Setelah dia memberikan kunci itu pada Bara, segera mereka meninggalkan rumah yang mungkin saja sudah di incar para kawanan penembak semalam. Bara melajukan motor sport Kana cukup kencang, Kana mengeritkan keningnya melihat jalur keluar dari jalan raya.
"Om, kita mau kemana?"Bara tak menyahut, dia semakin melajukan kecepatan motornya dan itu berhasil membuat Kana memeluk erat tubuh Bara. Bara tersenyum kecil merasakan lingkaran tangan Kana di perutnya. Tak lagi dia rasakan sakit pada luka tembakan semalam, setelah bertemu dengan Kana, sepertinya luluh semua rasa sakit pada tubuhnya.Bara membelokkan motor itu ke halaman bangunan bertingkat yang di kelilingi pagar tembok tinggi dengan pintu gerbang besi tebal yang otomatis terbuka. Kana semakin bingung, ini bukan rumah dimana Dira tinggal. Kemana Bara membawanya? Di sana mereka di sambut dengan beberapa pengawal bertubuh tegap dengan pakaian rapi serba hitam. Mereka membungkuk memberi hormat kala Bara melewati para penjaga di sana.Kana dengan keheranan, mengikuti Bara memasuki hunian bak Istana di tengah hutan itu. Matanya berputar mengitari indahnya interior dalam bangunan yang katanya Rumah."Kamu tinggal di sini, kamar kamu ada di lantai atas." Bara melepaskan kemeja putih lusuhnya dan meletakkan asal di atas sofa. Tak lama, ada wanita muda dengan pakaian khas pelayan datang membawa kantung plastik hitam. Dia mengambil kemeja Bara dan memasukkannya kedalam kantung plastik itu.Kana melihat pelayan tadi membawa plastik itu ke belakang, tidak tau mau di apakan, Kana tak lagi bisa melihat. Kana mengamati para pelayan yang bekerja di sana, merata semuanya masih muda. Tidak ada yang terlihat tua, mungkin usianya sekitar 25 sampai 35 tahun. Itu juga sepertinya sudah sangat ke-tuaan, mereka masih terlihat sangat segar."Kamu gak capek berdiri begitu? Duduk gih." Bara menepuk tempat sebelahnya duduk. Kana melirik tempat itu, dia memilih duduk di sofa berhadapan dengan Bara.Mata Kana menatap fokus pada tubuh Bara tanpa baju, deretan otot perut teratur, kulit putih bersih. Terdapat tatto gambar hati yang di dalamnya terdapat huruf inisial. Tapi Kana tidak bisa menebak huruf apa itu, sebab huruf itu terlilit gambar lain, seperti tangkai bunga atau apalah yang Kana sendiri tidak mengerti gambar abstrak apa itu."Saya suruh kamu duduk di sini."Suara bariton Bara mengejutkan Kana dan tersadar dari lamunannya karena gambar tatto itu. Segera Kana mengembalikan kesadarannya dalam mode semula."Yang pentingkan Kana sudah duduk, kenapa Om bawel banget sih!" balas Kana ketus. Bara mebuang kasar nafasnya menahan geram pada Kana yang sifatnya memang keras kepala.Bersamaan dengan itu pula, seorang wanita cantik berseragam serba putih berjalan cepat menghampiri Bara. Wanita itu langsung duduk di sebelah Bara dan mengamati luka menganga itu."Harusnya kamu telpon aku, Bara. Luka kamu bisa infeksi, ini bekas luka bulan lalu. Bahkan belum sembuh total, dan sekarang sudah di tambah lagi." omel wanita itu sambil menggeledah tas hitam yang dia bawa mencari sesuatu di dalamnya."Itu kamu obati pake apa?" tanya wanita itu yang ternyata seorang dokter. Dia mengambil cairan dalam botol kecil dan menyedotnya menggunakan jarum suntik."Pake, perempuan