LOGINDinda dan Maya akhirnya melanjutkan langkah mereka, meskipun pikiran Dinda masih berkecamuk karena aroma parfum itu. Mereka tiba di Aula Utama Fakultas Hukum yang sudah ramai dipenuhi mahasiswa baru. Suara riuh obrolan memenuhi ruangan, bercampur dengan derit kursi yang digeser. Mereka beruntung menemukan dua kursi kosong di barisan tengah, tidak terlalu jauh dari podium.
"Syukurlah, tidak terlalu belakang. Aku tidak suka duduk di belakang, nanti susah fokus," bisik Maya, menaruh tasnya di atas meja. "Kamu kenapa sih, Din? Dari tadi kok bengong terus? Sakit perut beneran?" Dinda tersenyum tipis, mencoba menenangkan dirinya. "Enggak kok, May. Cuma... masih adaptasi aja sama suasana kampus yang ramai dan besar ini. Sedikit overwhelmed." Ia berusaha mengabaikan firasat aneh yang merayapi hatinya, fokus pada deretan kursi di depannya. Tak lama kemudian, pintu belakang podium terbuka, dan seorang pria masuk ke dalam aula, diiringi tepuk tangan meriah dari para mahasiswa. Aula yang tadinya riuh, mendadak hening seketika. Pria itu melangkah menuju podium dengan langkah tenang, setiap gerakannya memancarkan aura karisma dan otoritas yang kuat. Dinda merasakan seluruh tubuhnya menegang. Aroma parfum itu, yang tadi ia cium di koridor, kini terasa semakin kuat, begitu dekat, memenuhi indera penciumannya. Ia mengangkat kepala perlahan, dan matanya langsung terkunci pada sosok di depan. Jantung Dinda berdebar tak karuan, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Dunia di sekelilingnya terasa berhenti berputar. Sosok itu... Bagas Pratama. Mantan pacarnya. Mantan yang meninggalkannya empat tahun lalu dengan alasan klise "fokus studi" setelah mereka berpacaran selama dua tahun. Bagas berdiri di sana, mengenakan kemeja biru muda yang rapi dan celana bahan gelap, rambutnya tertata apik, dan kacamata bertengger di hidungnya. Ia terlihat jauh lebih dewasa, lebih matang, dan memancarkan wibawa seorang akademisi yang berpendidikan tinggi. Dinda bahkan bisa melihat sedikit uban di pelipisnya yang menambah kesan karismatik. "Selamat pagi, teman-teman mahasiswa baru Fakultas Hukum Universitas Ganesha," suara bariton Bagas memenuhi ruangan, bergema hingga ke sudut-sudut aula. Suara itu, suara yang dulu selalu menenangkan hatinya saat ia panik menjelang ujian, kini terdengar asing namun begitu familiar. "Perkenalkan, saya Bagas Pratama. Kalian bisa memanggil saya Bapak Bagas. Saya adalah dosen pengampu mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum untuk satu semester ke depan. Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik dan menciptakan suasana belajar yang kondusif." Dinda merasakan darahnya berdesir dingin. Bagas Pratama. Dosennya. Kenyataan ini terasa seperti pukulan telak yang mengempaskan napasnya. Ia buru-buru menunduk, menatap buku catatan barunya, berharap bisa menjadi tidak terlihat, berharap lantai aula bisa menelannya hidup-hidup. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, saat mereka masih sepasang kekasih, belajar bersama di perpustakaan yang sama, berbagi mimpi tentang masa depan, dan berjanji akan selalu bersama. "Dinda, kamu kenapa?" bisik Maya, menyenggol lengannya, suaranya terdengar khawatir. "Kok melamun terus? Wajahmu pucat sekali. Kamu yakin baik-baik saja? Atau jangan-jangan Pak Bagas terlalu tampan buatmu?" Maya terkikik kecil, tidak menyadari badai emosi yang berkecamuk di diri Dinda. Dinda hanya bisa menggelengkan