Share

MDDM 4

Malam hari |

Kana duduk di tepi ranjang sambil meremas jari-jari lentiknya. Tidak dia pedulikan beberapa orang di sana yang sedang menghias kamar menjadi kamar pengantin. Buka hanya itu, di sana juga tampak dua orang tengah sibuk memasang gaun pengantin berwarna putih pada sebuah Mannequen.

Lagi, Kana tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja Bara masuk kerumahnya, membawanya pergi dan memintanya menikah. Apa sebenarnya yang Bara inginkan.

Ceklek.

Bara melirik kamar yang sudah hampir selesai di hiasi dengan dominan warna merah dan bunga mawar merah. Dia melihat Kana duduk termenung di ranjang, memutuskan menghampiri gadis kecil itu.

"Kamu harus istirahat, besok acara pernikahan akan berlangsung satu hari dan kamu akan kelelahan." kata Bara. Kana mengangkat pandangannya menatap nanar pada pria yang katanya besok akan menikahinya.

"Enak banget Om ngomongnya. Emangnya Om gak mikir gimana Kana? Masa depan Kana? Om tau keluarga Kana gimana, dan Om juga pasti tau tentang Indira."

Bara membuang nafasnya pelan, dia mengusap lembut pipi Kana dan memberikan satu kecupan hangat tepat di keningnya.

"Saya hanya mau kamu, cuma kamu. Indira putri saya, dan hubungan kami hanya sebatas antara anak dan Ayah."

Mata Kana bergerak mengamati wajah tegas Bara, jantungnya berdebar kencang merasakan kecupan yang Bara berikan di keningnya tadi. Suka, dia sangat suka memdapat kecupan di kening. Dia merasa kembali di sayang setelah sekian lama kedua orang tuanya tak lagi pernah memberikan itu. Bahkan dia lupa kapan terakhir Ayah dan Ibu menciumnya, dia lupa kapan terakhir kali dia di peluk. Bahkan juga dia lupa, kapan terakhir kali bicara pada kedua orang tuanya yang kini sama-sama sibuk dan entah di mana.

"Tapi Om, Dira akan benci Kana kalau sampai hal ini terjadi. Kana sudah merusak impian Dira."

Bara menangkup kedua bibirnya, membenarkan perkataan Kana.

"Saya akan bicara padanya, sekarang kamu tidur. Besok acaranya jam sembilan,"

Bara berlalu begitu saja dari hadapan Kana setelah memintanya untuk istirahat. Kana menatap datar kepergian Bara, sepertinya pria itu mulai berfikir untuk bicara pada Indira, putrinya.

Bara berjalan menuju balkon kamarnya, dia menatap hamparan luas hutan yang menjadi batas wilayah kekuasaannya. Dia menyesap sedikit wine yang dia dapat dari meja di kamarnya. Fikirannya kembali pada Indira, yang beberapa bulan lalu pernah mengungkapkan sesuatu dan bicara pada Kana yang kebetulan Bara mendengarnya.

'Gue anak tiri Daddy, Na. Daddy bawa gue kesini saat usia gue 8 tahun, dan makin gue tumbuh, gue ngerasa kalau sayang gue ke Daddy bukan karena dia bokap gue, tapi karena gue suka sama dia.'

Bara meneguk habis minumannya dan meletakan kasar di atas meja kaca. Bagaimana bisa seorang putri yang dari kecil dia anggap sebagai anak, malah menjadi suka padanya. Indira yang dulu dia angkat jadi anak karena merasa iba, dia korban kecelakaan dan kedua orang tuanya meninggal.

Kasihan sekali Bara melihat anak kecil itu menangisi mayat kedua orang tuanya yang tertutup koran di tepi jalan. Bara memutuskan membawa Indira ke kehidupannya, guna menjadi anak.

"Indira, gak seharusnya kamu bersikap lebih dengan Daddy. Kamu hanya putri Daddy, astaga kenapa kamu malah berfikir seperti itu?"

Itulah alasan kenapa Bara sering pergi dengan alasan bekerja di luar Negeri, sebenrnya dia tidak pergi. Dia hanya menghindar dari Indira agar tidak terjadi kesalahan yang mungkin akan fatal akibatnya. Indira yang selalu bergelayut manja padanya, dia kira itu hal yang wajar sebagai hubungan Ayah dan anak. Tapi ternyata dia salah, kedekatannya malah di salah artikan oleh Indira. Dia malah menyukai Daddy nya sendiri, dan berharap kalau Bara akan membalas rasa sukanya.

Keesokan paginya |

Bara menata dirinya dari cermin, dengan setelan jas berwarna putih, dia sangat tampan. Arloji mahal itu tak lupa dia sematkan di pergelangan tangan kirinya. Tatapan elang yang menjadi pria berdarah campuran itu semakin tampan mempesona. Siapa yang tak kagum padanya, siapa yang tak jatuh hati padanya. Tampan dan kaya raya adalah impian kaum wanita untuk memilih suami.

Sedangkan di kamar lain, Kana masih enggan memakai gaun pengantin yang Bara siapkan untuknya. Dia bahkan tidak mengizinkan perias untuk mendandani wajahnya. Kana duduk memeluk lutut di atas ranjang, tak menghiraukan rayuan perias untuk segera memulai ritualnya.

"Ini salah, ini gak boleh terjadi. Gimana Dira nanti, dia akan marah sama gue." gumam Kana dalam hati. Tatapannya kosong menatap seprai putih pembalut ranjangnya.

"Gue gak mau nikah sama Om-Om, gak mau!"