cantik idaman ku."Sontak wanita itu menatap Bara yang sedang tersenyum lebar menatap lurus kedepan. Jantungnya mendadak berdebar dan niatnya mengganti jarum steril harus di urungkan. Dia mengikuti arah mata Bara menatap.Deg!Di sana dia melihat gadis manis dengan rambut sempol sedikit berantakan, tengah duduk menunduk sambil meremas jari-jarinya. Wajah dokter tadi berubah seketika melihat Kana berada di sana."Iya, aku obati luka ini pake dia."Kana mengangkat pandangannya menatap Bara yang ternyata menatapnya dengan senyum manis. Kana di buat kagum dengan senyum Bara, berubah sudah aura kejam Bara dengan senyum itu."Ka-kamu bawa dia ke sini? Secepat ini?""Semua udah di atur Tuhan, Liv. Secepat itu aku harus bawa dia, ternyata Tuhan emang merestui pertemuan kami."Kana menatap Bara dan dokter itu secara bergantian. Tidak tau apa yang kedua orang dewasa ini bahas, Kana tidak mengerti bahasa isyarat Bara yang menyertakan Tuhan atas pertemuan mereka sampai akhirnya Kana bisa sampai di sini."Kamu gak jadi liat luka ku? Lumayan parah loh ini." kata Bara menyadarkan dokter cantik itu dan mengalihkan pandangannya dari Kana."Oh, sorry.""Cantik 'kan? Kamu aja sampek segitunya natap dia, gak sia-sia ku pilih dia sebagai calon My Wife."Tampak wajah dokter itu semakin berubah total, ada setitik kecewa di sela tatapannya. Tangannya saja terlihat bergetar memegang suntik yang siap di tancapkan dekat luka berlubang di perut Bara.Selesai sudah dokter cantik itu mengurus luka Bara, tidak ada sepatah kata yang dia keluarkan selama mengobati. Dia hanya diam membiarkan Bara terus menatap pada Kana."Bar, udah selesai. Aku pergi ya, ada pasien di klinik.""Kenalan dulu gih, sama Kana."Dokter itu menghentikan gerakannya yang tengah mengemasi perkakas perobatannya."Oh, ok. Hai Kana, selamat datang di tempat baru mu. Saya dokter Livy, dokter kepercayaan Bara.""Hai, dokter. Salam kenal, Kana."Dokter Livy, memberikan senyum terbaiknya pada Kana yang terlihat sangat tulus membalas perkenalannya."Ok, aku pergi ya. Ini obat nya jangan lupa di minum.""Thanks ya, Liv."Livy mengangguk kecil dengan senyum tipis yang dia berikan pada Bara dan Kana secara bergantian. Setelah itu, dia bergegas pergi membawa peralatan medisnya keluar dari sana meninggalkan kedua orang tadi."Kamu bisa istirahat sekarang, Aira.""Hah? Aira?" Kana terkejut, mendadak Bara mengubah panggilannya."Iya, Aira. Saya lebih suka kamu dengan nama, Aira.""Tapi, Kana terbiasa dengan panggilan, 'Kana.""Saya tau. Tapi saya mau, Aira."Kana mendengkus dengan kesal. Tiba-tiba saja Bara merubah dirinya, tidak seperti tadi.Bara menegakkan tubuhnya, menggapai tangan Kana dan membawanya menaiki tangga menuju lantai atas.Ceklek."Di sini kamar kamu." Bara membuka lebar pintu kamar yang akan Kana tempati. Kana melongok kedalam kamar, tapi sesaat dia berbalik menghadap Bara."Om, Kana gak enak sama Dira. Dia pasti bakal curiga kalau sampai tau Kana tinggal di sini. Mendingan Kana tinggal sama Dira aja deh, beneran Kana gak enak sama Dira. Dia udah baik baik, semalam juga Kana nginep di sana.""Kamu tetap di sini, Aira.""Om, makasih banget sama niat baik Om karena udah mau nolong Kana. Tapi Kana gak mau sampek Dira mikir lain