kepala, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Ia merasakan pipinya memanas, entah karena malu, terkejut, atau rindu yang tiba-tiba menyeruak. Bagaimana bisa Bagas, mantan pacarnya, kini berdiri di hadapannya sebagai dosen? Dan bagaimana ia akan menjalani satu semester ke depan dengan situasi sekacau ini? Sesi Kuliah yang Penuh Kesenjangan Sisa perkuliahan adalah neraka bagi Dinda. Setiap kali Bagas menjelaskan materi tentang dasar-dasar hukum, mulai dari pengertian hukum, sumber-sumber hukum, hingga sistem hukum di Indonesia, suara baritonnya membangkitkan kenangan-kenangan lama. Bagaimana dulu Bagas dengan sabar mengajarinya rumus-rumus fisika yang rumit di malam hari melalui video call, bagaimana tawanya selalu bisa menenangkan hatinya saat ia panik menjelang ujian nasional, dan bagaimana tatapan mata tajamnya dulu selalu memancarkan kehangatan saat memandangnya, penuh kekaguman. Kini, tatapan itu menyapu seluruh ruangan, berhenti sejenak pada wajah-wajah mahasiswa, termasuk dirinya, namun tanpa ekspresi yang bisa Dinda baca. Tatapan yang dingin, profesional, tanpa jejak emosi masa lalu. Ia berusaha keras untuk tidak menarik perhatiannya, selalu duduk sedikit membungkuk, sesekali berpura-pura mencatat dengan serius, dan menghindari kontak mata langsung. Namun, ia bisa merasakan sesekali pandangan Bagas melirik ke arah barisan tempat duduknya. Apakah Bagas menyadarinya? Apakah Bagas mengingatnya? Ataukah ia hanya salah paham dan Bagas tidak mengenali dirinya sama sekali setelah empat tahun berlalu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, mengganggu konsentrasinya. "Baik, untuk pertemuan pertama ini, saya ingin kalian semua membentuk kelompok beranggotakan empat orang," instruksi Bagas memecah lamunan Dinda. Ia menunjuk beberapa mahasiswa secara acak. "Nanti saya akan berikan kasus sederhana untuk kalian diskusikan, dan minggu depan, perwakilan kelompok akan mempresentasikan hasil diskusi kalian di depan kelas. Ini akan menjadi tugas pertama kalian." Dinda merasakan kecemasannya memuncak. Diskusi kelompok? Dengan Bagas sebagai dosennya? Ini akan menjadi ujian yang jauh lebih berat dari sekadar mata kuliah Hukum Pengantar. Ia melirik Maya yang sudah bersemangat mencari teman kelompok, seolah tak ada beban sama sekali. Setelah sesi perkuliahan usai, suasana di aula mulai mencair. Mahasiswa berbondong-bondong keluar, saling bertegur sapa dan membentuk kelompok diskusi. Dinda buru-buru membereskan tasnya, ingin segera kabur dari ruangan itu, dari tatapan (atau mungkin hanya perasaannya saja) Bagas. Ia merasa perlu waktu untuk mencerna semua ini. Namun, suara Bagas menghentikannya, tepat saat ia hendak melangkah keluar dari pintu aula. "Adinda Rahayu," panggil Bagas dengan suara yang tenang namun tegas. Nama Dinda disebutnya dengan jelas, tanpa keraguan. "Bisa kita bicara sebentar?" Langkah Dinda terhenti. Jantungnya berdebar kencang, kali ini bukan karena gugup akan pelajaran, melainkan karena pertemuannya yang tak terelakkan ini. Maya yang berada di sampingnya menoleh bingung. "Dinda? Kamu kenal Pak Bagas?" bisiknya, matanya memancarkan rasa ingin tahu yang besar. Dinda hanya bisa mengangguk kaku, tanpa menoleh ke arah Maya. "May, duluan saja. Aku ada sedikit urusan," ucapnya, mencoba tersenyum tipis pada Maya yang masih tampak penasaran. Maya mengangguk, memberinya tatapan "nanti cerita, ya!" sebelum akhirnya melangkah pergi. Dinda membalikkan badan