Share

Ritual Malam Pengantin ( Tentang Adat )

"Dan aku tak bisa menahan ha*rat ku lagi untuk memilikimu malam ini." Aditya terus menatap wajah Delindra yang seperti memiliki sejuta pesona malam ini di mata Aditya.

Semakin lama, Aditya semakin mengikis jarak…saat hampir saja wajah Aditya menyentuh wajah Delindra, tiba-tiba tangan Delindra menahan dada Aditya, hingga Aditya terhenti.

"Ada apa?" Aditya menatap heran pada Delindra.

"Ini tidak benar, Mas," ucap Delindra, menatap Aditya dengan serius.

"Maksudnya?" Kening Aditya mengerut.

Delindra tidak segera menjawab. Dipandanginya dengan wajah Aditya dengan tatapan was-was.

"Kenapa, Del? Apanya yang tidak benar?" Raut Aditya tampak kebingungan.

"Kita tidak bisa melakukan ini, Mas?"

Deg.

Dada Aditya berdetak tatkala mendengar kata-kata Delindra barusan.

"Maksudmu apa, Del?" tanya Aditya dengan masih raut kebingungan.

Delindra bergeming…dengan pandangan dialihkan ke samping.

"Del!" Aditya memegang kedua pundak Delindra.

"Tatap mataku, Del."

Delindra Pun mengalihkan pandangannya lagi, menatap Aditya.

"Kenapa kita tidak bisa melakukannya? Bukankah kita suami istri?" Tangan satu Aditya menyentuh pipi Delindra, sedangkan tangan satunya lagi memegang bahu Delindra.

"Del, katakan, jangan di saja."

"Kita bukan pengantin yang sesungguhnya, Mas!"

"Hah!" Aditya ternganga mendengar kata-kata Delindra.

"Pernikahan kita ini tidaklah benar," ucap lagi Delindra, semakin membuat Aditya kebingungan.

"Tidak benar?" Aditya menatap lekat.

"Iya," jawab Delindra, cepat.

"Kenapa bisa begitu?"

"Pengantin kita sebuah petaka, Mas."

Sontak Aditya tertawa kecil mendengar kata-kata Delindra seraya menarik tangannya dari bahu Delindra.

"Jangan ketawa, Mas. Apa yang aku katakan ini benar adanya, aku tak main-main."

Aditya kembali menatap Delindra dan menatapnya serius.

"Kita menikah karena sebuah petaka…!"

"Lalu dari mana asal mula petaka itu, Del?" tanya Aditya cepat.

"Dariku!" jawan Delindra, juga cepat. " Lalu darimu!" lanjut Delindra.

"Alasannya?" tanya Aditya, serius.

"Karena aku telah…telah—"

" Mengintip kamar pengantin pada malam itu?" tanya Aditya, memotong ucapan Delindra.

"Iya. Dan kamu yang telah memergokiku," jawab Delindra.

Lagi, Aditya tersenyum. Merasa lucu dengan apa yang dikemukakan Delindra.

"Istirahatlah, Del. Aku tahu kamu saat ini capek." Aditya menepuk pelan pundak Delindra.

Aditya sama sekali tak terpengaruh, lebih-lenib percaya dengan apa yang dikatakan oleh Delindra. Aditya hanya beranggapan kalau Delindra masih capek saja atau belum siap, sebab itu Delindra beralasan.

"Maaf…mungkin akunya juga yang terlalu terburu-buru, Del. Padahal kita masih perlu tahap pengenalan lebih dulu. Bukan kita, tapi kamu." Bibir Aditya tertarik membentuk sebuah senyuman.

Delindra hanya termangu mendengar kata-kata Aditya.

"Mari kita tidur!" Aditya mendaratkan bibirnya di ubun-ubun Delindra, sebelum akhirnya ia membalikkan badannya untuk melangkah ke ranjang tidur.

"Oh, iya…!" Aditya menyempat menoleh pada Delindra yang masih berdiri di tempat.

"Aku sama sekali tak menganggap kalau pernikahan kita ini adalah petaka, Del. Pernikahan ini bagiku anugrah." Aditya menyelipkan sebuah senyuman, sebelum akhirnya ia naik ke atas ranjang.