kalau sampai tau Kana tinggal di sini."Bara mendorong Kana masuk kedalam kamar dan menutup pintu itu, tak lupa dia juga menguncinya sekali."Om, kok di kunci?""Stop panggil saya 'Om, Aira. Saya bukan paman mu!" Bara mengeratkan rahangnya mengungkung Kana di antara kedua tangannya."Ada maksud lain kenapa saya membawa kamu ke sini. Menikah dengan saya, Aira." bisik Bara, sebelah tangannya mengusap dagu Kana dan menariknya kecil hingga bibir tipis itu sedikit terbuka."Enggak Om, Kana gak mau! Jangan jadi pedofil Om!""Menikah dengan saya, atau mereka akan membunuh mu."Deg!Tiga bulan kemudian |CeklekLangkah kaki pria tampan itu mendekati branker dimana perempuan kesayangannya tengah terbaring lemah dengan selang infus di tangannya. Bouquet berisi mawar merah berukuran besar yang dia bawa, di letakkan di atas nakas dekat branker."Sayang, Mas datang." bisik laki-laki dengan senyum di bibirnya seraya mengusap lembut pipi wanitanya.Seketika mata perempuan itu terbuka, membalas senyum begitu melihat prianya datang."Jangan bergerak, Ra. Tiduran aja," Bara menahan tubuh Kana agar tidak mengubah posisi tidurnya."Mas, Kana udah baikan.""Enggak, kamu gak boleh banyak bergerak. Luka tembakkan kamu masih belum pulih,"Kana tersenyum, mengusap tangan kekar sang suami dan memberinya kecupan di punggung tangannya."Cepet sembuh sayang, Mas gak tega liat kamu begini. Maaf, karena Mas kamu jadi sakit, Mas akan buat perhitungan buat Dinar.""Dimana dia?" tanya Kana dengan s
Di rumah | Bara dan Kana sudah sampai di rumah, para boneka yang Bara dapat tadi dia bawa ke kamar. Kana tenggelam dalam lautan boneka di atas ranjang. Dia memeluk semua boneka menggemaskan dari pasar malam. "Sayang, turunin dulu bonekanya. Mereka gak boleh tidur sama kamu." "Ish apa sih! Masa sama boneka aja cemburu." Kana mendengkus kesal melihat suaminya menurunkan semua boneka dari atas ranjang. "Ganti baju, gih." Bara memberikan dres tidur minim bahan untuk Kana. Kana mengeritkan keningnya melihat lingerie berwarna putih yang Bara berikan. Dia langasung mengerti kenapa suaminya memberikan pakaian haram itu. "Sayang." "Iya, bentar ih!" Kana beranjak dari ranjang, bukannya ke kamar mandi, dia malah ke walk in-closet mengambil piyama. Hampir 30 menit lamanya Bara menunggu sambil mengecek pekerjaan dari gawainya. Kana keluar dari kamar mandi mengenakan piyama ungu, dengan santainya mengabaikan keinginan Bara. "Ai, kenapa gak pake lingerie tadi?" "Dingin." balas Kana sekenan
Malam hari, Rumah Utama |Edgar menemani Indira mengerjakan tugas sekolah yang guru berikan pada Bara waktu itu. Telaten sekali dia mengajari calon istrinya itu mengerjakan soal Matematika. Indira memang tidak secerdas Kana, dia harus ekstra keras untuk belajar agar mendapat nilai yang lumayan bagus. Tidak seperti Kana, cukup dengan sekali mengingat materi, sudah bisa mengerjakan soal dengan mudah."Bang, memangnya Daddy cerita apa aja sama Mamah di Prancis." tanya Indira mengalihkan rasa jenuhnya dengan tugas itu."Masalah apa?""Masalah Dira, kok bisa Daddy tiba-tiba suruh Abang datang dan jodohin sama Dira."Edgar tersenyum menutup buku pelajaran Indira."Sebelum Bara jodohin kita, Abang udah lebih dulu minta kamu jadi jodohnya Abang. Kamu masih kelas 6 SD, abang udah pergi ke Prancis. Dan abang udah janji, akan balik lagi buat nikahin kamu.""Kenapa Abang mikir gitu?""Karena abang suka sama kamu.""Terus, Daddy bilang apa?""Dia cerita banyak hal, Mamah mengerti maksud dia. Begit
