Esok harinya, dokter Faris sudah mengijinkanku pulang. Bunda membantuku berkemas. Sejak semalam hingga sore ini Abang belum datang lagi ke rumah sakit. Entah sedang sibuk kerja atau memang dilarang Bunda. Hubunganku dengan Abang pasti akan sulit dijalani jika Bunda tidak memberi restu. Tiba-tiba pintu terbuka.
“Dira?” gumamku saat tubuh laki-laki itu menyembul dari balik pintu.
“Hei, Dir, masuk sini!” Panggil Bunda, Dira tersenyum, berjalan masuk ruangan.
“Apa kabar, Tante?” Laki-laki yang mengenakan kaos warna hitam itu menyalami Bunda.
“Alhamdulillah baik,” sahut Bunda. Wajahnya sangat berbinar. Sepertinya Bunda ingin menjodohkanku dengan Sudira.
“Sori, Yu. Aku baru sempet ke sini. Kamu udah baikan?”
“Gak apa-apa. Makasih ya udah nyempetin ke sini.” Kataku sedikit sungkan.
“Masuk rumah dulu!” titah Abang. Aku Mengikutinya dari belakang. Laki-laki itu berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Menatapku. Kami saling pandang.“Abang minta maaf. Kemarin beneran gak tau kalau pulangnya sore. Di kantor juga emang lagi banyak kerjaan,” ucap Abang. Nada suaranya seperti menyesal. Namun aku tak menanggapi, memilih diam membisu. Membuang muka ke arah lain.“Udah, jangan cemberut gitu. Tunggu bentar, Abang yang anterin ke kampus.” Hanya mengangguk sebagai jawaban.Abang masuk kamar, aku berdiri di ambang pintu, tubuh bersandar pada kusen pintu.Sebenarnya aku bingung bersikap pada Abang. Kalau seperti biasa, takut perasaanku padanya semakin menjadi-jadi sedangkan Bunda tidak menyetujui hubungan kami. Kalau menghindar, rasanya tak nyaman. Aku sudah terbiasa apa-apa dengan Abang.Beberapa menit kemudian. Lelaki berperawakan atl
Selesai kelas, menuju kantin untuk menemui Dira. Entah apa yang ingin dibicarakan oleh laki-laki berlesung Pipit itu. Tidak biasanya dia ingin berbicara empat mata. Yang sudah-sudah ada Silvi pun tak masalah.“Lo mau kemana?” tanya Silvi saat aku berbelok ke arah kiri, tidak langsung menuju area parkir.“Kantin dulu. Mau ketemu Dira. Katanya ada yang mau dia omongin,” jawabku.“Mau gue temenin?”“Gak usah deh.”“Ya udah, kalau gitu gue pulang duluan ya?”“Iya. Aku pun melanjutkan langkah. Berpisah arah dengan Silvi.Setibanya di kantin, kulihat Sudira duduk di kursi paling pojok kiri. Ia sedang memainkan gadget. Suasana di sini tidak seramai biasanya. Mungkin karena sebagian Mahasiswa sudah pulang.“Sori lama nunggu,” ucapku. Menarik kursi, duduk. Laki-la
Sungguh! Satu sisi aku malu mengakui Abang di depan Dira. Tapi sisi lain aku merasa bahagia. Sebab Abang memang bersungguh-sungguh ingin menjadikanku istrinya.Aku mensejajari langkah Abang. Kami berjalan beriringan.“Makasih udah ngakuin Abang di depan Dira,” ucap Abang saat jarak area parkir tinggal beberapa meter. Aku mengangguk.“Kenapa Dira harus tau sih, Bang?” Aku tak tahu, alasan apa yang membuat Abang menyuruhku berkata demikian pada Dira. Padahal mantan ketua BEM itu hanya temanku saja. Bukan saudara atau pun sahabat. Apalagi tadi Dira bilang lagi suka sama seseorang. Aku yakin lelaki itu sedang jatuh cinta pada cewek. Apa mungkin cewek itu Silvi ya? Ah gara-gara Abang, Dira gak jadi ngasih tahu cewek yang ditaksirnya.“Ya emang harus tau. Soalnya dia juga suka sama Ayu.” Jawaban Abang membuatku menghentikkan langkah, tak percaya dengan ucapan yang barusan aku dengar. Abang pun meng
Saat ini, berhubung masih menstruasi, aku menunggu Abang shalat Maghrib di Masjid dekat taman. Suasana senja kali ini terasa syahdu. Suara Imam Masjid terdengar mengalun syahdu membaca lantunan Ayat suci Al-Quran.Setengah jam kemudian, laki-laki yang ditunggu sudah keluar, sedang mengenakan sepatu, lalu berjalan menghampiriku duduk di bangku yang terletak di depan tempat wudhu khusus wanita.Tanpa berkata, kami langsung menuju mobil. Sesekali melirik Abang. Rambut bagian depannya basah, mungkin bekas air wudhu. Masih ada juga tetesan air di leher. Wajah Abang nampak lebih bersih.Masuk ke dalam mobil, aku melihat Abang sekilas. Dari samping, ternyata dia lebih tampan.“Napa lihatin?” Aku tergagap. Ternyata lelaki di sampingku sadar sedang aku perhatikan. Kirain dia gak sadar kalau dari tadi dilihatin.“Gak napa-napa.” Sahutku cuek.
