Share

Menikah Karena Penggrebrekan
Menikah Karena Penggrebrekan
Author: Athmika

Penggrebekan

"Buka! "

"Buka atau kami dobrak pintu ini!"

Sautan demi sautan terdengar riuh di depan pintu. Keempat laki-laki segera berlari kocar kacir ke segala arah.

"Lari...lari... lari..." seru mereka kompak.

Sedangkan salah satu laki-laki lainnya merasa kebingungan.

"Brengsek!"

Tanpa ba bi bu, segera ia benahi pakaian sebelum orang-orang diluar berhasil masuk.

Sedangkan seorang perempuan terlihat merenung dengan tatapan kosong.

Kenapa? Kenapa semua ini bisa terjadi padanya? Salah apa sebenarnya dirinya selama ini hingga orang-orang tega melakukan hal sekotor ini terhadapnya?

Pintu sudah berhasil didobrak. Laki-laki yang terjebak itu kini hanya bisa pasrah dengan masa depannya. Beberapa orang yang berhasil masuk menganga tak percaya dengan apa yang mereka lihat.

Seorang perempuan yang terlihat mengenaskan beruraian air mata disana. Tubuhnya terlihat memar dan kotor. Sedangkan di sampingnya ada seorang laki-laki sedang berusaha mengenakan pakaian.

Bugh bugh bugh...

Suara pukulan silih berganti menghajar laki-laki tersebut.

"Kita arak mereka!"

"Bakar saja! Bakar! Bisa sial desa ini kalau kita biarkan mereka!"

"Tenang Bapak-bapak, ibu-ibu semua! Tenang! Kita selesaikan ini semua dengan kepala dingin!" seru seorang pria paruh baya mencoba menenangkan warganya yang sepertinya sudah tersulut emosi.

"Ngga bisa pak Lurah. Ini hinaan besar buat desa kita. Jangan biarkan anak-anak terkutuk ini bebas begitu saja!" bantah yang lainnya kembali.

"Iya. Saya tau. Namun, apakah dengan bertindak anarkis, kita semua bisa tenang? Belum tentu. Maka dari itu, lebih baik kalau mereka kita nikahkan saja?" nasehat seseorang yang dipanggil pak lurah.

"Ngga... Ngga bisa! Bukan saya yang melakukannya!" seru pemuda yang dijadikan tersangka oleh warga.

Kontan saja kepalanya ditoyor dari belakang.

"Kalau bukan kamu, terus siapa? Apa kamu pikir mata kami semua buta? Jelas-jelas disini hanya ada kamu!" teriak seorang ibu yang ikut geram karena anak laki-laki tersebut tak mau mengakui kesalahannya.

"Memang benar bukan saya! Tadi banyak kawan saya disini," kilah pemuda tersebut yang membuat warga tersentak kaget.

"Astagfirullah"

"Menurut saya, mbak ini kayak terguncang jiwanya. Mungkin memang mbak ini dipaksa untuk melakukan itu," ungkapan dari seorang dokter yang kebetulan ikut dalam penggrebekan itu membuat warga semakin kaget.

"Ap... Apa benar yang dibilang nak Radit?" tanya ibu itu kembali kepada pemuda di hadapannya itu. Hatinya merasa kasihan pada seorang gadis yang dari tadi hanya diam membisu diatas papan hanya berbalutkan selimut.

Pemuda itu perlahan menganggukkan kepalanya.

" Astagfirullah..."

" Sudah, begini saja. Kau harus menikahi perempuan itu. Entah nanti dia hamil atau tidak, Kau yang wajib bertanggung jawab. Kau tadi sebut banyak kawanmu yang melakukan itu kan?" tegas pak Lurah yang dibalas bengong remaja tersebut.

"Kenapa harus saya?" bantah remaja itu kembali. Tentu saja dia tak terima jika dia sendiri yang harus tanggung jawab.

'Masuk saja belum kok dah disuruh tanggung jawab. Rugi bandar dong!' batinnya.

" Karena yang kita tau saat gerebek ini ya cuma kamu. Kalau mau cari kawan-kawanmu, sampai kapan kasus ini akan selesai? Apa dipikir kita tidak punya pekerjaan lain apa? "ketus salah satu warga.

" Atau kau pilih kasus ini diusut polisi? Mungkin Kau tak akan sendirian di penjara. Akan tetapi, kawan Kau juga akan menemani. Bagaimana? "tukas pak Lurah.

Pemuda itu pun menjadi ketar-ketir. Dia adalah mahasiswa beasiswa. Kalau beasiswanya dicabut, sebenarnya bukan masalah besar untuknya. Orang tuanya lebih dari mampu untuk membiayai kuliah hukumnya. Tetapi, menjadi mahasiswa karena beasiswa, dapat menaikkan sedikit kesombongannya. Toh, tinggal selesaikan skripsi, dah lulus.

Namun kini, belum juga dapat sombong, sudah mendapat malu karena penggrebekan. Andai dia menolak menikahi gadis tersebut, dia pasti dipenjara, dan sudah pasti masa depannya akan hancur. Tetapi kalau diterima???

" Baiklah. Saya lebih baik menerima tawaran bapak untuk menikahi Dia." putus pemuda tersebut pada akhirnya.

"Namamu siapa?" tanya pak Lurah kembali.

"Dirgantara Wisesa!" jawab remaja itu tegas.

"Dia?" Kembali pak Lurah bertanya yang dibalas kebingungan dari Dirga.

"Kenapa?" tanya warga yang lain karena melihat kebingungan di wajah Dirga.

"Saya ngga kenal." jawab Dirga dengan cengengesan.

"Astagfirullah..."

