Share

Cinta atau Pengabdian

"Mah, sudah, jangan dibesar-besarin!" tegur Aditya dengan lembut.

"Mama gak besar-besarin, Adit. Tapi di keluarga besar kita memang tradisinya begitu. Kalau tidak, maka petaka akan menimpa pernikahan tersebut."

"Dan Adit tak percaya dengan yang namanya petaka dalam pernikahan, Ma," protes Adit, dengan nada hati-hati.

"Tapi, Dit. Bukannya sudah sering kita melihat sendiri petaka dalam pernikahan keluarga kita, karena kita lalai dalam tradisi kita?" ucap Hilda.

"Tapi, Mah…Adit tak percaya dengan yang namanya petaka. Apalagi dalam pernikahan. Bukannya pernikahan itu ibadah, apa iya akan menimbulkan petaka." Aditya berusaha menjelaskan.

"Tapi, Dit. Kalian tak punya halangan apapun sehingga bisa—" Kata-kata Hilda terhenti saat tangan Aditya memegang kedua bahunya.

"Mah, percaya sama Adit. Tak akan terjadi apa-apa pada pernikahan Adit dan Delindra. Percayalah, tradisi itu tak perlu semuanya kita percaya hingga membuat kita takut. Dan untuk malam pertama pengantin Adit, itu sengaja Adit tunda selain karena kami kecapekan, kami juga berencana ingin honeymoon ke suatu tempat, Ma." Dengan pelan-pelan, Adit memberi pengertian pada Mamanya. Sekalipun itu hanya alasan Aditya semata.

Hilda menghela nafas, tampak pasrah." Ya sudah kalau memang kamu beranggapan seperti itu." Hilda tersenyum sambil melepaskan kedua tangan Aditya dari bahunya.

"Kalau begitu Mama habis ini dan keluarga lainnya akan pulang. Dan kalian…hiduplah yang rukun, Mama doakan semoga rumah tangga kalian selalu tentram dan bahagia." Hilda menasehati.

Selanjutnya tatapan Hilda beralih menatap Delindra yang sedari tadi hanya diam saja.

"Mama tahu kalian menikah bukan karena cinta, tapi—"

"Tapi Adit cinta, Ma…sama Delindra." Aditya merangkul pundak Delindra.

Awalnya Delindra sempat kaget, namun dengan segera Delindra menyembunyikannya.

Hilda tersenyum sambil mencubit lengan Aditya.

"Iya, Mama percaya kalau kamu sudah cinta sama istrimu yang cantik ini. Dan semoga Delindra bisa mencintai Adit juga, ya, nantinya." Hilda mengusap lembut kepala Delindra.

"Ya sudah Mama siap-sipa mau pergi dulu, jaga istrimu baik-baik, Dit. Dan segera buatkan Mama cucu, ya!"

"Siap, Ma!" Aditya meletakkan tangannya dekat kepala membentuk hormat.

Sedangak Delindra hanya bisa tersenyum.

*****

"Ini untuk keperluan kamu!" Aditya menyodorkan tiga kartu kredit ke hadapan Delindra yang saat ini ada di sofa dengan tanga memegang Hp.

Delindra menatap Kartu kredit Silver, Gold dan terakhir dan terakhir Platinum. Hanya menatapnya, tidak mengambilnya.

"Simpan saja, Mas. Kau tak perlu seperti ini padaku." Delindra mentodorkak kembali ketiga kartu limit tersebut ke hadapan Aditya.

"Tidak, Del. Kau sekarang istriku, tanggung jawabku. Dan sudah semertinya aku memberikan nafkahku padamu." Aditya kembali meletakkan kartu-kartu tersebut pada tangan Delindra.

Delindra menggeleng pelan." Beri sekedarnya saja, aku—"

"Jangan bilang kalau kau masih menganggap pernikahan ini adalah petaka, Del," potong Aditya cepat.

"Aku tidak main-main dengan pernikahan kita ini. Aku serius ingin menjadi suamimu. Dari itu aku mulai memberikan hak mu sebagai istriku. Tida hanya dari sekarang aku menganggapmu istriku, Del. Dimulai setelah usainya akad, aku sudah menelpon keluargaku untuk mencarikanmu rumah, sebab aku tahu, kau tak akan betah atau malu dan sebagainya jika aku langsung-langsungan membawamu tinggal bersama keluargaku." Perlahan Aditya mengangkat kedua tangannya, memegang kedua bahu Delindra.

"Aku berani sumpah, Del. Aku tak pernah main-main dengan pernikahan kita. Aku ingin menjadikanmu yag pertama dan tuk terakhirku." Aditya berucap dengan sungguh-sungguh.

"Mas, aku—"

Aditya segera menarik Delindra kedalam pelukannya.

"Percayalah, Del. Aku sangat mencintaimu. Rasa ini sudah ada saat mata ini baru pertama kali melihatmu, saat aku datang ke rumah mu sebagai tamu," ucap Aditya sambil terus memeluk Delindra.

