Share

Kesepian

5 Tahun kemudian….

Delindra termenung duduk di sofa ruang tamu dengan tangan memegang Hp. Hanya scrol-scrol beranda sosmed saja. Tak ada yang ia lihat di dalam sana. Itu ia lakukan hanya untuk mengusir kesepiannya saja.

Sesekali Delindra menengok ke arah pintu. Menantikan kepulangan Aditya dari kantornya.

Sebenarnya Delindra tak bisa dengan kesendiriannya setiap hari. Namun apalah daya, ia tak punya teman selain Aditya. Itupun Aditya selalu jarang ada di rumah. Aditya selalu saja sibuk dengan pekerjaannya.

"Menjadi istri dari seorang pengusaha lebih-lebih hanya putra tunggal yang ditugaskan untuk mengelola semua bisnisnya itu tidaklah nyaman, kita akan selalu kesepian." Itu lah kata-kata yang Delindra katakan pada Dahlia saat mereka sedang bertelponan kala itu. Saling curhat satu sama lain, dak kala itu Dahlia memuji-muji Delindra sebab di rasa telah hidup senang bersama Aditya yang bergelimpangan harta.

Namun di balik itu semua…ada sebuah nama yang namanya kesepian yang selalu menyelinap di setiap harinya Delindra. Dan itu tak bisa ia obatin hanya karena dengan kehadiran Aditya yang hadirnya di sisi Delindra hanya sebentar, sebab Aditya selalu sibuk dengan bisnis keluarganya.

Delindra melirik arloji mahalnya yang ia dapati dari Hilda, Mama mertuanya di saat ulang tahunnya kemarin.

Delindra mendesah, sudah pukul lima sore, tapi Aditya belum datang juga, padahal tadi janjinya ia akan pulang secepatnya.

Namun ternyata janji hanyalah tinggal janji.

Karena bosan, rencananya Delindra akan pergi ke kamar, namun baru saja ia ingin berdiri, tiba-tiba bel pintu rumah berbunyi.

Sontak saja senyuman Delindra mengembang dan dengan segera Delindra melangkah ke arah pintu dan membukanya

"Kenapa telat pulangnya?" Delindra langsung menyemprot Aditya dengan pertanyaan sinis.

Aditya hanya tersenyum sambi memdaratka kec*upan di kening Delindra yang saat ini tengah merengut. Kesal.

"Nanti aja marahnya, sekarang masuk dulu, yuk." Aditya mengg3ndong tubuh ramping Delindra dan membawanya ke sofa ruang tamu dan mendudukkannya di sana.

"Gak usa ngerayu, kali ini gak mempan," celetuk Delindra sambil memanyunkan bibirnya.

Seperti biasa, Aditya hanya terkekeh pelan.

"Maaf, Sayang…di kantor banyak kerjaan. Dan tadi Papa dan Paman juga minta bantuan, di kantor mereka masing-masing ada masalah." Aditya memberitahu alasannya." Makanya gak bisa pulang tepat waktu."

Delindra hanya bisa mendesah.

"Mas…," seru Delindra dengan masih menahan kekesalan.

"Iya, Sayang!"

" Apa selamanya keluarga Mas Adit berketergantungan sama Mas Adit?" tanya Delindra, menatap serius.

"Ya…seperti yang kamu lihat, Sayang," jawab Aditya.

"Tapi sampai kapan, Mas?" keluh Delindra.

"Hampir seluruh waktu Mas Adit hanya untuk mengurus bisnis keluarga Mas Adit. Mending kalau bisnis Papa, Mas…tapi ini semua keluarga Mas Adit, loh!" Delindra mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini dipendam nya.

"Ya…mau gimana lagi, Sayang. Paman-pamanku, baik Paman dari Mama dan juga Papa semuanya butuh Mas Adit. Kan kamu sudah tahu sendiri bahwa mereka tak punya anak laki-laki, semuanya perempuan, itu pun tak mengerti dunia perbisnisan, Sayang…!"

"Tapi kan menantu laki-laki mereka ada, Mas!" protes Delindra.