perlahan, menemukan Bagas berdiri tak jauh dari podium, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Aula perlahan kosong, menyisakan mereka berdua dan gema obrolan mahasiswa dari luar ruangan. "I-iya, Pak?" Dinda tergagap, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia mencoba menatap mata Bagas, namun sulit sekali. Bagas tersenyum tipis, senyum yang dulu selalu membuatnya luluh dan merasa aman. Kini, senyum itu terasa pahit. "Tidak perlu seformal itu, Dinda. Sekarang kita bukan di kelas," Bagas melangkah lebih dekat, namun tetap menjaga jarak yang sopan dan profesional. "Saya selalu bertanya-tanya, kenapa kamu menghilang begitu saja dulu? Tanpa kabar, tanpa penjelasan. Tiba-tiba saja kamu tidak bisa dihubungi, rumahmu kosong, seolah ditelan bumi. Aku mencarimu ke mana-mana." Pertanyaan itu menusuk langsung ke ulu hatiku. Dinda merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Rasa bersalah yang selama ini dipendamnya tiba-tiba membuncah. Ia masih ingat bagaimana ia meminta ibunya untuk pindah rumah tanpa memberitahu siapa pun, bahkan Bagas, karena takut menghadapi konsekuensi keputusannya. "Maafkan aku, Mas... Pak Bagas," katanya lirih, akhirnya memberanikan diri menatapnya. Matanya kini tidak lagi memancarkan amarah, melainkan dipenuhi kesedihan yang mendalam dan sedikit... kerinduan? "Aku... aku dulu pengecut. Aku takut. Aku tahu, aku pantas mendapatkan kemarahanmu. Dinda tahu Dinda salah besar waktu itu." Bagas menghela napas panjang, menatap ke arah jendela aula sejenak, lalu kembali menatap Dinda. "Aku tidak marah, Dinda," ucapnya lembut, suaranya merendah. "Aku hanya... kecewa. Dulu. Sangat kecewa. Tapi sekarang kamu ada di sini. Di kelasku. Di universitas tempat aku mengajar." Ia menatap Dinda lekat-lekat, seolah mencari jawaban atas pertanyaan yang masih tersimpan di hatinya selama bertahun-tahun. "Kenapa, Dinda? Apa yang terjadi empat tahun lalu?" Dinda menggigit bibir bawahnya. Ini bukan tempat dan waktu yang tepat untuk membahas masa lalu mereka secara detail. "Banyak hal, Mas. Ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya. Tapi sungguh, Dinda minta maaf." Bagas mengangguk pelan. "Baiklah. Kalau begitu, saya harap ini tidak akan mengganggu studi kamu, Dinda. Profesionalitas tetap nomor satu di kelas saya." Meskipun nada suaranya profesional, ada nada lain yang Dinda kenali di sana, nada yang jauh lebih personal. "Kamu sudah dapat kelompok untuk tugas diskusi?" Dinda menggeleng. "Belum, Pak." "Baik. Kamu bisa bergabung dengan kelompok yang belum lengkap. Kalau kesulitan, beritahu saya," ucap Bagas, tatapannya masih menahan sesuatu yang tak terucap. Ia tahu ini adalah awal yang sulit, tidak hanya bagi Dinda, tetapi juga bagi dirinya. Dinda tidak tahu apakah ini adalah isyarat kesempatan kedua atau hanya takdir yang mempermainkan mereka dengan semua ini.Keesokan harinya, Dinda mencoba bersikap setenang mungkin di kampus. Ia menghindari Maya yang sedari tadi terus melontarkan spekulasi tentang email dari Bagas. Jam menunjukkan pukul 15.50 WIB, dan Dinda sudah berdiri di depan pintu ruang kerja dosen yang tertera di email Bagas. Jantungnya berdebar kencang, tangannya sedikit berkeringat.Ia mengetuk pintu perlahan. "Masuk," suara Bagas terdengar dari dalam.Dinda membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan itu rapi dan minimalis, dengan rak buku penuh jurnal hukum, meja kerja yang bersih, dan sebuah sofa kecil di sudut. Bagas duduk di balik mejanya, memakai kacamata baca, menatap ke arah Dinda dengan ekspresi datar namun sorot matanya tajam."Selamat sore, Pak Bagas," sapa Dinda, mencoba suaranya agar tetap stabil."Selamat sore, Dinda. Silakan duduk," ucap Bagas, menunjuk kursi di hadapan mejanya.Dinda duduk, menaruh tasnya di pangkuan. Keheningan sesaat menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara pendingin ruangan yang berdesir pelan