"Aku tak pernah jatuh cinta pada seorang wanita sebelumnya sebesar ini, Del…oleh karena itu, aku tak main-main saat aku mendapatkan istri dari wanita yang aku cintai," lanjut Aditya.

Delindra bergeming. Ia tak tahu, harus berbuat apa, dan menanggapi apa pada Aditya.

*****

"Mas…apa yang kau lakukan?" Delindra yang baru saja ingin pergi ke kamar mandi untuk mengambil keranjang baju kotor di kejutkan dengan Aditya yang sedang mencuci pakaian. Pakaian dalam Delindra pun tak luput du cucunya.

"Sudah, Mas. Biar aku saja yang melakukannya." Delindra berusaha mengambil alih pakaian yang dicuci Aditya. Namun Aditya tahan tangan Delindra.

"Sudah, biar aku saja. Lagian hampir selesai, kok." Aditya tersenyum.

"Tapi, Mas—"

"Hanya sekarang, Del. Nanti aku akan mencarikan ART untuk rumah kamu, Nyonya Aditya." Aditya mengedipkan sebelah matanya. Sedangkan Delimdra hanya menanggapi dengan senyuman simpul.

"Aku aku akan membuat kamu senyaman mungkin hidup denganku, Del. Aku tak akan menyerah sampai kapanpun, sampai aku benar-benar mendapatkan cintamu."

Delindra mengalihkan pandangannya ke samping. Lagi-lagi Delindra tak tahu mau menanggapi apa pada kata-kata Aditya. Sebab…hatinya saat ini benar-benar hampa.

*****

"Apa kabar hatimu saat ini, putriku, Delindra?" tanya Pak Hendra lewat sambungan telepon.

Saat ini Delindra sedang berdiri di dekat jendela kamar. Bertelponan dengan Pak Hendra, Bapaknya.

"Del…!"

"Aku tak mencintainya, Pak," jawab Delindra cepat.

Terdengar helaan nafas dari Pak Hendra.

"Tapi dia sekarang dia suamimu!"

"Delindra tak mencintainya, walau sudah berusaha!"

"Mengabdilah kepadanya, walau tanpa cinta…!"

"Tapi, Pak—"

"Jika sampai saat ini kau belum juga bisa mencintai suamimu…setidaknya mengabdilah padanya. Agar deritamu berpahala. Sebab pengabdian tidak memerlukan perasaan…."

Air mata Delindra jatuh mengalir mendengar nasehat Bapaknya, bersamaan dengan sambungan telepon terputus. Entah karena sinyal atau apa, Delindra tak peduli dengan itu. Hatinya kali kalut antara cinta dan pengabdian…antara Aditya atau Angga….

"Ceklek!"

Delindra terkesiap dan segera mengusap air matanya saat mendengar suara pintu dibuka.

"Delindra…kau sedang apa disitu?" tanya Aditya yang baru saja masuk ke kamar.

Delindra segera membalikkan badannya menghadap Aditya, namun bersamaan dengan itu, tiba-tiba lampu mati.

"Mas, aku takut." Sontak Delindra yang aslinya memang penakut dan segera berlari ke arah Aditya yang berdiri di dekat ranjang tidur.

"Jangan takut, ada aku, Del!" Aditya berusaha menenangkan Delindra yang saat ini tengah memeluk lengannya.

"Aaa…." Delindra berteriak saat mendengar suara petir yang menyambar di luar dan semakin mengeratkan pelukannya, kali ini bukan di lengan Aditya lagi, tapi di dada Aditya.

"Itu hanya petir, Del. Di luar sedang aingin dan hujan mamang," ujar Aditya sambil merengkuh tubuh Delindra.

"Kenapa tiba-tiba ada hujan, angin dan petir bersamaan, Mas…apakah ini yang dinamakan petaka, Mas…?"

Aditya terkekeh geli mendengar pertanyaan Delindra.

"Dertt…."

"Aaaa….." Delindra yang kaget meskipun hanya suara deringan Hp tanpa sengaja mendorong tubuh Aditya hingga keduanya jatuh ke sisi ranjang dan tubvh Delindra menimp4 Aditya…dan tanpa sengaja 6i6ir keduanya bersentuhan.

Sesaat kedua nya tertahan…namun tak berapa lama, sebab Delindra segera menarik wajahnya. Namun sebelum itu terjadi, Aditya menahan kepala Delindra.

"Ini bukanlah petaka, Delindra…melainkan anugerah…."

Dengan gerakan pelan, Aditya membalikkan tubuh Delindra dan membaringkannya di ranjang.

Sedikit demi sedikit, Aditya mengikis jarak, bersamaan dengan mata Delindra terpejam.

Delindra membenarkan kata-kata Bapaknya, jika ia tak mencintai Aditya, setidaknya ia mengabdi pada Aditya yang saat ini sudah berstatus suaminya.

___________

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yani
semangat terus buat kk author
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status