****

Pagi-pagi sekali Delindra sudah terbangun.

Kebiasaan di rumah nya dan hidup di desa terbawa sampai saat ini.

Dipandanginya oleh Delindra gambar dirinya di cermin. Pujian Aditya semalam yang memujinya cantik tergiang-giang di telinganya.

Namun Delindra hanya menganggap kalau pujian Aditya semalam hanya bentuk gombalan semata, sebab kalau memang benar kalau dirinya cantik, sudah pasti Angga akan memilihnya, daripada Dahlia.

Delindra terus memandangi dirinya di cermin sambil menyisir rambut indahnya.

Delindra mekirik jilbab yang tergeletak di atas meja rias. Selama ini Delindra memang tak konsisten dalam berjilbab, kadang memakainya dan kadang juga tidak.

Mata Delindra masih memandangi jilbabnya, antara ingin memakainya dan tidak.

Saat pikirannya sedang sibuk memutuskan antara berjilbab atau tidak, tiba-tiba Delindra mendengar pintu kamarnya di ketuk.

Delindra pun berjalan ke arah pintu dan membukanya.

"Wah…pengantin baru pagi-pagi buta sekali sudah bangun," celetuk Hilda, saat pintu kamar sudah dibuka.

Delindra hanya tersenyum untuk menanggapi.

"Ini apa, Bibi?" Delindra menunjuk ke arah baskom yang berisi air buangan dan baunya sangat harum, Delindra dapat menciumnya.

"Ih, kok Bibi sih, Sayang…Mama dong…manggilnya sama kayak Adit. Kan kamu sudah jadi mantu Mama. Tak hanya itu, kamu sudah Mama anggap seperti anak sendiri dimulai sejak pertama kali mendengar kalau Adit menikahi kamu." Hilda tersenyum sambil mengusap dagu Delindra pelan.

Lagi, Delindra hanya bisa menanggapi dengan senyuman simpul tanpa berkata-kata lagi.

"Ini itu buat kamu sama Adit." Hilda menyodorkan baskom berisi air bunga tersebut pada Delindra.

"Buat apa, Bi, eh. Ma?" tanya Delindra.

"Ih, gemes ada anak perempuan yang manggil Mama." Hilda kembali mengelus dagu Delindra tampak greget.

"Ini itu…buat kalian mandi berdua nanti." Hilda menjelaskan.

" lMandi?" Kening Delindra mengerut.

"Iya, Mandi!" Hilda meyakinkan.

"Tapi Delindra sudah mandi, Ma!" jawab Delindra, jujur.

" Hah! Sudah mandi, masak sih?" Tangan Hilda menyentuh rambut Delindra.

"Ah, bohong. Buktinya rambut kamu tidak basah!" ucap Hilda.

"Karena Delindra memang tak keramas, Ma," jelas Delindra.

"Hah, kok bisa?" Hilda tampak kaget campur heran.

"Ada apa ini pagi-pagi?" Aditya yang baru saja keluar bertanya.

"Dan kamu Adit?" Tangan Hilda menunjuk rambut Aditya yang tak basah, namun Aditya tampak baru saja selesai mandi. Terlihat dari Aditya yang hanya memakai handuk dan badannya sedikit basah.

"Kalian tak melakukan ritual malam pengantin kalian?" Hilda menatap was-was pada Aditya dan Delindra secara bergantian.

"Memangnya harus dilakukan tepat di malam pengantin, Ma?" Delindra yang penasaran memberanikan diri untuk bertanya.

Hilda tak menjawab, pandangannya beralih menatap Aditya. " Apa kau tak memberitahu istrimu, Dit?" tanya Hilda.

"Emh…maaf, Mah. Delindra kan lagi capek, habis dari perjalanan jauh. Begitupun juga dengan Adit," jelas Adit dengan hati-hati.

Namun masih saja membuat Hilda tampak terkejut." Ya, Tuhan…ini sebuah petaka bagi pernikahan kalian!" seru Hilda sambil membekap mulutnya.

_____________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status