"KANA!"

si pemilik nama berjingkat kaget, dia benar terkejut dengan suara besar menegurnya. Di sana dia mendapati Bara sudah berdiri menatapnya dengan tatapan tajam. Sejak kapan pria itu di sana? Bukankah tadi dia masih bersiap?

Bara bersimpuh di hadapan Kana, meraih tangan mungil nya dan mengecup lembut punggung tangannya.

"Jangan fikirkan Indira. Dia tidak akan benci selagi tidak tau,"

Kana menarik tangannya lepas dari genggaman Bara.

"Sampai kapan? Dia tetap akan tau, Om!"

"Iya, tapi perlahan dia akan mengerti. Saya pastikan Indira akan tetap menjaga hubungan antara Ayah dan anak."

"Om tau 'kan gimana Dira? Dia berharap lebih sama Om, bukan sebatas Ayah dan anak."

"Saya hanya menganggapnya anak, Kana. Sekarang pakai gaun kamu, berias secantik mungkin. Masalah Dira, saya akan urus nanti."

Bara keluar dari kamar setelah menyampaikan kalimat penegasannya. Susah sekali Kana di yakinkan, padahal sudah berulang kali Bara mengatakan untuk mengurus masalah Dira.

Bara duduk di sofa menunggu Kana selesai berias. Dia kembali teringat saat pertama kali bertemu Kana dan jatuh cinta pada pandangan pertama.

"Dad, ini teman Dira, namanya Kana."

Bara menatap wajah cantik Kana, hidung mancung, bibir tipis dengan gigi kelinci, rahang tirus dan pipi chuby. Bola mata sedikit ke abuan dengan mahkota lentik di atasnya, alis tertata rapi membuat penampilan Kana pantas di kagumi kaum pria.

"Bara, Ayah Indira." Bara mengulurkan tangannya menjabat tangan Kana.

"Kana, maaf Om saya merepotkan karena menginap di sini."

"Tidak masalah."

"Na, ke kamar gue yuk."

Kana mengangguk menyetujui ajakan Dira. Bara tak lepas menatap penuh minat pada gadis seusia putrinya. Dia menginginkan gadis cantik itu, gadis dengan penampilan sedikit tomboy. Tapi tak menghilangkan kesan feminimnya juga, Kana tipe perempuan idaman Bara.

Tak

Tak

Tak

Lamunan Bara buyar mendengar suara ketukan hels dari lantai tangga. Bara menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Kana sudah tiba dengan gaun pengantin yang besar dan indah. Tubuh mungilnya nyaris tenggelam karena ukuran baju yang begitu besar.

"Cantik sekali kamu." bisik Bara mengusap lembut pipi merona Kana. Bara menatap lekat kedua bola mata indah Kana, tak ingin lepas rasanya walau sedetik memalingkan pandangan dari ciptaan secantik ini.

"Dulu saya berfikir, akan menikahi kamu setelah lulus sekolah. Tapi ternyata takdir datang lebih cepat."

"Ini bukan takdir, tapi paksaan. Om cuma alasan 'kan, bilang mereka akan bunuh Kana. Itu Om jadikan amunisi untuk menikahi Kana seperti keinginan Om dari dulu."

Bara membuang pelan nafasnya. Tangannya turun mengusap kedua bahu terbuka Kana.

"Saya memang menginginkan kamu sejak lama. Berharap bisa menikahi kamu, tapi kejadian semalam benar bukan saya manfaatkan. Itu benar terjad, mereka mengincar kamu."

"Sebenernya Om ini siapa? Kenapa bisa sampek tembak-tembakan, dan kenapa juga mereka ngincar Kana?"

"Kamu tidak harus tau itu sekarang." Bara menggenggam tangan Kana membawanya keluar dari rumah menuju halaman belakang yang ternyata sudah ramai orang. Tempat itu juga sudah di hiasi layaknya tempat pesta pernikahan. Tepuk tangan dan sorakan bahagia terdengar mengiringi langkah kedua mempelai menuju Altar.

Berdengung, telinga Kana seakan tak bisa mendengar apapun setelah Bara menyatakan dirinya siap menjadi suami serta pelindungnya. Semua janji dan sumpah dia ucapkan di hadapan Tuhan, tulus sekali pria itu mengucapkan dengan tenang tanpa ada penekanan sedikit pun. Seketika jantung Kana seperti berhenti berdetak setelah dia mengucapkan sumpah yang sama dengan Bara.

Tangannya bergetar menerima cincin pernikahan yang tersemat di antara jari manisnya. Ingin menangis, apa yang harus dia tangisi. Di satu sisi dia ingin hidup, satu sisi lain, dia harus memiliki tumpangan hidup karena keluarganya tak lagi mencukupi kebutuhannya. Dia tau kenapa Maudy pergi, itu karena rumah akan di sita. Dia memilih lebih dulu pergi meninggalkan Kana, tanpa berfikir apa yang akan terjadi pada adiknya nanti.

Kana tersadar merasakan sapuan lembut menyapa bibirnya. Setitik air mata berhasil lolos melewati pelupuk matanya, mengalir bercampur dengan kedua bibir yang masih saling menempel. Bara merasakan itu, dia mengusap buliran bening Kana dan mengatakan sesuatu.

"Maaf, saya benar tulus sama kamu, terserah kapan kamu balas rasa saya. Tapi yang harus kamu ketahui, saya mencintai kamu, Aira Kana Stuart."

Setelah mengucapkan kalimat kesungguhannya, Bara mencium kening Kana dan memeluknya erat. Nyaman sekali pelukan paman ini, Kana sampai terhanyut tanpa sadar membalas pelukan itu dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang Bara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status