LOGINMencegah Kenangan Bersemi Kembali
Dinda melangkah keluar dari Aula Utama dengan langkah gontai, otaknya masih memproses percakapan singkat dengan Bagas. Kata-kata "pengecut" dan "kecewa" terus terngiang. Ia tahu Bagas tidak marah, tapi kekecewaan itu terasa lebih menyakitkan. Bagaimana ia bisa fokus belajar hukum jika setiap kelas akan selalu mengingatkannya pada masa lalu yang belum selesai? Ia melihat Maya menunggu di luar aula, wajahnya penuh tanda tanya. "Dinda, ada apa? Kok Pak Bagas memanggilmu?" tanya Maya begitu Dinda mendekat. "Kalian saling kenal? Jangan-jangan itu pacarmu ya? Astaga, Dinda, kok tidak cerita sih?!" Maya memberondong pertanyaan dengan antusiasme khas mahasiswa baru. Dinda mencoba tersenyum, meskipun rasanya sangat berat. "Bukan, May. Dia... dia mantan pacarku." Ia memutuskan untuk jujur, setidaknya kepada teman barunya ini. Maya adalah orang pertama yang ia ceritakan tentang Bagas setelah empat tahun lamanya. Mata Maya membulat sempurna. "APA?! Demi apa? Dosenmu sendiri mantan pacarmu? Astaga, Din, ini lebih seru dari sinetron favoritku!" Maya menutup mulutnya, berusaha menahan suara agar tidak terlalu keras. "Bagaimana bisa? Lalu, bagaimana rasanya? Kalian sudah putus berapa lama?" Maya menghela napas. "Sudah empat tahun. Kita putus... ya, karena aku yang memutuskan dan menghilang. Aku waktu itu masih labil, takut berkomitmen, dan punya banyak masalah pribadi." Dinda sengaja menyederhanakan alasannya, tidak ingin terlalu detail menjelaskan tentang perceraian orang tuanya dan bagaimana itu memengaruhi keputusannya kala itu. "Aku juga tidak tahu dia akan jadi dosen di sini. Ini kejutan yang sangat... tidak menyenangkan." "Tidak menyenangkan bagaimana? Justru ini takdir, Dinda! Kesempatan kedua!" Maya berbinar. "Kalian bisa balikan dong! Pak Bagas kan ganteng dan berwibawa banget." "Maya, jangan ngawur!" Dinda sedikit meninggikan suaranya, menarik perhatian beberapa mahasiswa yang lewat. "Tidak akan ada balikan. Dia dosenku sekarang, Maya. Profesionalisme. Kita tidak bisa mencampuradukkan urusan pribadi dengan kuliah." Dinda mencoba meyakinkan Maya, dan lebih penting lagi, meyakinkan dirinya sendiri. "Dan aku juga tidak tahu dia masih punya perasaan atau tidak. Lagipula, aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama." Maya mencebikkan bibirnya. "Ya ampun, Dinda, kalau begitu kenapa wajahmu tadi pucat sekali? Pasti masih ada rasa kan?" Dinda terdiam. Ada. Rasa bersalah, rasa sesal, dan mungkin... sedikit rindu yang tak terakuinya. Tapi ia menepisnya jauh-jauh. "Pokoknya tidak ada balikan, titik. Sekarang fokus kita adalah kuliah. Ayo, cari kelompok diskusi." Dinda berusaha mengalihkan pembicaraan, dan Maya, meskipun masih penasaran, akhirnya mengalah. Minggu-minggu berikutnya terasa panjang bagi Dinda. Setiap kali mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum tiba, ia selalu merasa tegang. Ia berusaha keras untuk menjadi mahasiswa yang biasa saja di mata Bagas. Tidak terlalu menonjol, tidak terlalu tenggelam. Ia menjawab pertanyaan di kelas dengan lugas jika ditunjuk, menyerahkan tugas tepat waktu, dan selalu berusaha tampil profesional. Namun, Bagas seolah memiliki cara untuk membuatnya tetap merasa di bawah pengawasannya. Kadang, ia akan menunjuk Dinda untuk menjawab pertanyaan yang lebih kompleks, seolah sengaja menguji pengetahuannya. "Dinda Rahayu," Bagas akan berkata dengan tenang, "Bagaimana menurut Anda tentang penerapan asas legalitas dalam kasus pidana di Indonesia?" Dinda akan menarik napas dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya, lalu menjawab dengan mantap, sesekali merujuk pada undang-undang atau teori hukum yang relevan. Setelah ia selesai, Bagas akan mengangguk, kadang dengan senyum tipis yang tak bisa Dinda artikan. "Penjelasan yang bagus, Adinda. Cukup komprehensif." Suatu sore, saat Dinda dan Maya sedang mengerjakan tugas di perpustakaan fakultas, Bagas tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Dinda merasakan seluruh tubuhnya menegang. "Selamat sore, Dinda, Maya," sapa Bagas ramah, berdiri di samping meja mereka. "Selamat sore, Pak Bagas," jawab Maya antusias. "Kami sedang mengerjakan tugas kelompok dari Bapak." "Oh, ya? Ada kesulitan?" tanya Bagas, melirik ke arah notebook Dinda yang berisi catatan rapi. "Lumayan, Pak. Kami masih agak bingung membedakan antara hukum publik dan privat dalam contoh kasus ini," kata Maya. Bagas mengangguk. "Bisa saya lihat?" Ia menarik kursi kosong di sebelah Dinda dan duduk. Aroma parfumnya kembali menyeruak, begitu dekat, membuat Dinda menahan napas. "Nah, ini intinya..." Bagas mulai menjelaskan, sesekali menunjuk ke arah catatan Dinda. Jari-jemarinya yang panjang dan ramping, yang dulu sering menggenggam tangannya, kini fokus menunjuk kata-kata di layar tablet-nya. Dinda berusaha fokus pada penjelasan Bagas, namun sulit. Kehadiran Bagas yang begitu dekat, suaranya yang lembut saat menjelaskan, membuat kenangan-kenangan masa lalu berkelebat di benaknya. Ia bisa merasakan tatapan Bagas sesekali beralih dari tablet ke wajahnya, seolah membaca pikirannya. "Sudah paham, Dinda?" tanya Bagas, mengakhiri penjelasannya. Matanya menatap Dinda lekat-lekat. Dinda mengangguk. "Sudah, Pak. Terima kasih banyak atas penjelasannya." "Sama-sama. Jangan ragu bertanya jika ada kesulitan lain, ya," ucap Bagas, senyum tipis terukir di wajahnya. Ia kemudian bangkit dari kursi. "Saya permisi dulu." Setelah Bagas berlalu, Maya langsung menyenggol Dinda. "Aduh, Dinda! Tatapannya Pak Bagas itu lho! Gemes banget! Dia perhatian sekali padamu ya!" "Apaan sih, May. Dia dosenku, dia perhatian pada semua mahasiswanya," bantah Dinda cepat, meskipun dalam hati ia tak yakin. Apakah itu hanya perhatian dosen kepada mahasiswa, atau ada sesuatu yang lain? Ia merasa bingung. Bagas memang tampak profesional, namun ada kilatan di matanya yang sesekali seolah ingin mengatakan sesuatu. Dinda berharap ia hanya salah tafsir. Ia harus bisa mengendalikan diri, tidak boleh membiarkan kenangan lama bersemi kembali di tempat yang salah. Suatu malam, Dinda sedang mengerjakan tugas di laptopnya ketika sebuah notifikasi email muncul. Pengirimnya: Bagas Pratama. Jantungnya kembali berdebar. Ia membuka email itu dengan tangan sedikit gemetar. Subjek: Pertemuan Pribadi Kepada Yth. Sdr. Adinda Rahayu, Selamat malam. Saya ingin mengundang Anda untuk bertemu secara pribadi di ruang kerja saya besok sore, setelah jam kuliah terakhir, pukul 16.00 WIB. Ada beberapa hal yang perlu saya diskusikan dengan Anda terkait progres akademik Anda di mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Saya melihat potensi besar pada diri Anda, dan saya rasa ada beberapa hal yang bisa kita kembangkan lebih lanjut. Mohon konfirmasi kehadiran Anda. Terima kasih. Hormat saya, Bagas Pratama, S.H., M.H. Dinda membaca email itu berulang kali. Progres akademik? Potensi besar? Atau ini hanya alasan Bagas untuk berbicara dengannya, membahas masa lalu? Jantungnya berdebar antara rasa penasaran dan kecemasan. Ia harus menghadapi ini. Ia harus menunjukkan bahwa ia sudah dewasa, sudah berubah, dan bisa bersikap profesional. Tapi di sisi lain, ia juga merasa takut. Takut kenangan lama akan menyeruak lagi, takut ia tidak bisa mengendalikan perasaannya, atau takut Bagas akan mengungkit kembali luka lama. "Besok sore, di ruang kerja Bagas..." Dinda bergumam pelan. Ini akan menjadi pertemuan pertama mereka yang benar-benar personal, tanpa kehadiran Maya atau mahasiswa lain. Apa yang sebenarnya ingin Bagas diskusikan? Apakah ini awal dari sebuah penyelesaian, atau justru komplikasi baru dalam hidupnya? Dinda tahu, ia tidak bisa lari lagi. *Terima Kasih* Di tunggu kelanjutan kisah antara Dinda dan BagasKeesokan harinya, Dinda mencoba bersikap setenang mungkin di kampus. Ia menghindari Maya yang sedari tadi terus melontarkan