk. "Bagus sekali," komentarnya. "Dulu, saya ingat Anda juga tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan keadilan." Mendengar Bagas menyebut masa lalu mereka, Dinda merasakan jantungnya berdesir. Ia menatap Bagas. "Ya, itu... dulu sekali," katanya pelan. Bagas tersenyum tipis, senyum yang mengandung banyak makna. "Waktu memang cepat berlalu, ya. Rasanya baru kemarin kita belajar bersama di perpustakaan. Sekarang kamu sudah jadi mahasiswaku." Ada nada nostalgia dalam suaranya. Dinda merasakan dadanya sesak. Ia ingin menanyakan banyak hal. Mengapa dulu Bagas meninggalkannya? Apakah ia benar-benar hanya fokus studi? Atau ada alasan lain yang lebih dalam? Tapi ia menahannya. Ini bukan saatnya. Mereka tiba di kantin. Suara riuh mahasiswa memenuhi ruangan. "Dinda, kalau begitu saya duluan ya," ucap Bagas. "Selamat makan." "Iya, Pak. Terima kasih," jawab Dinda. Bagas berjalan menuju meja dosen, meninggalkan Dinda dengan pertanyaan yang masih belum terjawab. Apakah Bagas hanya berusaha bersikap ramah sebagai dosen, atau ia memang sengaja menciptakan momen-momen kecil ini untuk mendekatinya kembali? Teka-teki ini semakin membuat Dinda bingung. Ia tahu ia harus menjaga jarak, tapi benih-benih kenangan itu seolah menolak untuk mati. Pikiran Dinda semakin berkecamuk. Bagaimana ia akan menghadapi situasi ini? *Terima Kasih* Di tunggu kelanjutan kisahnya yaKeesokan harinya, Dinda mencoba bersikap setenang mungkin di kampus. Ia menghindari Maya yang sedari tadi terus melontarkan spekulasi tentang email dari Bagas. Jam menunjukkan pukul 15.50 WIB, dan Dinda sudah berdiri di depan pintu ruang kerja dosen yang tertera di email Bagas. Jantungnya berdebar kencang, tangannya sedikit berkeringat.Ia mengetuk pintu perlahan. "Masuk," suara Bagas terdengar dari dalam.Dinda membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan itu rapi dan minimalis, dengan rak buku penuh jurnal hukum, meja kerja yang bersih, dan sebuah sofa kecil di sudut. Bagas duduk di balik mejanya, memakai kacamata baca, menatap ke arah Dinda dengan ekspresi datar namun sorot matanya tajam."Selamat sore, Pak Bagas," sapa Dinda, mencoba suaranya agar tetap stabil."Selamat sore, Dinda. Silakan duduk," ucap Bagas, menunjuk kursi di hadapan mejanya.Dinda duduk, menaruh tasnya di pangkuan. Keheningan sesaat menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara pendingin ruangan yang berdesir pelan
Mencegah Kenangan Bersemi KembaliDinda melangkah keluar dari Aula Utama dengan langkah gontai, otaknya masih memproses percakapan singkat dengan Bagas. Kata-kata "pengecut" dan "kecewa" terus terngiang. Ia tahu Bagas tidak marah, tapi kekecewaan itu terasa lebih menyakitkan. Bagaimana ia bisa fokus belajar hukum jika setiap kelas akan selalu mengingatkannya pada masa lalu yang belum selesai?Ia melihat Maya menunggu di luar aula, wajahnya penuh tanda tanya."Dinda, ada apa? Kok Pak Bagas memanggilmu?" tanya Maya begitu Dinda mendekat. "Kalian saling kenal? Jangan-jangan itu pacarmu ya? Astaga, Dinda, kok tidak cerita sih?!" Maya memberondong pertanyaan dengan antusiasme khas mahasiswa baru.Dinda mencoba tersenyum, meskipun rasanya sangat berat. "Bukan, May. Dia... dia mantan pacarku." Ia memutuskan untuk jujur, setidaknya kepada teman barunya ini. Maya adalah orang pertama yang ia ceritakan tentang Bagas setelah empat tahun lamanya.Mata Maya membulat sempurna. "APA?! Demi apa? Do
Dinda dan Maya akhirnya melanjutkan langkah mereka, meskipun pikiran Dinda masih berkecamuk karena aroma parfum itu. Mereka tiba di Aula Utama Fakultas Hukum yang sudah ramai dipenuhi mahasiswa baru. Suara riuh obrolan memenuhi ruangan, bercampur dengan derit kursi yang digeser. Mereka beruntung menemukan dua kursi kosong di barisan tengah, tidak terlalu jauh dari podium."Syukurlah, tidak terlalu belakang. Aku tidak suka duduk di belakang, nanti susah fokus," bisik Maya, menaruh tasnya di atas meja. "Kamu kenapa sih, Din? Dari tadi kok bengong terus? Sakit perut beneran?"Dinda tersenyum tipis, mencoba menenangkan dirinya. "Enggak kok, May. Cuma... masih adaptasi aja sama suasana kampus yang ramai dan besar ini. Sedikit overwhelmed." Ia berusaha mengabaikan firasat aneh yang merayapi hatinya, fokus pada deretan kursi di depannya.Tak lama kemudian, pintu belakang podium terbuka, dan seorang pria masuk ke dalam aula, diiringi tepuk tangan meriah dari para mahasiswa. Aula yang tadiny
Adinda Rahayu, atau yang akrab disapa Dinda, seorang gadis berusia delapan belas tahun, merasakan hari ini begitu berbeda. Udara pagi bulan September yang sejuk menusuk kulitnya, membawa serta aroma embun yang masih menempel di dedaunan dan janji akan sebuah awal yang baru. Bukan sekadar awal minggu, melainkan sebuah babak baru dalam lembaran kehidupannya.Hari pertamanya sebagai mahasiswa hukum di Universitas Ganesha, sebuah institusi bergengsi yang telah menjadi impian dan obsesinya sejak bangku SMA.Sejak pukul tiga pagi, Dinda sudah terjaga. Matanya tak bisa terpejam, otaknya dipenuhi simulasi skenario hari pertama di kampus. Ia membayangkan suasana kelas, teman-teman baru, dan para dosen yang berwibawa. Dengan semangat yang meluap, ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu kamar, dan mulai memilah-milah pakaian. Bukan sekadar memilih baju, melainkan mencari "seragam tempur" yang sempurna untuk mengawali perjalanan akademisnya. Akhirnya, sebuah blus putih bersih dengan detail ke