"Keluarga Kana? Selama ini gak pernah mereka cari ataupun peduli sama Kana?""Kamu tau pasti tentang keluarganya?""Iya taulah, Bang. Dira tuh udah lama sahabatan sama Kana, dan setau Dira, mereka gak ada sama sekali mikir biaya hidup Kana. Masih baik Kana pinter, jadi biaya sekolah dapet beasiswa. Untuk yang lainnya, dia harus ikut balapan buat dapet uang. Kadang kerja paruh waktu di cafe atau warung kaki lima." jelas Indira panjang lebar mengenai kehidupan Kana."Terus, kenapa sekarang mereka cari Kana?""Dira curiga, pasti ada sesuatu yang gak beres. Terakhir Kak Maudy pergi gitu aja sama pacarnya karena rumah mau di sita.""Jadi, rumahnya udah di sita?""Kayanya udah. Kasihan Kana, Bang. Kalau sampe keluarganya manfaatin Kana, Dira yakin banget ada sesuatu yang buruk bakal nimpa Kana.""Kamu tenang aja, Daddy mu gak akan biarkan itu terjadi. Kana pasti aman sama Daddy Bara, kamu percaya 'kan sama Daddy mu?""Iya percayalah, secarakan keluarga Kana cuma kita. Gak yakin Dira mereka
Setelah selesai membahas masalah kematian Ayahnya, Bara menutup pertemuan dengan adiknya. Edgar meraih ponselnya dan menunjukkan sesuatu pada Bara."Apa ini?""Keluarga Kana. Mereka nyebarin poster kehilangan, mereka udah mulai cari Kana, Bang."Bara mengepalkan erat tangannya, marah sekali melihat deretan poster kehilangan yang sudah menyebar."Dari mana kamu dapat ini?""Mini market, tadi gak sengaja ketemu pas beli rokok. Tadinya aku kira ini bukan Kana, tapi setelah ku lihat lagi ternyata bener.""Brengsek!""Keluarga mereka gak tau, Kana nikah sama Abang?""Enggak.""Kakaknya juga?""Keluarga mereka gak harmonis, Ed. Kamu denger sendiri 'kan, Pram bilang apa? Bahkan Papahnya sendiri punya fikiran buruk itu. Kalau bukan karena Papahnya, udah Abang bunuh tu orang tua.""Terus sekarang gimana? Ini Kana udah di cari, pasti mereka bakal datang ke pihak sekolah dan cari informasi di sana. Mereka tau 'kan Abang yang jadi walinya Kana? Pasti mereka bakal bilang ke keluarga Kana,"Bara me
Malam hari |Bara dan Kana duduk di bangku taman samping rumah, mereka menikmati malam sambil memakan potongan buah dan cemilan lainnya."Mas, gimana kabarnya dokter Livy?" tanya Kana bersandar di lengan sang suami."Mas belum telfon dia." Kana mendongak menatap Bara yang masih menikmati minumannya."Kok belum? Telfon dong, Mas tanya dia udah gimana. Mas jadi temen gak perhatian."Bara menenggak habis minumannya, dan menarik bibir manis Kana, menyesapnya lembut."Dia pasti baik-baik aja." kata Bara di sela pagutannya."Yakin?""Iya, dia akan telfon Mas kalau ada sesuatu.""Emmm.""Kamu kenapa? Kok tiba-tiba tanya dokter Livy?""Kana kepikiran sama kandungannya, Mas. Dia jaga gak ya, bayi itu.""Dia dokter, gak mungkin dia melakukan hal sebodoh itu. Bayi itu gak salah, yang salah perbuatan orang tuanya.""Kalo Kana hamil, Mas seneng gak?"Bara menunduk menatap wajah cantik istrinya yang terkena pantulan sinar rembulan."Kamu mau tau, apa yang akan Mas lakukan saat tau kamu hamil?""Ap