spekulasi tentang email dari Bagas. Jam menunjukkan pukul 15.50 WIB, dan Dinda sudah berdiri di depan pintu ruang kerja dosen yang tertera di email Bagas. Jantungnya berdebar kencang, tangannya sedikit berkeringat.Ia mengetuk pintu perlahan. "Masuk," suara Bagas terdengar dari dalam.Dinda membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan itu rapi dan minimalis, dengan rak buku penuh jurnal hukum, meja kerja yang bersih, dan sebuah sofa kecil di sudut. Bagas duduk di balik mejanya, memakai kacamata baca, menatap ke arah Dinda dengan ekspresi datar namun sorot matanya tajam."Selamat sore, Pak Bagas," sapa Dinda, mencoba suaranya agar tetap stabil."Selamat sore, Dinda. Silakan duduk," ucap Bagas, menunjuk kursi di hadapan mejanya.Dinda duduk, menaruh tasnya di pangkuan. Keheningan sesaat menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara pendingin ruangan yang berdesir pelan
Mencegah Kenangan Bersemi KembaliDinda melangkah keluar dari Aula Utama dengan langkah gontai, otaknya masih memproses percakapan singkat dengan Bagas. Kata-kata "pengecut" dan "kecewa" terus terngiang. Ia tahu Bagas tidak marah, tapi kekecewaan itu terasa lebih menyakitkan. Bagaimana ia bisa fokus belajar hukum jika setiap kelas akan selalu mengingatkannya pada masa lalu yang belum selesai?Ia melihat Maya menunggu di luar aula, wajahnya penuh tanda tanya."Dinda, ada apa? Kok Pak Bagas memanggilmu?" tanya Maya begitu Dinda mendekat. "Kalian saling kenal? Jangan-jangan itu pacarmu ya? Astaga, Dinda, kok tidak cerita sih?!" Maya memberondong pertanyaan dengan antusiasme khas mahasiswa baru.Dinda mencoba tersenyum, meskipun rasanya sangat berat. "Bukan, May. Dia... dia mantan pacarku." Ia memutuskan untuk jujur, setidaknya kepada teman barunya ini. Maya adalah orang pertama yang ia ceritakan tentang Bagas setelah empat tahun lamanya.Mata Maya membulat sempurna. "APA?! Demi apa? Do
Dinda dan Maya akhirnya melanjutkan langkah mereka, meskipun pikiran Dinda masih berkecamuk karena aroma parfum itu. Mereka tiba di Aula Utama Fakultas Hukum yang sudah ramai dipenuhi mahasiswa baru. Suara riuh obrolan memenuhi ruangan, bercampur dengan derit kursi yang digeser. Mereka beruntung menemukan dua kursi kosong di barisan tengah, tidak terlalu jauh dari podium."Syukurlah, tidak terlalu belakang. Aku tidak suka duduk di belakang, nanti susah fokus," bisik Maya, menaruh tasnya di atas meja. "Kamu kenapa sih, Din? Dari tadi kok bengong terus? Sakit perut beneran?"Dinda tersenyum tipis, mencoba menenangkan dirinya. "Enggak kok, May. Cuma... masih adaptasi aja sama suasana kampus yang ramai dan besar ini. Sedikit overwhelmed." Ia berusaha mengabaikan firasat aneh yang merayapi hatinya, fokus pada deretan kursi di depannya.Tak lama kemudian, pintu belakang podium terbuka, dan seorang pria masuk ke dalam aula, diiringi tepuk tangan meriah dari para mahasiswa. Aula yang tadiny
Adinda Rahayu, atau yang akrab disapa Dinda, seorang gadis berusia delapan belas tahun, merasakan hari ini begitu berbeda. Udara pagi bulan September yang sejuk menusuk kulitnya, membawa serta aroma embun yang masih menempel di dedaunan dan janji akan sebuah awal yang baru. Bukan sekadar awal minggu, melainkan sebuah babak baru dalam lembaran kehidupannya.Hari pertamanya sebagai mahasiswa hukum di Universitas Ganesha, sebuah institusi bergengsi yang telah menjadi impian dan obsesinya sejak bangku SMA.Sejak pukul tiga pagi, Dinda sudah terjaga. Matanya tak bisa terpejam, otaknya dipenuhi simulasi skenario hari pertama di kampus. Ia membayangkan suasana kelas, teman-teman baru, dan para dosen yang berwibawa. Dengan semangat yang meluap, ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu kamar, dan mulai memilah-milah pakaian. Bukan sekadar memilih baju, melainkan mencari "seragam tempur" yang sempurna untuk mengawali perjalanan akademisnya. Akhirnya, sebuah blus putih bersih dengan detail ke