"Mereka juga tak bisa, Sayang. Pernah mereka di beri kepercayaan, namun apa? Perusahaan Paman hampir bangkrut. " Aditya berusaha menjelaskan.

"Dan lagi, aku tidak nyaman untuk menolak permintaan mereka semua saat perusahaannya ada masalah. Sebab, aku merasa punya hutang budi pada mereka, aku sukses dulunya karena juga dukungan dan bantuan mereka saat aku berjuang mengenyam pendidikan di luar negeri saat itu."

Delindra mendesah. Saat sudah membahas balas Budi, Delindra sudah tak bisa membantah atau protes lagi.

Tindakan terakhir Delindra adalah hanya diam. Itu lah yang hanya bisa di lakukannya.

Adityan tersenyum geli melihat ekspresi Delindra yang merengut." Kenapa? Kamu kesepian, ya?" Aditya menyelipkan anak rambut Delindra ke belakang.

"Gak usah tanya, Mas. Alasanku kenapa selalu mengharapkan kepulanganmu masih tidak berubah. Yaitu kesepian." Delindra berucap dengan masih merengut.

"Kenapa gak pergi ke Mall atau kemana untuk mengusir kesepianmu, Sayang," saran Aditya sambil mengelus-elus rambut Delindra.

Lagi, Delindra mendesah." Aku tak punya teman, Mas…bukannya Mas tahu itu, pergi sendirian itu tidak enak dan sama sekali tidak seru," keluh Delindra.

Aditya bergeming, dengan tangan terus mengelus kepala Delindra.

"Maaf ya, Sayang. Aku sadar, akhir-akhir ini jarang meluangkan waktu denganmu. Kita juga sudah jarang pergi keluar untuk weekend," ucap Aditya.

"Sudah sadar rupanya?" Delindra mendelik.

"Sadar. Oleh karena itu, setela semua masalah kantor selesai, perusahaan Paman sudah kembali stabil. Aku janji, kita akan pergi berlibur nantinya," ucap Aditya dengan sumringah.

Delindra hanya menanggapi dengan senyuman simpul.

"Kenapa? Kamu gak percaya?" tanya Aditya.

"Percaya, kok. Hanya saja…."

"Apa?" tanya Aditya, melihat keraguan dalam diri Delindra saat mau melanjutkan kata-katanya.

"Andaikan kita sudah punya anak, mungkin aku tak kan sesepi ini, Mas." Mata Delindra berkaca-kaca saat mengucapkannya.

"Tuh kan. Sudah berapa kali kubilang, jangan bahas tentang anak. Yang ujungnya akan membuat kamu sendiri yang sakit, Del,," tegur Aditya.

"Sebenarnya kau juga sakit kan, Mas?" tanya Delindra dengan sekuat tenaga menahan air matanya agar tak jatuh.

Aditya bergeming….

"Meski kau dan keluargamu diam tak pernah membahas hal keturunan, demi menjaga perasaanmu, tapi tetap saja aku merasa—"

"Aku baik keluargaku semua nya tak pernah membahas tentang anak kenapa sampai saat ini kita belum memilikinya, Del. Tak pernah sekalipun, baik itu di depanmu atau pun di belakangmu. Percayalah…keluargaku tak seperti keluarga yang lainnya sekakilpun aku anak tunggal, tapi mereka tak pernah menuntut keturunan dari kita, Del."

"Tapi, Mas—"

"Ayo lah, Del. Jangan membahas sesuatu yang akan membuatmu bersedih, aku tak suka. Dan perlu kamu ketahui, Mama hanya ingin rumah kita langgeng dan bahagia, tidak hanya dengan keturunan kita bisa bahagia, Del." Aditya berusaha memberikan pengertian pada Delindra.

"Tapi tanpa keturunan aku merasa sepi, Mas. Aku tak punya pengganti dirimu saat kau tak ada. Aku kesepian, aku butuh teman di sela-sela kesibukanmu. Aku kesepian, Mas…aku kesepian selama lima tahun ini hidup bersamamu tinggal di rumahmu yang besar ini."