Mencegah Kenangan Bersemi KembaliDinda melangkah keluar dari Aula Utama dengan langkah gontai, otaknya masih memproses percakapan singkat dengan Bagas. Kata-kata "pengecut" dan "kecewa" terus terngiang. Ia tahu Bagas tidak marah, tapi kekecewaan itu terasa lebih menyakitkan. Bagaimana ia bisa fokus belajar hukum jika setiap kelas akan selalu mengingatkannya pada masa lalu yang belum selesai?Ia melihat Maya menunggu di luar aula, wajahnya penuh tanda tanya."Dinda, ada apa? Kok Pak Bagas memanggilmu?" tanya Maya begitu Dinda mendekat. "Kalian saling kenal? Jangan-jangan itu pacarmu ya? Astaga, Dinda, kok tidak cerita sih?!" Maya memberondong pertanyaan dengan antusiasme khas mahasiswa baru.Dinda mencoba tersenyum, meskipun rasanya sangat berat. "Bukan, May. Dia... dia mantan pacarku." Ia memutuskan untuk jujur, setidaknya kepada teman barunya ini. Maya adalah orang pertama yang ia ceritakan tentang Bagas setelah empat tahun lamanya.Mata Maya membulat sempurna. "APA?! Demi apa? Do
Dinda dan Maya akhirnya melanjutkan langkah mereka, meskipun pikiran Dinda masih berkecamuk karena aroma parfum itu. Mereka tiba di Aula Utama Fakultas Hukum yang sudah ramai dipenuhi mahasiswa baru. Suara riuh obrolan memenuhi ruangan, bercampur dengan derit kursi yang digeser. Mereka beruntung menemukan dua kursi kosong di barisan tengah, tidak terlalu jauh dari podium."Syukurlah, tidak terlalu belakang. Aku tidak suka duduk di belakang, nanti susah fokus," bisik Maya, menaruh tasnya di atas meja. "Kamu kenapa sih, Din? Dari tadi kok bengong terus? Sakit perut beneran?"Dinda tersenyum tipis, mencoba menenangkan dirinya. "Enggak kok, May. Cuma... masih adaptasi aja sama suasana kampus yang ramai dan besar ini. Sedikit overwhelmed." Ia berusaha mengabaikan firasat aneh yang merayapi hatinya, fokus pada deretan kursi di depannya.Tak lama kemudian, pintu belakang podium terbuka, dan seorang pria masuk ke dalam aula, diiringi tepuk tangan meriah dari para mahasiswa. Aula yang tadiny
Adinda Rahayu, atau yang akrab disapa Dinda, seorang gadis berusia delapan belas tahun, merasakan hari ini begitu berbeda. Udara pagi bulan September yang sejuk menusuk kulitnya, membawa serta aroma embun yang masih menempel di dedaunan dan janji akan sebuah awal yang baru. Bukan sekadar awal minggu, melainkan sebuah babak baru dalam lembaran kehidupannya.Hari pertamanya sebagai mahasiswa hukum di Universitas Ganesha, sebuah institusi bergengsi yang telah menjadi impian dan obsesinya sejak bangku SMA.Sejak pukul tiga pagi, Dinda sudah terjaga. Matanya tak bisa terpejam, otaknya dipenuhi simulasi skenario hari pertama di kampus. Ia membayangkan suasana kelas, teman-teman baru, dan para dosen yang berwibawa. Dengan semangat yang meluap, ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu kamar, dan mulai memilah-milah pakaian. Bukan sekadar memilih baju, melainkan mencari "seragam tempur" yang sempurna untuk mengawali perjalanan akademisnya. Akhirnya, sebuah blus putih bersih dengan detail ke