Tiba di rumah, Bunda sedang duduk di bangku teras. Aku turun mobil lebih dulu. “Assalamu’alaikum,” ucapku. Berjalan menghampiri Bunda, meraih telapak tangannya. “Wa’alaikumsalam,” sahut Bunda. Raut wajah wanita yang telah melahirkan Abang tidak ceria seperti biasanya. “Bunda pulang jam berapa?” tanyaku basa-basi. “Jam lima sore. Kamu istirahat dulu sana. Kalau belum makan, makan dulu sebelum tidur.” Aku mengangguk. Raut wajah Bunda masih datar. “Iya, Bun.” Melangkahkan kaki ke dalam rumah tanpa menunggu Abang turun dari mobil. Dari dalam, samar kudengar percakapan Bunda dan Abang. “Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” Dari nada suaranya, terdengar ketus. “Dari kantor jemput Ayu, abis itu jalan bentar.” Jelas Abang. “Sampai semalam ini?” “Ini belum malam, Bun. Baru aja habis Magrib. Dah ya, Dendy mau mandi dulu.” Mendengar derap langkah kaki Abang semakin mendekat, aku pun bergegas masuk kamar. Takut ketahuan curi dengar. Usai beres-beres, membuka kotak cincin pember
Silvi menepuk-nepuk punggung tanganku dari mulutnya, minta dilepas. Dia mengatur napasnya yang tersengal-sengal, setelah tanganku terlepas dari mulutnya.“Minumannya, Mbak.” Dua gelas minuman yang dipesan Silvi datang. Sahabatku itu langsung meneguk hingga setengah gelas.“Dendy yang suka anter jemput kamu, Yu?” celetuk Leo. Kedua matanya sampai tak berkedip. Aku mengangguk, tersenyum miring.“Bukannya itu Abang kamu?” Giliran Rico yang bertanya. Tampak bingung. Dira malah duduk santai, menyandarkan tubuh pada kursi dengan tangan melipat di depan dada.Sue bener tuh orang! Gara-gara dia jadi heboh begini.“Yu, serius lo mau merit sama Abang?” Silvi juga ikutan bertanya.Ya Allah, kenapa berasa diintrogasi gini?“Apaan sih? Kita itu lagi ngomongin muncak. Ngapa jadi bahas aku?” Sergahku mengalihkan topik pembicaraan. Kulihat Sudira tersenyum sinis
Aku tersenyum puas mendengar pengakuan Abang di depan cewek-cewek genit itu. Melirik Silvi, tampangnya astaghfirullah ... mulut melongo, kedua mata membulat, kedap-kedip persis kodok mau lompat.“Lihatinnya B aja, Silvi ....”Kusenggol lengannya, dia gelagapan. Tersadar dari entah apa yang dibayangkannya.“Bang, mau pulang apa gak?!” tanyaku agak sedikit keras. Abang menoleh.“Pulang dong, Beb ....”Aiiih ... Manis banget sih jawabannya.“Abaaangg ....” Teriakan mereka bikin aku naik pitam lagi.“Kalian kenapa? Mau dipanggil 'Beb' juga?!” tanyaku mengejek.“Mauuu ....” tanpa tahu malu, mereka menjawab dengan tampang sok manja. Iyuuuh ....“Enak aja!! Bang, ayok ah pulang!! Sil, gue pulang duluan!”“Hooh!” Masih cengo aja tuh anak.Masuk ke dalam mobil, kubanting pintu.BRUUKKKHHH&ld
Setelah sholat Subuh berjamaah, aku langsung kembali ke kamar. Tidak ada tegur sapa antara aku, Abang, dan Bunda. Selesai melipat Mukena dan menyimpannya, kuhempaskan tubuh ke atas tempat tidur. Tadi, raut wajah Bunda datar sekali. Terasa aneh. Aku takut kalau Bunda membenciku karena obrolan kami semalam. Hm ... kadang suka kangen dengan suasana ribut pagi-pagi sama Abang. Sekarang suasana itu sudah tidak ada lagi. Pukul 06.15, bersiap ke dapur. Seperti biasa membantu Bunda, menyiapkan sarapan dan memasak. “Hari ini, ke kampus gak, Nak?” tanya Bunda saat tanganku mengambil sehelai roti tawar untuk dipanggang. “Enggak, Bun. Lagi libur,” jawabku. “Hm ... bagus deh. Temenin Bunda masak ya?” pinta Bunda. Aku mengerutkan kening. Tidak biasanya Bunda minta ditemenin masak. “Iya, Bun.” Tak kuasa aku menolak permintaan Bunda. Selama masak bersama, Alhamdulillah, sikap Bunda sudah seperti biasa. Seolah semalam tidak terjadi apa-apa. Roti tawar sudah selesai dipanggang. Kemudian membuat