Seluruh warga seperti memendam emosi kepada remaja kriminal tersebut. Andai tidak merasa kasihan kepada gadis yang masih membisu tersebut, tentu para warga lebih setuju menjadi menjebloskan Dirga ke dalam penjara.

"Namamu siapa, cantik?" tanya seorang ibu kepada gadis malang tersebut.

Gadis yang dari tadi diam membisu itu, kini malah berubah jadi histeris.

"Jangan,,, jangan,,, saya mohon jangan! Ngga mau! Ngga mau! Sakit!" teriak gadis itu yang membuat situasi semakin pilu.

Gadis itu kini berteriak menolak semua orang yang mendekatinya. Hingga seorang ibu memaksa meraih tubuhnya ke dalam pelukan. Awal dalam rengkuhan, gadis itu masih menolak, namun usapan lembut wanita yang memeluknya itu, lama-lama membuatnya tenang.

"Ngga apa-apa. Semua sudah selesai. Ibu ada disini. Nama ibu, Lasmi. Nama kamu siapa?" tanya bu Lasmi kepada gadis korban kekerasan di hadapannya itu.

Gadis itu masih memandang ibu dihadapannya dengan cucuran air mata. Bu Lasmi kembali memeluk gadis itu. Mengusap punggungnya dengan penuh sayang.

" Karamel. Karamel Nandhita." jawab gadis itu lirih namun masih dapat didengar oleh orang-orang di dekatnya.

"KARAMEL!!!"

Sebuah teriakan mengagetkan semua orang yang ada di rumah yang hampir roboh itu.

Karamel hanya mampu memejamkan matanya. Dunianya sudah runtuh sekarang.

Seorang lelaki paruh baya merangsek masuk ke dalam rumah yang dijadikan penggrebekan itu. Dengan beringas dia menampar pipi Karamel dengan kasar.

"Kau memang kebanggaan kami. Tetapi bukan berarti kau dapat berbuat sesuka hati hingga melempar kotoran ke muka kami, Kara!" ucap lelaki yang bernama Santoso itu.

"Pak...!" para warga mencoba menghalangi Pak Santoso yang sepertinya sudah dikuasai emosi tersebut.

"Dari kecil Kau kami besarkan bukan untuk menjadi pelacur seperti ini, Kara. Bapak malu, Kara! Malu!"

Tes

Air mata Kara kembali menetes. Sebegitu cepatkah aibnya kini terbongkar?

"Bapak jangan gegabah, Pak! Belum tentu Kara yang salah." ucap seorang ibu yang sepertinya istri dari pak Santoso.

"Mau mengelak seperti apa lagi sih, Bu! Video tadi sudah menjelaskan semuanya. Betapa anakmu sangat murahan dalam video tadi, Bu. Bagaimana kalau sampai itu tersebar? Apakah kita masih punya muka lagi, Bu?" teriak Pak Santoso dengan frustasi.

Benar! Mereka kesini karena ada yang mengirim video asusila Kara yang sedang diper**** beberapa laki-laki. Bahkan alamat ini pun di dapat dari orang yang mengirim pesan tersebut.

Dirga yang mendengar tentang video pun menjadi terbelalak. Apakah dari salah satu temannya ada yang sudah merekam video tadi? Bisa gawat ini kalau sampai tersebar!

Tanpa menunggu lama, Dirga segera mengirim pesan kepada para sahabatnya. Setidaknya mereka harus bisa prepare sebelum video itu benar-benar tersebar.

"Apa Bapak yakin kalau itu adalah sebuah tindakan suka rela atau paksaan, Pak? Apakah Bapak tidak melihat betapa putri Bapak sangat hancur? Radit adalah dokter di kampung ini. Dia sudah bilang kalau putri Bapak baru saja mengalami hal buruk." Jelas pak Lurah yang membuat pasangan orang tua itu terperangah.

" Mak... Maksudnya, putri kami baru saja diper****?" tanya Lastri istri dari pak Santoso sekaligus ibu dari Karamel.

Melihat semua orang mengangguk, hati Lastri seolah hancur. Ibu mana yang tak sakit hati kala melihat putrinya baru saja diper**** oleh beberapa laki-laki?

Lastri seketika pingsan. Situasi pun semakin riuh tak kondusif. Pak Santoso pun hanya bisa melemas tak percaya apa yang terjadi pada keluarganya kini. Apa salah dan dosa keluarganya hingga kesialan seperti ini harus menimpa keluarganya?

Sedangkan Karamel hanya mampu melihat sedih semua kejadian di depan matanya itu. Dia sendiri bingung harus apa dan bagaimana. Dia pun tak pernah menginginkan ini semua.

"Saya harus bagaimana sekarang? Saya tak punya uang untuk membawa para ba****** itu ke kantor polisi. Tetapi saya juga tak mau kalau para ba****** itu lepas begitu saja." lirih pak Santoso.

Pak Lurah yang melihat orang tua Kara pun ikut merasakan terluka. Dia lalu menghampiri pak Santoso dan memeluknya.

" Bapak jangan khawatir. Salah satu dari tersangka itu ada disini. Dia yang akan kita minta untuk bertanggung jawab pada masa depannya Karamel."

Perkataan pak Lurah membuat pak Santoso memandang tajam pada sang empunya suara. Emosi yang tadi sempat teredam pasrah, kini bergejolak kembali.

Salah satu ba****** itu ada disini. Setidaknya Dia harus mendapatkan balasan yang setimpal meskipun tidak mampu menyeretnya ke dalam penjara.

"Siapa laki-laki ba****** yang telah merusak putri kesayanganku, Pak? Siapa?" teriak Pak Santoso dengan penuh emosi.

Tanpa di komando semua warga menyingkir menyisihkan seorang pemuda dengan muka yang sudah babak belur karena di massa tadi.

"Dia"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status