Aditya bergeming dengan mata masih menatap lekat pada Delindra.

"Sudah lima tahun, Mas. Lima tahun kita bersama, namun masih juga kita tak punya seorang anak, entah kenapa aku mengira kalau ini adalah sebua petaka, petaka dari—"

"Aku sama sekali tak percaya dengan kata-kata petaka, Del. Aku benci kata-kata itu."

Sontak Delindra terdiam mendengar kata-kata Aditya.

"Pernikahan dan keturunan itu tidak ada kaitannya dengan petaka. Sudah, jangan bahas lagi. Suatu saat nanti kita akan pasti memiliki anak. Kita berdua sama-sama sehat, semua Dokter mengatakan itu bukan?"

Delindra mengangguk….

"Maka dari itu—"

"Maka dari itu kita perlu menghabiskan waktu bersama, Mas untuk—"

Kata-kata Delindra terputus tatkala Hp Aditya berdering.

"Tunggu sebentar ya, Sayang," ucap Aditya, sebelum akhirnya mengangkat telepon dan berbicara di dalam sana.

"Baik, Om. Adit akan segera kesana!"

Delindra mendesah kecewa saat mendengar kalimat terakhir Aditya di telepon.

"Jadi kamu mau pergi lagi?" tanya Delindra, saat Aditya sudah menutup panggilannya.

"Maafkan aku ya, Sayang…."

Delindra tak menjawab. Hanya menyandarkan punggungnya ke sofa.

"Aku hanya sebentar, kantor Paman sedang di demo. Aku harus pergi kesana untuk menanganinya." Aditya berucap sambil mengelus pundak Delindra.

"Ini, pakailah semuanya semau kamu. Habiskan juga gak papa." Aditya memberikan semua ATM nya pada Delindra. " Pergilah jalan-jalan keluar, nanti kamu gak akan sendirian, tapi akan ada juga Alina, aku akan menyuruh sepupuku untuk menemanimu jalan-jalan."

"Tidak perlu, aku di rumah saja," sahut Delindra cepat..

"Dan aku gak butuh ATM mu. Ambillah!" Delindra mengembalikan ATM Aditya.

"Pakailah, Sayang. Itu milikmu. Aku pergi dulu, nanti aku usahakan pulang cepat." Aditya mengec*p pipi Delindra sebelum akhirnya kembali pergi.

****

Delindra menatap dompet Aditya dengan senyumam miris.

Untuk masalah harta, Delindra memang tak kekurangan, Aditya memang melimpahkan semuanya, begitu juga orang tua Aditya, begitu memanjakan Delindra, sebagai menanti satu-satunya.

Tapi itu bukanlah kesempurnaan bagi Delindra. Sebab Delindra sadar, harta bukan jadi ukuran bagi seseorang untuk menjadikan hidupnya bahagia.

Karena harta, membuat Aditya suaminya selalu sibuk, hingga nyaris tak punya waktu untuk dirinya.

Hingga bertemakan sepi setiap harinya.

****

Delindra kembali membuka sosmednya, scrol-scrol beranda guna mengusir kesepiannya.

Iseng Delindra membuat status di grup sosmed yang bertemakan ' KITA ADA DISINI '

" Dompet tebal rupanya tak bisa mengusir kesepian!"

Begitulah caption yang dibagikan oleh Delindra sambil di selipi emot ketawa sambil melampirkan gambar dompet milik Aditya.

Tak berapa lama, postingan Delindra di serbu dengan berbagai macam komentar.

Delindra tak begitu memperdulikan komenan-komenan yang menyerbu postingannya.

Namun ada satu komenan yang mampu mengalihkan perhatian Delindra, yaitu.

"Aku kira hanya aku yang kesepian malam ini." Begitu isi komentar yang dikirim oleh Akun yang bernama ' Angga_Rangga.'

Mendadak tangan Delindra berkeringat dingin membaca nama akun komenan tersebut.

________

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tory Dizazeis
bqgaimana caranya buka kunci kaak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status